02

"Hari ini pun Lily cantik, ya."

Lily—si anak bertopeng yang datang lewat perapian—tersenyum manis di seberang meja begitu mendengar ucapan temannya. "Hari ini aku cantik karena Lilith cantik. Aku mengikuti apa kehendakmu, kau ingat?"

Lilith kembali menyeruput sup ikan, ditemani suara kekacauan dan lolongan nestapa di luar pintu. Mau tidak mau dia harus menghabiskannya, atau nanti ibu akan terheran-heran dan berpikir ada yang salah selama dia pergi.

"Ibu belum memberiku buku, tugas, atau mainan baru," lapor Lilith. "Jadi aku tidak tahu kita harus main apa hari ini. Kau ada ide?"

Lily bertopang dagu di seberang meja. Bibirnya yang semerah buah delima ranum mengerucut, barangkali menandakan bahwa dia tengah berpikir keras. "Masih tidak boleh ke luar?"

"Aku masih harus berulang tahun lima kali lagi."

"Kedengarannya sedikit."

"Selama di atas tiga, bagiku masih banyak. Lagipula, aku tidak yakin Ibu akan benar-benar langsung mengizinkanku pergi ke luar. Kau yang bilang sendiri kalau hati dan pikiran manusia itu selalu berubah-ubah. Jadi aku sudah bertekad; kalau nanti aku sudah tiga belas tahun dan ternyata masih tidak boleh ke luar, aku akan kabur." Lilith menghela napas. Nafsu makannya hilang. Sekarang dia hanya ingin duduk di sofa sambil memilin rambut. Melamun atau membayangkan ada seseorang yang menggedor pintu rumah sepertinya lebih seru ketimbang makan sup ikan.

Seseorang, ayo gedor pintu depan agar hari ulang tahunku tidak membosankan.

Lily menghela napas juga, tetapi tidak sejelas yang dilakukan Lilith. Anak itu masih bertopang dagu di seberang meja. Topeng bertanduk yang cantik senantiasa menutupi separuh wajahnya. Pertanyaan lama kembali timbul di kepala Lilith: Apa dia benar-benar mirip denganku?

"Apa kau tidak berniat untuk pergi menyelinap ke luar sekali pun?"

Lilith mengernyit. Tidak menggeleng ataupun mengangguk.

Rasa-rasanya dia memang pernah mencoba untuk menyelinap, tetapi yang tersisa di kepalanya hanya berupa bayangan-bayangan kabur. Dia tidak ingat kenapa, bagaimana, dan kapan persisnya dia menyelinap ke luar. Semua itu terasa janggal, terombang-ambing antara bunga tidur atau pengalaman nyata.

"Jangan-jangan kau betah di sini, ya?"

"Bukan begitu." Kali ini Lilith cemberut. "Aku belum pernah bilang, ya, kalau ibuku mantan prajurit istana? Instingnya itu mengerikan, tahu."

"Wow, benarkah? Bukan akal-akalannya saja agar kau makin takjub dan menuruti apa katanya?" Lily menyeringai. Topeng putih bertanduk hitamnya malah membuat air wajahnya tampak jahat. "Lagipula, kalau ibumu benar-benar mantan prajurit, seharusnya kau semakin penasaran dengan dunia luar. Bukannya pasrah diam-diam saja di sini."

"Asal kau tahu aku memang penasaran, tapi ibuku sering berubah-ubah kepribadian. Aku bahkan tidak tahu yang mana sifat aslinya." Lilith menggerutu di tengah kesibukannya menghabiskan sisa-sisa sup dengan terpaksa. Helaan napasnya terdengar lega saat dia berhasil menelan tanpa sisa. Akhirnya. "Memangnya ibumu tidak begitu?"

Pertanyaan kekanakan itu tidak lantas langsung dijawab oleh Lily. Si anak bertopeng justru terdiam menatap Lilith tanpa suara selama beberapa detik; cukup lama sampai Lilith duduk mengerut tidak nyaman.

"Tidak," jawab Lily akhirnya. "Ibuku tidak begitu, tapi sepertinya aku paham perasaan anak-anakku sekarang."

Lilith melotot. Kepala kecilnya langsung memuntahkan banyak pertanyaan, tetapi mulutnya tidak sanggup mengeluarkan semuanya sekaligus sampai-sampai dia tersedak. Dia berdeham keras, berusaha menahan rasa gatal di tenggorokan. Jangan sampai Lily menilai bahwa perbuatannya tidak sopan. "Maafkan aku."

"Tidak masalah. Kau terkejut?"

"Sangat terkejut," tekan Lilith terang-terangan. "Anak? Kau yakin bukan saudara? Ibuku saja bilang dia harus menjadi prajurit selama bertahun-tahun dulu baru bisa mendapatkan kekasih, baru setelah itu aku lahir. Apa itu artinya kau punya kekasih?"

Si anak bertopeng terkikik dan meremanglah bulu kuduk Lilith.

Suara kekeh, tawa, cekikik; semua itu seharusnya terdengar manis di telinga Lilith. Namun, sejak berteman dengan Lily, suara-suara itu bisa terdengar janggal, hampa, dan—sebenarnya Lilith tidak ingin mengatakan ini—mengerikan.

"Oh, temanku sayang, punya anak bukan berarti aku punya kekasih," ucap Lily kemudian. "Mereka anak-anak asuh. Artinya, aku mengadopsi dan merawat mereka seperti anakku sendiri. Bagaimana? Kedengarannya keren, 'kan?"

Lilith bergumam panjang dan manggut-manggut tanda paham di tempat. Satu telunjuk yang bebas iseng memintal-mintal seuntai rambut apel tua di depan telinga. "Dari mana mereka berasal?"

"Banyak tempat. Kutebak kau tidak akan tahu satu pun namanya."

Oh, sekarang Lilith sedikit tersinggung. "Tapi apa itu artinya kau merawat mereka sendirian?" Dia bertanya.

Dan Lily menggeleng. Bibir ranumnya memintal senyum miring yang anehnya tetap terlihat anggun. "Aku punya rekan. Dan dia tampan."

Kedua alis Lilith sontak terangkat. Dia teringat sesuatu; buku-buku cerita pemberian ibunya yang selalu memuja ketampanan setiap tokoh utama pria. Tidak dijelaskan bagaimana detailnya, yang jelas sering disebutkan tampan. Anak-anak perempuan sering digambarkan berjatuhan bagai lalat pada musim dingin ketika diberikan Senyum Orang Tampan. Apakah rekan Lily juga demikian?

Lilith juga sering mendengar cerita ibu tentang masa mudanya, ketika bunga-bunga cinta masih bermekaran dengan megah sepanjang hari. Ibu selalu menyebutkan bahwa ketampanan sang ayah adalah satu dari sekian banyak alasan untuk jatuh hati. Ibunya yang sekeras batu karang; ibunya yang dulu masih prajurit istana, dengan mudahnya jatuh hati begitu bertemu dengan pria menawan.

Tidak heran bila sekarang Lilith membayangkan setampan apa rekan Lily sampai-sampai temannya berkata demikian.

"Lily, kau tidak perlu bilang begitu," katanya. "Bukannya aku akan tertarik pada rekanmu atau apa."

"Hei." Lily menyeringai. Kelopak bunga mawar di sisi topengnya tampak bergoyang samar-samar ketika dia menelengkan kepala. Lagi-lagi dia terlihat jahat dengan ekspresinya yang sulit ditebak itu. "Asal kau tahu, dia anak yang baik, tapi banyak sekali orang yang salah kaprah terhadap sudut pandangnya. Makanya sekarang dia menjadi agak ... nakal. Jadi kupikir tidak ada salahnya kalau kau menyukainya juga—dalam aspek pertemanan, tentu saja. Atau kau tertarik untuk langsung jatuh hati padanya?"

Lilith berjengit. "Ibuku bilang jatuh cinta pada pandangan pertama itu hanya ada di cerita dongeng."

"Memang."

"Kau sendiri bagaimana? Tidak tertarik dengan rekanmu sendiri?"

"Tidak. Dia menyebalkan." Lily duduk tegak di kursi seberang. Terlihat jelas dia tengah melengos seolah-olah bilang, Amit-amit dengan orang yang satu itu. Kuku telunjuknya yang hitam legam mengetuk-ngetuk sisi topeng dengan irama konstan. "Bagaimana kalau kau ikut denganku sebentar? Kalian akan berhadapan dan bertukar nama."

Mata biru Lilith menyipit. "Kau mengajakku untuk berkenalan dengan orang-yang-katamu-menyebalkan? Tidak, ya. Terima kasih. Aku percaya, kok, dia menyebalkan seperti apa katamu."

"Oke, mari kita ubah tujuan utama." Cekikik Lily yang janggal menggema. "Kalau kau mau, aku akan memperkenalkanmu pada anak-anak asuhku. Mungkin tidak semuanya karena sekarang mereka sedang sibuk, tapi pasti ada beberapa yang tetap tinggal dan tidak ke mana-mana. Bagaimana? Hanya hari ini saja. Anggaplah ini hadiah ulang tahun dariku."

Itu adalah ide terbaik sekaligus terburuk yang pernah Lilith dengar. Kesempatan itu tidak mungkin datang dua kali. Hanya hari ini, dan temannya bilang itu adalah hadiah ulang tahun darinya bila Lilith setuju untuk ikut dengannya.

Sungguh penawaran yang menggiurkan.

"Kau yakin tidak akan lama?"

"Tidak akan. Aku juga bukan orang yang suka membuang-buang waktu."

Kapan Ibu pulang? Sudah berapa lama sejak dia pergi? Lilith menatap ke arah jam tua yang menempel pada dinding, tepat di atas pintu depan. Sekarang kurang dari lima belas menit sebelum tepat pukul sepuluh.

Berdasarkan pengamatan rutin yang Lilith lakukan; bila ibunya tiba-tiba hendak pergi keluar di pagi hari secara mendadak, dia akan kembali pukul sepuluh. Bila dia menyelinap keluar di pagi buta, dia akan kembali pukul sebelas. Dan bila pada malam sebelumnya dia sudah bilang akan pergi ke luar besok, maka dia akan kembali tepat di tengah hari, ketika dapur tetangga-tetangga mereka mengepulkan asap makan siang yang nikmat.

Ibu pergi secara mendadak pagi ini. Artinya Lilith tidak punya banyak waktu. Sebentar lagi ibunya akan pulang.

"Kenapa? Kau ragu?"

Oh, ketahuilah, Lilith bukan anak yang suka meragu.

Usianya sudah delapan tahun.

Hanya butuh lima kali ulang tahun lagi sebelum dia diberikan akses untuk bebas menyapa dunia luar.

Jadi, sebelum dia benar-benar dibebaskan untuk pergi ke mana pun dia ingin, tidak ada salahnya untuk mengintip sedikit keadaan kota pada satu hari. Siapa tahu Lilith akan menemukan alasan mengapa orang-orang begitu bersedih dan putus asa dan marah di hari ulang tahunnya.

Lilith menarik napas, mengepalkan tangan kecilnya yang seputih susu.

"Oke," katanya. "Aku ikut." []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top