Sign of Virgo : Eternal Blindfold

Sign of Virgo :

Eternal Blindfold

“Itu tuh jeng, orangnya. Yang lagi nyapu halaman rumah itu loh.”

“Ooo… itu ya? Ih kurang terawat yah? Mana pake daster gitu lagih. Pantes aja ditinggal kawin lagi sama suaminya.”

“Bukan cuma itu jeng, denger-denger dia tuh mandul loh.”

“Apa? Nggak bisa punya anak? Duh, suami mana yang tahan ya?”

Shifa mencengkeram gagang sapu di tangannya. Selalu begitu. Ibu-ibu kompleks yang tahu kisah hidupnya senantiasa menggosipkan dirinya. Dan kebanyakan dari mereka melakukannya dengan suara lantang tepat di hadapannya. Seolah Shifa tuli dan tak memiliki perasaan. Walau dia telah terbiasa, telinganya tetap panas dan gemuruh dadanya terdengar jelas.

Dua ibu-ibu tadi berlalu. Tapi muncul lagi serombongan ibu-ibu yang berangkat ke pasar. Langsung cekikikan begitu melihat Shifa. Bersiap melahapnya hidup-hidup. Shifa segera meletakkan sapunya lalu masuk ke rumah. Masih terdengar cekikikan rombongan ibu-ibu itu.

Shifa memang jadi sasaran empuk bahan gosip, cibiran, celaan, dan sindiran. Suaminya Kris pergi meninggalkannya. Kawin lagi dengan rekan sekantornya. Selalu terbayang di kepala Shifa kejadian di malam itu. Kris berkemas, menjejalkan semua barang-barang pentingnya ke dalam tas besar. Pergi tanpa mengatakan apalagi menjelaskan apapun. Hanya meninggalkan sepucuk surat permohonan cerai. Shifa shock berhari-hari, berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Dimana letak kesalahannya? Apa kekurangannya? Kenapa pria yang paling dicintainya mencampakkannya begitu saja? Dia tak mau bercerai. Dia tak menandatangani surat permohonan cerai dari Kris. Dan tak memenuhi panggilan Pengadilan Agama. Namun Kris tak pernah muncul. Bertahun-tahun berlalu dan Shifa tak tahu apa statusnya sekarang. Dia mendengar selentingan bahwa Kris bahagia bersama istri barunya. Yang lebih cantik dan menarik dibandingkan Shifa.

Shifa mandi lalu memakai seragam kerjanya—celana panjang hitam dan kemeja lengan panjang biru muda. Dia bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik pembuat boneka. Sambil bercermin Shifa menggulung rambutnya ke atas, merapikannya dengan penjepit. Dia baru menyambar tas abu-abunya ketika pintu depan diketuk seseorang.

“Permisiii…”

“Sebentar,” sahut Shifa. Ternyata bukan seseorang tapi dua orang. Keduanya pemuda bertampang polos dan terlihat agak bodoh. Baru kali ini Shifa melihat mereka, “Ada apa ya?”

Kedua pemuda itu cengengesan. “Anu, kami di suruh Pak RT buat narik iuran kebersihan, mbak.”

“Ada surat edarannya?”

“Ini.”

Shifa melirik sebentar. Lalu mengeluarkan uangnya. “Kalian yang tinggal di rumah Pak Ujang ya? Kok bantu-bantu Pak RT?”

“Iya, mbak.” Kedua pemuda itu mengangguk. “Saya Maman, yang ini Karjo. Kami bantu-bantu Pak RT biar nambah penghasilan.” Cengengesan lagi.

Shifa menyerahkan uangnya. Kedua pemuda itu bertengkar sebentar, kebingungan harus meregister di mana, baru pamit dengan muka yang masih bingung. Shifa mengunci pintu. Pergi ke pabrik dengan berjalan kaki. Antara pabrik dengan rumah makan waktu sekitar dua puluh menit perjalanan. Biasanya Shifa menempuhnya lebih cepat bila tak berbarengan dengan anak-anak yang berangkat sekolah.

Sayang hari ini lalu lintas kurang bersahabat. Di sebuah zebra cross Shifa terhenti gara-gara mobil-motor yang lalu lalang tak mau melambat untuk memberinya kesempatan menyeberang. Mendadak seorang anak kecil cowok menghentikan sepedanya di dekat Shifa. Lalu tanpa mengatakan apapun menggamit tangan Shifa sambil mengayun-ayunkan tongkat pendek ke arah lalu lintas. Ajaib, mobil dan motor secara menakjubkan bersedia berhenti. Si anak menarik Shifa, menyeberangkannya, kemudian kembali menyeberang sendiri untuk mengambil sepedanya.

“Ricky, terima kasih ya!” Shifa berseru, melambaikan tangan pada si anak. Si anak balas melambai. “Sama-sama tante Shifa, hati-hati ya.”

Shifa melanjutkan perjalanan. Lain kali kalau ketemu Ricky lagi, akan kubelikan dia es krim, batinnya. Dia masuk ke Taman Kota Hijau. Sebenarnya jaraknya jadi lebih jauh kalau dia mengambil jalur ini. Namun Shifa harus menjemput teman satu bagiannya di pabrik, Aminah, di sini.

Aminah berlari mendekat begitu melihat Shifa. “Kak Shifa, kok rada telat kak?” Aminah masih muda, drop out dari SMA karena nggak punya biaya. Diterima di pabrik setelah memalsukan umur. “Kak, ke sana dulu yuk!” Aminah menunjuk pada kerumunan di tengah taman. Tanpa menunggu persetujuan, dia menarik tangan Shifa. Keduanya menyeruak kerumunan. Rupanya kerumunan tersebut sedang menonton seorang cowok awal duapuluhan yang melukis memakai mulut. “Hebaaaaat.” Aminah menempalkan kedua tangannya di pipi, “Tapi kenapa nggak pake tangan?”

Cewek berambut ikal yang berdiri di belakang si pelukis mendengar pertanyaan Aminah. “Tangannya lumpuh,” katanya menjelaskan, sama sekali tidak terasa kesedihan justru terdapat kebanggaan di sana.

Shifa mengamati si pelukis yang melukis dengan kegembiraan meluap. Bibir cowok itu yang menjepit sebuah kuas bergerak indah. Orang ini berjuang untuk kebahagiaan, batin Shifa, sama sepertiku. “Udahan yuk, Min. Ntar telat loh.”

Aminah terlihat belum puas melihat kebolehan si pelukis. Namun dia mengikuti Shifa keluar dari kerumunan dan setengah berlari menuju pabrik mereka. Ratusan buruh lainnya juga telah berdatangan. Bergabung dengan mereka, Shifa dan Aminah mengantri untuk mengisi absen lalu mengambil sehelai masker putih dan menuju tempat bagian mereka. Keduanya masuk di bagian finishing. Shifa bertugas mencek setiap boneka apakah terdapat sisa logam dengan meletakkan boneka-boneka tersebut di rel berjalan yang melalui sebuah detektor logam. Sementara Aminah bertugas membersihkan boneka dari debu memakai sebuah airblow.

Semacam suara terompet memekik sebagai penanda jam kerja resmi dimulai. Semua buruh bekerja dengan mulut terkunci. Tangan mereka cekatan menangani tugas masing-masing. Mereka dinilai berdasarkan kualitas dan kuantitas. Sehingga setiap orang berusaha bekerja sebaik mungkin. Pabrik mereka menerapkan aturan yang keras, sekali saja melakukan kesalahan, kata ‘pecat’ bisa menjadi hasil satu-satunya.

Di tengah hari, mandor mereka, Budi, berbadan tinggi besar dan brewokan, berkeliling memeriksa pekerjaan mereka. Dia berhenti di depan Shifa dan bertanya, “Mau makan siang bareng?”

Shifa tersenyum santun, “Ma’af Mas Budi, saya bawa bekal.”

Aminah melirik diam-diam seraya menggumam yang mirip sebuah geraman. Dia seketika meledak saat Budi menjauh, “Kakak kan nggak pernah bawa bekal! Kok bo-ong sih?!” Shifa menanggapinya dengan gelengan. Aminah kali ini jelas-jelas menggeram, dia dongkol dengan kecuekan Shifa, “Denger-denger Mas Budi udah ngelamar kakak ya? Tapi kakak tolak? Kenapa kak? Mas Budi kan baik sama kakak.”

“Min… Min… Aku kan punya suami, Min. Masa nerima lamaran pria laen.”

“Suami apa namanya yang ninggalin istri dan nggak ngasih nafkah lahir batin selama lima tahun!” Aminah menganga. Kata-kata tadi keluar begitu saja, tanpa tersaring, tanpa sempat menimbang perasaan Shifa. Dia kelepasan dan makin merasa bersalah melihat Shifa jelas terguncang. Aminah telah menaburkan garam ke luka yang belum mengering itu. “Ma’af, kak Shifa,” lirihnya. “Aminah nggak bermaksud nyakitin hati kakak.”

Shifa menggumam tidak jelas. Dia tidak menyalahkan Aminah. Kebanyakan orang pasti menganggap penantiannya sia-sia. Teman-temannya terutama Aminah ngotot menyarankannya mencari suami lain. Tidak perlu mengharap Kris. Karena pria itu mustahil kembali. Shifa bukanlah istri yang diinginkannya. Tapi Shifa memutuskan memasang penutup mata. Agar tak melihat kenyataan sebenarnya yang terpampang di hadapannya. Menganggap Kris hanya pergi karena khilaf. Membohongi diri sendiri. Apa dia bodoh? Mungkin, walau Shifa bersikeras itu disebut harapan.

“Kakak berhak bahagia,” Aminah berkata hati-hati.

“Aku bahagia kok,” kata Shifa, kurang meyakinkan.

***

Sorenya Shifa sedang menumis kangkung saat pintu rumahnya diketuk. Dimatikannya kompor lalu pergi membukakan pintu. Dua pemuda yang menarik iuran pagi tadi datang lagi.

“Ma’af ganggu, mbak.” Pipi gemuk Maman kembang-kempis sewaktu dia berbicara dengan buru-buru. Karjo di sebelahnya bahkan menjulurkan lidah, jadi mirip pudel kurus yang sedang kehausan. Sepertinya mereka habis berlari jauh. “Kami lupa kata Pak RT rumah yang dihuni kurang dari tiga orang iurannya dikurangi dua ribu. Ini kelebihannya.”

“Aduh repot-repot, padahal nggak pa-pa juga kalau lebihan.” Shifa tersenyum ramah.

“Tuh kan. Mendingan tadi kita ambil aja. Mbaknya ikhlas kok,” bisik Karjo. Maman nyengir dan menyeret tubuh kerempeng Karjo pergi. Shifa menutup pintu, kembali ke dapur untuk menanak nasi. Dalam hati dia tertawa mengingat kelakuan dua pemuda tadi. Pekerjaannya selesai sebelum adzan Maghrib berkumandang. Shifa mengambil air wudhu dan sholat di kamar. Di sujud terakhir dia berdo’a dalam hati. Do’a yang sama, diulang setiap sholat selama lima tahun terakhir. Do’a tentang Kris. Dalam do’anya dia meminta yang terbaik bagi dirinya dan Kris. Meskipun Kris takkan kembali padanya. Dia tahu kebaikan tak selalu datang berwujud semanis madu.

Shifa makan dengan lamban. Teringat semua ucapan Aminah. Teringat pada usaha-usaha tak kenal lelah Mas Budi untuk meluluhkan hatinya. Dia sadar dibalik semua gunjingan yang tidak kenal ampun mencemoohnya, ada orang-orang yang menghargai, menyayangi dan memperlakukannya penuh penghargaan. Ya, dia punya kesempatan dan peluang untuk keluar dari lumpur penghinaan ini. Nyatanya dia memilih bertahan.

Tok. Tok. Tok. Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Shifa meninggalkan makan malamnya. Di balik pintu menunggu Maman dan Karjo yang tampak serba salah. Ini untuk ketiga kali kedua pemuda itu datang. Agaknya Maman dan Karjo menyadari mereka terlalu sering muncul dalam satu hari, dan langsung membungkuk minta ma’af berkali-kali.

“Ini.” Maman, dengan keringat dingin mengalir di seluruh tubuh, menyodorkan sehelai kwitansi. “Lupa dikasihkan tanda terima tadi.”

Shifa menahan tawa melihat mereka saling dorong dan bergegas cabut. Setelahnya dia jadi tak merasa lapar lagi lalu membereskan sisa makan malam tadi. Berselang beberapa menit kemudian sudah terdengar lagi ketukan di pintu. Shifa geli sendiri. Pasti Maman dan Karjo. Kali ini apalagi yang kelupaan?

“Kalian nggak dimarahin Pak RT bolak-balik begini?” kata Shifa sambil menarik pegangan pintu. Dia tertegun. Bukan Maman dan Karjo melainkan Kris yang berdiri di hadapannya. Kris menenteng tas besar. Tas yang sama seperti lima tahun yang lalu.

“Kau mengharapkan orang lain?”

“Ti-tidak.” Jantung Shifa berdetak sangat cepat. Dia memandang Kris lekat-lekat, mengira semua hanyalah mimpi. Kris menjatuhkan tasnya, maju dan memeluk Shifa. Shifa membenamkan kepalanya di dada Kris, menghapus segala kesedihan dan sakit hati. Penantiannya berakhir di malam ini.

Í

Bayu membantu Dini melepaskan sapu tangan yang diikat melingkar di kepala menutupi mata cewek itu selama Bayu bercerita. Dini mengucek matanya, “Seperti yang kau bilang segalanya terasa berbeda bila kita melenceng dari kebiasaan. Menutup mataku rupanya menguatkan indera pendengaranku. Dan ceritamu malam ini meresap lebih dalam dari yang bisa kubayangkan.”

“Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.” Bayu melipat sapu tangan tersebut kemudian memasukkannya ke sakunya. “Ini malam yang kesembilan. Sesuatu yang berbeda akan membuatmu lebih bersemangat mendengar ceritaku.”

“Aku tak pernah bosan pada ceritamu kok.”

“Terima kasih.” Bayu berucap sungguh-sungguh. “Tujuan lainnya adalah agar kau bisa menyelami sedikit perasaan Shifa.”

Dini memejamkan mata. Ingatannya memutar ulang cerita malam ini. “Kesetiaan. Hal yang makin langka di jaman sekarang. Shifa mempertahankan mimpi dan hidup dibayangi mimpi tersebut. Nasib baik Kris kembali. Namun apa jadinya bila Kris tak kembali? Dan Shifa hanya bisa menanti sampai akhir hayatnya. Tidakkah dia menyesal karenanya?”

“Tidak dalam kasus Shifa,” tukas Bayu. “Kau tahu kadang tak ada batas yang jelas antara mimpi dan kenyataan. Jalan apapun yang diambil seorang istri yang ditinggalkan suaminya bukanlah hak kita untuk menghakimi. Entah itu bertahan seperti Shifa, atau merelakan suaminya seperti yang dipilih wanita lain.”

“Kurasa aku tak tahu mana yang kupilih bila mengalaminya.” Dini mendesah.

“Hei-hei-hei—“ seru Bayu. “Kau terlalu serius menanggapinya. Baiklah, aku bertanggung jawab mengembalikan keceriaanmu. Begini saja, apa di i-Pod-mu ada lagu ini?” Bayu membisiki Dini.

“Ada,” jawab Dini antusias. “Kenapa memangnya?”

Bayu tersenyum misterius. “Besok malam ceritaku akan diiringi lagu tersebut.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: