7.3. Tarung Niskala (Part-3)
Ketika entitas niskala bertarung, logika dan rasional tidak mampu untuk menggapainya. Meski Dunia Astral telah mengalami fusi dengan dunia konkret selama puluhan tahun, mereka bekerja dengan 'hukum' mereka sendiri. Seolah menantang 'hukum' dunia yang saling menabrak batas satu sama lain.
Ketika anak panah terlepas, Adela sudah menarik bahuku dalam satu hentakan, membuatku jatuh terkapar di tanah, seiring dengan diriku melihat anak panah terbang memelesat di atasku. Untuk seseorang yang sudah dekat dengan Adela, gadis itu memiliki refleks yang lumayan. Aku mendengar kelotak anak panah ditarik dari tarkasnya.
Satu.
Ketika aku bangkit, tiba-tiba saja 'Vega'—Astral pendamping Alfian—sudah tepat berada di depanku. Diriku yang berjingkat kaget, tidak diberi kesempatan untuk terkejut, tatkala Vega melayangkan sebuah pukulan telak ke perutku. Untuk ukuran Astral, kekuatannya cukup untuk membuatku kebas karena rasa sakit tiada tertangguhkan. Namun, sempat kulirik bahwa Vega memukulku dengan sesuatu yang cukup keras, seperti bongkahan kayu yang terpelitur rapi.
Popor senapan!?
"ILYA!"
Dari arah samping, Adela menerjang di antara diriku dan Vega. Kurasakan hawa panas yang sempat lewat. Situasi itu membuat Vega beranjak ke belakang, sementara Adela mengejarnya. Kulihat bilah berapi telah tergenggam erat di tangan Adela, menebas ke arah Astral di depannya. Vega menangkisnya dengan popor senapannya, yang diluar dugaan mampu menahan panas dari pedang milik Adela.
"Vega! Merunduk!"
Sebuah aba-aba tiba-tiba dari Alfian langsung mengode Astral itu. Tidak sempat mengelak, anak panah sudah memelesat ke arah Adela.
"Arkh!"
Anak panah itu menancap di betis Adela, membuatnya kaku di tempat selama beberapa detik. Mau sesakti apapun gadis itu dengan statusnya sebagai 'Setengah Banaspati', tetapi ia masih tetap seorang manusia.
"Aaaarrrrgh! Keparaaaat!" Adela mengerang kesakitan.
Tragedi terus muncul malam demi malam, seolah kami adalah buronan semesta. Nyeri yang kualami belum sepenuhnya reda, tetapi entah mengapa aku merasakan kesakit yang begitu menyiksa. Sebuah luka, juga sebuah amarah yang terpantik dalam diriku. Melihat sosok yang telah berbagi hati denganku terluka, tentu saja sebuah amarah muncul menggelora. Apalagi bila teman dekatmu sendiri adalah pelakunya.
Dua
Aku berlari menuju Alfian, berharap untuk menerjang anak itu hingga ia tidak dapat menembak. Alfian dengan sigap mengambil anak panah yang tersimpan di tarkas pinggangnya, tetapi urung menarik ketika aku sudah dekat barang empat langkah dari tempat dirinya berdiri. Aku mengepalkan tangan, bersiap untuk membogem wajah Alfian. Namun, sesuatu seperti menghantamku di bagian punggung.
Pang!
Sempat kudengar suara seperti letusan senapan.
Dingin yang menusuk hingga ke tulang, menjalar dari punggung, bahu kanan, dan tangan. Seperti seluruh tubuhmu ditusuk-tusuk oleh jarum es, seperti kulitmu dikuliti bilah es batu. Aku terperosok jatuh, sempat terguling empat kali di lantai beton parkiran resto cepat saji. Setengah badanku mati rasa karena hipotermia.
Begitu aku dapat melihat apa yang sebenarnya terjadi, aku baru sadar kalau 'Vega' bukanlah astral sembarang astral. Ia adalah sosok Pendamping—Khodam apabila dari penafsiran lama—yang diberi kepercayaan Alfian untuk tetap menginjak dunia. Namun, tentu saja ada kontrak terikat yang harus dipenuhi oleh keduanya. Bagi Astral, yaitu mengabdi kepada siapapun yang telah memberikan 'hidup kedua'. Suara letusan senapan tadi adalah dari senjatanya.
Rasanya dihantam senjata Astral, seperti mendapatkan kutukan dari makhluk gaib. Tergantung sebagaimana kuatnya Astral, yang kudapat tidak begitu mematikan, tetapi begitu menyiksa. Punggungku seperti ditusuk oleh bilah es, di mana detik demi detik, setengah badan terasa mati rasa karena penurunan suhu yang drastis.
"Meleset sedikit mengenai jantungmu, kau akan tamat malam ini, Ilya. Senjata astral bekerja dengan cara yang tidak terduga." Akhirnya Alfian berkomentar dengan datar. Ia menarik anak panah ketiganya, dengan tatapan seperti elang yang akan meluncur menuju mangsanya. Ia membidik ke arahku.
"Sayang sekali, takdir membawa kita berdua di akhir yang memilukan, Ilya."
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top