ANOMALI LAMPU MERAH - CHAPTER 1
1995. Ada sebuah lampu merah terpasang di jembatan Geladak Macan. Bukan lampu lalu lintas, hanya satu dari barisan lampu tiang yang berbaris di pinggir jalan. Satu yang spesial. Tidak jelas apa tujuannya, tidak tahu juga siapa yang memasang. Yang warga tahu, lampu itu hanya menyala pada malam hari, dan satu-satunya yang berwarna merah.
Lampu merah mulai menarik perhatian warga setelah terjadinya sebuah kasus. Malam itu; Malam minggu. Malam yang jarang disebut dalam cerita-cerita bertema begini. Katanya romantis, katanya panjang, tapi malam minggu yang itu naas dan kejam.Sepasang muda-mudi pulang dari kencan pertama. Mabuk asmara, dan mabuk dalam arti yang sebenarnya. Guyonan, bermanjaan ria di atas motor astrea, tak peduli mulai masuk kawasan sepi dan—katanya—berbahaya.
Kiri-kanan dilihat saja, banyak pohon asam dan berjejer, bergantian dengan lampu tiang. Akhirnya, sepasang kekasih itu melewati jembatan bernama Geladak Macan, Lampu merah itu menyambut, menawan kemesraan.
Memang mereka mabuk, tapi padangannya jelas. Jernih dan sangat sadar. Mereka melihat seseorang berdiri di bawah lampu merah. Berselebung kain putih dari kaki sampai kepala. Bermandikan cahaya merah, menyamarkan wajah putih pucatnya. Matanya yang tak sejajar—lebih tingi sebelah kanan—memelototi dua insan yang dimabuk cinta, yang sekarang mulai ternganga. Kepala sosok itu bergerak dengan tersendat-sendat mengikuti laju motor, yang makin lama makin keluar jalur.
Malangnya nasib mereka. Dua sejoli menabrak pembatas jembatan. Gadisnya terpental ke dasar sungai. Masih hidup, tapi terbawa arus sungai, masih hidup lagi, tapi akhirnya menghantam batu besar, kemudian hilang. Sementara si pria lari tunggang-langgang berteriak 'Pocong.'
Kejadian itu yang pertama, dan kemudian menyebar cepat dan lancar, selancar mulut usil tetangga. Dalam sehari, sekampung sudah dikabari. Si pria menjadi saksi, betapa sosok itu menyeramkan sekali. Bagaimanapun ngototnya, alasan pria itu tak bisa diterima. Polisi membawanya ke kantor untuk diperiksa.
***
Tipikal orang kampung jaman dulu. Mereka yakin dan percaya bahwa hantu bisa membunuh orang. Sama yakinnya bahwa pesawat terbang yang melintas, bisa menurunkan uang. Akhirnya, lampu Geladak Macan pun dicopot oleh warga bernama Tahri, yang setelah diteliti, ternyata hanya lampu biasa. Tidak merah seperti yang diceritakan.
"Mungkin merahnya pas malam saja, Pak Kades," Kata Tahri.
Dugaan tak berdasar, tapi penuh keyakinan.
"Mungkin otakmu berfungsi pas malam saja, Tahri!" Balas Pak Kades sinis, dengan tak kalah yakinnya.
"Wahai wargaku yang goblok, kalau lampu itu kalian copot, Geladak Macan jadi gelap. Malah makin banyak kecelakaan. Sudah, cepat pasang lagi!"
Tahri tak sependapat. Dia yakin dengan tingkat intelektualnya sendiri. Karena itu, Tahri mengantongi lampu Geladak Macan, dan menggantinya dengan lampu murahan yang ia copot dari kandang sapinya.
***
Tengah malam. Ranjang bambu Tahri berdecit berkali-kali. Mengganggu tidurnya yang baru saja lelap setelah menonton drama kolosal. Tahri terbangun mendapati istrinya naik turun ranjang berkali-kali, hanya untuk mengintip melalui dinding bambu.
"Ada apa, Bu?"
"Sapi-sapi kita dari tadi bunyi terus, Pak. Dan sekarang semuanya menghadap ke selatan."Tahri bangun. Mengenakan sarung dengan sembarangan, sampai jadi gulungannya jadi sebesar paha. Sekaligus membuatnya meninggi di atas lutut. Kemudian, Tahri memastikan sendiri melalui jendela.
"Iya, Bu. Kok perasaan Bapak tidak enak, ya? Biasanya kalau begitu, bakal ada maling."
"Ya sudah, buruan samperin! Jangan lupa bangunin orang-orang di pos jaga."
"Tidak usah! Maling kalau melihat tuan rumahnya masih bangun, tidak akan jadi beraksi. Percayalah."
Tahri menggelar tikar di bangku kayu dekat kandang sapi. Duduk telanjang dada berbekal kopi dan rokok klobotnya. Mengantuk. Hawa dingin menusuk-nusuk. Belum lagi serangan nyamuk dan bau kotoran sapi. Benar-benar malam yang menyiksa.
Lamat-lamat, Tahri melihat sapi-sapinya kembali tenang, Tahri pun senang. Dia merebahkan tubuhnya di atas bangku kayu beralas tikar anyaman bambu. Pemandangan terakhir yang dilihatnya sebelum pelan-pelan terpejam, adalah langit malam. Penuh bintang dan berhias lengkungan bulan. Cahaya kuning keemasan, bercampur merah darah.
Tahri membuka matanya. Warna merah barusan bukan berasal dari bulan, tapi dari kandang sapinya.
"Lampu itu?"
Lampu yang dicurinya dari Geladak Macan, kini menerangi kandang sapi dengan warna merah pekat. Tahri tak percaya pada matanya. Mungkin kantuk sudah membuatnya gila. Barulah saat melihat kedua kalinya, dengan pandangan jernih karena telah dikucek berkali-kali, Tahri jadi yakin bahwa lampu itu benar-benar bersinar merah.
Tahri terheran-heran. tapi merasa bahwa itu tak cukup mengerikan. Tidak segawat kesaksian pemuda di jembatan tadi. Sampai akhirnya, putih-putih di kandangnya yang Tahri kira sapi, sekarang berdiri menampakkan empat pocong yang melototinya penuh amarah.Tahri tidak bisa mengaji. Iqro' saja baru jilid dua. Lantas, ayat apa yang mau dia jadikan senjata? Jadilah Tahri lari tunggang langgang sambil membaca basmalah. Membangunkan istri, anak, dan kucingnya. Tahri membawa keluarganya keluar rumah. Mereka berkumpul di teras sampai pagi datang.
***
"Tahri! Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau lampu ini lampu biasa? Lagipula—" Pak Kepala Desa berdecak kesal, "Kenapa kamu malah bawa pulang lampunya?"
"Tapi sudah saya ganti dengan lampu lain, Pak kades, agar jembatan tidak gelap."
"Tetap saja! Itu inventaris desa yang kamu bawa! Sudah, sekarang cepat copot lampu di jembatan itu, dan ganti dengan yang baru!"
"Yang baru?"
Tahri memandangi lampu merah di atas meja yang dibawanya ke rumah Pak kades dalam rangka mengadukan penampakan pocong semalam.
"Iya, belikan yang baru dan pasang kembali di geladak macan!"
"Terus, lampu ini mau diapakan, Pak?"
Pak Kades mengambilnya, melemparnya ke lantai dan menginjak-injak pecahan kaca dengan sandal kayunya.
"Mau saya kasih ke kuda lumping."
***
Pak Kades adalah orang yang bertanggung jawab. Selepas salat isya, dia memastikan sendiri ke Geladak Macan, dan mendapati lampunya sudah diganti dengan yang baru. Mengingat Tahri adalah orang yang suka nakal, Pak Kades justru heran karena kali ini Tahri menurut tanpa banyak menuntut. Dia bahkan tidak meminta uang ganti untuk beli lampunya.
Apakah pocong di kandang sapinya itu benar-benar nyata? Ah, kenapa saya jadi ikut-ikutan goblok? Pak Kades membatin.
***
Lampu di meja kerjanya baru saja mati. Pak Kades terpaksa bekerja di rumah karena hujan deras menghalanginya pergi ke kantor. Lebat sekali sampai jam satu malam. Merasa lelah, dan punya banyak tugas esok hari, Pak kades memutuskan untuk menyusul istrinya di kamar. Tidur berselimut kain berbulu-bulu lembut di tengah hawa dingin hujan yang mulai jadi gerimis. Ah, nikmatnya.
Pak Kades terperanjat manakala mendengar suara letupan. Rumahnya berada di pinggir jalan besar, dan sudah sering kali terjadi kecelakaan. Tapi kali ini, suara letupan itu berasal dari dalam rumahnya.
Pak Kades dan Bu Kades keluar kamar. Terkejut karena ruang tamunya gelap.
"Pak, apakah ada maling?"
"Sebaiknya ibu ke kamar. Nyalakan lampu!" Tegas Pak Kades.
Saat hendak memeriksa ruang tamu, suara letupan itu terdengar lagi. Kali ini jelas sekali berasal dari lampu di atas, dimana Pak Kades tengah berdiri. Lampu itu mendadak pecah, tanpa sebab, mencipta gelap seketika.
"Apa-apaan? Siapa yang lempar lam—"Belum juga selesai bicara, kali ini lampu di kamar—yang baru saja dihidupkan istrinya—mendadak hancur dan menghujani Bu Kades dengan serpihan kaca dan debu-debu halus.
"Ibu tidak apa-apa?"
"Tidak, pak. Cuma kena gores tangan sedikit."
Pak Kades menggamit tangan istrinya dengan sedikit kasar. Membawanya keluar kamar. Dan menyambangi kamar anaknya. Saat hendak mengetuk pintu, anak perempuan Pak kades sudah membukanya lebih dulu. Rupanya terganggu dengan suara berisik Bapak dan Ibunya.
"Ada apa, Pak, Bu?"
"Nduk, lampu di kamar kamu masih hidup?" Tanya Pak kades.
"Masih, tuh. Soalnya aku lagi baca buku."
Sedetik kemudian, lampu di kamar anaknya juga pecah. Mereka bertiga terpekik bersamaan dan mulai merasa bahwa ini benar-benar tidak wajar.Masih tersisa cahaya dari dua lampu di lorong tempat mereka berdiri.
"Kita ke dapur, cepat!"
Mengiringi kepergian ketiganya, lampu di lorong juga mati. Satu persatu. Seolah mereka berlari dikejar gelap dan pecahan lampu-lampu yang menaburi kepala.Sampailah di dapur. Sekarang, ketiganya berpelukan di bawah satu-satunya lampu terakhir.
"Bapak, sebenarnya ada apa? Apakah ada perampok?"
"Bapak juga tidak tahu nduk—Ah, itu, ambilkan senter!"
Dengan sigap, putri Pak Kades memberikan senter yang ada di meja kepada ayahnya, dan dengan sekejap lampu di dapur juga pecah. Padam. Runtuh sudah pertahanan terakhir mereka. Pelukan semakin erat. Dzikir dan ayat-ayat suci makin nyaring diucapkan.
Saat dirasa bahwa harapan sudah pupus, Pak Kades mempercayakannya pada lampu senter untuk menerangi rencananya pergi keluar dari rumah.
Begitu senter dinyalakan, Pak Kades kaget karena sinarnya merah. Sinar itu menyorot lorong gelap rumahnya. Menampakkan pocong melompat-lompat, mendekati tiga orang malang yang sudah seragam dalam jeritan. Pak Kades mematikan senter. Berusaha membuang
pemandangan ngeri itu.
"Kita tidak bisa di sini terus. Kita harus keluar."
Penuh tekad, lampu senter kembali dinyalakan, hanya untuk menyorot wajah seram pocong yang sudah sejengkal di depan mukanya.
Note. Draf cerpen ini hilang. Saya skip dulu sampai buat yang baru.
END
NEXT EXPEDITION
"DEPAN KUBURAN CINA"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top