Bintang dan komennya hilang semua waktu aku unpublish kemaren. Jadi, buat yang baca, tolong tinggalin jejak dong. Makasih.
**
ATAP gedung rumah sakit ini seperti milikku. Setidaknya, di waktu malam sampai subuh, karena di jam seperti itulah aku berada di sini. Aku bahkan meminta OB menempatkan sebuah kursi kayu panjang yang bisa kupakai berbaring di sela-sela kesibukan melayani pasien. Menyenangkan telentang mengawasi pendar di langit, seperti yang kulakukan sekarang. Aku mengulurkan telunjuk menyambungkan rasi bintang layang-layang yang tampak terang.
Baiklah, aku akan membuat pengakuan. Menjauhi keluarga calon suami Mita itu tidak sepenuhnya benar. Aku penasaran kepada mereka. Aku ingin tahu orang seperti apa mereka, meskipun tidak ingin berhubungan. Aku dengan sengaja, tanpa sepengetahuan ayah Mita, menggunakan dirinya untuk membuatku bisa mengamati keluarga itu. Ya, rumah sakit yang kutempati bekerja ini adalah milik keluarga calon tunangan Mita. Milik keluarga laki-laki yang telah menghancurkan kehidupan adik kesayanganku. Dhesa.
Aku tidak merencanakan pembalasan dendam. Aku tidak tahu bagaimana harus melakukan hal seperti itu. Aku hanya ingin tahu bagaimana rupa orang-orang yang berperilaku mengerikan itu. Hanya saja, keingintahuan itu lenyap pada minggu pertama aku mulai bekerja, saat mengetahui hubungan Mita dengan anak sulung keluarga pemilik rumah sakit ini.
Aku tidak pernah membayangkan akan benar-benar berinteraksi dengan keluarga calon tunangan Mita, karena itulah aku memutuskan mengambil sif malam. Jadwal jaga yang tidak disukai kebanyakan orang. Aku menghindari kemungkinan bertemu mereka, karena kedua orangtua laki-laki yang menyakiti Dhesa –calon mertua Mita- bekerja di rumah sakit ini juga. Sebagai dokter. Akan tetapi, sampai sekarang aku belum pernah bertatap muka. Mereka pemilik rumah sakit ini, sudah pasti mengambil waktu kerja normal di pagi sampai siang hari.
Aku belum lama memulai program PTT ketika Dhesa menghubungiku dengan tangis. Dia hamil. Laki-laki itu teman kuliahnya. Katanya mereka saling mencintai. Dan awalnya laki-laki itu mau bertanggung jawab. Awalnya, sebelum keluarganya masuk di antara mereka.
"Ibunya menemui aku, Kak," kata Dhesa di sela isak. "Dia meragukan aku mengandung janin anaknya. Katanya, Robby terlalu muda untuk menikah. Dia menawarkan uang membiayai kehamilanku. Ibu Robby nggak suruh aku menggugurkannya. Dia bilang, kalau tes DNA setelah bayi ini lahir terbukti kalau dia benar cucunya, mereka akan mengambil bayinya. Memangnya mereka pikir aku apa? Batu yang nggak punya perasaan? Kak, aku takut."
Aku tidak punya pilihan selain menyuruh Dhesa menyusulku ke Buton. Mama terlalu rapuh untuk berita sebesar itu. Adikku yang malang. Kehamilan yang tidak direncanakan membuatnya menutup diri. Usahaku membuka tabir kesedihannya tidak pernah benar-benar berhasil. Dia bisa saja tersenyum di pagi hari, tetapi aku akan mendengarnya terisak-isak saat dia mengira aku sudah terlelap di malam hari.
Kondisi mental Dhesa memburuk setelah kelahiran bayi mungilnya. Keponakanku. Awalnya aku pikir itu hanya sindrom baby blues yang perlahan-lahan akan teratasi. Ternyata lebih parah. Dia mengalami post partum depression. Aku harus menyewa seorang asisten rumah tangga hanya untuk mengawasi dan memastikan kalau Dhesa tidak akan menyakiti bayi atau dirinya sendiri saat aku sedang bekerja.
Aku seorang dokter. Meskipun tidak mendalami kejiwaan, aku cukup familier dengan penyakit itu. Beberapa kali aku melayani bayi yang dianiaya ibu yang menderita depresi semacam itu. Kondisi Dhesa waktu itu sangat parah. Aku sedang mengurus cuti untuk membawanya kembali ke Jakarta, mencari pertolongan ahli untuk memulai terapi ketika Dhesa membawa bayinya ke pantai, di depan perumahan puskesmas tempat tinggal kami.
Sore itu aku sedang mandi. Teriakan penjaga Dhesa yang menyadari hilangnya adikku dan bayinya sudah terlambat. Terlambat beberapa menit. Aku bahkan masih bisa melihat punggungnya yang perlahan masuk ke dalam air saat berlari menyusulnya, tetapi aku tidak berhasil. Itu kegagalan terbesarku sebagai kakak. Aku melihat adikku dan bayinya kembali ke darat tanpa nyawa. Mengerikan. Aku tidak bisa tertidur berhari-hari bahkan setelah mereka dikebumikan. Menyusun ulang skenario pengandaian yang aku tahu sia-sia, tetapi tetap melakukannya. Andai aku tidak mandi sampai penjaga Dhesa menyelesaikan cuciannya, andai penjaga Dhesa tidak mencuci, andai....
Memakamkan Dhesa dan bayinya sulit. Namun lebih sulit lagi mengatakan kepada Mama kalau dia telah kehilangan anak gadisnya. Aku tidak pernah menyebut-nyebut soal kehamilan itu. Mama meninggalkan aku yang masih bersimbah air mata setelah mengarang cerita tentang sakit malaria yang menyerang Dhesa. Tubuhnya tampak tegang. Dan dia mengurung diri di antara pot-pot bunganya, menyiram kembali bunga yang baru selesai disiramnya. Mama hanya menatapku hampa ketika aku meminta izin kembali ke Buton.
"Namanya Robby," kata Dhesa dulu. "Orangtuanya punya rumah sakit." Dan aku terus mengingat nama orang-orang serta rumah sakit itu. Bertekad untuk tahu seperti apa rupa orang-orang yang membuatku kehilangan adik dan keponakanku.
**
AKU terbangun oleh getaran yang dikirim ponselku. Tanpa bangkit dari posisi telentang, aku merogoh saku jas panjangku. Bukan panggilan untuk turun ke IGD, tetapi pesan provider. Sebelum memasukkan kembali ponsel itu ke saku, aku melihat jam. Aku tertidur setengah jam. Baru saja hendak memejamkan mata kembali, aku menyadari kalau aku tidak sendiri lagi di atap ini.
Aku melompat. Kantukku seketika lenyap. Di hadapanku, bersandar pada pagar pembatas, ada seorang pria yang sedang memandangiku. Sebelah kakinya ditekuk. Dia tampak santai sekali. Sial. Sudah berapa lama dia di sana?
Aku mengusap wajah. Mencoba menemukan belekan dan mungkin sisa liur yang membentuk pulau di pipiku. Mungkin tidak akan terlihat jelas karena lampu di dekat pintu sudah meredup minta diganti yang baru, tetapi berhadapan dengan seseorang saat baru bangun tidur bukan sesuatu yang kusukai.
Aku tidak berniat menegur orang itu. Aku bukan orang yang suka basa-basi. Ini juga bukan atapku. Aku tidak bisa mempertanyakan keberadaan siapa pun di sini. Aku lalu melepas ikat rambut yang sudah melorot, menyisir rambut ala kadarnya dengan jari-jari sebelum mengucirnya kembali. Aku membalikkan badan, bermaksud turun. Aku akan melanjutkan tidur di ruang jaga kalau tidak ada yang membangunkan untuk melayani pasien.
"Hei," suara itu menghentikan langkahku. "Nyenyak tidurnya?"
Aku berbalik. Dia pasti bicara denganku karena tidak ada orang lain di sini. Aku menatap orang asing itu. Wajahnya tidak begitu jelas, tetapi dia terlihat menarik dengan pose seperti itu. Aku menimbang-nimbang, lalu mengangkat bahu. Aku benar-benar sedang malas bicara, apalagi kepada orang asing. Aku kembali berbalik dan mengambil langkah panjang-panjang.
"Hei!"
Langkahku setengah berlari. Bagaimana kalau dia orang jahat? Aku harus mencapai lift sebelum suara langkahnya yang menyusulku benar-benar bisa menahanku. Sial, mengapa liftnya tidak langsung membuka?
"Saya bukan orang jahat." Laki-laki itu berhasil menyusupkan tubuhnya persis sebelum lift menutup. Dia seperti bisa membaca pikiranku. Kami berada di ruang kecil yang tertutup itu sekarang. Hanya berdua. Bukan kabar bagus untuk keselamatanku kalau dia benar jahat seperti yang kupikir. Dia memang bilang kalau dia bukan orang jahat. Akan tetapi, mana ada penjahat di dunia ini yang mengaku?
"Apa saya terlihat seperti penjahat?"
Aku spontan menoleh untuk melihatnya. Cahaya lampu yang terang membuat dia kini terlihat jelas. Dia juga sedang menatapku. Aku tidak suka menilai orang saat pertemuan pertama, tetapi caranya memandangku sungguh menjengkelkan. Dia seperti sedang menilaiku. Matanya menyipit dan keningnya berkerut. Kalau dia benar penjahat, dia menjadi penjahat paling tampan dan menyebalkan yang pernah kulihat dengan mata kepala sendiri.
Aku meloloskan pandangan. Menunduk dan mencoba mengingat-ingat satu dua jurus melumpuhkan penjahat yang pernah aku pelajari ketika ikut ekstrakurikuler taekwondo di SMU. Tidak banyak yang bisa kuingat. Namun intinya masih terngiang. Arahkan serangan pada alat vitalnya. Itu kelemahan laki-laki.
Kalau dia penjahat kelamin lebih baik buat supaya dia impoten sekalian. Pastikan burungnya tidak akan keluar dari sangkar untuk selamanya.
"Kamu nggak bisu, kan?"
Aku tidak akan terpancing. Aku menjauh dan bersandar pada dinding lift. Terus melihat ke arah kaki laki-laki itu. Kalau dia bergerak mendekat, jurus membabi-butaku akan segera makan korban. Memikirkan hal itu adrenalinku sedikit meningkat. Aku bersiap untuk pertarungan pertamaku.
"Baiklah, ini mulai canggung," kata laki-laki itu lagi. "Kamu bisa berhenti pura-pura nggak kenal saya sekarang."
Hah? Aku mengangkat wajah. Apakah aku harus mengenalnya? Apakah dia seorang penjahat terkenal dan bangga dengan hal itu? Tunggu dulu, tidak ada penjahat yang berkeliaran mengenalkan diri pada orang-orang kecuali dia gila. Aku kembali menatap wajah itu dengan saksama. Atau dia artis? Itu lebih masuk akal karena dia berharap semua orang mengenalnya. Ckckck... orang ini pasti artis paling narsis yang pernah hidup.
Pandanganku beralih pada pakaian yang dikenakannya. Ya, dia pasti artis. Dia terlihat seperti brand ambassador merek pakaian dan jam tangan terkenal.
"Maaf kalau bikin kamu kecewa, tapi saya nggak punya waktu untuk nonton sinetron" Akhirnya kuputuskan melayaninya, supaya dia tidak merasa kalau semua orang wajib mengenalinya.
Kening laki-laki itu makin berkerut. Dia terlihat sedikit kebingungan. "Ternyata kamu nggak bisu." Nada sarkastisnya jelas sekali. Dia melihat jas putih yang aku kenakan. Berapa persen kemungkinan seorang dokter bisu? "Saya nggak main sinetron," sambungnya.
Kalau begitu dia pasti aktor sombong yang menganggap layar kaca terlalu kecil untuk memuat egonya. "Saya juga nggak ke bioskop."
"Kamu beneran nggak kenal saya?" Nadanya makin heran, setengah tidak percaya.
Ini menjengkelkan. Tadinya aku sudah bersyukur saat yakin dia bukan penjahat. Sekarang aku merasa menendang alat vitalnya jauh lebih menyenangkan daripada bermain 'Tebak Siapa Aku' dengan artis sombong yang merasa terkenal.
"Dengar," kataku pelan dan tajam. "Saya nggak peduli kamu itu berakting untuk iklan balsam urut atau nggak main sinetron kecuali layar lebar. Itu bukan urusan saya. Berhenti mengajak saya bicara."
"Apa, iklan balsam urut?" Suara pria itu meninggi. "Yang benar saja!"
Benar, kan? Dia butuh satu ruangan besar untuk menampung egonya. Sesuatu berkelebat dalam benakku. Sudah lama aku tidak bersenang-senang. Kehidupanku yang mirip roller coaster sejak tamat SMU membuatku berubah dari gadis periang menjadi pribadi yang sinis. Ketika hampir semua orang meninggalkanku karena merasa akan menjadi beban, sulit untuk terus positif. Aku kemudian menganut cara berpikir orang-orang itu. Kalau seseorang mendekatiku, aku akan menduga-duga keuntungan apa yang dia harapkan dengan melakukan hal itu.
Baiklah, aku akan memberi sedikit pelajaran kepada aktor salah urus ini. Mengempiskan sedikit egonya. Atau menghancurkannya sekalian. Bayaran karena sudah mengganggu tidurku. Aku mengalihkan pandangan perlahan, dengan kentara dan sengaja dari wajahnya dan menyusur tubuhnya. Kemudian berhenti di alat vitalnya. Berlama-lama di situ. Organ yang tadi menjadi obsesi ujung kakiku seandainya dia penjahat. Cukup lama untuk membuatnya jengah dan mulai berpikir bahwa aku seorang yang cabul.
"Saya bahkan nggak peduli kalau kamu spesialis film porno sekalipun." Persis setelah itu pintu lift terbuka dan beberapa orang masuk Aku segera meloloskan diri dan menyelinap keluar. Aku menuju tangga setelah meyakinkan diri dia tidak mengikutiku. Ini baru lantai empat. Aku akan ke bawah menggunakan tangga saja. Tidak urung aku tersenyum saat mengingat kejadian tadi. Seharusnya aku tadi melihat ekspresinya. Pasti lebih menyenangkan.
Aku hampir melupakan aktor porno itu setelah kembali di IGD dan sibuk melayani pasien. Pasien mesum. Malamku benar-benar rusak. Sepasang kekasih yang sama-sama memasang beraneka perhiasan –entah mengapa, aku juga heran-- di lidah, tidak bisa saling melepaskan ketika mereka sedang bersilat lidah. Bersilat lidah di sini bukan kiasan. Harfiah. Mereka saling mengadu lidah dan perhiasan di dalam mulut mereka saling menyangkut. Melihat kondisi pakaian mereka yang seadanya, aku rasa bersilat lidah hanya sebagian kecil dari permainan yang mereka lakukan.
Itu kondisi yang memalukan. Butuh sedikit waktu dan banyak air liur yang menetes sebelum aku berhasil memisahkan lidah-lidah yang aku yakin pasti pegal.
"Pilihannya cuma dua kalau tidak ingin kejadian ini terulang lagi," kataku setelah selesai memisahkan lidah yang saling menyayangi itu. "Jangan ulangi adegan tadi atau lepaskan semua tindikan itu. Tapi itu keputusan yang harus kalian buat sendiri. Saya tidak akan memberi saran."
Perawat yang sejak tadi berusaha menahan tawa di dekatku akhirnya meledakkan tawanya setelah kedua pasien tadi pergi. Dia mengedip. "Dokter Mika keren. Orang paling keren yang pernah saya temui. Hanya Dokter Mika yang bisa mengucapkan kalimat seperti tadi tanpa ekspresi apa pun." Gadis itu menjura. "Secara resmi, saya jadi penggemar Dokter Mika sekarang."
Aku hanya meringis. Jam kerjaku hampir usai dan aku memutuskan kembali ke ruang jaga setelah menyelesaikan rekam medik pasien yang kulayani tadi. Masih ada pasien lain, tetapi sementara dilayani dokter jaga lain. Setelah mencuci muka seadanya, aku meraih helm dan bergegas menuju tempat parkir.
Saat itulah aku kembali melihat aktor porno semalam. Dia juga menuju arah yang sama. Di bagian mobil. Aku buru-buru mengenakan helm. Memalukan kalau dia sampai mengenaliku. Dia mungkin datang untuk menjenguk kerabatnya, dan bisa jadi aku akan bertemu kembali dengannya. Pikiran itu membuatku tidak nyaman. Astaga, setelah apa yang kukatakan kepadanya, aku berharap kami tidak akan bertemu lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top