7.2. Tarung Niskala (Part-2)

Kejadian itu seperti berlangsung sekejap mata. Selayaknya diriku tidak diberi detik untuk memahami situasi yang terjadi. Adela beranjak dari duduknya, setelah sosok Astral mencoba untuk menyerangku. Bersamaan dengan itu, Adela menunjukan sosok aslinya sebagai 'Setengah Banaspati'. Adela berusaha menebas astral itu dengan pedang berapinya, hanya untuk ditangkis oleh belati milik astral tersebut.

Astral ini ... sangat kuat! Batinku.

Lalu, di sisi yang lain, ada Alfian Surur, sobat karibku selama aku kuliah. Kini, pria itu membidikkan panah ke arahku, tepat di seberang meja makan yang hanya berjarak sekitar empat hasta. Ya, empat hasta. Pria itu benar-benar sesuatu, tatkala sudah bersinggungan dengan anak panah.

"ILYA SORE!"

Teriakan Alfian menggelegar, tidak tahu apabila anak panah telah terlepas dari tangannya, memelesat ke arahku. Yang kutahu, anak panah itu langsung terbakar seketika, lantas berubah menjadi abu. Aku hanya merasa seperti sebuah embusan debu yang tertampias di mukaku dengan kecepatan yang cukup untuk membuatku mengira bahwa terjadi badai di dalam ruangan.

"Mampu membakar material apapun dalam sekejap mata, mendeskontruksi setiap materi menggunakan energi kalor, luar biasa!" Begitulah komentar Alfian dengan seringai lebar, tatkala tembakannya gagal untuk menghabisiku.

"Alf, kau benar-benar di luar nalar." Aku menimpali, tetapi Alfian tidak peduli. Ditariknya sebuah anak panah dari tarkas yang berada di sampingnya. Ia hendak untuk membidikku lagi. Namun, fokusku terpecah, tatkala Adela sudah berada di sampingku.

"Ah, Adel—"

Tanpa aba-aba, Adel menarikku dalam satu hentakan dan memecahkan kaca restoran di samping kami.

"—Laaaaa!"

Belum sempat Alfian membidik, Aku meloncat keluar—dilempar keluar oleh Adela lebih tepatnya—dengan hentakan yang cukup kuat, sehingga aku merasa seperti diterbangkan dengan manjanik. Aku pun terguling di parkiran restoran yang sepi. Kulirik Adela, yang kini berdiri di depanku.

Sekejap kemudian, ia memelesat menuju Alfian, menyerangnya. Namun, astral yang menyerang kami menyambarnya duluan sehingga Adela terpelanting dan menabrak sebuah mobil sedan milik restoran cepat saji. Mobil itu langsung ringsek karena tumbukan kedua makhluk iregular yang saling berkelahi.

"Ilya Sore, salah satu anggota pers mahasiswa, pionir dari Tim Gabungan Independen Pencari Fakta Kerusuhan Tanah Tak Bertuan, kini ketahuan melakukan sesuatu yang sangat-sangat-sangaaat ... berbahaya." Kulihat Alfian telah beranjak dari tempatnya di dalam restoran. Kini, langkahnya menghampiriku, dalam segala niat untuk menghabisiku.

Situasi yang cukup menyebalkan. Terjadi begitu cepat, sampai-sampai informasi yang diterima, belum sempurna dicerna.

"Alf, aku bisa jelaskan—"

"Semua sudah jelas sekarang, Ilya." Alfian menukasku. "Kau, telah melakukan sebuah tindakan ilegal dalam spektrum hukum yang mengatur Bumi Manusia dengan Alam Astral."

Aku mengernyit.

"Tindakan ilegal?"

Alfian terkekeh, seraya berujar, "Tidak kusangka ... kau mengubah gadis yang kaucintai menjadi sesosok Astral."

"Dalam klausul Penindakan Kriminal terkait Alam Astral, kau telah melakukan sebuah klenik ilegal, Ilya!" Alfian menuding ke arahku.

"Klenik ilegal, huh?"

Penindakan Kriminal Terkait Alam Astral. Sebuah produk konstitusi yang dihasilkan oleh negeri ini. Jujur saja, sejak negeri ini jatuh dalam cengkeraman kolonialisme asing, upaya kriminalisasi orang-orang yang bersekutu dengan 'makhluk niskala' pun mulai ditegakkan. Penindakan terhadap tindak kejahatan 'niskala' yang bertambah, akibat peristiwa Wahyu Agung puluhan tahun silam. Segala tindak klenik yang membahayakan masyarakat dan mengancam stabilitas negara, akan ditindak. Salah satunya adalah melakukan klenik hitam. Hukum ini telah lama dicanangkan dan telah banyak perubahan, tetapi selalu bermuara pada sebuah pertanyaan klasik.

Di mana ambang batas manusia berinteraksi dengan Astral, di dunia yang telah caur-baur ini? Di mana garis yang memisahkan ko-eksistensi manusia dengan Astral?

"Hei, kurasa klausul 'klenik ilegal' yang kautuduhkan padaku, sepertinya kau juga telah melakukannya," balasku dengan nada sedikit sinis.

Aku melihat astral berperawakan seperti prajurit zaman kolonial itu, kini tengah beradu senjata dengan Adela. Mengingat Adela kesulitan melawannya, sepertinya Astral yang dibawa Alfian bukan sembarang Astral.

"Asal kautahu, Ilya. Diriku mendapatkan lampu hijau untuk melakukannya, meskipun itu harus melakukan kontrak yang sedikit menjijikan. Menggadaikan sedikit kebebasan, tiada salahnya." Alfian tersenyum kecut.

"Inikah yang kaulakukan sewaktu liburan di Surakarta, Alf!? Inikah hasil dari liburanmu itu?"

Alfian menggelengkan kepalanya. "Ilya ... aku memang sedang liburan. Anggap saja, ini adalah oleh-oleh dari Surakarta. Kautahu, menelisik Dunia Astral adalah sesuatu yang menarik, jika dipikir-pikir."

Anak ini sudah kena pola pikirnya!

"Oh, kau sekarang jadi maniak Astral, begitu?" sengakku.

"Ilya, aku tidak percaya dengan Astral. Segala klenik dan mistisisme adalah produk daripada kebudayaan manusia yang tercipta. Namun, Wahyu Agung telah memutarbalikkan persepsi manusia di muka bumi." Alfian kembali mengambil sebuah anak panah dari tarkas yang terselempang di pinggangnya.

Ketika mereka yang 'gaib' menjelma menjadi sebuah konsep yang nyata, huh?

Niskala Yang Termaterialisasi.

Sebuah kekuatan misterius yang terwujud dari ketiadaan. Peristiwa yang memutarbalikkan perkembangan sains umat manusia. Kini, manusia berlomba-lomba untuk mengulik segala hal yang berkaitan dengan Alam Astral.

"Entitas fana kini telah termaterialisasi dengan sempurna, menjadi sebuah entitas baru, berlomba menyerupai yang nyata. Tidakkah itu membuatmu penasaran?" Alfian membidikkan panahnya ke arahku. Dari tatapannya, tiada keraguan bahwa dirinya benar-benar akan mengakhiri hidupku. Klasik, kau akan berakhir di tangan teman dekatmu sendiri.

Aku menghela napas.

"Jujur saja, aku tidak ingin nyawaku berakhir di tanganmu, Alfian."

"Aku juga tidak mengharapkan tragedi ini terjadi, Ilya." Alfian masih membidikku.

Cukup sudah.

"Siapa tuanmu!? Kepada siapa kau mengabdi!?" Aku menatap Alfian, menantang maut yang sudah mengintai tepat di depan pandangan.

Tanpa menurunkan bidikannya, Alfian berujar, "Siapapun yang membayar diriku, tentu saja."

"Kau ... sejak kapan kau jadi peduli dengan uang, huh?" sindirku.

Alfian terkekeh, seraya berujar, "Hey .. hey, aku adalah mahasiswa tua yang butuh uang untuk meneruskan kuliah. Tidak kurang dan tidak lebih."

"Lalu kau menjual diri kepada Biro untuk memburu kami!?"

Alfian tidak menjawab, tetapi air mukanya berubah muak ketika aku menyindir-nyindir Biro.

Dengan muak, Alfian beringsut, "Biro? Organisasi korup yang berlindung atas nama agama itu? Oh, ayolah kawan! Aku tidak akan sehina dina itu menjilat kaki para priyayi tamak itu demi segepok uang!"

"Lalu?" Aku mengernyit, tatkala air muka Alfian kembali terlihat tenang.

"Tugasku hanyalah memastikan bahwa semua anomali astral yang terjadi di Tanah Jawa masih berada di ambang batas yang aman. Tidak ada urusannya Biro denganku. Ah! Meski begitu, aku ada beberapa daftar nama Pemburu Biro yang harus ... kubereskan karena sudah mengganggu stabilitas keamanan nasional."

'Di ambang batas yang aman', 'daftar nama Pemburu Biro', 'mengganggu stabilitas keamanan nasional'. Sampai hati Alfian melakukan 'pekerjaan kotor' ini, membuat kecemasanku naik drastis. Aku rasa, aku dan Adela perlahan terseret dalam arus intrik besar yang tengah terjadi di negeri ini.

"Karena itulah kau memburu Adela? Sebagai salah satu anomali yang tidak aman?" Aku melontarkan tuduhan lagi.

Alfian menghela napas, lantas berujar, "Keberadaan Adela dengan jejak astralnya yang begitu kuat mulai berada di tahap yang mengkhawatirkan. Asal kautahu, Ilya. Bukan hanya diriku saja yang mengincarnya. Biro ... astral-astral lain, bahkan pihak-pihak eksternal yang memanfaatkan kesempatan anomali astral ini untuk merecoki pekerjaan rumah yang seharusnya dikerjakan oleh orang-orang bangsa ini."

Sraaak!

Percakapan kami terhenti, tatkala Adela terlempar menyeret tanah, untuk kemudian tergeletak tidak jauh di dekatku. Badannya penuh dengan asap dan ia terlihat babak belur.

"Adel!" Aku hendak meloncat menghampiri, tetapi Adela segera berteriak mencegahku.

"Ilya, jangan bergerak!"

Langkahku belum sempat beranjak, ketika sebuah anak panah memelesat tepat di depan wajahku. Hanya terpaut beberapa sentimeter saja, aku sudah dicium oleh maut yang mengintai. Aku menoleh ke arah Alfian, di mana sosok astral telah berada di sampingnya, masih dengan pandangan mengintai. Perlahan Adela mulai beranjak dari tempatnya tergeletak, sedikit tertatih dan napasnya terengah. Ia menatap nanar ke arah Alfian dan sosok astral di sampingnya.

Alfian tidak segera menyerang. Tangannya tidak menyambar tarkas. Lalu, sebuah penawaran di luar perkiraan, terucap dari mulutnya.

"Ilya. Serahkan Adela padaku dan kau akan bebas dari segala tuduhan."

****

"Serahkan Adela padaku dan kau akan bebas dari segala tuduhan."

Begitulah penawaran dari Alfian terucap.

Aku mengernyit. "Apa kaubilang??"

"Ilya, Adela telah menjadi sebuah masalah serius. Keberadaannya telah menjadi anomali yang mengkhawatirkan dan mengguncang stabilitas Tanah Jawa. Akan kumusnahkan sosok anomali di sampingmu malam ini dan kita akan bicarakan selanjutnya baik-baik."

Alfian menurunkan busur panahnya, seiring dengan negosiasi dimulai. Namun, tidak serta merta aku menurunkan kewaspadaanku begitu saja. Terlalu banyak trik yang bisa dimainkan oleh pria itu. Juga, bagaimanapun penawaran itu terdengar omong-kosong belaka. Entah siapapun yang membeking Alfian, jelas ingin untuk 'menyingkirkan' Adela.

Satu kali kami berdua berhasil lolos dari percobaan pembunuhan. Sekarang, yang lainnya mulai menyusul untuk mencoba mengenyahkan kami, lagi. Lebih keji dari percobaan pertama, mencoba menyingkirkan dengan teman dekat sebagai perantara. Namun, aku masih terpikir satu ucapan Alfian yang terdengar ... memberi sebuah peringatan. Peringatan bahwa Adela telah menjadi center of conflict.

Semua orang 'mengincar' Adela—dan untuk suatu hal, aku juga termasuk—untuk sebuah alasan yang belum kutemukan. Mengubah manusia menjadi Setengah Banaspati di tengah malam tanpa ada fenomena mistis sebelumnya, siapa yang menyangka itu dapat dilakukan?

Apakah Alfian tahu ini? Pikirku.

Aku menatap Alfian tajam. Mau tidak mau, aku harus buat Alfian menumpahkan 'informasi' yang sepertinya 'sengaja' disimpannya.

"Anomali? Lalu, bagaimana sosok Astral yang ada di sampingmu itu? Apakah itu bukan sebuah anomali!?" Sindirku, sembari menatap sosok yang ada di samping Alfian.

Tidak segera menjawab, Alfian melirik sosok perempuan di sebelahnya, sebelum akhirnya ia buka mulut.

"Vega."

"Astral itu bernama ... Vega. Bintang terterang di kontelasi Lyra. Berpuluh tahun umat manusia bertaut dengan konsep niskala sedari dekat, entah mengapa masih ada batas tipis yang tidak mampu dilewati oleh umat manusia."

Aku pasti bermimpi ketika melihat sosok yang kukenal kini menjelma menjadi Astral, tetapi pertanyaan besar lainnya terus mengiringi. Astral yang membantu Alfian, bukanlah Astral sembarangan. Setidaknya aku mengenal wajah itu.

"Kau memelihara Astral—"

Aku ingin menyinggung Astral itu, tetapi Alfian sepertinya tidak ingin buka mulut tentang hal itu. Ia langsung 'menguliahiku' mengenai relasi manusia dengan makhluk astral.

"Wahyu Agung telah membuat sebuah jalan bagi manusia untuk membuka potensi daripada Dunia Astral. Niskala menjadi nyata, abstrak menjadi konkret, ghaib menjadi ... tampak. Namun, manusia masih begitu primitif untuk menggunakan Astral sebagai sebuah bentuk relasi budak dan tuan."

"Bahasa lama menyebutnya sebagai Khodam. Di era kiwari ini, mereka menyebut dengan berbagai hal. Ada yang menganggap mereka sebagai budak, sebagai Kacung Ghoib. Namun, beberapa menghanggap hal itu terlalu vulgar dan kasar, sehingga mereka menamainya dengan 'Pendamping'."

"Jadi, ini hanyalah masalah siapa yang bersekutu dengan siapa, huh?" tukasku, sebelum Alfian mengoceh lebih lama lagi.

"Alfian, kau tidak menjawab kepada siapa kau bersekutu. Kau menganggap Adela yang berubah menjadi 'setengah Astral' sebagai sebuah anomali, sedangkan kausendiri menggunakan Astral sebagai alat. Tindakanmu penuh dengan kontradiksi, tetapi kau masih tetap melakukannya. Tidakkah itu hina, menjual temanmu sendiri demi uang, demi prestise?"

Aku menyengak Alfian. Gejolak emosi dalam diriku masih ingin diriku memaki-maki pria di depanku. Suaraku meninggi, tetapi tidak sampai meledak menjadi laungan muntab.

"Aku dan Adela hanyalah wong cilik, yang ingin hidup dengan tenang di dunia yang penuh dengan kefanaan ini! Namun, kalian melabeli kami dengan sebutan sesat, dengan sebutan inkarnasi penyihir, lalu kemudian ... memvonis kami melakukan tindakan klenik ilegal."

Entah mengapa dua hari terakhir, dunia seperti berkonspirasi memusuhiku dan Adela.

"Tidak adil."

"Ilya, semesta tidak bekerja dengan welas asih—"

"Semesta menciptakan jutaan kesempatan kepada manusia untuk menyebarkan welas asih, Alf."

Alfian berdecak. Ia mengangkat busur compound-nya lagi. Kali ini ia membidik Adela.

"Heh, jadi kau masih bersikeras untuk menghabisi Adela, huh?" komentarku kecut.

"Aku tidak akan mengangkat senjata padamu. Namun, perlu kautahu, Ilya. Realita semesta terkadang tidak bisa begitu saja kauterabas dengan idealmu." Dengan emosi datar, Alfian menarik sebuah anak panah lagi.

Bagaimana menahan Alfian? Si Jenius sinting itu?

"Mengapa kau begitu terobsesi dengan apa yang dialami Adela, Alf?"

"Sosok menyerupai Banaspati di sampingmu adalah ancaman bagi umat manusia, Ilya!" Alfian membidikkan busurnya ke arah Adela. Kulirik Adela yang sudah ambil kuda-kuda untuk menghindar.

"Umat manusia yang mana? Mereka yang bertaut dengan niskala untuk hidup ... atau mereka yang menganggap niskala adalah tetangga spesial mereka?" sanggahku.

"Cepat atau lambat, seantero negeri akan memburumu karena Adela. Maafkan kalau banyak hal sentimentil di antara kita bertiga, tetapi ... aku tidak bisa membiarkan anomali yang melawan hukum alam itu berkeliaran di muka bumi."

Sentimentil? Jarang sekali Alfian membahas hal sentimentil.

Anak panah yang terbidik ke arah Adela bisa kapanpun terlepas. Aku pun maju, memotong jalur tembak antara Alfian dan Adela. Kini, aku memunggungi Adela.

"Bang Ilya! Kenapa—"

Sebelum Adela memprotes, aku pun menukas, "Aku telah diberikan kepercayaan kepada Profesor Matsuri untuk menjagamu. Maaf, Adel, tetapi aku tidak akan lari."

Sentimentil. Sudah berapa lama aku tidak mendengar kata itu terucap dari Alfian? Sudah berapa lama pria itu tidak jatuh dalam hal yang melankolis?

"Jangan bikin ini jadi sentimen personal yang merepotkan, Ilya. Minggirlah!" Alfian mulai berteriak.

Aku tidak melepaskan tatapanku pada Alfian yang sepertinya sudah gatal ingin melepas anak panahnya.

Empat kali tembakan. Kalau aku dapat menjatuhkan Alfian dalam empat tembakan, selesai sudah baginya.

Aku menyunggingkan seringai sinis, seraya berujar, "Pada suatu malam, tiga ratus meter dari tempat kita berdiri, sebuah percobaan pembunuhan dilakukan oleh sekelompok Pemburu Biro. Apakah kau juga berkomplot, Alfian Surur?"

"Huh?" Alfian terlihat bereaksi dengan provokasiku. Ini adalah pertaruhan yang sangat sulit, tetapi aku tahu pasti, bagaimana seorang Alfian Surur bekerja.

Aku terkekeh. "Adela, lihatlah, di depan kita berdua telah berdiri seseorang yang telah—"

Sentimentil.

"—mengubah kesadaran kekasihnya sendiri yang telah mati tiga bulan lalu—"

Hal yang selalu dibenci Alfian sebagai seorang yang berpusat pada rasionalitas.

"—menjadi sesosok Astral Pendamping—"

Tidak lagi kulihat ketenangan dari air muka Alfian. Aku menyeretnya keluar dari zona nyamannya.

"Ilya Sore, kubunuh kau."

Anak panah terlepas, meluncur ke arahku.

****


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top