cerpen • fate

MEMILIKI keistimewaan itu sangatlah tidak mengenakkan. Itulah yang sekiranya dipikirkan oleh seorang Hana Yuliandra. Dia memiliki sesuatu dalam dirinya sejak dia lahir. Dia bisa melihat cuplikan peristiwa kematian seseorang di masa depan. Biasanya, dia dapat melihatnya jika kematian orang itu sudah dekat.

Hana baru mengetahuinya ketika dia berumur sepuluh tahun. Ketika dia berpegangan tangan dengan salah satu temannya, yang beberapa hari kemudian meninggal. Bagaimana anak itu meninggal sama persis dengan yang Hana lihat. Ketika orang-orang di sekitarnya mengetahui itu, mereka pun mulai memerlakukan Hana seperti seseorang yang menakutkan.

Beberapa tahun berlalu, Hana sudah tumbuh menjadi remaja yang cantik. Namun, perlakuan orang-orang kepadanya tidak pernah berubah. Mereka tetap menganggapnya sebagai gadis yang bisa membawa sial.

"Ih, itu 'kan si Hana yang bisa tahu kapan orang mati, 'kan?"

"Iya, pergi, yuk! Nanti kita malah kena sial karena dia!"

Dua gadis yang baru saja membicarakan Hana pun pergi sambil tertawa terbahak-bahak.

Hana memutar bola matanya. "Apa salahku coba? Memangnya mereka pernah mikir apa aku pengin punya kemampuan kayak begini, hah?"

"Lo nggak salah apa-apa, kok. Mereka aja yang berlebihan."

Hana terkejut, lalu menoleh ke sumber suara. Tepat di belakangnya, ada seorang lelaki berkacamata yang menatapnya datar. "Nggak semua orang diberikan kelebihan kayak lo. Lo harusnya bersyukur akan hal itu."

"Memangnya siapa kamu? Punya hak apa bisa ngomong begitu?"

"Nama gue Bintang. Gue itu cuman mengatakan yang sebenarnya, kok. Lo memang punya kemampuan lebih, 'kan?"

"Iya! Dan sekarang mau kamu itu apa? Ngejek aku? Bully aku? Oh, silakan aja! Aku terima dengan senang hati!"

"Nggak. Gue bukan anak yang kayak begitu." Bintang lalu menyodorkan tangannya kepada Hana.

Hana menatapnya bingung. "Sekarang kamu ngapain?"

"Silakan ramal bagaimana gue mati."

Hana terkejut, dia menelan ludahnya. "M-maksud kamu apa?"

"Perlu gitu gue ulang? Duh, makanya lo itu dengerin-"

"Aku dengar, kok! Hanya aja ... kamu serius dengan ucapan kamu? Kalau nanti aku mendapatkan penglihatan bagaimana kamu mati, berarti kematian kamu udah dekat, lho."

"Gue serius. Malahan, itu bagus menurut gue. Gue bisa menyiapkan diri, minta maaf ke orang-orang yang gue sayangi, dan menghabiskan waktu terakhir gue bersama mereka. Daripada meninggal dengan membawa banyak penyesalan, mendingan begitu, 'kan?"

Hana menggigit bibir bawahnya, ragu. Orang ini nyalinya besar juga ....

"Baiklah. Ingat, jangan menyesal kalau aku melihatnya, ya." Bintang mengangguk kecil.

Hana memegang tangan Bintang, lalu memejamkan matanya. Tak lama kemudian, dia melihat seorang lelaki yang perutnya ditikam berkali-kali oleh seorang preman di sebuah gang kecil, lalu jatuh ke tanah dengan darah mengucur deras dari perutnya.

Ia pun langsung membuka matanya, lalu berjalan meninggalkan Bintang.

"Woi, lo mau pergi ke mana? Tadi lo udah lihat bagaimana gue mati-"

"Pokoknya, selama seminggu ini, jangan pergi ke gang-gang kecil. Itu aja yang bisa aku kasih tau!"

"Memangnya kenapa? Gue bakal mati di gang kecil? Mati karena apa?"

"Please, jangan paksa aku mengatakannya. Aku udah muak melihat itu semua tanpa bisa menghentikannya ...."

"Memangnya lo pernah mencoba menghentikan kematian orang yang lo lihat?"

"Pernah sekali, dan aku nggak berhasil nyelamatin orang itu."

"Kalau begitu, gue yakin lo bisa nyelamatin gue."

"Ehhh? Maksudnya?"

"Dari ucapan lo tadi, gue yakin lo itu orang yang bisa dipercaya. Jadi, gue percaya kalau lo bisa nyelamatin gue."

Hana menatap lelaki itu dengan intens. "Tapi kematian itu nggak bisa dicegah. Itu adalah nasib yang mutlak dan akan dialami setiap orang, termasuk aku."

"Seenggaknya coba dulu. Kita nggak akan tahu hasilnya kalau nggak mencoba. Kalau memang gue harus mati, gue mau nggak mau harus terima nasib gue," ucap Bintang santai.

"Kenapa kamu bisa ngomong sesantai itu? Padahal nyawa kamu sedang di ujung tanduk ...."

"Ya, 'kan, tadi lo bilang kematian bakal dialamin semua orang. Jadi ya ngapain harus takut mati?"

-oOo-

"Iya, iya. Aku bentar lagi pulang, kok, Ma. Bye."

Bintang mematikan panggilan, lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku celana jin. Di tangan kirinya, terdapat kantong plastik berlogo minimarket tempat dia berbelanja sebelumnya. Udara malam ini cukup dingin, karena itu dia mengenakan jaket.

"Udah dua hari sejak ketemu sama Hana, tapi belum terjadi apa pun sama gue." Dia membersihkan lensa kacamatanya yang sedikit kotor. "Semoga aja ramalan Hana nggak terjadi. Gue nggak pengin traumanya balik cuman karena kematian gue."

"Aku pun berharap begitu."

Bintang tersentak. "Eh?! L-lo kenapa tiba-tiba ada di sini?!"

"Memangnya aku nggak boleh gitu pergi keluar rumah?" Hana menaikkan sebelah alisnya.

"Ya nggak gitu juga. Errr ... jadi lo memata-matai gue sejak kita ketemu?"

"Aish, ya nggak, lah! Memangnya kamu kira aku penguntit? Ini aku lagi nyari udara segar aja, dan kebetulan ketemu kamu di sini."

"Ohhh. So, sekarang lo mau ke mana?"

"Nggak tahu. Mungkin aku ngikutin kamu aja, memastikan ramalan itu nggak terjadi malam ini."

"Nggak usah. Mendingan lo pulang, deh. Ini udah malem, nggak bagus cewek keluyuran malem-malem."

"Tapi kalau keluyurannya untuk ngelindungin orang dari kematian, nggak apa-apa dong?"

"Terserah lo, deh."

Ketika mereka melewati sebuah gang kecil, dua preman menghadang jalan mereka. "Wah wah wah. Habis belanja, ya? Berarti punya banyak duit, nih."

"Siapa lo? Minggir, lagian kita nggak punya masalah sama lo berdua."

"Haha, nggak sopan banget nih anak sama gua, bro. Kayaknya dia nggak diajarin tata krama sama emaknya." Preman-preman itu tertawa terbahak-bahak.

"Apa lo bilang ...?!" Bintang bermaksud ingin meninju wajah preman itu, tapi segera ditahan oleh Hana. "Jangan, Bin. Ini sama persis kayak apa yang aku lihat ...."

"Tapi mereka ngeledek nyokap gue seenak jidat mereka. Siapa yang nggak kesel coba?"

"Nggak usah peduliin ocehan mereka. Yang penting kita harus pergi dari sini dulu."

Hana mencoba melangkah melewati dua preman itu, tapi segera dihalangi lagi oleh mereka.

"Kalau lu berdua mau ngelewatin jalan ini, bayar dulu ke kita-kita. Dua ratus ribu cukup, lah, ya."

"Kalau gue nggak mau, gimana?"

"Heh, belagu juga nih anak. Kayaknya kita harus kasih pelajaran nih tentang siapa itu Dadang dan Hendra."

"Dadang dan Hendra? Siapa, tuh? Perasaan nggak pernah denger, deh."

"Wah, nantangin. Oke, gua jabanin!" Salah satu dari preman itu-Dadang-langsung menyerang Bintang dengan tinjunya, yang kemudian dihindari dengan mudah olehnya.

"Lambat!" Bintang lalu meninju Dadang hingga terjatuh.

"Lumayan juga nih anak. Bro, langsung sikat aja!"

"Apa maksud lo-arrrgggh!"

Teman preman itu-Hendra-menarik pisaunya yang telah berlumuran darah Bintang, lalu menarik baju Bintang, menyeretnya pergi. Namun, Hana dengan cepat menghentikannya. "Lepasin dia!"

Dadang bangkit berdiri, lalu mendekati Hana. "Eh, mending Eneng ikut kita aja, nggak usah peduliin cecunguk lemah itu."

"Nggak! Sekarang lepasin dia atau-"

"Atau apa? Teriak minta tolong? Percuma aja, Neng. Daerah sini itu nggak terlalu banyak orang yang lewat, apalagi waktu malam begini."

Hana pun mencoba melepas paksa tangan Hendra dari Bintang. Namun, ia malah didorong dengan kasar olehnya. "Eneng jangan ngangguin kita main sama cecunguk ini, ya."

Mereka berdua mendorong tubuh Bintang begitu saja ke gang kecil. Dadang mengambil pisau Hendra, lalu berkata, "Huh, sekarang terima pembalasan gua!"

"Urgh!"

Hana mengorbankan dirinya. Ia pun terjatuh ke tanah.

"HANAAA!"

"Waduh! Bro, mending kita cepetan cabut! Takutnya banyak orang dateng!"

Mereka pun berlari dari gang itu, meninggalkan Hana dan Bintang. Bintang mendekati tubuh Hana tanpa memedulikan sakit yang ia rasakan.

Ia membuka jaketnya, lalu mencoba menghentikan pendarahan di luka Hana. Tiba-tiba tangannya disentuh oleh Hana. "Ng-nggak u-usah ...."

"T-tapi pendarahan lo parah banget, Han!"

"U-udah ku-kubilang nggak u-usah. Lu-luka kamu j-juga parah, lho ...."

"Pokoknya keselamatan lo itu lebih penting sekarang! Gimana reaksi ortu lo nanti kalau lo-"

"O-orangtuaku udah ng-nggak ada. J-jadi nggak m-masalah, kok, kalau a-aku mati ...."

"... Kenapa? Kenapa lo nggak biarin preman itu-"

"A-aku ng-nggak nyangka ... aku b-bisa nyelamatin k-kamu ...." Hana mencoba untuk tersenyum.

"Tapi ramalan yang lo lihat seharusnya nggak begini, 'kan? Harusnya gue yang mati, 'kan?"

"I-iya. Seharusnya k-kamu yang m-mati .... Ta-tapi kayaknya t-takdir berkata l-lain ...."

Hana memejamkan matanya.

-oOo-

"Hei, Hana. Apa kabar?"

Bintang tersenyum kecil, lalu menaruh sebukat bunga mawar merah di sebuah makam yang kelihatannya masih baru. Terlihat jelas dari tanahnya yang masih merah, dan papan nisan yang masih bersih, bertuliskan nama seorang perempuan yang ia kenali ....

... Hana.

"Udah beberapa bulan sejak hari itu. Gue masih belum bisa ngelupain sama sekali." Ia melepas kacamatanya, lalu mengusap matanya. Ia menarik kedua sudut bibir, memaksakan untuk tersenyum.

"So, gimana kabar lo? Apa lo bahagia di atas sana? Gue harap, sih, iya. Lo pantas dapat tempat yang terbaik setelah semua yang udah lo alamin. Coba aja waktu itu kita nggak ketemu, lo pasti masih hidup sekarang. Kayaknya orang-orang perlu koreksi anggapan mereka tentang lo. Lo bukan pembawa sial, tapi gue. Haha ...."

Ponselnya berbunyi. Ia merogoh sakunya, lalu melihat apa yang membuat ponselnya berbunyi. Ia menghela napas kesal. "Sebenarnya gue masih pengin nemenin lo di sini. Cuman, gue harus pergi."

Bintang mengelus nisan sambil tersenyum. "Gue bakal datang lagi, kok. Jangan khawatir."

Kemudian, Bintang berjalan pergi dari situ. Tanpa disadarinya, ada seorang perempuan berpakaian serba putih. Seluruh tubuhnya bercahaya, layaknya malaikat. Perempuan itu mengamati kepergian Bintang dengan senyuman manis.

"Jalanilah hidupmu dengan bahagia, ya, Bin ...." []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top