Empat
Ada yang ngikutin Ben-Becca? Itu akan di-update kalau vomen-nya cukup, ya. Kemaren seret banget. Oke, sementara baca yang ini dulu. Hepi reding en lope-lope yu ol, Gaess...
**
AKU tentu saja tidak naik ke atap keesokkan harinya. Kuakui kalau aku memang sedikit penasaran. Namun menemuinya sama saja dengan mengatakan jika aku juga tertarik padanya. Aku tidak punya banyak kisah cinta dalam hidupku, tetapi aku tahu laki-laki itu tertarik, atau paling tidak, penasaran denganku. Kata-katanya jelas menunjukkan perasaan itu.
Oke, aku mungkin terdengar terlalu percaya diri. Aku tidak mendapat gen kecantikan yang dominan dari Mama, meskipun juga tidak jelek. Aku mungkin akan terlihat menarik kalau punya beberapa kilogram cadangan lemak yang bisa dipakai untuk menyumpal dada, pinggul, dan bokong, supaya bisa menyerupai tusuk sate yang seksi. Dan laki-laki yang kujumpai di atap itu sangat tampan. Aku tidak akan menganggapnya artis kalau dia jelek. Dia mungkin sekadar iseng. Mengisi waktu luang menunggui keluarganya yang sakit dengan mengusili dokter kesepian yang tampak menyedihkan di atap rumah sakit.
Jadi aku menunggu beberapa hari untuk kembali ke markasku di atas atap. Aku bertemu dengannya kamis malam. Jumat aku tidak ke atap. Sabtu minggu aku libur jaga. Hari selasa aku kembali. Menurut perhitunganku, dia tidak akan berada di sana lagi. Kecuali kalau keluarga yang ditungguinya butuh perawatan intensif yang lama.
Meskipun sudah menduga, aku sedikit kecewa ketika tidak menjumpainya di atap. Ya, munafik memang. Aku tahu persis mengapa bersikap seperti itu. Karena aku belum siap terikat dalam hubungan asmara. Menjelaskan diri dan keluargaku kepada orang lain akan sulit kulakuan, mengingat sikap sinisku. Menempatkan diriku di antara seorang laki-laki dan Mama tidak akan mudah. Keduanya pasti akan sama-sama menuntut perhatianku. Dan aku juga masih ingin melanjutkan pendidikan.
Mama tidak pernah bisa lagi diajak bicara yang berat-berat sejak kepergian Ayah, dan aku tidak ingin memaksanya. Namun, aku selalu berpikir kalau keadaan Mama akan jauh lebih baik jika kondisi ekonomi kami stabil. Cara mendapatkan kestabilan itu hanya satu. Menjadi dokter spesialis.
Orang-orang selalu beranggapan jika dokter adalah profesi yang menjanjikan uang berlimpah. Itu tidak sepenuhnya benar, meski juga tidak bisa dibilang salah. Kamu otomatis akan menjadi dokter yang kaya setelah menyelesaikan pendidikan dokter kalau kamu berasal dari keluarga kaya raya. Jadi kekayaanmu berasal dari uang orangtua dan bukan dari penghasilanmu sebagai dokter. Namun bila kamu berasal dari keluarga dengan status ekonomi yang ngos-ngosan seperti aku, jalan untuk meraih tumpukan uang itu sangat jauh. Begini jalurnya: normalnya, kamu harus kuliah paling cepat empat tahun untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran. Empat tahun yang melelahkan dengan hafalan yang bisa membuatmu mual bahkan muntah-muntah, terutama untuk orang yang punya kelemahan mengingat. Untung saja aku tidak termasuk kategori itu. Selesai empat tahun itu, kamu harus menjalani program co-ass yang berarti praktik kerja di semua bagian rumah sakit selama dua tahun. Sebagai arti harfiah dari co-ass, yaitu asisten pembantu (ya, sudah asisten, pembantu pula), maka itu adalah saat di mana hak asasi sebagai manusia resmi dicabut. Masa telinga secara alami menebal karena teriakan, omelan, dan caci maki dari dokter umum, residen, dokter spesialis, dan para professor. Di mana kesabaran perlahan menjadi ketabahan dan akhirnya menjelma menjadi kepasrahan.
Selamat dari neraka dua tahun itu, barulah gelar keramat 'dr' bisa menghias awal nama. Akan tetapi perjuangannya belum selesai di situ. Gelar yang sudah dipasang di depan nama itu belum bisa dipakai untuk melayani pasien. Masih ada masa magang selama satu tahun di rumah sakit dan puskesmas sebelum akhirnya surat sakti yang bernama Surat Tanda Registrasi yang menyatakan bahwa kamu akhirnya sudah kompeten mendiagnosis dan menuliskan resep untuk pasien. Tempat magang ditentukan oleh Depatemen Kesehatan, dan biasanya di Indonesia Timur. Berapa jasa dokter magang dihargai pemerintah sebulan? Hanya dua juta lebih. Bahkan tidak cukup dipakai membiaya hidup sebulan untuk makan tiga kali sehari. Gaji itu baru sedikit layak setelah menjalani program PTT. Lebih tujuh juta rupiah. Ditambahkan dengan jasa medik dari pelayanan pasien di puskemas, bisalah disisihkan untuk ditabung ala kadarnya.
Jadi kapan seorang dokter bisa punya uang lebih? Saat telah menyelesaikan pendidikan spesialis. Pendidikan yang butuh biaya lumayan besar meskipun bisa mendapat beasiswa Departemen Kesehatan kalau tidak mampu membiayainya secara mandiri. Kabupaten dan kota di Indonesia bersaing memberikan insentif besar untuk menarik dokter spesialis supaya bekerja di wilayahnya. Di saat inilah kesempatan untuk mengumpulkan pundi-pundi dimulai. Dengan bekerja di tiga tempat setiap hari. Membanting tulang tak kenal waktu. Menjadi dokter tidaklah senyaman yang orang lain pikir. Kebanyakan dokter yang kukenal lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit daripada berada di rumah dengan keluarga.
Aku sudah berbaring di kursi panjangku dan baru saja hendak memejamkan mata ketika menyadari sebuah bayangan menghalangi pandanganku ke arah lampu. Hanya berubah siluet karena dia membelakangi lampu. Aku melompat seketika.
"Maaf bikin kamu kaget."
Dia datang! Laki-laki itu datang! Oke, sebaiknya euforiamu tidak berlebihan, Mika. Ya, dia datang, lalu apa? Dia hanya laki-laki iseng, yang –demi Tuhan- baru dua kali kamu temui dengan situasi yang tidak terlalu bagus. Berhenti mengibaskan ekor.
"Saya sulit kaget," ujarku norak. Semoga dia tidak menyadarinya. "Saya sudah menghabiskan hampir semua stok kaget yang saya miliki beberapa tahun lalu. Nggak terlalu banyak yang tersisa. Saya akan menggunakannya di momen istimewa."
Laki-laki tertawa. Tawa yang mulai terasa akrab. Dia berjalan menuju pagar pengaman dan bersandar di situ. Tepat di depanku. "Lucu. Oh ya, beberapa hari ini kamu nggak ke sini."
Bukannya aku tidak ingin. Hanya Tuhan yang tahu seberapa besar usaha yang kukerahkan untuk menahan kakiku supaya tidak menapak tangga menuju ke tempat ini. "Saya nggak pernah bilang akan datang setiap hari, kan?"
Dia memegang dada. "Auch, rasanya sakit."
Kurasa aku sedikit aneh saat menyadari kedua sudut bibirku tertarik membentuk senyum untuk lelucon segaring itu. "Ego sebesar itu nggak terlalu baik untuk kesehatan."
"Khusus untuk kamu, saya sudah mengempiskannya. Secara resmi, saya laki-laki murahan sekarang." Dia kembali tertawa. Suara yang terasa benar-benar akrab hanya dengan beberapa kali pertemuan. "Baiklah, itu tadi sedikit menjijikkan. Itu kalimat yang mungkin dipakai dalam film porno."
Senyumku makin lebar. "Bukannya semua laki-laki memang murahan?" Entah mengapa, aku mengikuti permainannya. Aku biasanya tidak ikutan konyol dan melayani percakapan absurd dengan orang asing.
"Kamu benar, Bu Dokter. Ketika bertemu wanita yang tepat, semua laki-laki akan jadi murahan dan meletakkan harga diri di telapak kaki."
Apakah dia ingin mengatakan bahwa aku tepat untuknya? Laki-laki ini pasti pernah memenangkan lomba menggombal tingkat dunia karena aku biasanya tidak melayani percakapan seperti ini. Dan ya, kurasa aku kini sama murahannya dengan dia. Hanya saja, dia tentu sekadar iseng.
Dari mana aku yakin dia iseng? Lihat saja penampilannya malam ini. OB sudah mengganti lampu itu dengan watt yang jauh lebih besar daripada sebelumnya, sehingga aku bisa melihat si Tuan Brand Ambassador merek terkenal ini. Dan orang seperti ini tertarik padaku yang mirip tusuk sate? Ayolah, kemungkinannya sama seperti aku terjun dari atap ini, mendarat dengan kedua kaki di bawah sana, dan langsung bisa ikut maraton. Mustahil.
Aku bahkan bisa membayangkan kasuk-kusuk orang-orang seandainya kami jalan berdua di keramaian sambil bergandengan tangan.
"Astaga, di mana laki-laki tampan itu mendapatkan pasangannya? Pasar loak?"
"Dia memang tampan tapi sepertinya punya masalah dengan penglihatan."
"Ayo kita hampiri perempuan kurus itu dan menanyakan alamat dukun peletnya."
"Ih, lucu ya, apa mereka pemeran film handsome and the beast?"
Sesuatu terasa menohok hati. Aku mengembuskan napas pelan-pelan melalui mulut. Ini mungkin percakapan menyenangkan, tetapi aku tahu ada batas untuk mimpi sekalipun. Aku tidak butuh laki-laki iseng dalam hidupku. Orang seperti ini jelas bukan jenis orang yang bisa kubawa pulang ke rumah untuk diperkenalkan kepada Mama yang menunjukkan wajah tertekan sepanjang waktu. Aku harus menyelamatkan diri. Orang pintar tahu kemampuannya. Tidak seharusnya menceburkan diri di laut pantai selatan padahal baru bisa mengapung di kolam yang diperuntukkan bagi balita.
"Saya harus turun sekarang," kataku sambil berjalan mundur.
"Ponselmu nggak bunyi," ujarnya. "Mereka akan memanggilmu kalau ada pasien, kan?" Dia melangkah maju ke arahku. "Apa saya salah ngomong? Kalau iya, saya minta maaf."
Kamu, dirimu yang salah. "Panggilan alam." Aku memegang perut, seolah-olah sedang menahan sesuatu yang hendak meledak.
Dia berada di depan lampu sehingga aku bisa melihatnya meringis. "Kandung kemih, ya? Kamu nanti balik ke sini? Saya belum mau turun."
Aku hanya memberinya seulas senyum sebelum berlalu. Aku melirik pergelangan tangan. Masih waktu untuk terlelap. Hanya saja, sebagian orang memang harus mengakhiri mimpi lebih awal. Dan sebagian orang itu termasuk aku.
**
TIDAK jauh dari rumah sakit ada sebuah kedai kopi yang tidak terlalu besar tetapi nyaman. Tempat yang kerap kudatangi untuk sarapan setelah jaga. Kopinya biasa saja. Aku suka roti isinya. Rotinya yang baru dipanggang masih hangat dan isiannya selalu segar.
Pagi ini, aroma itu membuatku memarkir motor dan masuk ke kedai itu. Setelah mengambil pesananku, aku menuju meja paling sudut di depan dinding kaca. Ini porsi sarapan yang sangat besar. Secangkir kopi dan tiga roti isi. Aku melewatkan makan malam karena pasien seperti mengalir. Ketika ada waktu luang, aku memanfaatkannya untuk menutup mata. Aku lebih butuh tidur daripada makan semalam. Jadi aku benar-benar kelaparan sekarang.
Aku menyesap kopi dan mendesah nyaman saat cairan panas itu mengaliri kerongkongan dan menyisakan hangat di lambung. Aku mengunyah pelan-pelan. Ponsel kukeluarkan dari tas dan mulai membaca pesan-pesan yang masuk. Semua dari Mita. Ya, mau dari siapa lagi? Kehidupan sosialku tidak bisa dibanggakan.
Pertunangannya sudah diadakan hari minggu lalu. Aku datang ketika keluarga calon mempelai pria sudah pulang. Mita menawariku melihat foto-foto yang ada di kameranya, tetapi aku pura-pura tidak mendengar dan memilih sibuk dengan berbagai makanan di atas meja. Aku belum siap. Berkenalan dengan keluarga calon suami Mita, meskipun hanya melalui foto, itu langkah yang luar biasa. Nyaliku belum cukup besar untuk menghadapi kenyataan seperti itu.
Aku membalas pesan Mita, tidak mengharapkan jawaban karena dia pasti sibuk visit pasien. Pagi hari adalah mimpi buruk seorang residen.
"Hei!" Seseorang yang kini mengambil tempat di depanku hampir membuatku menjatuhkan roti isiku karena kaget. Dia! Laki-laki itu. Orang yang membuatku harus menahan gatal di telapak kaki karena ingin berlari ke atap. "Aku tadi melihatmu masuk ke sini dan aku menyusul," sambungnya menjelaskan. Dia mengganti sebutan 'saya' menjadi 'aku' yang lebih akrab.
Tentu saja dia mampir ke sini karena melihatku lebih dulu. Ini bukan kedai kopi yang akan dia datangi jika ingin secangkir kopi luwak asli. "Untuk apa?" Aku berusaha terdengar tidak peduli dan kembali menyuap.
"Tiga hari ini kamu nggak ke atap." Dia seperti kebal dengan sikap dingin yang kutunjukkan.
Jadi dia ke sana setiap malam. "Kamar jaga lebih hangat. Selimutnya memang tipis, tapi kasurnya lumayan."
"Tunggu sebentar." Laki-laki itu mengeluarkan ponsel bermerk apel yang tidak utuh lagi. Wajahnya terlihat serius. Aku menatapnya saksama. Rambut lurusnya dipotong rapi meskipun tidak terlalu pendek. Alisnya tebal. Bulu matanya terlalu panjang untuk ukuran laki-laki, tetapi kelihatan cocok untuknya. Aku buru-buru menunduk saat mendengarnya bicara. Matanya masih terpaku di ponsel yang sedang dipegangnya. Dia seperti sedang mencari sesuatu. "Ini dia!" Dia mendorong dan menunjukkan layar itu kepadaku. "Waktu melihat ini, aku teringat padamu."
Itu gambar sofa panjang empuk, yang kelihatannya nyaman sekali untuk ditempati berbaring. Aku menelan ludah saat melihat keterangan gambar. Tiga puluh juta. Orang bodoh macam apa yang mau membeli barang seperti ini dengan harga Tiga puluh juta? Ah, aku tahu. Orang bodoh seperti di depanku ini! Orang bodoh yang tengah menatapku dengan wajah berseri.
"Bagus." Aku mengerutkan bibir, mencoba terlihat tidak tertarik.
"Ini bisa disetel. Jadi, kalau kamu mau bersandar nyaman, tinggal disesuaikan saja. Sempurna untuk atapmu, kan?"
"Apa?" Aku hampir menyemburkan kopiku. Orang ini sudah gila?
"Aku akan pesan satu untuk kamu. Kita juga harus memasang tenda untuk melindungi sofanya dan kamu dari hujan atau panas. Bagaimana?"
Aku melongo. Dia benar-benar gila! Laki-laki ini bicara seolah kami sedang membahas renovasi atap rumah milikku. "Kamu baik-baik saja?" Aku sungguh-sungguh dengan pertanyaan itu. Dia orang asing. Dan sepasang orang asing tidak bicara seperti ini. Orang asing tidak memikirkan soal punggungku yang sakit karena beradu dengan kursi kayu.
"Apa?" Ganti dia yang menatapku dengan kening berkerut.
Aku merasa jantungku jatuh ditatap seperti itu. Aku berdeham. "Ehm...kamu nggak bisa memesan sofa itu dan memasangnya di atap untuk saya."
"Kenapa?" Dahinya makin berkerut, seolah jawabanku tidak masuk akal.
"Kenapa?" Suaraku naik dua oktaf. Jadi dia benar-benar gila dan sebodoh yang tadi kupikir? Salahku karena mengharapkan kesempurnaan. Tidak ada yang benar-benar tanpa cela di dunia ini. Dia memang tampan dan kaya, tetapi otaknya pasti sekecil kacang polong. Tuhan maha adil. "Karena saya nggak akan menerima pemberian dari orang asing. Karena itu bukan atap saya. Apa itu terdengar masuk akal?"
Tatapan laki-laki itu sekarang mengandung protes. "Kita bukan orang asing. Kita sudah kenalan. Dan atap itu bisa dianggap milikmu karena hanya kamu yang biasa nongkrong di sana. Kamu bekerja di sana."
"Hanya sementara," sambutku ketus.
"Apanya yang sementara?" Dia terus mengejar, tidak terpengaruh air mukaku yang pasti sudah tidak ramah lagi.
"Saya bekerja di sana hanya sementara." Kenapa aku harus mengatakan hal seperti ini pada orang asing?
"Apa? Kamu mau pindah? Mengapa? Ke mana? Kapan?" Dia menggunakan hampir semua kata tanya yang ada dalam bahasa Indonesia secara bersamaan. Berlebihan. Bagaimana mungkin aku merasa tertarik dengan orang seperti ini? Tidak masuk akal.
Aku tidak akan menjelaskan rencana-rencanaku kepada orang asing, betapa pun menariknya dia. Aku mendesah, dan menyodorkan piring roti isiku. Selera makanku sudah lenyap. "Ini enak." Aku mengawasinya mengambil setangkup tanpa ragu. "Mau saya pesankan kopi?" Mungkin kafein bisa mengembalikan kewarasannya.
Dia mengangguk. "Aku suka yang pahit pagi hari."
Aku berdiri dan pergi memesan kopi untuknya. Ketika kembali di meja, aku melihatnya sibuk dengan... ponselku. Hebat. Dia gila, bodoh, dan tidak menghargai privasi orang lain. Aku berusaha terus mengumpulkan sisi negatif yang bisa kutemukan. Berusaha membuat jantungku mengerti supaya tidak berdetak lebih cepat untuk orang yang salah.
"Kamu sudah punya nomorku." Dia meletakkan ponselku kembali di depanku. "Pastikan menjawab kalau kutelepon, ya."
Ini mulai menakutkan. Aku kembali menatap laki-laki yang mulai menyesap kopinya dengan santai itu.
"Di mana alamat rumah sakit jiwa yang merawatmu? Saya harus mengembalikan kamu ke sana."
Laki-laki itu tergelak. "Hei, aku murahan, tapi nggak gila."
"Yang kamu bicarakan dengan sofa dan atap itu lebih terdengar lebih gila daripada murahan." Aku mencondongkan tubuh mendekat padanya. "Tolong hentikan. Aku nggak akan ke atap lagi kalau kamu benar-benar memasang sofa itu di sana."
"Astaga," ujarnya sambil menepuk kening. "Aku berlebihan, ya? Tapi aku benar-benar teringat padamu dan atap itu saat melihat sofa tadi. Ya ampun, aku pasti terlihat seperti maniak yang terobsesi. Maaf sudah membuatmu ketakutan. Sekadar informasi, itu bukan kebiasaanku. Aku biasanya nggak berusaha terlalu keras untuk menarik perhatian seseorang."
Aku melirik pergelangan tangan, memberi kesan terburu-buru. "Karena kamu sudah normal, saya harus pulang untuk tidur sekarang."
Dia terlihat enggan saat menyusulku berdiri. "Kita bertemu lagi nanti malam di atap?"
Wajah itu terlihat berharap. Laki-laki iseng yang memohon. Mungkin tidak ada salahnya ikut iseng sesekali. Mengikuti kata hati. Hanya perlu meyakinkan untuk tidak hanyut dan terbawa gelombang, kan? Sepertinya tidak terlalu sulit. Ya, iseng tidak terdengar terlalu buruk. "Oke, di atas atap. Tapi saya nggak bisa menentukan waktunya. Tergantung pasien."
"Aku akan ada di sana." Laki-laki itu tersenyum lebar.
Ini hanya iseng. Kami hanya dua orang yang bosan dan sedang iseng. Tidak lebih. Ya, siapa yang mau kubohongi? Aku mengiyakan karena ingin melihatnya lagi. Ingin bertemu dengannya. Lihat, siapa yang murahan sekarang?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top