Bab Duapuluh Sembilan
Sebuah kertas yang dipegang oleh almarhum Afi waktu itu.
Abu tersentak, begitu otaknnya menyimpulkan bahwa kertas yang ia lihat barusan adalah kertas yang dipegang Afi. Abu bahkan lupa menaruh kertas itu di mana. Bisa jadi Kepala Sekolah yang menemukannya. Bisa jadi pula, Kepala Sekolah lah yang menyebabkan semuanya.
Abu sontak menggeleng. Menentang keras apa yang baru saja ia pikirkan. Mereka perlu bukti yang banyak. Bukti yang kuat untuk memecahkan kasus ini. Abu tidak bisa begitu saja menyalahkan orang lain, apa lagi dengan bukti yang masih sedikit.
Oleh karena itu, ia segera membuka aplikasi kamera di ponselnya. Men-zoom-nya sebelum akhirnya mengabadikan momen di mana Kepala Sekolah alias Pak Efendi memegang kertas dengan bercak darah tersebut.
Nantinya, bukti ini akan Abu tunjukkan pada teman-temannya.
.
Jam kos menemani jam-jam terakhir sekolah. Entah mengapa, semua kelas terlihat jamkos. Anak-anaknya pun berhamburan ke luar. Menikmati sisa waktu di sekolah dengan santai bahkan dengan mengenyangkan perut mereka.
Berbanding terbalik dengan Abu, Red, Tito, Andre dan Lutfi. Mereka semua kembali berdiskusi. Yang melihatnya pun sebenarnya heran. Akhir-akhir ini teman sekelas mereka sering kali melihat mereka berlima berdiskusi. Membentuk lingkaran lalu berbicara pelan.
Jelas sekali ada yang mereka sembunyikan. Namun lainnya memilih untuk diam dan tak ikut campur lebih jauh.
"Jadi bener, Pak Efendi pelakunya?" Lutfi bertanya setelah sekian lama hanya diam dan memperhatikan.
"Enggak. Kita belum tahu pasti siapa pelakunya. Apalagi pesan teror dan wanita itu udah jarang kita temui lagi. Kita butuh bukti yang banyak untuk memperkuat dugaan." Abu kembali menjelaskan.
"Gue setuju apa kata Abu." Red mengangguk.
Tito mengangkat tangannya menuju dagu. Mengelus rambut-rambut kecil nan tipis yang mulai tumbuh di sana. "Gue heran deh, kenapa pesan itu udah mulai jarang menghantui kita."
Andre berdeham. "Gue rasa si pelaku fokus pada dua korban ini. Si pelaku mencari tahu bahkan mengamati korban dengan seksama. Sampe lupa mau neror kita. Iya enggak, sih?"
Red tertawa pelan sembari menjentikkan jarinya hingga berbunyi nyaring. "Tumben lo pinter, Dre."
"Gue gitu, loh." Andre membusungkan dadanya, kemudian menepuknya keras. Membuat seisi kelas menoleh dan menatapnya bingung. Saat itu Andre hanya bisa tersenyum malu.
"Makanya, jangan sok. Malu, kan? Hahaha." Semuanya tertawa, mengikuti Lutfi yang sebelumnya tertawa terlebih dahulu.
"Jadi, gimana?" Tito bertanya sesaat setelah tawa mereka mereda.
"Gue rasa sih kita perhatiin dulu Pak Efendi diam-diam. Baru kalau kita salah, kita berhenti dan kembali nyari tahu."
Mereka berempat menatap Lutfi sesaat sebelum serempak mengucapkan kata 'pinter'. Bahkan setelahnya mereka tertawa lebar.
Diam-diam Tito memikirkan cara lain untuk segera mendapat petunjuk mengenai teror pesan ini. Bukannya apa, ia hanya heran mengapa pelaku ini memilih bekerja sama dengan makhluk tak kasat mata untuk membantunya menyalurkan dendam. Dan juga mengapa orang di balik semua ini memilih mereka untuk mencaritahu semuanya.
Tito juga diam-diam mencaritahu dan melihat gerak-gerik mencurigakan dari Kepala Sekolah mereka. Ya, meskipun Tito tidak sejeli Abu dalam mencari bukti, setidaknya ia turut memikirkan semua ini.
Dan juga satu hal yang membuat Tito heran. Sudah hampir empat hari, ia dan teman-temannya tak lagi mendapatkan pesam aneh. Juga perempuan pemilik senyum mengerikan itu pun tak juga kembali hadir. Bukannya Tito ingin dua hal itu kembali hadir. Ia hanya heran.
Di sela-sela kegiatan diskusi mereka yang masih berlanjut, mereka tak menyadari jika seseorang melihat mereka dari jauh dengan seringai.
Bersambung...
A/N
Maafkan saya belum bisa boom up. Karena kesibukan yang kian mendera.
Sekali lagi, tolong berikan komentar jika apa yang saya sampaikan di dalam cerita ini ada yang salah. Ataupun ada yang kurang jelas.
Terima kasih telah membaca.
El~
230119
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top