cerpen • missing you

AKU anak yang berdosa.

Aku terlalu tenggelam dalam pekerjaanku, sampai tak menyisakan sisa waktu untuk Mama. Aku malah menggunakan waktu senggangku untuk mendekam di apartemen. Seharian penuh kuhabiskan di depan layar ponsel, berselancar di jejaring sosial ataupun bermain gim tembak-tembakan yang sedang marak akhir-akhir ini.

Sampai akhirnya, Mama meninggalkanku untuk selamanya. Di saat-saat terakhirnya di dunia ini, aku malah tidak ada di sisinya. Aku, satu-satunya anak kandung sekaligus anggota keluarga yang dia miliki.

Kedua mataku tak mampu menahan air mata yang tumpah ruah kala menyaksikan tubuh kaku Mama dimasukkan ke dalam lahad. Bersatu kembali dengan bumi. Aku menggigit bibir bawahku sampai berdarah, mataku memanas. Tubuhku bergetar hebat.

Aku tidak pantas diampuni.

Dosaku terlalu berat.

Kini, empat puluh sembilan hari telah berlalu. Namun, aku belum juga bisa melupakan kesedihan yang mendera di dada. Rasa sakitnya masih kuat terasa, begitu menyiksa sampai rasanya ingin mati sekarang juga.

Seharusnya, aku tidak boleh berduka terus-terusan seperti ini. Aku harus bahagia, Mama pasti sudah berbahagia di atas sana di pangkuan Sang Maha Kuasa.

Aku tersenyum miris saat memperhatikan setiap bingkai foto yang terpampang di dinding rumah Mama. Sebagian besar foto yang ada adalah foto Mama denganku. Ada foto saat aku pertama kali masuk sekolah dasar, saat kami pertama kali berkunjung ke kebun binatang.

Ada pula fotoku memberi makan seekor sapi. Ah, aku jadi ingat kejadian itu. Sungguh, memalukan sekali rasanya.

Saat itu, setelah foto tersebut diambil, ember berisikan rumput yang kupegang seketika direbut oleh si sapi. Entah dia memang selapar itu atau apa, aku tak mengerti. Tentu saja aku kaget. Aku sampai terjungkal ke tanah dan ketakutan.

Mama saat itu tertawa terpingkal-pingkal. Senyumnya bahkan mengalahkan sinar sang mentari.

Aku rindu senyuman itu.

Pipiku basah, ada sesuatu yang merosot dari mataku. Sial, kenapa aku menangis lagi? Mataku sudah sembab sekali bak orang dikeroyok preman berkat menangis berhari-hari tanpa henti. Entah bagaimana penampilanku sekarang. Aku tak peduli lagi.

Andai aku bisa mengulang kembali semua kenangan di foto-foto ini. Namun, aku tahu benar itu tidak mungkin terjadi.

Langkahku kini beralih ke ruang makan bernuansa tahun 90-an. Kudapati pula peralatan masak di salah satu sisi ruangan ini. Sontak otakku bernostalgia ke masa lalu. Dulu, Mama sering sekali memasak. Sebagian besar waktunya dia habiskan di dapur, mencoba berbagai macam resep.

Sekadar memberitahu, masakannya sangat enak. Tidak ada satu makanan buatan beliau yang tidak aku suka. Aku pun berani menjamin, masakannya tidak kalah dengan masakan para koki terkenal di luar sana.

Yah, meski sekarang, dapur ini tak mungkin digunakan lagi. Debu bertandang di hampir semua pelosok.

Aku membuang napas. Dapur ini kehilangan sinarnya.

Aku memilih duduk di salah satu bangku meja makan. Melihat bangku seberang, sudut bibirku entah kenapa tertarik. Dulu, Mama biasa duduk di sana.

Rasa kantuk sekonyong-konyong datang, mengisap perlahan kesadaranku. Mataku mengerjap-ngerjap. Kepalaku tenggelam dalam lipatan tanganku. Memejamkan mata, bibirku membisikkan satu hal.

"Aku rindu Mama ...."

*****

"Fandra. Bangun, Nak."

Sebuah suara yang begitu familier mengalun di telingaku. Kemudian, sebuah tepukan halus mendarat di bahuku. Tersentak, aku membangunkan diri.

"Akhirnya. Bangun juga kamu."

Aku menoleh ke sumber suara, lantas membeku.

Itu ....

"Fandra? Nak? Kamu kenapa?" Sosok di depanku kebingungan melihatku.

Itu Mama.

Apakah aku salah lihat? Ah, atau mungkin saja ini efek dari obat tidur yang sering aku konsumsi akhir-akhir ini. Aku jadi berhalusinasi. Tetapi ... kenapa rasanya begitu nyata?

Ada baiknya aku memastikannya sendiri daripada menduga-duga tak jelas.

Plak!

"Ya Tuhan! Fandra! Kamu ini kenapa, Nak?!" Wanita paruh baya yang persis mirip Mama ini memegang lenganku. Matanya yang bulat indah mengamatiku lekat-lekat. "Nak, kalau kamu stres dengan pekerjaanmu, kamu bilang pada Mama, oke? Mama nggak rela anak Mama jadi gila. Nanti Mama demo kantormu bareng geng gosip Mama."

Oke, sentuhannya benar-benar nyata. Aku menelan ludah.

Apa yang sebenarnya terjadi?

"Umm ... Ma? Hari ini tanggal berapa?" tanyaku ragu-ragu.

"Tanggal 21 April, Nak."

... Eh?

Bukannya itu seminggu sebelum Mama meninggal?

Baiklah, aku benar-benar tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Sebelumnya, aku sedang mengenang masa-masa bersama Mama, hingga akhirnya aku terlelap dalam tidur di ruang makan. Sekarang, aku terbangun di ruang yang sama, dan ada Mama. Masih hidup dan sehat bugar.

Tanpa sadar aku memeluknya.

"Eh, Fandra? Kamu ini sebenarnya kenapa, sih? Jangan-jangan kamu kerasukan-"

"Aku nggak pa-pa, kok. Cuma pengin peluk aja." Aku benamkan wajah dalam pelukan. Rasanya hangat sekali. Sudah lama aku tidak merasakan ini.

Kurasakan belaian lembut pada kepalaku. "Astaga, anak Mama jadi manja begini. Jadi ingat masa-masa kamu masih kecil." Beliau lantas tertawa. Bagiku, tawanya terdengar seperti alunan musik terindah yang pernah kudengar. Terkesan hiperbola, tetapi itulah kenyataannya.

Setelah itu, kami berbincang mengenai banyak hal. Mulai dari yang penting sampai yang tidak penting sama sekali untuk diomongkan. Diiringi canda juga tawa renyah, konsep waktu seolah tak berarti bagi kami. Seperti dunia ini hanya milik kami berdua.

Tahu-tahu, malam sudah menjelang. Kami benar-benar tak sadar waktu. Sekali lagi tertawa, Mama lantas menuju dapur untuk memasak makan malam. Kalau dipikir-pikir, dari dulu aku belum pernah sekali pun membantu Mama memasak.

Mirisnya, beliau sering memasak untukku, dan aku tidak pernah melakukan sebaliknya. Astaga, ternyata sedurhaka itulah aku.

"Ma, aku bantu Mama masak, ya."

Bangkit dari bangku, aku langsung berinisiatif mengambil bahan-bahan yang sekiranya diperlukan. Mama memandangku bingung, lalu berkata, "Udah, kamu duduk manis saja sana. Kamu hanya bakal ganggu aja nanti."

Menggeleng-geleng, aku menjulurkan lidah jahil. "Kalau aku nggak mau?"

Beliau tersenyum, lantas menggelitik pinggangku. Aku hanya bisa tertawa-tawa. Meski sebenarnya aku bisa menghentikannya, aku memilih pasrah. Biar saja Mama mengapa-apakanku seperti ini. Bila dengan ini beliau bahagia, mau berapa kali pun, aku tak masalah.

Aku ingin terus melihat senyum itu.

*****

Sepertinya aku benar-benar tak sadar waktu.

Beberapa hari terlalu sudah semenjak hari itu. Aku benar-benar memanfaatkan setiap detik yang kupunya bersama Mama. Kami banyak mengobrol mengenai apa saja yang kami alami. Aku curhat mengenai kolega-kolegaku yang tak tahu diri, juga hubungan pertemananku yang lebih rumit dari labirin. Sementara Mama membicarakan hobi yang baru-baru ini beliau tekuni; menulis.

Yah, memang ada beberapa temannya yang telah menerbitkan buku-bahkan sampai masuk jajaran best seller. Mungkin saja beliau iri, sehingga memilih menyalurkan waktunya di depan laptop yang kubelikan untuknya. Sibuk merangkai kata.

Aku sudah memperingatkannya, mengingat matanya sudah tidak sekuat dulu lagi. Namun, beliau menenangkanku dan berkata bahwa beliau akan baik-baik saja. Beliau tahu batasannya.

Ya sudahlah, aku pasrah dan membolehkan. Lagi pula, aku tidak ingin Mama kebosanan di rumah, tidak melakukan apa-apa.

Karena suasana saat ini tidak memungkinkan untuk keluar rumah, aku harus mengerjakan semua pekerjaanku dari rumah. Di waktu ini, seingatku, aku hanya berniat berkunjung sebentar ke rumah Mama-sekadar mengecek keadaannya-lalu kembali ke apartemen saat malam.

Akan tetapi, aku takkan melakukannya kali ini. Bagaimana pun caranya, aku harus berada di sisi Mama. Aku tidak akan membiarkannya pergi lagi.

Aku akan menyelamatkannya.

Ya, pasti inilah tujuan Yang Maha Kuasa membawaku kembali ke masa lalu. Aku yakin, sangat yakin. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas yang tak mungkin datang dua kali ini.

Mama, akan kupastikan kau akan tetap hidup.

Aku tidak akan menjadi anak durhaka lagi.

"Fandra!" Panggilan Mama terdengar dari luar ruangan. Tanpa pikir panjang, kutinggalkan laptopku yang masih menyala.

"Ya, Ma?" Aku melangkah menghampiri beliau yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu di dapur. Pandanganku seketika menangkap tumpukan kotak-kotak di meja makan. Satu alisku naik.

"Itu kotak-kotak apa, Ma?" Telunjukku menodong tumpukan tersebut.

Mama menoleh, berkata, "Ah! Itu nasi kotak untuk sedekah."

"Sedekah? Sedekah ke mana memangnya?" Aku menelengkan kepala.

Beliau menyunggingkan senyum tulus. "Mama tiba-tiba kepengin sekali bersedekah ke orang-orang di jalan. Di saat-saat seperti ini, pasti mereka susah sekali mencari uang hanya untuk membeli sesuap nasi." Beliau mendesah, lalu kembali memperhatikan masakannya. "Mama nggak tega. Mama pengin seenggaknya bantu meringankannya. Yah walaupun hanya bisa nasi kotak, sih."

Mendengar alasan beliau, aku dibuatnya tersenyum. Ada desiran aneh di dadaku. Oh iya, Mama memang orang yang setulus itu. Belas kasih dan jiwa sosialnya yang tinggi terkadang membuatku terkagum-kagum. Masih ada saja orang berhati besar seperti beliau di dunia yang penuh keapatisan ini.

Tetapi kenapa Yang Maha Kuasa malah memanggilnya? Kenapa bukan penjahat-penjahat keji di luar sana? Atau para tikus berdasi korup? Aku tak mengerti.

"Besok kamu bisa bantu Mama keliling, pakai mobilmu?" tanya Mama meminta bantuan. "Ah, kamu ada pekerjaan ya-"

"Enggak ada, kok, Ma. Besok aku senggang."

Tak apalah aku tinggalkan pekerjaanku sebentar. Aku akan memastikan beliau selamat, pulang kembali ke sini tanpa sedikit pun lecet. Bagaimana pun caranya, aku akan menyelamatkannya dari ajal.

*****

Baiklah, sejauh ini, semua berjalan lancar. Nyawa Mama masih pada tubuhnya, tak mendapat lecet barang seinci tubuhnya. Wajar saja, aku tak membiarkannya keluar dari mobil. Semua nasi kotak yang beliau siapkan, aku yang membagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Meski Mama sempat memaksa untuk ikut.

Tidak enak juga membuatnya mendekam sendirian di mobil. Namun, mau bagaimana lagi? Ini semua demi keselamatan beliau juga. Sebagai anak yang baik, aku takkan membiarkan siapa pun atau apa pun berani melukainya.

Selesai di pinggir jalan ini, aku langsung berbalik menuju mobil. Mari kita lihat. Ternyata nasi kotak Mama masih tersisa sebanyak lima kotak. Mataku lantas beralih pada Mama yang duduk di kursi sebelah pengemudi. Tampaknya beliau sibuk mengetik sesuatu di note ponselnya. Mungkin saja dia sedang mencicil tulisannya agar nanti dilanjutkan kembali di laptopnya.

"Ma, ini nasi kotaknya masih sisa lima," tuturku. "Mau dibagiin ke mana lagi?"

Mama menoleh padaku. "Ah, ke Jalan Pasar Semanggi, Nak."

Mengangguk singkat, aku segera menuju kursi pengemudi. Tujuan selanjutnya sudah diketahui. Langsung saja aku tancap gas menuju tempat tujuan. Situasi seperti sekarang sebenarnya sedikit menguntungkan; kondisi jalan tidak seramai dan sepadat biasanya.

Sebab itulah kami bisa sampai di jalan yang Mama maksud dengan cepat.

Benar saja, ada beberapa orang berpakaian lusuh di beberapa sudut jalanan. Ada yang menjajakan dagangannya meski sepi pembeli, ada juga yang memulung sampah yang berserakan. Hatiku langsung terenyuh melihat keadaan mereka semua. Pastilah kehidupan mereka semakin sulit akibat keadaan ini.

Sekali melangkah, tetiba aku merasakan plastik berisi nasi kotak yang kubawa diambil seseorang. Aku mencari sang pelaku, seketika tersentak kaget. Ternyata Mama.

"Astaga, Ma. Mama kenapa keluar dari mobil? Bahaya," ucapku khawatir. Keringat dingin meluncur dari dahiku.

"Mama bosan di dalam mobil. Mama juga mau ikut bagiin nasi kotaknya bareng kamu, Dra." Mama mengambil lagi plastik dari tanganku. Beliau memegang masing-masing satu plastik di kedua tangan. "Lagian, 'kan, ini semua Mama yang bikin."

"Tapi, di luar bahaya, Ma. Mama nanti-"

"Mama, 'kan, sudah pake masker. Tadi juga sudah cuci tangan pake hand sanitizer," tukas Mama. Aku jadi semakin frustrasi dibuatnya.

Bagaimana ini? Hanya tinggal membagikan sisa lima nasi kotak, aku bisa bergegas membawa Mama kembali ke rumah dengan selamat. Mau dibujuk berapa kali pun pasti Mama akan tetap kekeh untuk ikut.

Masalahnya, hari ini adalah hari di mana Mama akan meninggal. Mama meninggal karena kecelakaan saat dia sedang berbelanja bahan makanan yang kurang di rumah, ditabrak pengendara motor ugal-ugalan. Aku takkan membiarkan kejadian itu terulang kembali di kesempatan ini.

"Bukan itu, Ma. Aku ... hanya nggak mau Mama kenapa-napa ...." Aku menunduk.

Terdengar desahan dari beliau. "Kalaupun Mama harus menemui Yang Maha Esa saat ini juga, artinya itu adalah takdir Mama, Fandra. Nggak ada yang bisa protes apalagi mengubahnya, baik kamu atau Mama sendiri."

"Kita hanya bisa menerimanya." Mama menepuk pundakku lembut.

Begitu aku mengangkat kepala, aku segera disambut oleh senyumnya yang bagai sinar mentari di pagi hari. Hangat dan menenangkan. Tanpa aku sadar, air mata luruh begitu saja dari sudut mataku. Refleks aku mendekap erat tubuh Mama. Aku sudah seperti seorang bocah yang tidak mau ditinggalkan ibunya saat memasuki jenjang sekolah untuk kali pertama.

Mama menepuk-nepuk punggungku yang cukup lebar. "Kamu ini dari kemarin aneeeh terus. Nggak mau ngomong ke Mama pula. Dan sekarang, kamu peluk Mama sambil nangis begini. Pasti ada sesuatu, deh."

Begitu aku melepaskan pelukan, mulutku mulai mengucapkan hal-hal yang sekiranya aku tahu, mengenai aku yang kembali ke masa ini dan berniat menyelamatkan Mama dari maut. Entah apa yang beliau pikirkan, air mukanya tak dapat kutebak apa maksudnya. Beliau bungkam saja selama aku bercerita.

"Jadi, begitu ya ...." Mama memperhatikan kedua kantong plastik merah berisi nasi kotak yang dijinjingnya.

Hening kemudian. Semilir angin menyapa, lantas menonton pertunjukkan diam-diamanku dan Mama bersama sang kesunyian. Degup jantungku, perlahan tapi pasti, berubah cepat tak keruan. Pun bulir bening dingin meluncur bebas bak penerjun payung dari keningku.

Beliau tinggalkan plastik nasi kotak yang sudah diikat ke atas tanah. Sekejap setelahnya, Mama melakukan hal yang sungguh tak terduga.

Beliau memelukku.

"Apa pun yang terjadi, Mama sayang Fandra. Anak Mama satu-satunya."

Tubuhku gemetar. Mataku memanas. "Mama jangan ngomong seperti itu! Aku akan melakukan apa saja agar Mama tetap hidup ...!"

Mama menggeleng, lalu tersenyum hangat. "Kalau Dia sudah berkehendak, nggak ada satu makhluk pun yang bisa menghalangi-Nya, Sayang." Tangannya membelai lembut rambutku yang sedikit lebat. "Jagoan Mama jangan nangis, dong."

"Ya gimana nggak nangis? Aku tahu Mamaku bakal dijemput ajal, tapi aku nggak bisa ngelakuin apa-apa, kecuali duduk manis nerima kenyataan ...."

Hingga akhirnya, bendungan air pada kedua kelopak mataku roboh. Pipiku banjir sejadi-jadinya. Kueratkan dekapanku padanya, isakku teredam di dalamnya. Sementara Mama diam saja sembari mengelus punggungku. Kurasakan adanya setitik basah yang jatuh ke punggungku.

... Mama juga menangis.

*****

Acara sedih ini segera diakhiri oleh Mama. Dia angkat kembali kantong plastik nasi kotak, sesudah itu melangkah cepat meninggalkanku. Kuperhatikan punggungnya sejenak sebelum dia memanggilku untuk menyusulnya.

Tiada perbincangan di antara kami berdua ketika membagikan nasi kotak kami yang tersisa pada orang-orang malang di dekat sini.

Nasi kotak di tanganku sudah diambil semua. Aku mencuri pandang ke sebelah kiri. Mama tampak menyapa seorang bapak kurus berpenampilan lusuh. Air muka bapak itu datar saja saat menerima nasi kotak pemberian Mama.

Bapak itu ... entah kenapa membuat firasat burukku melonjak drastis.

Tahu-tahu, firasat burukku malah terbukti benar.

"PERGI! JAUH-JAUH DARIKU!" Bapak itu menghardik murka.

Mama yang terbatuk-batuk kecil, langsung menutup mulut. Beliau berusaha menenangkan bapak itu yang tertelan parno. Namun, bapak itu tak juga berhenti mengusir-usir Mama. Seolah Mama adalah makhluk paling menjijikkan di matanya.

Oh, sial. Aku harus segera melerai mereka.

Baru selangkah aku ambil, kedua mataku membulat sempurna setelahnya.

Bapak lusuh itu mendorong Mama. Saking kuatnya sampai mementalkan Mama ke jalan raya. Sementara itu, dari kejauhan, ada sebuah motor yang melaju dengan kecepatan tinggi. Siap melibas siapa saja yang memblokir jalannya.

Uh-oh.

"MAMAAA!" Kedua tungkai kakiku melaju secepat mungkin.

Aku sudah hampir mendekatinya. Tanganku berusaha mencapai Mama-

BRAK!

-aku terlambat.

Segera aku menghampiri Mama yang terkulai lemah di aspal jalan. Tabrakan yang beliau terima cukup fatal, beberapa bagian tubuhnya tak henti-hentinya mengeluarkan darah merah segar. Mataku yang sedikit sembap karena tadi kembali basah oleh air mata.

Orang-orang yang aku dan Mama beri nasi kotak seketika mengerumuni kami. Mereka menyaksikan pemandangan menyedihkan ini dengan iba terpancar jelas dari kedua netra mereka. Akan tetapi, mereka tidak melakukan apa-apa.

Kumohon, siapa pun, tolong selamatkan Mamaku!

"Tolong, Pak, Bu. Siapa saja, tolong panggilkan ambulans ...!" lirihku memohon.

Namun, apa yang mereka lakukan membuat jantungku serasa tercelus.

Mereka malah berbisik-bisik. Saling melempar beban tanggungan pada satu sama lain. Mereka seakan tidak mau repot-repot membantu Mamaku-jelas-jelas sudah berbelas kasih memberi makanan untuk mereka.

"...."

Beberapa saat kemudian, warga setempat mulai berdatangan ke sini. Aku dapat bernapas lega saat ada seorang bapak dengan sigap melakukan apa yang seharusnya dilakukan sekarang-menelepon ambulans.

Suasana semakin ricuh. tetapi aku tak memedulikannya. Mataku beralih pada wanita paruh baya yang terbaring di pangkuanku. Napasnya tersendat-sendat. Keningnya tak juga berhenti berdarah. Sebisa mungkin aku menahannya dengan kain sobekan bajuku.

Sebuah tangan menyentuh tanganku.

"F-Fandra ...." Mama berusaha keras mengeluarkan suaranya. Tangisku semakin menjadi-jadi.

"Mama ...! B-bertahanlah, aku mohon ...."

"F-Fandra ...." Sekali lagi Mama memanggilku. Kali ini sebuah senyuman beliau terbitkan, meski jelas terlihat beliau tersiksa. "M-Mama ma-mau ngomong sesua-tu .... Si-ni ...."

Aku mendekatkan telingaku ke wajahnya, sesuai keinginannya.

"Mama ... sa-sayang Fandra. Fandra ... ja-di anak y-yang baik, ya ...."

Mama tak mengatakan apa pun lagi. Aku memanggilnya, tetapi beliau tak menjawab. Gelisah, kulihat wajahnya.

Kedua matanya terpejam.

Tanpa kusadari, telunjuk kananku mengarah pada lubang hidungnya.

Beliau tak bernapas.

"Mama? Mama? MAMA?!" Suaraku semakin meninggi. Kugoncang-goncangkan tubuh wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini. Beliau tidak sedikit juga bereaksi ....

Mama ....

Telingaku berdenging, tak bisa kudengarkan suara riuh sekitar. Rasa nyeri yang begitu menyakitkan menyerang dada kiri.

Dan perlahan tapi pasti, pandanganku menggelap.

*****

Akhirnya kudapatkan kembali kesadaranku. Dengan mata yang mengerjap-ngerjap, aku membangunkan tubuh yang sedikit kaku. Kedua mataku yang berjejak basah kuusap sekadarnya, aku lantas menyisir daerah sekitar.

Aku ada di ruang makan Rumah Mama.

Segera aku cari keberadaan benda persegi panjang serbagunaku-ponsel, mengecek deretan tanggal yang tertera di layar.

Ternyata aku sudah kembali ke masa kini.

Haha. Jadi, sebenarnya itu semua hanyalah mimpi? Mengingat aku terbangun di ruang yang sama sebelum aku terlelap dalam tidur. Ya, catatan ingatanku tak mungkin salah.

... Jika benar apa yang kualami tadi hanya sekadar bunga tidur semata. Mengapa rasanya begitu nyata? Satu itu saja yang mendekam di setiap ruang kosong benakku saat ini.

Dalam kesunyian yang mendalam, aku tertawa patah-patah.

Meratapi diri yang sungguh menyedihkan.

"Kurindu senyummu, Mama."

- F I N -

Astaga, kejar tayang banget ceritanya ini cerpen. :v

Maaf banget, ya, kalau ceritanya berasa kayak sinetron Hidayah. Tapi, yah, semoga ada seenggaknya satu pesan yang bisa dipetik dari cerpen buluk ini. :')

Saran dan kritik sangat diterima~

Sekian dari saya. Semoga kita bertemu di cerpen selanjutnya. Dadah~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top