Midnight Club - Perekrutan

Lagi-lagi St.de Lune kembali dihebohkan dengan kasus mayat seorang siswi yang kehilangan kepalanya. Sebuah garis polisi melintang di pojokkan taman siswa gedung barat St.de Lune. Anak-anak sibuk mengerubungi titik tersebut, penasaran dengan sosok mayat yang telah ditutupi kain putih.

Tidak terkecuali Nico. Awalnya dia hanya melewat, tapi matanya gatal ingin melirik ke kerumunan manusia tersebut. Karena tubuh tinggi rampingnya, Nico bisa saja berada di perbatasan garis polisi. Tetapi dia tidak mau repot melakukannya, jadi Nico hanya diam di tengah kerumunan tersebut.

"Apa yang terjadi dengannya?"

"Kemarin terjadi bulan merah kan?"

"Jangan-jangan... Dia..!"

"Tidak salah lagi. Tapi kenapa?"

"Entahlah.."

"Hal macam apa yang tega membunuh siswa sekolah seperti ini?!!"

Tidak sampai lima menit, Nico lanjut berjalan menuju kelasnya. Tetapi dia berhenti di tengah jalannya. Pandangannya tertuju pada jam tangan di pergelangan kirinya.

07.00 AM

Kelas dimulai satu jam lagi, yaitu pukul 08.00 AM.
'Akan sangat membosankan menunggu di kelas, lebih baik pergi ke tempat lain',pikirnya sembari pergi ke tempat yang dituju. Yaitu gedung sebelah barat tepatnya di lantai tiga paling sudut. Tempat yang sangat jarang di kunjung murid lain selain anggota Midnight Club. Tempat itu lebih digunakan sebagai gudang dibanding tempat belajar mengajar.

Tepat ketika membuka pintu ruangan paling ujung, udara panas dan silau terik matahari menyapanya. Ruangan itu terbilang kecil sih.. Makanya panas. Tapi menurut Nico, dia lebih nyaman di ruangan itu.

Ternyata seseorang sudah berada dalam ruangan tersebut. Seorang siswi asik meniup dan mengunyah permen karet seraya duduk di kursi rusak paling belakang. Ia mengangkat kakinya ke atas meja dan menyilangkan tangan. Kemudian, pandangan bosannya bertemu milik Nico.

"Morning, Nico." sapa gadis itu mengangkat tangannya malas. Kemudian ia menguncir rambut hitam legamnya ke belakang.

"Pagi. Hana, kau tidak boleh mengangkat kaki ke atas meja. Tidak sopan. Lagian pahamu kelihatan tuh" protes Nico memalingkan wajah. Hana hanya menyeringai, Dengan santai ia turunkan kedua kakinya.

"Dasar mesum. Aku melakukannya karena tidak ada orang tadi" kata gadis bernama Hana membela diri. Nico tidak membalas dan pergi duduk di kursi seberang Hana. Ia menaruh buku yang di bawanya ke atas meja, dan mengeluarkan buku kecil lain dari dalam sakunya.

Ia membalikkan tiap-tiap halaman hingga berhenti di sebuah halaman bertuliskan "Midnight Club". Sebuah klub yang di isi oleh tiga orang. Dengan pendiri ketua OSIS, yang menyerahkan posisi ketua klub pada Nico. Untuk sisanya Nico yang harus mencari anggota lain hingga dia menemukan Hana.

Teman Asianya ini mengintip sedikit kemudian tertawa setelahnya.

"Tak punya nama yang lebih baik dari itu? aneh tahu." olok Hana lanjut meniup permen karetnya.

Nico melirik Hana sinis.

"Diam. Lagipula apa ada informasi yang kau tahu soal kasus tadi pagi?" tanya Nico to the point. Hana berhenti mengunyah dan menopang dagunya sambil berpikir.

"Namanya Clarisa dari kelas 1-C." Nico mencatat bersamaan Hana yang berbicara.

"Dengar-dengar karena kecantikan dan kepintarannya dia salah satu murid teladan dan cukup populer" Hana mendecih tanpa alasan jelas. Nico pun bertanya,

"Ada apa?"

"Nothing.." jawab Hana, kemudian lanjut bercerita.

"Clarisa meninggalkan bangunan asrama sekitar pukul sembilan malam tanpa siapapun yang melihatnya. "

"Satu jam setelah waktu lampu kamar dimatikan ya.." gumam Nico pelan. "Lalu?"

"Dia punya seorang kekasih. Dan Clarisa keluar setiap siklus 4,2,3 hari dengan waktu yang sama, pukul sembilan malam. Dia keluar saat yang lain lengah" Nico tidak menanggapi.

"Menurutku dia ingin bertemu kekasihnya tadi malam, tapi dia malah tidak datang. Dan dia jadilah korban."

"Mungkin mereka sedang bertengkar karena-"

"HANA. Aku tidak tertarik dengan urusan asmara seseorang." Nico menghentikan kegiatan mencatatnya.

"Dan kau seharusnya tidak mengorek informasi privasi orang." kata Nico menasehati.

Hana malah terkekeh. "Kau salah, Nico. Justru itu sangat berguna." Si teman separuh asianya menghela nafas sabar, mengalah. Hana memang tidak pernah mendengarkan apa yang Nico nasehati.

"Kurasa cukup sampai disini. Lima belas menit lagi kelas dimulai" kata Nico berdiri dan merapihkan bangku yang baru didudukinya. Kemudian ia beranjak pergi.

"Tunggu, Nico" panggil Hana ikut berdiri. Nico pun menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Hana penuh tanda tanya.

"Aku menemukan orang yang menarik untuk direkrut" kata Hana menyeringai. Jujur saja, Nico memang mencari orang lain untuk bergabung. Namun masalahnya, ia sulit mempercayai orang lain.

"Listen, Hana. Klub ini didirikan untuk mengorek misteri pembunuhan berantai di sekolah kita. Tidak ada yang tahu keberadaan klub ini kecuali para anggota." Nico menjeda,

"Resiko menjadi anggota klub sangat besar. Jadi kita harus sangat selektif memilih anggota. Informasi yang kita dapat tidak boleh tersebar. Lagipula klub ini didirikan secara ilegal yang tidak memiliki wewenang atau hukum apapun di sekolah. Kalau kebanyakan anggota, aku khawatir klub ini jadi mencolok" jelas Nico menatap Hana mengancam. Hana malah tertawa lepas.

"Jadi kau tidak percaya padaku? Ya ampun Nico.. Nico.. Jangan seenaknya meragukanku" kata Hana mengancam balik, toh ia juga tahu kalau dia harus berhati-hati. Hana merasa risih dengan perkataan Nico tadi. Nico hanya diam.

"Bagaimana kalau kita taruhan?" tantang Hana.

"Taruhan?"

"Kau temui saja dulu orangnya. Namanya Annaliese Naucha, dia di kelas 2-3. Kebetulan kami satu kelas.. Dan teman sebangku."

"Jika aku tidak tertarik dengannya?" tanya Nico balik menantang.

"Aku mengaku kalah dan akan menuruti perkataanmu. Tetapi jika kau tertarik, kau harus membiarkanku merekrut satu orang lagi, Nico" kata Hana sangat yakin. Nico mendesah pelan karena sikap keras kepala temannya ini. Yah.. Sejujurnya dia tertarik dengan taruhan Hana.

"Aku usahakan luangkan waktu satu hari untuk bertemu dengan gadis itu. Dan jika aku kalah taruhan.. Kau hanya boleh merekrut satu orang lagi, Hana. Ingat itu baik-baik." Dengan itu, Nico lekas pergi. Diam-diam ia menyeringai, menanti hari Hana mengaku kalah.

***

"Hachuuuu!!!" Suara bersin terdengar di sudut kelas 2-3. Dimana siswi asal inggris berambut ikal pirang duduk bersama kerumunan teman-temannya.

"Kau sakit Anne?" tanya teman gadis itu yang tidak lain adalah Anneliese Naucha.

"Aku tidak apa-apa kok, Lily" elak Anne dengan logat kental britishnya. AC di kelas memang terbilang sangat dingin. Tapi tubuh Anne masih hangat karena balutan sweeter dibalik jas hitamnya.

"Really? Kalau sakit pergi ke ruang kesehatan saja" usul teman lainnya nampak masih menghawatirkan kondisi Anne.

"Ini hanya bersin biasa, Amy. Soalnya hidungku gatal!" jawab Anne mengelap hidungnya dengan sapu tangan.

"Hei, hei kalian tahu? Mitosnya kalau bersin tanpa sebab ada orang yang membicarakan kita!" Gelak tawa Anne dan yang lain langsung pecah.

"Mana mungkin! Itu hanya mitos Rose!" kata Lily yakin.

"Yah.. Tapi itu bisa saja benar" balas Rose menggembungkan pipinya tidak mau kalah. Anne hanya diam melihat temannya berdebat.

"Enough you two. Lagian Kalian sudah tahu kabar tadi pagi?" sela Amy. Wajah Anne berubah serius.

"Sudah. Kali ini tanpa kepala. Gosh itu seram" Rose memeluk tubuhnya ketakutan.

"Minggu lalu.. Kalau tidak salah tangan kanan yang hilang kan?" tanya Lily.

"Iya. Mereka orang tidak waras yang nekat keluar pada bulan purnama merah!" cibir Amy.

"Bukannya menurut kalian aneh?" Anne yang sedari tadi diam mengamati, membuka mulutnya. Tiga pasang mata heran tertuju padanya.

"Maksudmu?" tanya ketiga temannya bersamaan.

"Ada pola dalam pembunuhan sekolah kita. Kepala, tangan kanan, kiri, kaki kanan dan kiri juga. Terus berulang lagi. Jika aku menjadi pembunuhnya... Itu akan kujadikan sebagai kode" kata Anne panjang lebar sambil menopang dagunya.

"Benar juga sih.." temannya yang lain ikut berpikir.

"Tapi aku tidak mau ikut campur. Nanti kalau aku dibunuh bagaimana?  Si pembunuh tidak mau identitasnya terbongkar kan?" Rose menggigil takut. Teman-temannya yang lain terkekeh.

"Dasar penakut!" olok Amy menjulurkan lidahnya.

Tanpa ia sadari, seorang siswi yang tidak lain, Hana, tengah menguping pembicaraan mereka sedari tadi. Ia menyeringai sembari mendekati meja Anne. Anne mendongak ketika teman sebangkunya menghampiri dia.

"Hei, Anneliese. Kau tidak keberatan kalau  sepulang sekolah kita bicara sebentar?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top