Satu

Cerita ini pernah ku-posting sampai kelar lho. sampai ekstra part malah. Dan itu lama banget, sebelum ku-unpublish untuk revisi. Jadi  nggak benar kalau aku PHP dan biarin cerita ini  gantung di tengah jalan dan sok mulai dari awal sekarang. Untuk yang sudah lama main di lapakku, pasti tahu kalau aku bukan tipe PHP. Semua cerita di-posting sampai kelar, sebelum akhirnya di-unpublish untuk kepentingan penerbitan. Jadi kalau ketemu yang nggak lengkap lagi, berarti kalian  telat saja ketemunya, bukan karena aku sok PHP. Oke, hepi reding en lope-lope yu ol, Gaes...

**

AKU sedang menyelesaikan jahitan terakhir dari pasien yang tertusuk pisau di telapak tangannya ketika Santi, salah seorang dokter yang baru menyelesaikan internship, dan bekerja di sif ini bersamaku, mencolek.

"Dok, biar saya yang selesaikan," katanya. Dia melihatku takut-takut. "Ada pasien kecelakaan yang baru masuk. Pembuluh darahnya putus. Saya nggak bisa menemukannya untuk disambung. Dokter Reka tadi sudah pulang karena anaknya demam." Dokter Reka adalah dokter bedah umum yang bertugas bersama kami.

Aku mendesah. Risiko bertugas di IGD. Tempat paling sibuk di seantero rumah sakit. Pasien di tempat ini mengalir tak kenal waktu. Aku sudah berdiri berjam-jam melayani banyak pasien dengan beragam keluhan sejak jam sembilan malam hingga jam enam pagi ini. Aku hanya sesekali tidur sekitar setengah jam ketika pasien berkurang, dan dokter yang jaga bersamaku bisa mengerjakannya sendiri.

Masalahnya, aku dokter umum paling senior di sif ini. Jadi teman sejawat yang masih junior terkadang membutuhkanku untuk melayani pasien-pasien gawat, terutama korban kecelakaan lalu lintas dengan luka parah, seperti yang dimaksud Santi ini.

"Tinggal dibalut saja." Aku memotong benang yang baru kusimpul. "Bisa dikerjakan perawat. Yang mana pasiennya?" Aku mengikuti langkah Santi yang bergegas.

Pasien yang dimaksud itu bersimbah darah. Salah seorang perawat menekan pergelangan tangannya. Pakaiannya juga ikut terkena percikan darah. Entah benda apa yang mengenai pergelangan tangan pasien itu, tetapi kondisinya jelas tidak bagus. Darah mengucur deras ketika perawat itu melepaskan tekanannya saat aku mengambil alih.

"Dia sudah nggak sadar saat tiba tadi, Dok," lapor Santi. "Keadaan umumnya jelek."

"Pasang infus dan minta analis untuk periksa golongan darahnya," ujarku. "Dia pasti sudah kehilangan banyak darah dalam perjalanan ke sini. Dia mungkin saja butuh transfusi. Oh ya, ada luka lain? Sudah diperiksa?"

"Sepertinya fraktur kaki, Dok."

Aku melihat perawat melepas jam tangan pasien yang tidak sadarkan diri itu. Rolex. Orang-orang seperti ini biasanya akan merepotkan setelah sadar. Juga tetap merepotkan sebelum sadar, ketika keluarganya datang berbondong-bondong. "Dia juga harus di MRI setelah ini. Hubungi Dokter Reka dan minta dia kembali ke sini."

Kasus seperti ini bukan lagi wewenang dokter umum seperti aku. Terutama di rumah sakit ini. Standar operasionalnya seperti itu. Sesuai untuk bayarannya yang sangat mahal. Hanya saja, di saat-saat darurat begini, ketika dokter bedah belum datang, di sifku, akulah yang akan melayani para pasien itu, sambil menunggu dokter spesialis. Mereka percaya kepadaku. Bukan tanpa alasan, aku sudah membuktikan kemampuanku.

Aku PTT di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, selama empat tahun. Di salah satu kecamatan di pesisir pantai, daerah terpencil. Rumah sakit berada di seberang pulau lain yang jaraknya sangat jauh. Merujuk berarti mempertaruhkan nyawa pasien. Biaya yang tidak sedikit untuk keperluan itu, membuat keluarga pasien biasanya enggan mengizinkan aku merujuk. Dan aku kemudian terpaksa melayani mereka di puskesmas. Aku sudah terbiasa menyatukan luka sobek yang butuh puluhan, bahkan ratusan jahitan.

Aku baru beberapa bulan bekerja di rumah sakit ini, mengisi waktu sambil menunggu pendaftaran pendidikan dokter spesialis dibuka. Pekerjaan yang kudapatkan melalui ayah Mita, sahabatku. Om Haryo juga bekerja di sini, sebagai dokter bedah jantung. Salah seorang dokter bedah jantung terbaik di negeri ini, sehingga rekomendasinya mempekerjakan aku di rumah sakit yang tidak sembarang menerima pegawai ini tidak bisa ditolak.

Hanya saja, selama bekerja di sini aku malah hampir tidak pernah bertemu Om Haryo. Aku sengaja mengambil sif malam yang dihindari hampir semua orang. Aku melakukannya karena punya sif siang di sebuah klinik kecil lain. Ya, aku bekerja di dua tempat. Tidak melanggar hukum karena dokter bisa bekerja di tiga tempat berbeda. Melelahkan memang, tetapi aku harus melakukannya. Aku tulang punggung keluarga, dan semua beban finansial ada di pundakku.

Aneh bagaimana roda hidup berputar. Ada masanya aku adalah anak manja yang tidak pernah berpikir bahwa mengumpulkan rupiah bisa sangat sulit. Sejujurnya, aku tidak pernah memikirkan soal materi. Aku punya semua yang orang ingin dan butuhkan dalam hidup. Semua. Rumah besar yang butuh bantuan beberapa orang asisten untuk diurus, beberapa kendaraan dan sopir yang bisa mengantar ke mana-mana, dan tentu saja, uang untuk membeli apa pun yang aku inginkan.

Aku baru mulai kuliah ketika perubahan itu terjadi. Aku tidak pernah benar-benar tahu detailnya, ketika tiba-tiba ayah masuk rumah sakit karena serangan jantung yang lalu merenggut nyawanya. Rumah kami lalu disegel dan kami harus keluar dari sana. Semua aset disita. Pengacara ayah bicara soal kebangkrutan, penipuan, dan berbagai hal lain yang tidak sepenuhnya kumengerti karena masih syok.

Yang aku tahu kemudian hanyalah rumah gedung kami menyusut dan berganti menjadi rumah mungil di dalam gang yang ramai. Gang kecil yang hanya bisa dilalui sepeda motor. Hanya Mbok Nah yang setia mengikuti kami tanpa bicara soal bayaran. Lebih karena dia juga tidak tahu harus ke mana, sebab telah mengabdikan hampir seluruh hidupnya di keluarga kami.

Kedua orangtuaku anak tunggal, tetapi mereka punya keluarga besar. Keluarga yang kerap berkumpul di rumah kami pada saat-saat tertentu, terutama ketika kakek-nenek dari kedua orangtuaku masih ada. Keluarga yang kemudian tidak terlihat lagi ketika kami butuh bantuan. Keluarga yang melihat kami sebagai beban yang harus dihindari.

Keterpurukan ekonomi bukan satu-satunya hal yang memusingkanku. Mama mengalami masalah kejiwaan. Kehilangan suami dan kenyamanan hidup di saat bersamaan sangat berat baginya. Kehidupan sosialnya berantakan. Sama seperti keluarga kami yang entah di mana ketika dibutuhkan, teman-teman Mama juga mundur teratur, seolah Mama baru saja didiagnosis mengidap AIDS. Satu-satunya teman Mama yang tertinggal, Tante Rima, yang juga ibu Mita, akhirnya berhasil membawa Mama menjalani sesi-sesi terapi yang panjang.

Bukan hanya Mama, Dhesa adikku, juga mengalami sedikit goncangan. Umurnya empat tahun di bawahku. Masih kelas tiga SMP ketika itu. Masa di mana semua anak dinilai dari kemapanan status ekonomi orangtuanya. Aku bisa membayangkan kesulitan yang dihadapinya di sekolah. Untunglah keadaannya tidak separah Mama. Suasana hatinya yang buruk akan berubah cerah ketika Mita muncul dan menyelipkan beberapa lembar uang ratusan ribu di tangannya.

Seperti halnya keluarga besarku dan teman-teman Mama yang menghilang, teman-teman dekatku juga ikut raib. Tidak ada lagi telepon gencar yang menjadwalkan pertemuan kami di pusat perbelanjaan. Satu-satunya yang tertinggal hanyalah Mita. Mita dan keluarganya. Yang tidak beranjak sedikit pun sejak hari pertama kami kehilangan segalanya. Yang membujuk kami untuk pindah ke rumah mereka. Hanya saja, itu kebaikan yang sulit untuk aku terima. Ya, aku telah menjadi kepala keluarga untuk menggantikan Ayah setelah kematiannya, dan mulai memutuskan semuanya sendiri. Mama tidak bisa diharapkan karena air matanya seperti tak kunjung putus. Hanya aku satu-satunya anggota keluarga yang bisa dan harus memegang kendali.

Miskin itu sulit. Sangat sulit. Terutama jika kamu baru mengalaminya. Dari kendaraan pribadi yang dikemudikan sopir, aku kemudian terbiasa dengan transportasi massal yang tidak nyaman. Setelah sadar tidak bisa menggantungkan diri pada penjualan satu per satu perhiasan Mama yang dulu kusembunyikan saat penyitaan, aku kemudian bekerja paruh waktu di malam hari. Jam tidurku hanya sedikit. Aku terbiasa mencuri sedikit waktu di antara pergantian mata kuliah untuk memejamkan mata. Dan kuliah kedokteran dengan cara seperti itu tidak mudah. Aku membawa textbook dan mengerjakan tugas di kafe 24 jam tempatku bekerja, saat pengunjung mulai sepi. Untung saja pemilik kafe dan teman kerja yang lain tidak keberatan. Mereka malah menyuruhku duduk saja di depan laptop ketika ada pengunjung datang, menggantikan aku melayani dengan sukarela.

Mita juga membuat kuliahku lebih mudah dengan selalu membayar uang semester kami bersamaan. Awalnya aku protes, tetapi kemudian diam saat dia marah dan bilang, "Hanya ini yang bisa kulakukan untuk ego dan harga dirimu yang sebesar gunung itu, Ka. Jangan sampai hal konyol seperti ini bikin kamu berhenti kuliah. Kepalamu itu isinya otak semua. Kamu mau membuatnya berkarat dan jadi pelayan kafe selamanya?"

Sebelum pindah ke gang sempit, aku dan Mita bertetangga. Kami tinggal di kompleks yang sama sejak lahir. Orangtua kami yang bersahabat bahkan sepakat memberi nama yang mirip untuk kami. Jadi, selain kedua orangtuaku, Mita adalah orang yang paling awal kukenali dalam hidup.

Dia anak tunggal. Kami selalu bersekolah di tempat yang sama dan hubungan kami sudah seperti saudara. Kami sama-sama kuliah kedokteran, dan baru terpisah ketika mengambil program internship dan PTT, karena ditempatkan di provinsi berbeda. Dia hanya PTT selama dua tahun karena kemudian pendidikan spesialis. Sedangkan aku menambah waktu PTT untuk mengumpulkan uang. Biaya sekolah tidak sedikit. Dan meskipun Mita dan ayahnya menawarkan bantuan, aku tidak bisa menerimanya begitu saja. Utang budi dan utang uangku kepada mereka tidak akan pernah terbayarkan sampai aku mati. Aku tidak berencana terus menumpuknya

**

AKU mengempaskan tubuh di jok mobil Mita yang nyaman. Dia menjemputku dari klinik. Rencananya kami akan makan bersama sebelum dia mengantarku ke rumah sakit untuk jaga malam.

"Kamu mau bunuh diri dengan jadwal sepadat ini?" Mita berdecak kesal melihatku melempar tas besar berisi jas kotor dan baju ganti ke jok belakang. "Kalau lihat lingkaran hitam di mata kamu, sepertinya rencanamu berjalan lancar. Apa sekarang kita sudah bisa berburu kain kafannya? Atau kamu malah sudah beli? Aku nggak heran sih. Hidup kamu benar-benar terencana, kan?"

Aku berlagak tidak mendengar omelannya, pura-pura sibuk dengan saluran FM. "Lagunya enak, Mit," kataku setelah berhenti di saluran yang memutar lagu Ed Sheeran. Aku berharap Mita tidak menjadikan omelannya sepanjang lagu Eminem, bisa membuat telingaku berdenging.

Mita mencibir. "Enak untuk mengiringi pemakaman kamu?"

Harapan tinggal harapan. Dia tidak akan berhenti sebelum aku membahasnya. Aku kenal anak keras kepala di sebelahku ini.

"Jangan berlebihan." Aku terpaksa melayaninya. "Aku hanya ngebut kerja sampai pendaftaran spesialis dibuka. Untuk nambah biaya. Aku akan terkurung di rumah sakit begitu mulai sekolah."

"Biaya nggak pernah jadi masalah kalau kamu mau menerima bantuan Papa. Hei, jangan dipotong dulu. Anggap saja utang. Begitu mulai kerja, kamu bisa mencicilnya."

Aku menggeleng. "Aku sudah terlalu tua untuk terus bergantung sama kebaikan hati orangtuamu."

Mita menatapku kesal. "Kadang-kadang aku nggak suka kamu. Beneran."

Aku meringis, mencoba melunakkan hatinya. "Aku nggak menyalahkan kamu kok. Aku juga nggak terlalu suka diriku sendiri."

Aku tahu Mita hanya bergurau. Dia tidak pernah benar-benar bisa membenciku meskipun terus mengulang kalimat yang sama ratusan kali sehari. Kami sudah ditakdirkan menjadi sahabat.

Mita mendesah. Dia tahu tak akan memenangi perdebatan denganku. "Mau makan apa? Kamu terlihat kayak tusuk sate sekarang."

Aku melarikan pandangan di kaca spion. "Tusuk sate bermata panda? Aku beneran secantik itu?"

Mita berlebihan soal mata Panda. Aku cukup istirahat. Jaga di klinik kecil berbeda dengan jaga di IGD rumah sakit. Tidak terlalu banyak pasien yang datang. Aku menggunakan waktu luang untuk tidur.

Aku meraih tas Mita dan mengeluarkan kotak make up dari situ. Dia ini seperti model yang menyaru dokter. Tidak percaya diri tanpa kotak make up-nya ke mana-mana. Aku tadi sudah mandi dan membersihkan wajah, hanya belum sempat berhias. Aku punya tas make up sendiri. Berisi pembersih, krim wajah, bedak, lipstik, dan eye liner. Namun menggunakan peralatan Mita jelas pilihan bagus. Lebih lengkap dan tentu saja kualitasnya jauh lebih bagus.

"Bagaimana kalau kita ke salon dulu?" usul Mita. "Kamu beneran butuh salon. Alismu sudah mirip semak belukar."

Aku menghentikan gerakan memulas bedak dan mengamati wajahku. "Alisku baik-baik saja. Kita nggak punya banyak waktu, Mit. Aku sudah harus sampai di rumah sakit beberapa jam lagi. Aku lebih khawatir soal lambung daripada alisku sekarang."

Mita tertawa. "Oh ya, luangkan waktumu hari minggu. Keluarga Dewa akan datang melamar."

Aku merasa tanganku membeku sesaat, sebelum mulai bergetar. Aku buru-buru menutupinya dengan sibuk mengemasi peralatan make up Mita yang tadi kubongkar. Aku mengembuskan napas pelan-pelan melalui mulut agar desahanku tidak terdengar Mita. Aku tidak ingin dia curiga dengan tanggapanku.

"Bukannya acara lamaran hanya dihadiri oleh keluarga inti saja?" Aku harus mencari cara menghindar. Tidak, aku tidak bisa hadir di acara itu. Memikirkannya saja aku sudah merasa mulas.

"Kamu termasuk keluarga inti. Mama sudah ngasih tahu Tante Gita."

Mama tidak bilang apa-apa tentang acara pelamaran Mita. Namun, sulit membuat Mama mengalihkan perhatian dari pot-pot bunganya. Satu-satunya tempat di mana dia merasa nyaman.

"Jam berapa?" tanyaku enggan.

"Jam sepuluh." Mita tampak bersemangat.

"Jam segitu aku nggak bisa, Mit." Aku harus mencari alasan. Aku sungguh tidak mau berada di sana. "Aku sudah janji mau tukaran jaga dengan dokter di klinik yang jaga pagi. Aku akan ke rumahmu selepas jaga." Aku tidak suka harus bohong, tetapi aku tidak punya pilihan.

Mita cemberut. "Kamu kan belum belum pernah ketemu Dewa, Ka. Aku mau kalian kenalan."

Ide itu membuatku sesak. Aku segera menurunkan kaca jendela. Membiarkan udara malam masuk. Mengisi paru-paruku sepenuh yang kubisa, berharap itu menenangkanku. Namun tidak, tanganku masih bergetar.

"Kami pasti akan bertemu juga. Dia akan menikah dengan kamu, kan?" Kalau aku punya daftar hari terburuk dalam hidupku, hari saat aku mengetahui siapa yang akan menjadi calon pendamping Mita pasti masuk salah satu di antaranya.

Tidak, bukan karena aku juga mencintai pria yang sama. Bukan karena itu. Seperti kata Mita, aku bahkan belum pernah bertemu dengannya. Atau dengan salah seorang dari anggota keluarga itu. Bukan aku. Seseorang yang dekat dengan denganku, adikku, yang punya sejarah dengan mereka. Mita tahu ceritanya, dia hanya tidak tahu siapa orang yang ikut disumpahinya itu. Waktu itu kami terpisah karena PTT. Dan aku tidak ingin mengatakannya setelah tahu bahwa orang-orang yang kuhindari itu akan menjadi bagian keluarganya.

"Kalau begitu, kita akan makan malam bertiga setelah acara pertunangan. Waktunya kita sesuaikan dengan jadwal jaga kita berdua. Aku juga agak sibuk akhir-akhir ini. Bagaimana?"

Itu lebih buruk lagi. Duduk semeja sambil tersenyum palsu pasti menyiksa.

"Jangan dipaksakan kalau sibuk," jawabku tergesa. "Nanti juga kami pasti ketemu. Hanya masalah waktu. Aku juga jaga setiap hari."

"Kamu kan libur jaga sabtu minggu, Ka. Kita ketemunya di hari itu saja." Mita seperti menutup jalanku.

"Iya deh." Lebih mudah menyetujui dan memutus percakapan ini.

"Kamu tahu, Ka, aku skeptis lho, saat Papa minta aku kenalan dengan Dewa," Mita rupanya tidak mengerti keinginanku mengakhiri topik itu. "Maksudku, menemukan laki-laki melalui orangtua itu kan seperti mimpi buruk. Aku nggak nyangka saja kalau akhirnya kami bisa cocok."

Mita sudah mengisahkan cerita itu lebih dari lima kali. Dengan berseri-seri. Sebelum mengetahui siapa pria itu, aku sangat antusias membahasnya. Bayangkan, Mita yang antrean pacarnya mengular dan tidak pernah menganggap serius hubungan itu ternyata malah berakhir pada pria yang dikenalkan ayahnya.

Namun sekarang aku tidak nyaman membicarakannya. Aku seperti terjebak antara Mita dan kebencianku. Itu melelahkan. Aku mengalihkan pandangan keluar jendela yang masih terbuka. Aku harap tidak perlu berada di sini sekarang. Jauh lebih menyenangkan berdiri pegal berjam-jam di IGD melayani pasien daripada membicarakan laki-laki calon tunangan Mita dan keluarganya.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top