cerpen • always remember us this way
GELAP, dingin, dan hampa. Hanya itu yang dapat kurasakan.
Rasanya seperti tenggelam di laut tak berdasar.
Perlahan, mataku mulai disuguhkan dengan cuplikan-cuplikan film berdurasi cepat. Di sana, muncul seorang pemuda berambut cokelat yang menjalani kehidupannya. Berbagai peristiwa manis dan pahit menghiasi hidupnya. Kebahagiaan dan juga ....
Penyesalan.
Tampak banyak orang ikut serta memainkan peran mereka dalam cerita hidup si pemuda. Mulai dari orang tuanya, teman-temannya, dan seorang wanita berambut cokelat terang.
Senyuman wanita itu ... membuat dadaku terasa begitu sesak, entah karena apa.
Kala cuplikan-cuplikan tersebut berakhir, aku sadar satu hal.
"Ah, sepertinya ... aku sudah mati, ya?" Pantas saja, semua kisah itu terlihat begitu familier di mataku.
Aku mengembuskan napas, tersenyum miris. Dadaku terasa nyeri begitu cuplikan detik-detik kematianku terputar kembali di benak. Saat moncong kendaraan beroda empat mewah itu menubruk tubuhku, rasanya ... begitu sulit untuk kudeskripsikan.
Seharusnya, aku ikhlas dengan apa yang kualami. Kematian, pada akhirnya, adalah hal yang tak terelakkan, bahkan oleh diriku.
Akan tetapi, kenapa aku merasa tidak rela? Seakan masih ada satu hal yang belum aku selesaikan.
"Kuberi kau kesempatan untuk menyelesaikannya."
Suara siapa itu?
"Bangunlah."
Mendadak, tubuhku tertarik begitu cepat ke bawah, seakan aku terperosok ke dalam jurang. Jantungku berdegup tak keruan, keringat mengucur deras di sekujur tubuhku. Aku memejamkan mata, tidak kuasa melihat apa yang akan terjadi padaku.
Aku hanya bisa berharap, semoga suara itu benar.
*****
Aku tak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi?
Seharusnya aku sudah mati, tetapi suara itu muncul entah dari mana. Semua terjadi begitu cepat hingga akhirnya aku berakhir di sini. Di kamarku. Suara itu pun sempat memberi penjelasan atas situasiku sekarang. Dengan susah payah, kugali ingatanku yang tersisa.
Aku tak bisa mengingat detail dari apa yang dikatakan suara itu. Satu hal yang pasti: saat ini aku telah kembali ke masa lalu sebelum waktu kematianku-untuk menyelesaikan semua urusanku di dunia.
Astaga, bahkan tanggal kematianku sendiri aku lupa. Aku benar-benar ditinggalkan tanpa petunjuk sama sekali!
Aku menghela napas. Baiklah, akan kuturuti apa pun yang diinginkan suara itu.
Jika kuingat-ingat lagi, aku hanya seorang diri. Kedua orang tuaku sudah dipanggil lebih dulu ke atas sana. Untunglah keadaan ekonomiku tidak terlalu buruk. Berkat pekerjaanku sebagai editor tetap di sebuah penerbit yang cukup besar, aku masih bisa makan tiga kali sehari.
Jangan tanyakan keberadaan kerabat-kerabatku. Sejak kematian Mom dan Dad, mereka menutup mata terhadapku. Di mata mereka, aku hanyalah orang luar. Aku sudah mengetahuinya sejak dulu, sebab mereka tidak pernah menyambutku hangat saat kami berkumpul untuk merayakan Natal, Thanksgiving, dan perayaan-perayaan lain.
Ya sudahlah, aku tidak dapat berbuat apa-apa juga.
Meski begitu, aku memiliki seseorang yang setia menemaniku sejak beberapa tahun lalu. Namanya Sally. Sesosok wanita cantik yang berhasil menghangatkan hatiku dan mengisi hari-hariku yang kelabu. Baiklah, aku terlalu berlebihan. Lupakan.
Hanya dialah yang mengulurkan tangan padaku, di saat semua orang membalikkan mata mereka. Bagaikan seorang malaikat tak bersayap. Apalagi Sally berasal dari keluarga yang cukup terpandang. Terkadang, aku merasa tak pantas menyandang gelar sebagai kekasihnya. Namun, dia selalu menyemangatiku, mendukungku dan segala pilihanku.
Suara dering dari ponsel pintar menghentikan fantasiku yang semakin berbunga-bunga. Langsung saja kusambar benda persegi panjang tersebut, menyalakannya. Ternyata ada pesan dari Sally.
Oh, iya. Aku pernah menjanjikannya makan siang bersama pada tanggal ini. Sebaiknya aku segera bersiap-siap.
*****
Tahu-tahu, sudah seminggu sejak hari itu. Aku benar-benar tidak menyadarinya.
Semua urusan pekerjaanku sudah terselesaikan. Naskah-naskah yang diberikan penerbit sudah selesai kusunting dalam waktu yang tergolong cepat. Aku sendiri pun heran. Entah apa yang merasukiku, tetapi yah baguslah. Lagi pula, aku tak boleh meninggalkan hal-hal duniawi saat menghadap-Nya nanti, 'kan?
Sekarang, hanya tersisa satu hal lagi. Rintangan tersulitku untuk mencapai akhirat yang tenang: kekasihku sendiri, Sally. Sampai hari ini, aku belum berkata apa-apa perihal situasiku. Aku berusaha menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya, meninggalkan memori-memori indah untuk dikenangnya nanti.
Aku tidak ingin membuatnya sedih. Cukup dengan kenyataan bahwa dirinya tidak pernah diinginkan oleh kedua orang tuanya. Membuatnya depresi sampai terjun ke dalam dunia itu-di mana mereka yang mencari "kesenangan" akan dipuaskan.
Aku mengambil napas dalam, lalu membuangnya. Aku sudah siap dengan penampilan kasual-kemeja putih berbalut sweater biru gelap, celana chino berwarna krim, dan sepatu kets putih. Di tanganku, sudah ada sebuket bunga mawar. Kutunggu kehadirannya di depan gerbang rumahnya. Aku melihat jam di arloji. Waktu menunjukkan pukul lima petang.
"Hai, River! Maaf sudah membuatmu menunggu!"
Aku menoleh ke sumber suara, dan seketika terpana. Kekasihku muncul dengan penampilan yang cukup berbeda dari gayanya sehari-hari-kaus tanpa lengan dibalut kardigan panjang, celana jin, dan sepatu datar. Warna pakaiannya yang-kebetulan sekali-senada denganku sukses membuatku tersenyum geli.
Sally memainkan jarinya saat sampai di hadapanku. "Eum ... River, maaf jika penampilanku tidak cukup memuaskanmu ...."
"Apanya yang tidak memuaskan? Kau cantik sekali di mataku."
Wajahnya memerah tomat. Malu, dia memukul lenganku. "Sudahlah. Kita pergi saja."
Aku terkikik geli. Ya ampun, Sally, mengapa kau menggemaskan sekali? Kau selalu berhasil membuatku tertawa. Kalau begini ceritanya, bagaimana aku bisa meninggalkanmu dengan tenang?
Karena aku tidak memiliki kendaraan pribadi, maka kami memilih pergi dengan taksi. Sebenarnya aku bisa saja menggunakan mobil Sally, hanya saja si pemilik mobil tidak mengizinkannya. "Mobilnya sedang diperbaiki." Begitulah pengakuannya.
Selama perjalanan, kami tak banyak berbicara. Diam, berkutat dengan pikiran kami masing-masing. Sementara aku sibuk memperhatikan jalan, dapat kudengar Sally menyenandungkan lagu favoritnya.
"It's buried in my soul, like California gold. You found the light in me that I couldn't find."
Pukul tujuh malam. Akhirnya kami sampai di sini, Taman Hiburan Funland. Tempat yang bersejarah bagiku dan Sally. Ah, memori-memori indah itu mulai menyerangku. Sial, kenapa aku harus memilih tempat ini?
Kueratkan genggamanku pada tangannya. Aku menatapnya sambil tersenyum. "Ayo masuk."
Sally membalasku dengan senyuman lebarnya, mengangguk kemudian. Buru-buru dia menarikku masuk, seolah-olah taman hiburan ini akan segera tutup jika kami bergerak lambat. Yah, aku bisa memakluminya. Memang begitulah wataknya-tidak sabaran.
Tiket sudah berada di genggaman, kami mulai menikmati pelbagai wahana di sini. Hari sudah malam, tetapi taman hiburan ini tidak kehilangan pengunjungnya, meski tak sebanyak di siang hari.
*****
Tak terasa, dua jam sudah kami lewati. Selama itu, hanya ada canda tawa juga senyuman di antara kami, seolah beban hidup bukanlah apa-apa. Andaikan aku bisa membekukan waktu, aku ingin terus bersamanya seperti ini.
Sally mengelap keningnya yang berpeluh. Biarpun lelah, dia tak henti-hentinya mengulum senyum. "Aku sangat bahagia!"
Kedua sudut bibirku tertarik-tersenyum penuh arti. "Aku pun."
"Selanjutnya, wahana apa lagi yang akan kita naiki?" tanyanya.
Aku menunjuk ke sebuah wahana yang berada tak jauh dari kami. Begitu mengikuti arah yang kutunjuk, matanya berbinar-binar. Wajar saja, wahana yang kumaksud merupakan saksi bisu kami menjadi sepasang kekasih. Senyumannya semakin melebar, dan tanpa basa-basi menarikku ke sana. Untuk kesekian kalinya aku mengembuskan napas.
Kami melangkah masuk ke dalam gondola begitu petugas selesai mengecek tiket kami. Kebetulan tak banyak yang mengantre untuk menaiki kincir ria, sehingga kami tak perlu menunggu terlalu lama.
Selepas terdengar suara mesin yang menyala, gondola kami perlahan bergerak ke atas. Selama itu, kami tak berbicara sama sekali. Sally sibuk memandangi pemandangan di luar gondola yang semakin lama semakin jauh dari permukaan bumi, selagi aku mengusap-usap tangan yang terasa dingin. Jantungku mulai berpacu tak terkendali, padahal aku tidak sedang kelelahan.
Gondola kami sudah hampir mencapai titik tertinggi. Baiklah, aku harus mengatakannya sekarang. "Hei ... Sally?"
Satu-satunya orang yang bersamaku di sini menoleh. "Iya? Ada apa, River?"
Aku harus mengatakan ini, meski tak sanggup. "Aku ... ingin hubungan kita berakhir."
Jelas dia syok akan pernyataanku, terlihat jelas dari air mukanya. Pun dia tak bereaksi apa-apa. Tentu saja, hubungan kami selama ini mulus-mulus saja, dan tahu-tahu aku memutuskannya. Aku pun tak pernah membayangkan akan mengatakan hal ini padanya.
"... Kenapa? Apakah aku melakukan kesalahan?"
Aku menggeleng pelan. Tentu saja itu membuat emosinya tersulut. Kedua matanya berair. "Lalu kenapa, River?! Jelaskan alasannya!"
Terus-terusan Sally mendesakku, hingga lambat laun pertahananku roboh. "Karena tidak lama lagi aku akan mati, Sally ...!" Kutundukkan kepalaku, tak berani memandang wajahnya. Akhirnya aku berhasil melontarkannya.
Keadaan berubah hening. Dia tak lagi bertanya dan menuntut. Dinginnya malam berhasil menembus masuk ke dalam gondola, meremang bulu kudukku dibuatnya. Hingga kemudian jantungku kembali memacu cepat, aku mulai merasakan firasat buruk.
"Kau pasti bercanda." Sally memaksakan tawanya, dikiranya ucapanku hanyalah bualan belaka. "Leluconmu sama sekali tidak lucu, kau tahu."
"Aku tidak bercanda, Sally. Aku mengatakan yang sebenarnya," tegasku serius.
Dia tak lagi dapat membendung air matanya, dibiarkannya tumpah ruah. "Oh, ayolah, jangan membohongiku, River! Kau tak perlu sampai memalsukan kematianmu sendiri untuk memutuskanku ...."
Gondola kami telah sampai di puncak. Ada jeda sejenak sebelum kami mulai bergerak ke bawah. Di saat itulah, aku menarik tangannya, kudekap erat tubuhnya yang lebih kecil dariku. Dapat kurasakan dirinya gemetar. Sesuatu yang basah pun terasa di dada kiriku-pasti air matanya.
"Kumohon, jangan pergi. Jangan tinggalkan aku sendiri ...."
Inginku pun seperti itu, Sally. Aku masih ingin berada di sampingmu. Sayang sekali, takdir tak mengizinkannya. Apa boleh buat, aku harus menerimanya. Tanpa sadar aku mengeratkan dekapanku padanya.
"Kau meninggal karena sebuah kecelakaan yang tak terduga. Kematianmu tak seharusnya terjadi. Oleh sebab itu, kau diberikan kesempatan dari Tuhan untuk kembali ke seminggu sebelum kematianmu, untuk menyelesaikan semua perkaramu di dunia. Lewat dari waktu itu, kau akan kembali mati."
Ah, akhirnya aku bisa mengingatnya jelas. Telat sekali.
Sontak gadis itu melepaskan pelukannya. Mata biru safirnya memperhatikanku lekat-lekat, entah apa yang dipikirkannya. "Kau ...."
Mengangguk pelan, aku tersenyum miris. "Hari ini adalah hari kematianku. Kukira aku masih punya waktu."
Tepat sesudahnya, sesuatu janggal kami rasakan pada lantai gondola. Getaran aneh diikuti suara derit yang memekakan telinga. Tak tahu harus berbuat apa, kami hanya beradu tatap.
Oh tidak, jangan-jangan-
BRAK!
"AKHHH!"
Lantai gondola ini roboh tanpa disangka-sangka, kami pun terjatuh. Aku tak masalah jika harus mati, tetapi bagaimana dengan Sally?
"River, kau tak apa!?" sahut Sally.
Syukurlah, ternyata dia masih sempat berpegangan pada salah satu besi kerangka kincir ria. Dia malah mengkhawatirkan aku, alih-alih dirinya. Dasar bodoh, kau sedang berada di ambang hidup dan mati. Pikirkan nyawamu sendiri.
Aku berusaha melakukan hal yang sama. Dengan jerih payah, tanganku berhasil meraih sebuah tiang besi. Akan tetapi, belum juga semenit, tanganku sudah tak kuat menahan beban tubuhku. Cepat atau lambat, aku akan terjatuh lagi.
Rupanya nyawaku memang harus berakhir seperti ini, ya? Pasti malaikat maut sudah bersiap di bawah sana, sabar menungguku ditemani sabitnya. Mataku berair, sedang mulutku tersenyum.
Dengan isyarat mulut, kukatakan salam perpisahanku untuk Sally.
"Always remember us this way."
Oleh karena keringat yang membasahi telapak tanganku, permukaan besi yang kujadikan palang berubah licin. Alhasil, genggamanku menjadi tak mantap, terlepas pada akhirnya. Tubuhku ditarik gravitasi menuju permukaan bumi, menerjang angin dengan kecepatan tinggi.
"RIVERRR!"
Suara itulah yang terakhir kudengar, sebelum mukaku mencium permukaan tanah. Baik tangan maupun kaki, tak ada yang dapat kugerakkan. Nyeri menjalar ke setiap inci tubuhku tanpa kecuali.
Kupejamkan mata, menyambut sang kegelapan hampa.
- F I N -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top