Penyakit Flu di Jaman Jawa Kuno
Tema: Penyakit
Siapa yang tidak mengenal nama penyakit flu di antara kita? Pastinya (hampir) semua manusia pernah mengalami sakit ini. Jika kita sudah terkena penyakit yang disebabkan virus ini, kita tinggal membeli obat di warung atau datang ke tempat perawatan kesehatan (dokter/puskesmas/rumah sakit) yang ada di sekitar tempat tinggal kita. Setelah beberapa kali meminum obatnya, tubuh akan kembali membaik.
Namun, bagaimana dengan jaman dulu ketika obat dari virus ini belum ditemukan? Berikut ada satu cerita dari Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang.
Pada zaman dahulu kala sepasukan suku tengah dalam misi pengepungan di kampung suku lawannya. Mereka telah siap menyerang sampai suatu ketika dari dalam sebuah rumah di kampung itu terdengar suara bersin yang sangat kencang. Pasukan yang akan menyerang kampung itu pun terkejut. Mereka lari ketakutan. Misi penyerangan itu pun batal seketika.
Lelaki itu mengingat pernah mendengarnya sewaktu kecil. Katanya, cerita yang tak jelas asal usul dan kebenarannya itu sempat berkembang seperti cerita rakyat.
"Saya justru mendengar itu dari almarhum kakek di Jawa. Padahal kisah semacam ini bisa dipahami kalau terjadi di Kalimantan misalnya, ini kan perang antarsuku atau kampung," kata Dwi kepada Historia.
Kendati begitu, menurut Dwi, ada hal menarik dari kisah itu. Paling tidak orang sejak lampau sudah tahu kalau penyakit dengan bersin itu menular. Bahkan mungkin dianggap mematikan sehingga membuat orang-orang yang didekatnya lari ketakutan. Sebuah misi besar pun gagal.
"Walaupun tak tahu apa benar pernah terjadi, ini bisa jadi petunjuk kalau flu sejak dulu ditakuti orang," kata Dwi. "Yang diwaspadai kok bersin, kan sekarang orang juga waspada terhadap batuk dan bersin, makanya perlu ada jarak dan pakai masker."
Dwi menjelaskan, di Jawa orang sering menyebut flu dengan pilek atau umbelen. Penyakit ini tercatat dalam prasasti, khususnya prasasti dari sebelum abad ke-11. Orang Jawa Kuno menyebutnya dengan nama humbelen.
"Humbelen atau flu ini rupanya penyakit tua," kata Dwi. "Setelah abad ke-11 mungkin juga muncul tapi tak disebutkan."
Epigraf Universitas Gadjah Mada, Riboet Darmosoetopo dalam Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU menulis, humbelen adalah penyakit pada masa Jawa Kuno yang termasuk dalam wikara (perubahan). Artinya penyakit ini terjadi karena keadaan tubuh dan mental yang lebih buruk dari biasanya.
Berdasarkan data prasasti abad ke-9–10 dan kesusastraan, ada bermacam-macam wikara. Ada wikara yang disebabkan penyakit, wikara sejak lahir, wikara yang terjadi karena perubahan kejiwaan, dan wikara karena kena kutuk.
Selain humbelen atau sakit pilek, wikara yang disebabkan penyakit adalah bubuhen atau wudunen (bisul). Lalu ada buler atau sakit katarak dan sakit mata lainnya yaitu belek. Kemudian ada wudug atau lepra, panastis atau sakit malaria, dan uleren atau sakit karena cacing.
"Artinya, kalau itu disebut di prasasti menggambarkan penyakit yang terjadi di masyarakat waktu itu," kata Dwi.
Namun, pilek tampaknya tak begitu menakutkan bagi masyarakat Jawa Kuno. Riboet menyebut tujuh wikara yang sangat ditakuti yaitu kuming (impoten), panten (banci), gringen (sakit-sakitan), wudug (lepra), busung (perut membengkak), dan keneng sapa (terkena kutuk).
Disebut pula lepra. Penyakit ini dalam bahasa Jawa baru disebut budugen atau budug. "Huruf b dan w itu bisa menggantikan jadi dulu disebut wudug," jelasnya.
Menurut Dwi, kemungkinan besar pada masa lalu penyakit akibat infeksi bakteri itu menyerang masyarakat di lingkunagn kelas bawah. Sebagaimana biasanya penyakit lepra muncul di lingkungan yang kotor.
"Pada masa lalu makanya ada tempat-tempat untuk mengucilkan orang yang kena lepra. Sayangnya, kita belum menemukan apakah tindakan ini juga dilakukan di masa Hindu-Buddha," ujar Dwi.
Catatan Tiongkok memberikan keterangan juga soal adanya penyakit menular pada masa Jawa Kuno. Ini ditemukan di dalam Catatan Dinasti Tang dari tahun 618–907. Disebutkan di negeri Kalingga di Jawa ada sejumlah gadis beracun. Katanya jika seseorang berhubungan seks dengan mereka perutnya akan sakit. Akhirnya mereka bakal mati. Tapi tubuhnya tak akan membusuk.
"Mungkin dalam bentuk yang lebih ganas seperti HIV, tapi ini mengingatkan juga pada sifilis. Ini juga gambaran dari penyakit menular," kata Dwi.
Adapula wikara yang disebabkan gangguan jiwa seperti buyan (gila) dan janggitan (sakit jiwa karena terkena kutuk).
Wikara yang disebabkan kena kutuk dapat bersifat jasmani maupun rohani. Prasasti Wiharu II (851 Saka atau 929) menyebut ada orang yang meninggal dunia karena perutnya membengkak (matya busunga). Prasasti itu juga mencatat penderita ayan (ayana), orang yang disambar petir padahal tak sedang hujan (samberen ing glap tanpa hudan), dan tenggelam di bendungan (klêmakên ring dawuhan).
Adapula wikara yang disebabkan gangguan jiwa seperti buyan (gila) dan janggitan (sakit jiwa karena terkena kutuk).
Wikara yang disebabkan kena kutuk dapat bersifat jasmani maupun rohani. Prasasti Wiharu II (851 Saka atau 929) menyebut ada orang yang meninggal dunia karena perutnya membengkak (matya busunga). Prasasti itu juga mencatat penderita ayan (ayana), orang yang disambar petir padahal tak sedang hujan (samberen ing glap tanpa hudan), dan tenggelam di bendungan (klêmakên ring dawuhan).
Penyakit karena kutukan dibahas pula dalam Kitab Rajapatigundala, naskah undang-undang yang ditulis Raja Bhatati (nama lain Kertanagara) dan disusun kembali pada zaman Majapahit. Pada bagian sapatha disebut nama-nama penyakit yang akan menimpa orang jika tak mematuhi hukum.
"..., untuk orang yang tidak mematuhi, dia akan mendapat kesengsaraan,... hidup mereka akan tanpa mendapat kesehatan, mereka akan sakit kusta, tidak dapat melihat dengan sempurna, sakit gila, cacat mental, buta, bungkuk. Maka semua orang yang tidak mematuhi akan dikutuk oleh Raja Patigundala yang suci," sebut kitab itu.
Pun dalam Kitab Korawacrama yang diperkirakan berasal dari abad ke-14. Dikisahkan Bhatara Guru terkejut ketika melihat banyaknya penyakit yang diderita manusia.
" ..., terkejutlah Bhattara guru ketika melihat manusia, ternyata banyak yang menderita sakit, ada wudug (lepra), ana buyan (gila), ana wiket (mempunyai banyak luka), pincang welu (hernia), beser (selalu ingin buang air), turuh (kerusakan pada salah satu organ tubuh), apus (kehilangan tenaga), wuta (buta), tuli (tuli), bisu (bisu), barah (lepra yang sudah parah), uleren (cacingan), umis (pendarahan), lampang (sejenis penyakit kulit), bule (albino), gondong (leher membengkak), amis antem (berbau amis), masegir (berbau tidak enak), apek (berbau apek), demikian keadaan manusia,..." tulisnya.
https://historia.id/kuno/articles/flu-dan-penyakit-menular-zaman-kuno-vo1Ye/page/4
https://historia.id/kuno/articles/penyakit-yang-ditakuti-pada-zaman-majapahit-PNaRY/page/2
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top