Sign of Pisces : Autumn Gift

Sign of Pisces :

Autumn Gift

 

Rapat pertama yang diikuti Yolanda berjalan tidak seperti yang dia harapkan. Sebagai trainee yang baru diterima di perusahaan Clan’s Eye yang bergerak di bidang advertising ini, dia merasa benar-benar diplonco. Yang paling membuatnya sebal adalah Mbak Sis yang doyan banget memojokkannya dalam rapat tersebut. Membuatnya kelihatan blo’on di mata Kepala Bagian, para staff, dan trainee lainnya. Terakhir dia malah disuruh menyiapkan minuman buat semua orang karena Mang Solihin, office boy di bagian mereka sedang cuti.

Dibacanya lagi pesanan setiap orang. Pak Wowor—kopi. Mas Aldy—kopi. Bu Yani—teh…etc..etc.. Tangan Yolanda sibuk menyusun gelas-gelas. Memasukkan kopi. Atau teh celup. Dan gula. Lalu mengguyur air panas ke dalamnya.

Yolanda tengah mengaduk minuman-minuman tersebut ketika seorang cowok tampan berbadan atletis masuk ke dapur kantor, “Hai,” sapa cowok itu ramah.

“Hai juga…” jawab Yolanda. Mengagumi sebentar si cowok, lalu kembali mengurusi gelas-gelasnya.

“Rasanya aku belum pernah melihatmu,” si cowok berkata, memulai perbincangan. Dia mengambil sebuah gelas tinggi dari lemari. “Aku kenal semua pegawai di kantor ini.”

“Masih trainee, belum pegawai tetap,” jelas Yolanda.

“Kalau begitu kita harus berkenalan.” Si cowok mengulurkan tangan. “Fauzi.”

“Yolanda.”

“Masuk bagian mana?”

“Divisi talent.”

“Oh, kalau aku di bagian marketing.” Fauzi mengisi gelasnya dengan jus jeruk kaleng yang dibawanya. “Eh, aku duluan ya.”

“He-eh.”

Itulah pertemuan pertama Yolanda dengan Fauzi. Tidak meninggalkan kesan mendalam. Sebab dalam pekerjaannya, Yolanda bertemu banyak cowok dan cewek yang tidak kalah tampan dan cantik. Dia bahkan lupa sama sekali padanya, karena perusahaan tempat mereka bernaung cukup besar, karyawannya banyak dan divisi mereka nyaris tak pernah berhubungan langsung.

Tak disangka seminggu kemudian menjadi pertemuan mereka selanjutnya. Yolanda sedang jogging di Taman Kota Hijau di suatu sore. Jogging adalah olahraga favoritnya. Dan Taman Kota Hijau adalah tempat terbaik untuk melaksanakannya. Di sana tersedia jalur khusus jogging yang mengelilingi taman. Pohon-pohon tumbuh rimbun, memberikan keteduhan dan menyegarkan udara di sekitarnya. Namun yang selalu ditunggu Yolanda adalah ketika angin bertiup kencang di sela-sela ranting dan dahan pohon. Menjatuhkan dedaunan yang rontok dan layu. Lalu tercipta pemandangan indah mirip musim gugur di luar negeri. Berlari di tengah hujan dedaunan sungguh memukau Yolanda.

“Yolanda?!”

Yolanda berhenti berlari, memutar badan, “Siapa ya?” tanyanya pada cowok yang memanggil tadi.

“Aku Fauzi, kita kenalan di dapur kantor minggu kemarin.”

“Ah, ma’af.” Yolanda jadi kurang enak. “Apa kabar, Fauzi?” katanya berbasa-basi.

“Baik. Ngomongnya sambil jalan yuk.”

Keduanya memilih berjalan santai daripada lari.

“Sering ke sini?” lanjut Fauzi.

“Lumayan. Dua kali seminggu. Kalau kamu?”

“Jarang sih. Paling sebulan dua atau tiga kali.”

“Ooo…” Yolanda kehabisan komentar. Dia tak terbiasa bicara banyak pada orang yang baru dikenalnya. Namun Fauzi sepertinya bukan tipe orang yang menyukai keterdiaman. Cowok itu mulai bercerita ini itu. Mulai dari kejadian-kejadian lucu di divisinya sampai menyangkut masalah-masalahnya yang masuk dalam kategori pribadi. Yolanda mendengarkan dengan perhatian secukupnya. Sesekali mengeluarkan komentar singkat, itupun bila diminta. Perbincangan mereka timpang sebelah. Fauzi tak ada capek-capeknya mencerocos. Walau Yolanda bersyukur juga dia tak diminta balas bercerita macam-macam.

Setelah hari itu, intensitas pertemuan kedua orang itu makin meningkat. Fauzi sering nongol tanpa diundang di divisi Yolanda. Sekedar mengucapkan hello atau memberikan sekantung keripik singkong. Tentu Yolanda—dan teman-teman sesama trainee-nya girang dihadiahi cemilan begitu. Kontak makin meningkat, Fauzi dan Yolanda saling bertukar nomor handphone. Ini membuat Fauzi leluasa menelepon Yolanda meski di tengah jam kerja. Ditambah sms-sms lucu yang rajin dikirimkan padanya tiga kali sehari layaknya minum obat. Hebatnya, Fauzi juga menawarkan diri untuk mengantarnya pulang.

O-ow. Ada apa-apanya nih, pikir Yolanda. Dia menolak dengan halus, tapi Fauzi terus membujuk, memberikan berbagai alasan masuk akal yang mustahil ditangkis Yolanda. Akhirnya acara antar mengantar tersebut jadi kebiasaan. Hampir setiap hari Fauzi mengajukan diri kalau dia tidak sibuk.

Kecurigaan Yolanda menguat sebab teman-teman trainee-nya juga mencium gelagat tak wajar Fauzi.

“Menurutku dia naksir kamu tuh,” lontar Ian, yang dibenarkan yang lainnya. “Perhatiannya itu loh, terlalu berlebihan kalau dibilang nggak ada rasa.”

“Masa sih?” Yolanda masih sedikit ragu.

“Tunggu aja.” Ion melanjutkan. “Kalau sampai dia ngajak makan malam, berarti bener.”

Tidak perlu menunggu lama untuk memastikannya. Sebab ponsel Yolanda berdering. Fauzi yang menghubunginya.

“Halo, Yolanda. Kau ada acara malam ini?” Serangan cepat dan langsung ke inti.

“Malam ini?”

“Ya. Ada restoran bagus di dekat rumahku. Oke, kujemput jam delapan ya.” Tuuuuttt. Fauzi menutup teleponnya.

Gawat. Aku kan belum ngomong apa-apa, batin Yolanda. Fauzi keburu memutuskan sendiri bahwa dia bakal setuju. Yolanda bukannya tidak mengakui pesona cowok itu. Masalahnya dia tak mungkin membalas andai cowok itu sungguh menyukainya. Karena dia sudah punya pacar. Ya, Yolanda bukanlah seorang jomblo. Harus dibatalkan. Dia menelepon balik Fauzi. Namun tidak diangkat. Datengin ke divisinya aja. Tapi apa tidak mengganggu? Yolanda mengambil resiko tersebut. Dia pergi ke divisi Fauzi yang berada di bagian terdepan lantai dasar. Ruangan divisi marketing hampir kosong. Kemungkinan pegawai lainnya di divisi ini sedang keluar mencari klien, termasuk Fauzi. Hanya ada seorang bapak yang sibuk mengetik di komputernya dan seorang anak cewek kecil manis berseragam SD. Spontan Yolanda memekik senang melihat anak tadi, “Aduh manisnya,” dia memang sangat suka anak-anak. Si bapak yang merupakan ayah anak tadi mengangkat pandangannya dari layar komputer, tersenyum ramah mendengarnya. “Adik kelas berapa?” tanya Yolanda riang. Si anak tak menjawab, dan menunduk malu-malu. Aduh imutnya. Yolanda jadi ingin mencubit pipi si anak.

“Namanya Tania, sama seperti nama ibunya,” jawab si bapak. “Ma’af dia agak pemalu.”

Yolanda melirik papan nama di meja si bapak. Made Sulaksono. Marketing Officer. “Dia kelas berapa, Pak Made?”

“Baru kelas 1. Kebetulan sekolahnya—SD Bung Hatta deket kantor. Makanya sehabis pulang dia ke sini dulu. Baru pas jam istirahat kantor, Bapak antar ke rumah neneknya.”

“Loh ibunya?”

Pak Made tersenyum samar. “Sudah meninggal.”

Yolanda mengerang serba salah.

“Tidak apa,” kata Pak Made. “Emm… ada yang adik cari?”

Seketika Yolanda ingat tujuannya. “Ada sih, tapi orangnya lagi keluar kayaknya.”

“Fauzi?” tebak Pak Made.

“Iya,” seru Yolanda. “Kok Pak Made tahu?”

Pak Made tersenyum simpul. “Dia yang paling sering dicari. Begini saja, kalau dia kembali nanti akan bapak beritahu bahwa ada yang mencarinya. Nama adik?”

“Yolanda dari divisi talent.” Yolanda membungkuk sopan. “Saya permisi dulu, Pak Made. Terima kasih banyak atas bantuannya. Dadah, Tania.” Yolanda melambaikan tangan. Tania balas melambai, walau masih malu-malu.

Tapi sampai jam pulang Fauzi tak kunjung menghubungi. Menurut Pak Made yang ditanyai Yolanda melalui telepon antar divisi, Fauzi rupanya tak kembali lagi ke kantor. Ponsel cowok itu malah di luar jangkauan. Malam harinya, Fauzi yang menjemput Yolanda bingung melihat cewek itu belum bersiap.

“Apa aku salah jam? Salah hari? Atau jangan-jangan salah rumah?” Fauzi berkelakar dan menertawakan sendiri kelakarnya.

Di telinga Yolanda kelakar tersebut terdengar garing. Dia menggemeletukkan giginya. “Aku mencoba menghubungimu berkali-kali.”

“Nomor yang mana? Aku punya tiga nomor. Kuaktifkan bergantian.”

Pantesan.

“Apa kau hanya akan berdiri saja?” Fauzi mengerling. “Nanti kita kemalaman loh.”

“Nah itu—“

“Atau kau lebih suka berpakaian begini? Tak masalah bagiku.” Fauzi tertawa lagi. Cowok itu sedikitpun tak memberi kesempatan bagi Yolanda untuk menyampaikan pendapat. Mereka berpandangan. Fauzi seolah berkata ‘tunggu apa lagi?’. Jadi Yolanda mengangkat bahu dan pergi bersiap.

Restoran yang mereka datangi terletak di pinggiran kota yang menghadap ke sungai besar. Meja-meja disusun di semacam teras terbuka dengan latar pemandangan gedung-gedung berselimutkan cahaya lampu di seberang sungai. Sesekali ada kapal lewat dengan lampu yang menyorot tajam dari bagian lambung. Yolanda terpukau, tak pernah terbayangkan olehnya ada tempat sebagus ini di kota mereka. Tempat romantis yang semestinya didatanginya bersama pacarnya, bukan bersama Fauzi!

Fauzi bersikap lebih perhatian malam ini, dia tidak menguasai pembicaraan seperti biasanya. Sebaliknya Yolanda diminta cowok itu untuk bercerita tentang dirinya. Arah pembicaraan yang cukup aman bagi Yolanda, karena cewek ini sudah bersiap-siap andai kata Fauzi menembaknya, dia akan menolak tegas dan bilang, “Ma’af, aku sudah punya cowok.” Beruntung malam berakhir tanpa hal itu terjadi.

Dalam perjalanan pulang, Fauzi menyodorkan sebuah buku pada Yolanda, “Kau suka membaca?”

“Tidak begitu suka,” ucap Yolanda lugas.

“Cobalah baca buku ini. Isinya bagus dan penuh inspirasi.”

Yolanda mengambil buku tersebut setengah hati. Memasukkan ke tasnya tanpa melihat judulnya. Hatinya masih khawatir. Sewaktu-waktu Fauzi bisa saja menyatakan cinta padanya. Ini harus segera diselesaikan.

Besoknya Yolanda didatangi Mbak Sis yang tanpa susah payah berbasa-basi langsung bertanya, “Denger-denger kamu makan malam sama Fauzi?”

Yolanda menatap bingung. “I-iya.” Denger darimana mbak yang satu ini?

“Ati-ati loh,” lanjut Mbak Sis, “Udah banyak yang jadi korban dia.”

Korban? Apa si Fauzi playboy yang suka gonta-ganti pacar seenaknya? Wah, nggak bisa dibiarkan berlarut-larut nih. Yolanda menyambar ponselnya dan mengirim SMS ke Fauzi, ‘Bisa ketemu hari ini, di Taman Kota Hijau?’.

Beberapa menit kemudian datang balasannya, ‘Oke. Aku juga pengen ketemu kamu’.

Bagus segala sesuatunya harus diselesaikan hari ini juga. Jangan sampai Fauzi berharap yang macam-macam.

***

Yolanda memandangi dedaunan yang berguguran sambil duduk-duduk di sebuah bangku di tengah Taman Kota Hijau. Di depannya banyak orang yang lalu lalang. Kebanyakan dari mereka adalah keluarga kecil yang datang ke taman deengan tujuan untuk mengajari anaknya naik sepeda; atau sekedar duduk-duduk di rerumputan; atau menggosip bersama ibu-ibu lain sementara anak mereka dibiarkan berkeliaran di taman bermain kecil yang berlapis pasir putih di sana. Sekitar lima belas menit kemudian Fauzi muncul membawa tas besar yang terlihat penuh.

“Sudah lama menunggu?”

Yolanda menggeleng. “Duduklah,” suruhnya.

“Ada yang ingin kusampaikan padamu,” tukas Fauzi, duduk di samping Yolanda, “Kalau kau berkenan.”

Ini dia yang kutakuti, batin Yolanda. “Begini Fauzi, sebenarnya aku—“

“Apa kau menyukai hidupmu yang sekarang?”

Heh? Alis Yolanda terangkat mendengar pertanyaan Fauzi.

Cowok itu menatapnya lekat-lekat. “Apa kau puas hanya menjadi pegawai yang mengharapkan gaji setiap bulannya? Tidak inginkah kau mendapatkan kebebasan finansial, dimana uanglah yang bekerja untukmu bukannya kau yang bekerja untuk uang? Apakah kau pernah membayangkan bisa berhenti bekerja sebelum masa pensiunmu dan bersenang-senang tanpa harus memikirkan besarnya sisa simpanan uang?”

Yolanda melongo dibombardir begitu rupa.

“Ini adalah solusinya.” Fauzi mengeluarkan selembar kertas bergambar chart berbentuk piramid. “Hanya dengan uang pendaftaran 500 ribu rupiah maka kau bisa bertapak di jalan kebebasan finansial. Segalanya tergantung usahamu, bila kau merekrut lima anggota maka bintangmu naik! Bila merekrut dua puluh anggota, bintangmu naik lagi! Begitu seterusnya, bintangmu terus naik sesuai jumlah anggota yang kau rekrut. Berdasarkan bintangmu maka kau akan mendapat bonus-bonus fantastis. Mobil! Kapal pesiar! Jalan-jalan ke luar negeri! Aku punya dvd rekaman terakhir di Hongkong. Kau harus menontonnya biar semangatmu terpacu.” Fauzi mengambil laptop kecil dan memutar dvd yang dia maksud. Mulut cowok itu terus mengoceh berapi-api. Membujuk. Menarik-narik. Dan mendorong Yolanda untuk memasuki sistem yang dia tawarkan.

Yolanda shock. Fauzi ternyata anggota Multi Level Marketing.

***

“Kau jadi korbannya?” Mbak Sis menyatroni Yolanda lagi.

“Siapa?”

“Fauzi! Kau jadi korbannya kan?”

Yolanda meringis.

“Tuh kan. Fauzi tu emang hebat menarik orang supaya masuk sebagai anggota MLM dia. Banyak pegawai di sini yang kepaksa masuk gara-gara kemakan rayuan dia.”

Yolanda meringis lagi mendengar penjelasan tersebut. Dia malu sekali sempat menyangka Fauzi menyukainya padahal tujuan cowok itu cuma pengen merekrutnya. Peringatan Mbak Sis juga menyiratkan hal yang serupa, karena beliau saat itu sama sekali tidak memperbincangkan hal berbau ‘cinta’. Seharusnya Yolanda bisa lebih peka.

Yolanda membongkar tasnya dan menemukan buku pinjaman Fauzi. ‘Sukses Bukan Impian’. Lalu dia tertawa sendiri.

Í

“Paling tidak kau memenuhi janjimu untuk tidak menceritakan kisah yang setragis kemarin. Tapi aku masih tidak bisa memutuskan apa cerita hari ini berakhir baik atau buruk. Taruhlah begini, seandainya Yolanda saat itu sedang jomblo maka dia pasti berharap pada Fauzi kan? Dia bakalan senang sekali mengira cowok itu menyukainya karena siapapun pasti mengira begitu kan? Bukan salah Yolanda bila akhirnya dia menafsirkan begitu.” Dini mengangguk-angguk penuh semangat.

“Bukan salah Fauzi juga sebenarnya,” kata Bayu. “Tanda-tanda cinta tidaklah selalu segamblang yang diperlihatkan sinetron-sinetron di televisi kita. Kalau semudah itu tak bakal ada kejadian dimana dua orang yang sebenarnya saling menyukai tidak bisa bersatu. Lalu berkata ‘andai dulu kutahu dia menyukaiku’. Setiap orang punya kemampuan yang berbeda untuk menunjukkan perasaannya. Ada yang dengan sekali lihat kita bisa langsung tahu dia sedang kasmaran. Sebaliknya ada pula yang dengan pintar menyembunyikannya. Tapi perhatian menjadi kunci dari segalanya. Refleksi terbaiknya adalah rasa suka. Dan yang terburuk adalah salah paham.”

“Kurasa untuk besok malam aku menginginkan sesuatu yang lebih polos. Perasaan yang tidak dilandasi tujuan lain seperti malam ini. Bisa kan?” pinta Dini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: