Bab Satu
"Gara-gara lo sih!" Pemuda berperawakan tinggi kurus itu menggerutu kepada salah satu temannya.
"Lah, kok gue?" Yang dituduh pun akhirnya angkat bicara.
"Udah napa sih. Kerjain, nggak usah misuh-misuh segala."
Abu, Red dan Tito. Tiga pemuda yang sama-sama berperawakan tinggi itu kini berada di dalam perpus. Dihukum karena ketahuan membolos saat jam pelajaran Pak Surya, guru matematika mereka.
Sebenarnya tak ada yang benar di antara mereka, semuanya salah. Namun Tito, adalah orang yang memang tidak mau disalahkan. Untungnya mereka sangat mengenali watak Tito ini, hingga pertengkaran kecil seperti ini tak membuat mereka pecah begitu saja.
Tito tetap menggerutu. Menendang rak buku di sampingnya hingga bergoyang. Kemudian mendapat jitakan sayang dari Red karena takut rak itu roboh dan riwayat mereka akan tamat.
Akhirnya mau tak mau mereka menjalankan hukuman mereka. Menata buku sesuai tempat lalu membersihkan perpustakaan dengan ukuran 11×6 meter ini. Memang, perpustakaan sekolah mereka sedikit luas.
"Eh, si Lufti sama si Andre ke mana?" Hingga pertanyaan dari Abu, sosok pemuda yang kini berada di ujung rak buku pertama ini keluar.
Sebenarnya yang berniat membolos ada lima orang. Dan mereka bertiga tertangkap karena kalah lincah dari dua teman mereka.
"Kampret emang! Tau gitu enggak usah bolos sekalian. Nambahin kerjaan aja." Lagi dan lagi Tito menggerutu. Sebal pada Lufti dan Andre yang bisa membolos dengan mulus.
"Lah, yang nyuruh lo bolos sama kita itu enggak ada, bego. Pinter dikit napa." Dan Red dengan mulut sedikit pedasnya berkata.
Tito terdiam. Benar juga apa yang Red katakan. Tak ada yang menyuruhnya untuk membolos. Jadi untuk apa dia marah-marah tak jelas seperti ini? Memang dasar watak Tito yang keras dan emosional. Sama seperti Red. Namun Red tak separah Tito.
"Assalamualaikum." Mereka menoleh begitu mendengar suara yang begitu familiar di telinga mereka.
Itu Lufti dan Andre. Mereka berdua datang dengan wajah seolah tak bersalah.
"Ketangkep juga lo?" Abu, sosok yang paling kalem bersuara. Dibalas anggukan polos oleh dua pemuda itu.
"Bantu sini. Biar cepet kelar."
Sibuk dengan kegiatan masing-masing, hingga mereka berenam tak mengeluarkan suara. Padahal dalam hati sama-sama menggerutu. Sebal sekaligus menyesal. Mereka memang jarang bolos. Bukan berarti mereka tipe anak rajin yang selalu patuh akan perintah guru. Mereka terkadang membangkang, terkadang penurut juga.
Hingga suara Tito yang memang lebih tegas dan lebih berat dari mereka, menggelegar. Untungnya perpus sedang sepi dan tak ada orang yang menjaga sejak mereka bertiga berada di sini. Jadi tak ada yang akan memarahi ketika mendengar suara nyaring Tito tadi.
"Apaan?" sahut Red malas.
Meski merasa malas karena masing-masing dari mereka berpisah dan harus mendekati Tito, tak ayal mereka tetap bergerak. Mencari tahu sesuatu apa yang bisa membuat Tito bersuara nyaring seperti tadi.
Sebuah koran, ada di tangan Tito. Seperti bukan koran biasa karena kertasnya yang mulai menguning. Itu koran lama.
"Elah koran lama do--" Ucapan Andre terpotong begitu seseorang merampas paksa koran itu dari tangan Tito. Mereka semua menoleh ke belakang. "Eh, Pak Samsul. Kirain siapa." Andre yang lebih dulu bersuara.
Sebenarnya mereka terkejut begitu tangan besar berwarna sawo matang dengan sigap merampas koran lama itu.
"Kalian ngapain di sini?" Suara dingin Pak Samsul terdengar. Membuat mereka berenam terdiam karena merasa suara Pak Samsul sedikit menyeramkan.
"Eh, Anu, Pak. Dihukum suruh bersihin perpus."
Pak Samsul diam. Memindai mereka berlima dengan mata tajamnya kemudian berlalu, dengan membawa koran lama itu. Membuat mereka menghela napas lega. Entah mengapa berhadapan dengan Pak Samsul lebih mengerikan dibanding berhadapan dengan Bu As, guru sejarah mereka yang dikenal sangat killer. Padahal Pak Samsul hanyalah tukang kebun di sekolah mereka.
Namun aura yang keluar dari tubuh Pak Samsul seakan membuat mereka takut. Apalagi mata tajamnya begitu melihat seseorang. Benar-benar menyeramkan.
"Heran aja sih kenapa Pak Samsul serem banget kek gitu," celetuk Tito sembari melanjutkan pekerjaannya, menata buku di rak pertama dan kedua.
Tanpa sadar, Abu mengangguk dari tempatnya berada, di rak ketiga. "Matanya dia yang serem, gue rasa."
"Herannya, kenapa enggak dia aja yang jadi Kepala Sekolah kita. Gue rasa lebih cocok. Soalnya anak-anak lebih segan ke dia daripada Pak KepSek." Mereka semua mengangguk, membenarkan.
"Apa dia titisan Madara ya?" Sesaat kemudian semuanya tertawa. Padahal Andre yang berbicara saja tak merasa ada yang lucu. Namun anehnya, ia tetap saja tertawa.
Dan tanpa mereka sadari, seseorang menyeringai di balik pintu perpustakaan.
Bersambung.
A/N: Halo. Kali ini saya bawa cerita misteri. Pertama kalinya bikin misteri semoga nggak gagal. Ah, iya. Bagi yang lebih paham tentang misteri, lalu di cerita ada kesalahan, langsung koreksi saja. Terima kasih.
El
221218
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top