NANYIAN RUMAH KOSONG - CHAPTER 3
Tiga hari berlalu. Selama itu, hampir tidak ada kejadian berarti yang saya alami; yang perlu saya ceritakan dalam tulisan bertema seperti ini. Tiga hari yang datar. Tiga hari yang ingar-bingar. Karena, kendatipun malam-malam saya kembali normal, malam-malam yang dilalui penduduk Kampung Bayang justru penuh tragedi dan gangguan gaib.
Saya ingat gadis desa bernama Jamilah--Oh, Jamilah--yang setiap pagi berjualan petulo dan serabi manis di pasar. Satu-satunya penyemangat saya saat Mbah minta diantar. Jamilah tutup, Mbah jalan kaki saja ke pasar.
Saat itu adalah hari ketiga saya di Kampung Bayang. Satu hari setelah meninggalnya Nyai Sumyati. Saya sedang bertransaksi dengan Jamilah dengan segala percakapan pendek yang sengaja dipanjang-panjangkan sambil menunggu Mbah selesai.
Mengharap obrolan manis, yang saya dengar justru pengalaman mistis. Jamilah cerita sambil bisik-bisik.
"Ternyata benar kata tetangga, Mas. Arwah Nyai Sumyati masih gentayangan di kampung ini."
Kalian tahu saya penakut. Tapi kalian tidak tahu bagaimana wajah pura-pura berani saya saat itu. Mungkin memalukan. Mungkin Jamilah tahu tapi dia jaga perasaan.
"Sudahlah, Mbak Jamil. Sebagai orang yang tidak percaya hantu, mendengar isu seperti itu justru membuat saya geli. Pengen ketawa, gitu lho! Masa iya, orang yang sudah mati masih gentayangan. Di kitab yang saya pelajari justru hal seperti itu tidak ada. Itu kerjaan Jin. Mereka menjelma menjadi orang yang kita kenal untuk melemahkan Iman kita. Karena ada hadis yang mengatakan... bla-bla-bla," Saya mencerocos.
Sekarang saya malu. Seharusnya saya tahu, berdakwah di depan warung petulo tidak akan pernah terdengar serius. Apalagi kalau dasarnya hanyalah 'Modus'.
"Tapi saya serius, Mas."
SEMALAM....
"Saya sedang membuang ampas santan di halaman belakang yang kebetulan rumah saya di samping sungai. Waktu itu saya belum dengar tentang desas-desus mistis yang terjadi setelah meninggalnya Nyai Sumyati, tapi... saya mendengar suara nyanyian dari seberang sungai."
"Rumah Mbak Jamil yang cat nya warna hijau itu, kan?"
"Iya, Mas. Jauh dari rumah Mbahnya Mas Danil. Kira-kira, jarak delapan rumah lah."
"Kalau jauh dari rumah Mbah saya, berarti jauh juga dari rumah Nyai Sumyati, kan?"
"Iya. Karena itu, saya langsung kaku saat melihat Nyai Sumyati berjalan di seberang sungai sambil membawa radio--Mas... Mas Danil dengar tidak sih?"
"Ah, iya, saya tidak takut kok--maksud saya, mana mungkin Nyai Sumyati jalan-jalan kalau orangnya sudah ada di dalam kubur."
"Mas tidak percaya saya, ya?"
"Percaya Kok, Mbak, percaya!"
"Tadi katanya tidak percaya hantu!"
Lama-lama saya telan bulat-bulat ini Petulo.
Kira-kira begitulah pengalaman Jamilah. Setelah kemarin mendengar cerita dari Lek Cipto, dan sekarang mendengarnya dari Jamilah, saya sedikit lega karena saya tidak sendiri. Perasaan ini mirip seperti saat saya tidak mengerjakan PR, tapi ada tiga siswa lain yang sama-sama tidak mengerjakan. Kalaupun kami dihukum setidaknya malunya dibagi-bagi.
***
Menjelang sore. Lagi-lagi saya harus jadi pendengar cerita mistis warga pasca meninggalnya Nyai Sumyati. Kali ini datang dari sekelompok pencari lindung; Belut Sawah, yang pulang tengah malam melewati kuburan Nyai sumyati.
"Ada pocong. Saya tidak bohong. Saya pikir itu kain putih yang tertiup angin. Pas saya perhatikan baik-baik, ternyata ada wajahnya. Melotot pula"
"Seram sekali, Lek."
"Tapi ada yang aneh, Cong," Sahut pencari Lindung yang satu lagi, "Pocong itu sama sekali tidak mirip Nyai."
Pendapat itu dibenarkan oleh teman-temannya yang lain. Mereka bahkan yakin sekali kalau pocongnya adalah laki-laki. Hanya saja, kami orang kampung memang sering berlebihan menilai sesuatu, hingga muncul alasan lucu terkait jenis kelamin si pocong.
"Kami yakin kalau pocongnya laki-laki, karena ada kumisnya."
Ingatan saya berhenti sampai di kalimat itu. Pocong berkumis? Diceritakan sambil terkencing-kencing pun saya tidak akan takut.
Sebenarnya banyak lagi pengakuan warga selama tiga hari itu. Untuk beberapa alasan, saya hanya ingat dua. Karena memori saya telah habis untuk menyimpan kejadian puncak di hari ketujuh.
HARI KETUJUH.
Dimulai dari kegelisahan Mbah Kakung tentang pasca meninggalnya Nyai Sum. Saat itu selepas salat isya kami bertiga kumpul di ruang tamu. Karena beberapa hari ini cerita tentang Nyai Sum gentayangan sudah jadi tema wajib, maka kami pun bergantian membahasnya.
Saat itulah Mbah Kakung memberikan pandangan yang berbeda tentang masalah itu.
"Warga di sini percaya hantu tapi tidak percaya doa. Ini sudah tujuh hari meninggalnya Nyai Sum tapi yang datang tahlilan cuma itu-itu saja."
"Apa boleh buat, Pak. Keluarganya saja tidak ada yang mau mengurus. Apalagi orang lain?" Sahut Mbah Putri, "Terlebih semasa hidup Nyai Sum memang tidak disenangi warga."
"Hidup bikin musuh, mati meninggalkan musuh. Kemarin di balai desa sempat cekcok antara warga dan anak-anak Nyai. Katanya, anak-anak Nyai Sum menuntut agar siapa-siapa yang berhutang pada Almarhum segera melunasinya pada keluarga yang masih hidup."
"Serius, Mbah?"
"Ya! Hasilnya... warga menolak mentah-mentah dengan dalih 'Uang untuk bayar hutang sudah habis dipakai merawat jenazah dan mengadakan tahlilan' Nah, repot kan?"
"Jadi, karena itu arwah Nyai jadi tidak tenang?" Tanya saya.
"Kalau itu, Mbah tidak komentar."
"Kenapa? Mbah tidak percaya?"
"Hampir setiap tempat pasti ada penghuni gaibnya. Mbah tidak percaya hantu, tapi Mbah percaya warga tidak bohong. Karena manusia itu cenderung melihat apa yang ingin mereka lihat. Tapi, tahu tidak, kalau ada yang lucu dari kejadian ini."
"Apanya yang lucu, Mbah?"
"Hampir semua warga yang mengaku didatangi Nyai Sum, adalah mereka yang punya hutang tapi belum bayar."
Mendengar kata-kata kakek barusan, saya langsung bertanya-tanya. Terus, saya punya hutang apa sama Nyai Sum? Kenapa dia mendatangi saya?
***
Sekitar pukul sebelas malam saya dan Mbah Kakung pergi ke Musala, setelah mendengar ribut-ribut warga tentang orang kesurupan. Saat itu, di sana sudah berbaring seorang ibu-ibu yang mukanya pucat dan wajahnya melotot ke langit-langit Musala. Di tangan kanannya ada barisan gelang emas yang setiap digerakkan akan terdengar bunyi kerincing.
Katanya, ibu itu tiba-tiba kejang saat sedang asyik mendengarkan radio. Menurut keluarganya, tidak ada yang aneh dengan radio itu. Walau begitu, tidak ada yang tahu apa yang ibu itu dengar sebelum kesurupan.
"Ini sudah keterlaluan. Untuk kesekian kalinya saya menghimbau pada bapak dan ibu semua. Kalau memang ada urusan duniawi yang belum diselesaikan dengan almarhum, segeralah diselesaikan. Bayarlah hutang kalian selagi wakil dari Nyai Sumyati masih hidup." Tutur Pak Guru.
Mendengar itu, warga langsung protes. Mereka jadi lebih ganas dari ibu-ibu kesurupan yang kini tidak lagi mereka pedulikan.
"Saya anggap utang saya lunas, karena setiap tahlilan saya yang bungkusin nasinya!"
"Saya yang kasih pinjam tikarnya."
"Saya yang pinjamin terpal dan tendanya."
"Saya tidak kasih apa-apa, tapi saya selalu datang tahlilan."
"Saya tidak pernah datang, tidak kasih nasi, tidak kasih pinjam tikar, tapi saya benar-benar tidak punya uang."
Begitu terus sampai yang kesurupan sadar sendiri, barulah warga bisa tenang. Ibu-ibu itu bercerita apa yang terakhir kali ia lakukan sesaat sebelum kesurupan, dan jawabannya adalah, "Saya mendengar suara senandung di radio. Persis seperti yang didengar warga. Setelah itu, saya tidak ingat apa-apa."
Kesaksian ibu itu membuka babak baru dalam peristiwa hari ketujuh wafatnya Nyai Sum. Beberapa saat setelah ibu itu sadar, korban kesurupan berpindah ke rumah tetangga yang dekat dengan Musala.
"Istri saya, pak. Istri saya ngamuk-ngamuk di kamar." Kata seorang bapak-bapak yang mendatangi musala karena panik dan butuh pertolongan.
Warga pun segera mendatangi rumah yang dimaksud, dan sama seperti sebelumnya, setelah istri orang itu sadar, korban kesurupan berpindah ke lain rumah.
Warga mulai kalang kabut. Mulai memikirkan diri sendiri. Termasuk saya dan Mbah Kakung.
***
Singkat cerita, kami pulang ke rumah. Kami khawatir Mbah Putri ikut-ikutan kesurupan. Saya sempat dijewer sambil diteriakin, "Mbah tidak punya hutang!"
Sedikit lega, walau di luar rumah masih gaduh suara warga yang saya tidak tahu lagi penyebabnya. Waktu itu sudah lewat tengah malam, dan saya harus pulang ke situbondo besok siangnya karena masa liburan sudah habis.
Lampu rumah sudah mati sebagian. Mbah saya sudah tidur, dan saya pun akan segera menyusul. Sialnya, di pikiran saya sedang berkecamuk ragam tragedi dan spekulasi mengenai kematian Nyai Sum dan hubungannya dengan radio, pocong, dan... suara nafas di dalam selimut? Kenapa hanya cerita itu saja yang tidak saya dengar dari orang lain. Seolah-olah yang satu itu eksklusif untuk saya sendiri.
Malam makin larut, kegaduhan di Kampung Bayangpun surut. Saya pikir, saya sudah bisa tidur dengan tenang tanpa khawatir akan ada yang kesurupan.
TIBA-TIBA
Saya mendengar suara senandung itu. Rasanya dekat sekali seperti berasal dari dalam rumah Mbah. Takut? tentu saja! Tapi yang ada di pikiran saya saat itu adalah,
"Bagaimana kalau didengar Mbah, dan beliau langsung kerusupan?"
Saya lompat dari kasur dan bergegas ke ruang tamu. Saya tahu dimana Mbah meletakkan Radionya. Benda yang harus segera saya cabut baterainya itu ada di atas meja makan; di dapur. Saat melewati lorong penghubung ruang tamu dan dapur, senandung itu makin jelas terdengar.
Akhirnya, tidak butuh waktu lama sampai saya menemukan radio itu di atas meja; berdebu; kabel berbagai warna keluar dari lubang speakernya, tidak ada baterai, dan pastinya...
TIDAK BERBUNYI!
Anehnya, suara nyanyian itu masih terdengar. Jelas sekali. di dapur itu. Dan, kalau memang tidak berasal dari radio, itu artinya... Saya harus menoleh ke belakang untuk mengetahui jawabannya yang ternyata...
NYAI SUM SEDANG BERDIRI DI SAMPING LEMARI
***
Satu bulan kemudian.
"Assalamualaikmu, sehat, Cong?"
"Sehat, mbah. Gimana kabar Mbah Kakung di sana?"
"Alhamdulillah, Mbah Kakungnya juga sehat. Kapan liburan ke jember lagi?"
"Setelah semua yang saya alami di sana? Enggak deh, Mbah."
"Sudah tidak ada hantu lagi kok. Warga memutuskan untuk merubuhkan gubuk Nyai Sum, terus membakar barang-barang miliknya. Sebagian barang ada yang di buang ke laut, termasuk radionya. Terus, hutang-hutang warga juga sudah dilunasi meskipun mbah yakin mereka tidak ikhlas memberikannya sama anak-anak nyai yang tidak peduli itu. Usut punya usut, Nyai Sum diduga punya peliharaan gaib. Karena, warga tanpa sengaja menemukan pocong-pocongan yang terkubur di ladang terong."
"Kewajiban tetaplah kewajiban kan mbah? Tentang anak-anaknya yang tidak peduli itu, biar Allah yang hukum."
"Nah, ngomong-ngomong soal itu... Mbah dapat kabar kalau anak pertama Nyai Sum yang tinggal di kota sedang sakit parah. Tangannya kena penyakit kulit. Seperti bisul. Bernanah, Berbau, mirip penyakit..."
"Sudah, Mbah. Saya gak mau mimpi buruk."
"Ya sudah, kalau begitu kamu istirahat saja. Sudah jam 10 malam, besok Mbah telpon lagi. Ingat, jangan terlalu dipikirkan. Toh benar kata Mbah Kakungmu, setiap tempat itu pasti ada penunggunya. Entah di sini, atau di sana"
"Mbah!"
Mbah menutup telepon sambil tertawa sampai lupa mengucap salam. Saya pun kembali ke kamar setelah menutup telepon rumah di ruang tamu.
Benar-benar liburan terpayah tahun itu. Saya ingin melupakannya dengan tidur nyenyak dan memulai hari yang baru. Akhirnya, saya rebahkan badan, pakai selimut dan... selamat tidur.
Tunggu dulu! Saya sudah tahan nafas, tapi....
SUARA NAFAS SIAPA ITU?
END
NEXT EXPEDITION : THE WIFE
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top