Sign of Sagitarius : Idiot Cupid
Sign of Sagitarius :
Idiot Cupid
Perjodohan adalah hal paling terakhir dan paling putus asa yang hanya bakal terpikirkan oleh Vera bila semua jalan asmaranya telah tertutup. Oleh sebab itu ketika teman-temannya dengan semena-mena menjodohkannya dengan anak SMU sebelah, dia marah besar. Namun kemarahannya ditanggulangi dengan baik oleh teman-temannya. Vera terbujuk dan dengan setengah hati mau pergi ke mall untuk menemui cowok yang dijodohkan dengannya.
Namanya Endy. Tak ada yang terlalu istimewa darinya selain lesung di pipinya. Bukan tipe cowok idaman Vera. Entah dari sudut pandang mana teman-temannya menganggap dia bisa menyukai Endy. Usai seperempat jam berbincang, karakteristik Endy terbaca sejelas tulisan raksasa di poster iklan. Cowok itu congkak, sok tau dan banyak omong. Dalam seperempat jam itu pula ketidaksukaan Vera terus terpupuk. Dia tidak sabar untuk segera cabut dari sana. Mata sipitnya yang diwarisinya dari papa dan mamanya yang keturunan tionghoa terus bergerak gelisah.
“Bagaimana kalau habis ini kita nonton,” Endy menawarkan.
“Ma’af, aku harus pulang cepat.”
“Oh.” Endy menanggapi kecewa. “Kapan kita bisa ketemu lagi?”
“Yah, kita lihat saja nanti. Akhir-akhir ini aku sibuk.”
“Kalau begitu berapa nomer handphone-mu?”
“Nah, itu juga sulit. Soalnya aku suka gonta-ganti provider. Nyari yang paling murah dan paling banyak bonusnya.”
“Begitu.” Endy menulis sesuatu di sehelai kertas yang diambilnya dari kotak pesanan di atas meja. “Ini nomerku.”
Vera menerimanya, melipat di depan Endy, berlagak memasukkannya ke tas, tapi sebenarnya membuangnya ke bawah meja. Keduanya keluar dari mall, Endy masih menjajari Vera meskipun cewek itu sudah menyatakan itu tak perlu.
“Lihat cowok itu deh. Kampungan banget tingkahnya. Masa ke mall dandanannya begitu.” Endy menertawakan seorang cowok yang terlihat celingukan di pelataran mall. “Malu-maluin kalau sampe kenal anak begituan.”
Vera mengatakan beberapa patah kata makian dalam bahasa Mandarin, yang tentu tak dimengerti Endy. Kemudian cewek itu mencibir, “Hoya? Asal kau tahu cowok itu teman sekelasku.” Vera meninggalkan Endy yang ternganga, lalu menarik tangan cowok yang dibilang kampungan tadi. Cowok itu bernama Pong. Mereka sekelas tapi Vera tak begitu dekat dengan Pong. Malah sepertinya anak satu kelas tak ada yang berteman dekat dengan Pong. Pong memang rada udik dan menutup diri dari yang lain. Tak ada yang membencinya, yang lain malah senang pada Pong yang nggak neko-neko. Selain jam belajar, Pong suka menghilang dari kelas. Pong tidak terlalu pandai, nilainya selalu jeblok dan otomatis menempatkannya di urutan terakhir. Anak-anak pintar di kelas mereka setiap pagi sibuk memaksa Pong untuk menyontek PR mereka sebab pelajaran bisa terhambat bila guru sudah mulai menceramahi Pong panjang lebar. Di awal-awal sih anak-anak seneng kalau itu terjadi, soalnya jadi gak belajar kan. Tapi suatu hari mereka sadar, mereka sudah kelas XII, kalau dibiarkan terus bisa berakibat mereka ketinggalan bahan dan celakanya bisa nggak lulus!
Pada jam pelajaran Biologi besok harinya, guru mereka berhalangan mengajar. Kelas Vera diberi rangkuman bahan yang disalin Irenne—sekretaris kelas—di papan tulis. Sembari mencatat, Vera menceritakan kejadian di mall pada Jordan yang duduk di sebelahnya. Gara-gara kelatahan Jordan dan suara cempereng nyaringnya yang mengulangi semua kata-kata Vera, walhasil kasus tersebut menjelma jadi diskusi kelas.
“Bagus, Ver!” seru Irenne dari depan kelas, mengacungkan jempol. “Cowok macam itu memang musti ditegesin!”
“Siapa sih yang ngecalonin tu cowok?” tukas Ozzy dari deretan kursi bagian belakang.
Beberapa anak serempak menunjuk Jordan yang langsung cengengesan, “Ma’affff~” repet Jordan, “Kukira dia baik.”
“Baik apanya!” Irenne melotot, melupakan tugas salinan dari guru. “Dia mengejek Pong seenak dengkul dia!”
Noa, ketua kelas mereka berteriak memberi semangat, “Hajar, Irenne!”
Irenne makin bersemangat, dia meminta pendapat dari sang korban, “Gimana Pong? Kamu masih sakit hati?”
“Aku bahkan tidak tahu ada kejadian itu,” kata Pong jujur, “Eren,” dia selalu salah menyebut nama Irenne, “kau menutupi bagian yang sedang kucatat.” Irenne bergeser dari papan tulis.
“Aku masih punya calon lain,” kata Jordan. “Tertarik, Ver?”
“Ogah!” sembur Vera.
“Pokoknya kalau calonnya dari Jordan pasti nggak beres,” timbrung Noa, “Mending calon dariku aja.”
Jordan melirik sengit ke arah Noa, “Noa! Kamu kan ketua kelas. Masa mancing-mancing masalah sih.”
“Loh memangnya kalau ketua kelas nggak boleh ngasi pendapat?” Noa mengambil pose siap menggempur. Dan peperangan kata-kata pun terjadi di antara keduanya. Vera geleng-geleng melihat mereka.
“Hei, Vera.”
Vera membalikkan badan, menatap Ozzy yang memanggilnya. Ozzy menunjuk cowok di sebelahnya, “Bondan jomblo nih. Dia baru putus. Lue jadian aja sama dia.”
Vera melirik Bondan. Bondan balas melirik. Sedetik kemudian keduanya berkata, “Tidak!”
“Aku heran, kenapa kalian ngebet banget nyariin aku pacar?” gerutu Vera. Anak-anak menanggapinya dengan cekikikan.
“Itu berhubungan dengan tulisanmu di mading,” cetus Noa.
“Heh?”
“Masa nggak ngerti? Dulu kamu sering ngebuat artikel bertema cinta. Tapi liat deh tema-tema tulisanmu sekarang. Masalah Pemilu mulu. Tiap minggu mading kamu nampilin profile partai lah, daftar caleg lah, tata cara memilih lah. Memangnya kamu pikir sekolah kita KPU?”
Tawa anak-anak meledak. Jordan paling nyaring, melupakan pertengkarannya dengan Noa. Wajah Vera berubah masam. Hingga jam istirahat, dia menolak bicara dengan siapapun. Cewek ini juga mengacuhkan ajakan Jordan ke kantin. Setelah bersusah payah main petak umpet dengan sahabatnya itu, Vera terdampar di perpustakaan dengan perut keroncongan. Dia duduk di kursi dekat jendela. Menimbang apa sudah waktunya mengakhiri aksi ngambeknya. Tangannya bergelayut lemas di jendela, dan kepalanya dijulurkan keluar jendela. Suara kresek pelan membuat mata Vera melirik malas ke samping. Rupanya ada Pong di luar. Vera berniat memanggil namun tak jadi ketika melihat Pong asyik membagikan sosis yang dipotong kecil-kecil pada beberapa anak kucing. Pong seolah tak mempedulikan sekitarnya. Setelah sosis habis semua anak kucing tadi tidak mau pergi. Mereka menjilat tangan Pong dan bermanja-manja di pangkuan cowok itu. Pong mengambil sebuah buku, membacanya sembari bersandar ke tembok dikelilingi para anak kucing tadi.
Dia belajar. Vera takjub. Belum pernah ada yang melihat sisi ini sebelumnya pada Pong. Vera dan teman-temannya cuma mengenal Pong melalui selera berpakaiannya yang buruk, ketertinggalannya dalam berbagai hal, keminusannya pada teknologi—Pong tidak punya HP!—, atau kekurangan-kekurangan lainnya. Siapa yang menduga hati Pong memiliki bagian lembut tak terjamah, dan dia sesungguhnya lebih rajin dari siapapun di kelas mereka. Vera jadi teringat di akhir semester kedua di kelas XI, Pong memohon pada wali kelas agar di kelas XII dia dimasukkan ke program IPA, padahal nilainya pas-pasan.
Menganggap tak berhak menyebarkan hal tersebut, Vera menjadikannya sebuah rahasia. Yang tidak disadarinya adalah berkembangnya perasaan baru di hatinya. Secuil rasa yang belum dipahaminya apa itu.
Di suatu jam istirahat, Vera mendatangi Pong yang hari itu juga sedang memberi makan anak-anak kucing. Pong terkejut, namun tidak berusaha menutupi.
“Apa kucing-kucingmu suka roti?” Vera memulai percakapan. Dia menenteng seplastik kecil roti.
“Mereka bukan kucingku. Kebetulan saja mereka ada di sini.”
“Kau suka kucing?” Vera mencabik rotinya menjadi serpihan kecil. Kucing-kucing mendekatinya.
“Tidak ada alasan untuk membenci mereka,” jawab Pong. Jenis jawaban yang janggal sebab cowok itu menunjukkan gelagat kurang nyaman ditanyai begitu. Vera mengangkat seekor anak kucing ke depan mukanya. Si anak kucing menguap dan mengeong dengan lucu. Sebuah ide pun muncul di kepala Vera.
Mading di minggu berikutnya memuaskan harapan teman-teman Vera. “Syukurlah bukan tentang Pemilu lagi,” sorak Ozzy yang diakuri yang lain. Mading Vera mengusung artikel tentang jenis-jenis kucing plus gambar-gambar mereka yang menggemaskan.
“Sejak kapan kamu suka kucing?” selidik Jordan penuh curiga.
“Sejak kapan aku tidak suka kucing?” balas Vera, meleletkan lidah pada Jordan. Jordan makin curiga, dan menguntit Vera kemana-mana untuk mengorek keterangan darinya. Setelah mendesak dengan berbagai cara yang diakui Jordan diconteknya dari buku “1001 Cara Memaksa Orang Bicara” akhirnya cowok ini menang dan Vera menyerah. Vera mengajak Jordan menyambangi tempat rahasia Pong. Walaupun Vera bersikeras mereka tidak boleh sampai terlihat Pong.
Dari kejauhan keduanya mengintip aktivitas yang menjadi kebiasaan Pong bersama kucing-kucing. Berbeda dengan Vera, dalam waktu singkat Jordan telah menyadari sesuatu, “Astaga, kau menyukainya!”
“Tentu,” kata Vera ceria, “Aku sungguh menyuaki kucing-kucing itu.”
“Bukan kucing-kucing itu, bodoh!” Jordan berkata tajam, “Tapi Pong! Kau menyukainya!”
Vera mengernyit. Bermaksud membantah tapi ada yang menahannya. Suka?
Jordan memutar bola matanya, “Sepertinya Cupid asal menembakkan panahnya ya?”
Baik Vera maupun Jordan tak mengungkit-ungkit hal itu lagi setelah hari itu. Bukan karena tidak mau, tapi karena tidak ada waktu. Pikiran mereka penuh dijejali jadwal ujian kelulusan yang terasa merongrong dengan standar nilai yang telah dinaikkan pemerintah dibandingkan tahun kemarin. Walhasil seluruh anak kelas XII bagai dikejar-kejar Cerberus.
Hari-hari ujian berlangsung tegang. Senyum kaku menghiasi wajah anak-anak. Masa depan mereka dipertaruhkan di sini. Tak ada yang mudah, termasuk bagi siswa yang pintar. Beban itu berkurang sebagian di hari terakhir ujian. Ada yang yakin bisa lulus, ada pula yang stress setengah mati.
Penghuni di kelas Vera tak ada yang pulang. Mulai besok semua murid kelas XII diliburkan sampai hari pengumuman hasil ujian. Noa, sebelum hari-hari ujian mengusulkan agar di hari terakhir ujian mereka mengadakan Pertemuan Kelas Terakhir dimana setiap anak mendapat kesempatan untuk menyampaikan hal apapun ke seluruh kelas. Usul tersebut disetujui semua anak. Maka inilah Pertemuan Kelas Terakhir mereka.
“Hai, gue Ozzy.” Ozzy membuka giliran pertama, berdiri di depan kelas.
“Sudah tauuuu~” koor anak-anak.
“Dalam kesempatan ini gue minta ma’af pada kalian yang terjebak pada pesona ketampanan gue. Gue nyadar ketampanan ini adalah sebuah dosa. Oleh karenanya—“
Tuk. Tuk. Tuk. Anak-anak melempari Ozzy dengan bola-bola kertas sambil meneriakinya.
Jordan maju menggantikan Ozzy. “Terima kasih aku singkat saja. Karena sebentar lagi kita lulus, aku minta kerelaan kalian semua untuk menganggap lunas semua hutang-hutangku. Oke?”
“Huuu~” repet anak-anak.
Satu per satu anak-anak maju dan menyampaikan sesuatu sesuai gaya masing-masing. Seperti Irenne yang bersimbah air mata dan memaksa semua anak agar tak melupakannya meski merka berpisah. Atau Noa yang membacakan daftar panjang permohonan ma’afnya ke setiap anak—terutama Jordan.
Tiba gilirannya, Vera mengedarkan pandangan ke segenap penjuru kelas sebelum memulai. Anak-anak balas menatapnya dan bagai terbius terdiam serempak. “Aku ingin mengakui sesuatu,” kata Vera pelan dengan suara yang tertelan. Aku pasti gila melakukan ini. “Aku menyukai seseorang. Itu baru saja kupastikan. Orang yang kusukai ada di antara kalian.” Anak-anak saling pandang. Jordan dengan gugup menatap Vera. “’Kenapa aku menyukainya?’ Pertanyaan tersebut kerap dan berulang-ulang datang. Namun sebagai jawaban muncul dua pertanyaan lain. ‘Apa salah menyukai seseorang?’ dan yang terpenting, ‘Apa menyukai seseorang memerlukan alasan?’ Alasan yang membenarkan perasaan ini, karena orang yang kusukai kali ini berbeda dengan orang-orang sebelumnya. Jordan mengatakan orang ini melenceng dari tipeku.” Semua anak memandang Jordan. “Tipeku atau bukan, kurasa aku tak mungkin membohongi diriku sendiri. Aku tak mau lulus tanpa mengakuinya. Terima kasih.”
Menggantung.
Vera telah memulai sesuatu tapi tak berniat mengakhirinya. Sampai selesainya Pertemuan Kelas tetap tak ada seorangpun yang tahu anak yang mana yang disukai Vera kecuali Jordan. Vera sendiri memberikan sinyal jelas bahwa dia tak berniat membahasnya dengan siapapun. Jadi tak ada yang berani mengorek keterangan darinya.
Yah tidak semuanya sih.
“Aku tak mendukung juga tak menentang inisiatif pengakuanmu,” bisik Jordan di tengah celotehan anak-anak yang sibuk berbincang tentang rencana masing-masing usai lulus, “Hanya saja tidakkah kau pikir itu… eng… sia-sia?”
Vera tak menjawab dan menepuk pipi Jordan dengan lembut. Seorang cowok mendekati mereka, Bondan.
“Aku tahu orangnya,” Bondan berkata dengan keyakinan penuh, tanpa menunggu reaksi Vera dan Jordan, Bondan memutar kepala ke arah Pong. Darah Vera berdesir. Bondan melanjutkan, “Ada baiknya kau tak menyebutkan nama. Karena bakal sulit baginya untuk menolakmu, dan bakal ada cewek lain yang kecewa karenanya.”
Vera dan Jordan turut menatap Pong. Ada Irenne tertawa di sebelah Pong, menggenggam mesra tangan cowok itu.
“Ya, ada baiknya,” kata Vera, tak menyesali apapun.
Í
Kedua anak itu menikmati jeda yang terjadi. Ini adalah malam terakhir, besok orangtua Dini akan menjemputnya. Dan ini berarti cerita tadi adalah kisah terakhir bagi Midnight Magic mereka.
Mug mereka kosong. Tandakan cokelat melapisi dasar mug.
“Apa kita harus membahas cerita tadi?” kata Dini canggung. “Maksudku, setelah sebelas kali mendengar berbagai cerita darimu, di cerita keduabelas ini aku bisa memahami makna terdalamnya sendiri.”
“Itu melegakan, aku tak mungkin melepasmu ke belantara kota dengan kebingungan memenuhi isi kepalamu kan?” seloroh Bayu.
Dini tak tertawa. Terlepas dari kenyataan bahwa lelucon yang dilontarkan Bayu memang jarang ada yang lucu. “Aku tak mau semua ini berakhir,” aku Dini. “Aku bahkan tidak tahu apakah setelah besok kita punya kesempatan lain untuk bertemu lagi.”
Bayu terlihat terkejut. Ekspresi selanjutnya seakan dia menyembunyikan sesuatu. Sayangnya Dini tak mendapat penjelasan apapun dan dia membawa ekspresi misterius Bayu sampai ke dalam tidurnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top