Bab Empatpuluh Empat

Suara ketokan di pintu kamarnya membuat Abu menoleh. Menatap pintu sembari menebak-nebak siapa yang mengetuk pintunya. Tak lama, seorang pemuda muncul sembari membawa dua botol minuman. Itu Andrian, kakak Abu.

Tangan Abu terayun, dengan sigap menangkap botol yang kakaknya lempar. Kemudian tersenyum. Andrian pun turut tersenyum. Ia melangkah beberapa saat sebelum akhirnya memilih untuk duduk di samping Abu.

"Gue turut berduka cita," katanya.

Abu yang saat itu tengah meminum minuman botol yang kakaknya bawa menoleh tanpa melepaskan tautan bibirnya di botol minuman itu. Alisnya terkait, heran melihat sikap kakaknya yang tiba-tiba saja begitu peduli. Sebenarnya keanehan ini sudah lama terjadi dan Abu baru ingat akan hal itu.

"Makasih." Abu menanggapi hanya dengan satu kata itu. Ia bingung.

"Gue sering liat kalian ngumpul. Pasti sedih rasanya."

Lagi-lagi Abu berhasil heran dibuatnya. "Sedih itu pasti, bang. Tapi kalau gue sedih terus, yang ada mereka bakal nggak tenang. Dan gue enggak mau mereka sampai gentayangan."

Andrian tertawa pelan. Abu yang sebelumnya hanya menatap ke arah depan, kini menoleh padanya. Ia belum terbiasa mendengar kakaknya tertawa.

"Ada-ada aja."

Hening menyambut beberapa saat.

"Lo kenapa sering minum, bang?" Hingga satu pertanyaan meluncur bebas dari mulut Abu. Lantas membuat Andrian menoleh cepat.

"Gue ..." Lelaki itu berhenti mengucap sesaat, sebelum kembali melanjutkannya dengan helaan napas kasar. "Gue cuma bisa merasa tenang waktu minum. Bahkan obat penenang pun nggak bisa bikin gue tenang. Udah, ah. Gue mau tidur. Lo juga harus tidur. Besok sekolah."

Andrian lantas pergi meninggalkan Abu yang masih diam terpaku. Bukan saatnya ia memberitahu anak itu segalanya. Biarkan Andrian mencari waktu yang pas untuk memberitahukan semua hal yang ia dapatkan, juga alami pada Abu.

Ia hanya butuh waktu.

.

Abu terusik dalam tidurnya. Awalnya mimpi yang hadir dalam tidurnya adalah mimpi yang indah. Di mana ia bertemu Andre dan Lutfi dalam keadaan baik-baik saja. Mereka berdua terlihat sehat. Bahkan tak ada tanda-tanda kecelakaan di tubuh mereka.

Abu juga tak paham, apakah ini benar-benar nyata atau tidak. Pasalnya, dua orang yang saat ini berada di depannya ini terlihat begitu nyata. Begitu hidup. Mereka pun hanya tersenyum dan sesekali bercanda. Persis seperti apa yang pernah mereka lakukan sebelumnya.

Sebelum pada akhirnya, seseorang menarik lengannya menjauhi mereka. Abu ingin berteriak. Meminta pada Lutfi dan Andre untuk menariknya. Agar tidak terbawa oleh tangan yang saat ini menarik lengannya. Ya, hanya tangan. Tanpa badan.

Ia ditarik entah berapa meter jauhnya. Abu merasa ia lelah luar biasa. Dan tangan yang menariknya, tak kunjung berhenti. Hingga tiba di suatu tempat, tangan itu berhenti lalu hilang setelahnya.

Abu memutar tubuhnya. Ia melihat daerah sekeliling. Ternyata ia berada di sebuah sekolah. Sekolah yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat karena tiba-tiba ditutup. SMK Tanjung. Abu tak tahu harus melakukan apa di sini. Ia ... Bingung hendak berbuat apa. Sampai akhirnya seseorang kembali menarik lengannya.

Bukan. Tangan itu tangan manusia. Utuh bersama badannya. Namun sayang ... Ia tak tahu siapa gadis yang kini tengah menariknya ini. Dan Abu rasa juga bukan hantu wanita itu. Lalu siapa?

Abu tereret sampai akhirnya tiba di sebuah ruangan. Ruangan ini berdebu. Sepertinya gudang. Tapi anehnya, pintu ini tidak dikunci. Gadis yang tadi menariknya itu tersenyum melihatnya. Kemudian membuka pintu ini.

Begitu pintu terbuka dan Abu masuk beberapa langkah. Betapa terkejutnya ia begitu mendapati seorang siswi gantung diri dengan darah yang juga mengucur dari lengannya. Siswi yang tadi berdiri di sampingnya pun berteriak.

Abu membulatkan matanya. Ia bangun dari mimpi buruknya.

Bersambung...

030219

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top