NYANYIAN RUMAH KOSONG - CHAPTER 1

Giliran saya. Komposisi tulisan kali ini hanya menggunakan 10% imajinasi, selebihnya Memori. Ingatan. Tentang sebuah trauma yang harus saya gali dalam-dalam sebelum dituang dalam bentuk tulisan. 

Yang akan kalian baca ini, adalah sebuah kesialan yang menimpa remaja berumur delapan belas tahun, yang sedang menghabiskan hari libur di kota kelahiran.

Jember-Jawa Timur-Agustus-2008

Rumah nenek saya berada di sebuah kampung kecil di ujung selatan Kabupaten Jember. Butuh kiranya delapan kali Swipe agar muncul di google map. Di kampung kecil itu  juga saya dilahirkan, sebelum kemudian dibawa ke Situbondo karena tuntutan profesi orang tua.

Agustus tahun dua ribu delapan. Kala itu saya memiliki tujuh hari masa libur. Ada festival tahunan pesantren yang harus menyita tempat dan sarana-pra sarana sekolah, hingga kegiatan belajar mengajar pun mustahil dilanjutkan. Saya tidak peduli. Sebagai siswa, saya berharap tujuh hari lagi. Merasa punya banyak waktu senggang, saya putuskan pergi menjenguk mbah yang ada di jember.

Hari pertama di kampung Bayang—nama saya samarkan, saya melihat banyak sekali perubahan di kampung itu. Terakhir kali berkunjung adalah pada tahun 2001. Kawan, tujuh tahun ternyata waktu yang lama, hingga bisa mengubah kampung kelahiran menjadi nyaris antah berantah.

Sungai yang mengalir tepat di samping rumah nenek. Ya, tepat di samping rumah nenek saya, saat itu sudah diperkokoh dengan tembok dan pijakan beton, karena mayoritas warga di Kampung Bayang mandi dan mencuci hampir semua pakaian dan makanan mereka di sungai. Jangan tanya bersih atau tidaknya. Saya sering melihat tetangga mencuci baju di utara, sementara ada yang buang hajat di selatan. Saya tidak perlu jelaskan apa yang sedang mengambang dengan sopan diantara jarak sedekat itu. Maaf untuk yang baca sambil makan.

Salah satu perubahan yang mencolok adalah rumah Nyai Sumyati. Rumah megah di seberang sungai itu sudah tidak terlihat lagi. Berganti ladang terong seluas rumah Nyai Sumyati dulu. Sebelum itu, setiap pulang kampung saya selalu bermain bersama cucu-cucu beliau; Pri dan Hafid. Tapi teman-teman saya itu tidak terlihat lagi. Kabarnya mereka sudah berkeluarga dan kerja di luar negeri.

"Mbah, rumah Nyai Sum mana ya? Kenapa berganti ladang terong?" Tanya saya pada mbah putri waktu itu.

"Sejak cucu-cucunya menikah, Nyai Sum sering sakit. Kemudian dia menjual tanahnya untuk biaya berobat. Karena tidak ada kiriman uang dari anak dan cucunya di malaysia."

"Astaghfirullah, kasihan. Sakit apa mbah?"

Dari cara mbah saya cerita waktu itu, saya pikir Nyai sudah tiada. Nyatanya beliau masih hidup, dan gubug kumuh di pojok ladang terong itu adalah tempat tinggalnya. Beruntung pembelinya masih mengasihani Nyai Sum dengan merelakan beberapa petak tanah agar Nyai Sum dapat membangun hunian baru.

Beruntung? Ternyata tidak.

Gubug itu tidak hanya menyedihkan dari luar, tapi juga menyesakkan dada saat dilihat isinya. Kosong. Nyai hanya tidur beralas tikar tipis yang sudah berlubang. Itu juga harus berbagi dengan tumpukan baju dan gabah, yang ujung kain lusuhnya menjuntai ke jendela.

Pada kunjungan saya kala itu, saya bertemu dengan Nyai Sum yang sedang duduk di depan rumahnya sambil mendengarkan radio. Satu-satunya benda yang jadi pelipur lara si nenek. Tentu di usia yang sepuh itu, ia sangat ingin berkumpul dengan keluarganya yang lain. Terlebih setelah suaminya meninggal pertengahan 2005 silam.

Kalian merasa iba? Oh, kalian belum dengar yang paling buruk. Penyakit yang diderita nyai ternyata tidak sembuh. Saya tidak tahu namanya, tapi mungkin kalian pernah melihatnya. Kedua tangan Nyai Sum digerogoti oleh bisul yang ujungnya berwarna kuning. Sebagian masih berisi cairan, tapi sebagian besar sudah pecah dan menjadi kulit mati berwana hitam yang seringkali basah oleh nanah. 

Sekarang, seorang nenek tua, hidup sendirian tanpa kedua tangan, dengan penglihatan yang sudah terbatas, ah sampai sekarang saya tidak bisa bayangkan bagaimana beliau mengerjakan kegiatan sehari-harinya. Ini belum soal makan dan kebutuhan lain.

Semasa sehat dulu, Nyai Sum dan Mbah saya memang tidak terlalu akrab. Nyai dikenal pelit dan sering memberi bunga tinggi bagi siapa saja yang mau berhutang. Wajar jika di kala sakitnya, tidak seorangpun yang mau bersimpati. Bahkan mungkin banyak yang mengharap mati agar hutang yang tersisa tidak jadi tanggungan lagi.

Saya rasa percuma mengajak beliau bicara. Selain tidak bisa melihat dengan baik, pendengarannya juga sudah sangat parah. Belum lagi ada bau yang tidak sedap di sekitar gubug itu. Akhirnya waktu itu saya memutuskan untuk pulang.

Di rumah mbah pun saya masih sempat berbincang-bincang dengan mbah putri dan mbah kakung, dan dari perbincangan itu saya banyak tahu tentang masa lalu Nyai Sumyati. Selebihnya, saya tidak ingat kegiatan apa yang saya lakukan setelah itu, hingga akhirnya...

MALAM PUN TIBA

Tengah malam saya terbangun karena cuaca dingin. Jember selalu jadi favorit saat siang tapi sangat menyebalkan saat malam. Saya menggigil bahkan dibawah selimut. Di saat itu; di antara hening dan bisunya malam, saya mendengar suara nyanyian.

Seorang wanita sedang bersenandung, tanpa musik pengiring, tanpa lirik yang berarti, hanya sekedar nada tak beraturan yang keluar dari bibir yang tidak terbuka. Nyanyian terdengar jelas walaupun tidak teriak. Barulah saat ada bunyi bising mengganggu, saya sadar bahwa senandung itu berasal dari radio.

RADIO DI SEBERANG SUNGAI.

Tidak ada yang mengerikan dari suara tersebut. Jadi, jangan bilang saya bodoh karena saat itu saya masih muda dan selalu penasaran. Kamar yang saya tempati berada di depan, dekat dengan ruang tamu. Sengaja begitu karena di rumah pun saya memilih kamar depan. Posisi ranjang mepet ke dinding, dan di dinding itu ada jendela kayu tanpa tirai. Di atas jendela ada sebuah lubang ventilasi dengan ornamen berbentuk pusaran-pusaran kecil. Ada satu yang rusak dan berlubang besar. Dari lubang itulah saya mengintip.

Saya masih ingat dengan detail. Pemandangan di seberang sungai malam itu cukup membuat saya tambah menggigil. Bahkan saat saya ceritakan kembali lewat tulisan ini pun, saya merasa sedikit begidik.

Nyai Sum sedang berdiri di dalam rumahnya. Dibantu cahaya lampu Petromaks,  saya bisa melihat karena jendela rumah beliau tidak ditutup.  Dari sana tampak kepala Nyai Sum bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti irama nyanyian di radio. Bahkan samar-samar Nyai pun sedang bernyanyi dengan suara parau seorang nenek tua. Wajahnya tampak bahagia, sampai akhirnya saya melihat beliau menyeringai dan terbahak-bahak tanpa suara.

Hal itu sudah mengalihkan perhatian saya pada sesuatu yang sejak tadi berdiri di samping jendela rumah Nyai Rum. Putih, berdiri tegak, memandang ke arah jendela kamar saya seolah sadar bahwa ada yang sedang mengintip.

Saya tidak bisa memberikan detail wajahnya, karena saat pandangan saya tertuju ke bagian tubuh yang tidak tertutup kain putih itu, saya segera turun dan meringkuk di balik selimut.

Itu bukan yang pertama. Tapi salah satu yang terburuk. Saya harus tidur dengan senandung misterius terdengar di telinga, sementara ingatan tentang pocong di samping jendela yang masih lekat di mata.

Publish pertama kali di;  Serba-serbi Situbondo, 2011 (Danial Phoenix)- Revisi 2018

(Daniel Ahmad) Ya, nickname saya dulu memang alay. Gak usah dibahas.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top