cerpen • can i save you?

SEORANG gadis terbangun dari kasurnya, lalu menatap jam di dinding. Sekarang sudah pukul sembilan pagi. Gadis itu menarik napas dalam dan menatap langit-langit kamarnya.

"Kali ini gue nggak boleh gagal."

Gadis itu turun dari kasurnya, lalu menuju meja belajar di dekat kasur. Di sana, terdapat sebuah buku dengan sampul berwarna hitam. Dia mengambil buku tersebut, lalu mulai membaca lembar-lembar yang ada dengan cepat. Ketika berhenti pada sebuah halaman kosong, dia mengambil pulpen lalu menuliskan sesuatu.

Minggu, 5 November 2018

Hhh, ngapain juga gue tulis tanggal hari ini? Lagian gue juga bakal ngulang ke waktu ini lagi. Yah, pokoknya di loop kali ini-yang entah sudah keberapa, mungkin ke-99 atau bahkan ke-100-gue nggak boleh gagal. Walaupun gue harus mengorbankan nyawa gue, asalkan dia selamat ....

Dia menaruh kembali buku tersebut. Setelah mengikat rambutnya, dia mengambil kardigannya dan berjalan meninggalkan kamarnya.

--oOo--

Walau masih pagi, jalanan sudah diramaikan oleh kendaraan-kendaraan roda tiga dan empat yang entah ingin ke mana. Beberapa dari mereka ada yang nekat-mengebut dengan kecepatan tinggi, mengambil kesempatan karena sedang tidak ada polisi yang mengatur lalu lintas saat ini.

Berbeda jauh dengan jalan, di sepanjang trotoar malah terbilang cukup sepi. Hanya terdapat beberapa orang yang jogging dan pedagang kaki lima yang sedang mempersiapkan barang dagangannya.

Elya menatap semua itu dengan sedikit bosan. Wah, nggak berubah sama sekali. Gue kira setelah gue ngejalanin loop beberapa kali bakal ada perubahan walau sedikit, batinnya.

Tak lama, dia menghentikan langkahnya. Beberapa meter di depannya, terdapat sebuah bangunan yang tidak terlalu besar dengan cat didominasi warna hitam. Bangunan itu terlihat memiliki kesan layaknya kafe-kafe zaman sekarang.

Di depan pintu kafe tersebut, ada seseorang yang terlihat sedang membuka pintu tersebut dengan kunci. Ketika pintu sudah terbuka, orang itu langsung masuk ke dalam. Elya tersenyum simpul.

"Haih, bener-bener nggak berubah sama sekali, ya."

Elya pun melangkah menuju kafe itu. Bel berbunyi ketika dia membuka pintu, dan segera diikuti oleh suara seseorang yang menyambut kedatangannya.

"Selamat datang--eh, Elya!" Orang itu-Keano-terlihat senang sekaligus kaget dengan kehadiran Elya. "Wow, tumben banget lo dateng pagi-pagi ke sini. Biasanya lo lebih sering dateng waktu sore doang."

"Oh, jadi gue nggak boleh, nih, dateng ke sini? Yowis kalau begitu, gue pergi aja deh-"

"Jangan pergilah! Sensian amat dah lo jadi manusia."

"Sensian itu sifat manusia, jadi wajar dong kalau gue sensian. Masih mending daripada lo, yang bukan manusia tapi kambing Mars." Elya tersenyum kalem, tapi terlihat menyebalkan di mata Keano.

"Iya, deh, iya. Terserah lo aja. Oh iya, lo mau pesen apa?"

"Cappucino aja, deh. Gue lagi nggak tau mau minum apa."

"Oke." Keano pun pergi meninggalkan Elya, segera membuatkan pesanannya.

Elya duduk di bangku terdekat dengannya. Dia mengambil ponselnya yang berada di dalam saku celana, lalu membuka memo. Dia pun mengetikkan sesuatu sampai Keano kembali dengan membawa pesanannya.

Keano menaruh cangkir cappucino ke hadapan Elya, lalu duduk di bangku seberang Elya yang kosong. Dia menopang dagunya sambil asyik memperhatikan Elya.

"Ngapain lo ngelihatin gue? Naksir? Iya, gue tahu banget kok kalau gue cantik, tapi nggak usah sampe diperhatiin begitu juga."

Orang itu memutar bola matanya, jengah dengan kepercayaan diri Elya yang kadang berlebihan. "Idih, ngapain juga gue naksir sama lo. Mendingan sama Lucinta Luna."

"Astaga, masa' gue yang secantik dan sekalem ini kalah sama cewek palsu macam dia, hah?!"

Keano tertawa. "Bercanda, kok. Mana mungkin gue mau sama itu cewek. Hiiih!"

Haha, walaupun gue udah berkali-kali dengerin ini, entah kenapa gue enggak bosen sama sekali.

"No, jam segini seharusnya udah ada yang dateng, 'kan, ya? Tapi kok masih sepi aja?" Elya memandang sekitar, mendapati keadaan kafe yang sepi tanpa adanya jejak-jejak kehidupan yang mampir ke sini.

Mendengar pertanyaan itu, Keano tersenyum miris. "Yah, keadaan kafe memang udah lama kayak begini, kok."

"Maksudnya?"

"Kafe ini memang mulai sepi, dari bulan lalu lebih tepatnya. Tapi beberapa minggu belakangan, kafe ini bener-bener sepi. Masih ada yang suka dateng, sih, tapi cuman sedikit. Pendapatan kafe jadi berkurang cukup drastis. Mungkin gue bakal tutup kafe ini aja minggu depan ...." Keano menunduk, meremas tangannya.

"Yah, seenggaknya ada yang dateng sebelum kafe ini tutup." Keano menatap Elya sambil tersenyum, membuat wajah yang ditatap langsung merona merah seperti tomat.

"W-woi jangan tebar senyum sembarangan, dong! E-elo kan nggak tahu ada yang bakal terpesona sama senyuman lo ...!"

"Oh, lo ceritanya terpesona sama kegantengan gue? Ya ampun, gue tersanjung banget--aw! Sakit, kambing!" Keano mengelus-elus tangannya yang dicubit dengan kencang oleh Elya. Sedangkan Elya menatapnya dengan kesal, wajahnya sudah kembali normal.

"Gue? Suka sama elo? Idih! Jijay!" Elya membuang mukanya. Astaga, walaupun udah berkali-kali lihat senyuman dia, gue tetep aja terpesona. Haduh, kayaknya gue emang suka sama lo, No. "Eh ya, emang lo harus tutup ni kafe? Ini kafe punya potensi bisa terkenal, lho. Sayang banget kalau harus ditutup."

"Gue juga maunya begitu, El. Tapi, yah, ngapain buka kalau yang dateng aja sedikit, 'kan?"

"Ya kan lo bisa gitu pindah lokasi. Lagian, kalau gue lihat-lihat lagi, kafe lo ini kurang strategis. Pantesan nggak banyak yang dateng."

"Pindah? Elo serius? Gue beli bangunan ini aja udah cukup mahal. Mana sanggup gue pindah. Kalaupun mau jual pun nggak mungkin bisa langsung dapet pembeli." Keano menoleh ke arah jendela. "Udahlah, gue nggak masalah, kok.

"Kalau kafe lo tutup, gue mau nongkrong di mana?"

"Lo kan bisa ke tempat lain yang lebih bagus, kayak Starbucks kek, Upnormal kek. Kan ada banyak."

"Tapi gue lebih suka di sini, karena gue pengin terus ngelihat ...." Elya tiba-tiba menghentikan kalimatnya. Dia hampir saja mengatakan sesuatu yang fatal. Untung saja dia menyadarinya.

"Ngelihat apaan?"

"Errr ...." Elya mulai salah tingkah. Dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Dia menoleh ke sekitar, mendapati poster girlband dari Korea yang terkenal, Blackpink, berada tak jauh dari tempatnya duduk. "G-gue pengin terus ngelihatin poster BP di sana, hehehe ...."

"Emangnya ada apaan di poster itu? Poster itu baru ada di sana dari kemarin, sih. Adik gue saking bucinnya sama itu girlband sampe pasang itu poster di sini. Dia bilang itu poster bakal bikin banyak orang dateng ke sini. Emangnya dia kira itu jimat apa."

Elya tertawa paksa, tidak ingin terlihat mencurigakan. "Ya kali kata adik lo bener, No. Kita kan nggak tau ke depannya bakal gimana."

Oke, bener-bener berjalan lancar. Pokoknya gue nggak boleh biarin dia pergi dari sini--

"Eh, gue ke depan dulu, ya. Gue pengin beli makanan di warteg seberang." Keano bangkit dari bangkunya, lalu berjalan meninggalkan Elya.

Elya membelalakkan matanya, lalu segera menghentikan langkah Keano. "Eh, jangan!"

"Hah? Kenapa?"

"Pokoknya jangan ke sana."

Keano menghela napas, lalu bertanya, "Ya alasannya kenapa? Gue udah laper banget ini. Mana gue enggak sarapan tadi di rumah."

"... Yaudah. Tapi gue ikut juga, ya. Gue juga belum sarapan."

"Okay, ikutin gue." Keano melangkah duluan, diikuti Elya.

Mereka berjalan keluar dari kafe, menuju warteg yang berada di seberang jalan. Elya melirik ke jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sekarang sudah pukul sepuluh pagi. Dan jalanan mulai dipenuhi lebih banyak kendaraan.

Di loop sebelumnya, Keano meninggal karena tabrakan mobil ....

"Lo kenapa, El? Kok wajah lo kayak cemas begitu?" tanya Keano.

"E-enggak, kok. Perasaan lo aja kali. Emangnya apa yang perlu dicemasin dari menyeberang jalan kayak begini?"

"Wow, elo nganggep enteng nyeberang jalan? Lo nggak khawatir bakal ditabrak?"

"Kita nggak bakal ditabrak selama kita ngelihat kiri-kanan dulu sebelum nyeberang. Gitu aja kok elo nggak ngerti, sih."

Keano mengerucutkan bibirnya. "Gue nggak mungkin ngelupain hal semudah itu, lah." Keano segera menyeberang ketika dia sudah memastikan jalanan sudah bisa dia seberangi.

"Eh, tungguin!"

Elyamerasakan detak jantungnya mulai tidak normal. Keringat dingin juga mengucurdari keningnya. Perasaan cemas yang luar biasa membuncah di dadanya. Jujursaja, jalanan ini selalu membuatnya takut dan ngeri, padahal dia sudah melihatjalanan ini berkali-kali.

Dia tahu, kemungkinan Keano untuk meninggal itubanyak sekali. Dia bisa saja meninggal karena keserempet motor dan mendapatkanker otak stadium akhir seperti di film-film FTV, karena tersambarpetir, karena keracunan kopi sianida, dan lainnya. Karena itu, dia tidak bisa berhenti khawatir pada lelaki itu.

Dia menghela napasnya dengan lega ketika mereka sudah sampai di seberang dengan selamat. Keano masih hidup. Itu

"Elo kenapa, sih, dari tadi? Tingkah lo aneh banget sejak kita keluar dari kafe. Ada apa? Lo diikutin stalker aneh?" Keano mengedarkan pandangan ke sekitar.

"Enggak ...."

"Terus kenapa? Bilang ke gue, jangan disimpen sendiri. Siapa tahu gue bisa bantu."

Gue mana mungkin ngasih tahu kalau lo hampir mati, No. "Gue nggak ada masalah apa pun, kok. Lo nggak perlu khawatirin gue kayak begitu."

"Gimana gue nggak khawatir ngelihat tingkah elo yang aneh. Pokoknya, whatever happens to you, just tell me, okay?" tanya Keano dengan wajah serius.

"Okay, okay, Bapak Keano Alifiandra."

"Nah, kalau begitu, ayo kita makan! Cacing-cacing di perut gue udah nangis minta makan."

Keano melangkah masuk ke dalam warteg yang dia maksud tadi ketika berada di kafe tadi. Suasana warteg ini tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa bapak-bapak yang menikmati makanan mereka sambil mengobrol tentang berita yang disiarkan di televisi kecil yang berada di dekat meja mereka.

Mereka duduk di bangku kosong yang ada, lalu memesan makanan pada ibu-ibu pemilik warteg ini. Ibu-ibu itu segera mengambilkan apa yang mereka pesan dengan gesit, lalu memberikannya pada mereka.

Suasana warteg itu masih tenang dan aman, sampai akhirnya datang seseorang berpakaian ala-ala preman jalanan dan mengacaukan suasana.

Preman itu mendatangi Bu Minah, lalu berkata, "Woi, Bu Minah! Iuran!" Preman itu mengarahkan tangannya, memberi isyarat seperti meminta uang.

Ibu-ibu itu-Bu Minah-menatap preman itu dengan takut. "E-enggak ada, Bang. S-saya belum dapet uang banyak pagi ini."

"Halah, bohong! Cepetan kasih atau gua obrak-abrik ni warteg!" Preman itu memukul etalase Bu Minah dengan keras, membuat Bu Minah gemetar ketakutan.

"B-beneran, Bang. S-saya belum dapet penghasilan pagi ini ...."

Preman itu menggeram marah. Dia langsung meraih kerah daster yang dipakai Bu Minah. "Kasih sekarang!"

"Woi, lepasin Bu Minah!"

Elya membelalak kaget, lalu menoleh ke arah Keano. Dia sekarang menatap preman itu dengan tatapan kesal. Dia berdiri dari bangku, mendekati si preman dan Bu Minah. "Bisa-bisanya elo nyakitin wanita. Lo cowok apa bukan!?"

Preman itu melepaskan cengkeramannya. "Haha! Lu nggak sopan banget, ya, bocah! Berani-beraninya nantang gua. Mau mati, hah?!"

"Ngapain takut kalau yang dihadapin itu pengecut!"

"Wah wah, berani juga lu ya! Oke, gua bakal bikin nyesel udah ngatain gua kayak tadi!"

Preman itu menyerang Keano dengan tinju, tapi berhasil ditangkis oleh Keano. Keano kemudian menyerang perut preman itu, membuatnya langsung roboh.

"Hahah, gitu aja langsung roboh. Udah pengecut, payah pula. Kalau gue jadi lo sih bakal malu banget tuh."

Namun, preman itu bangkit kembali. Dia mengambil sesuatu di saku celananya, yang ternyata adalah sebuah pisau lipat. Preman itu menyeringai lebar. "Lo pikir gua bakal nyerah gitu aja? Rasain ini!" Preman itu mengarahkan pisau lipat itu dengan cepat, dan berhasil mengenai dada Keano.

"Nah, sekarang lihat siapa yang payah!" Preman itu menatap remeh Keano yang sedang menahan sakit yang luar biasa di dadanya. Dia pun jatuh tersungkur ke lantai. Semua yang memperhatikan kejadian itu langsung panik.

"KEANO!"

Elya segera menghampiri tubuh Keano, berusaha membangunkannya. Dia lalu menoleh ke arah preman itu. Amarah dapat terlihat jelas di matanya. "Lo ...."

Dia berdiri, lalu berusaha menyerang preman itu. Preman itu merasa kesal dengan gadis itu. Dan hal yang tak terduga pun terjadi. Pisau yang masih dipegangi oleh preman itu mengenai perut Elya. Preman itu pun terkejut, lalu melemparkan pisaunya.

Elya memuntahkan darah dari mulutnya, lalu tubuhnya terjatuh ke lantai. Sebelum dia memejamkan matanya, dia masih bisa melihat Keano. Elya meneteskan air matanya.

"T-ternyata ... di loop kali ini pun gue tetep nggak bisa nyelamatin lo ...."

Dia pun menghembuskan napas terakhirnya. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top