7.1. Tarung Niskala (Prelude)

Istilah mengenai Astral mulai muncul, tatkala dunia menghadapi sebuah fenomena yang bernama Wahyu Agung. Ketika sembarang hal-hal berbau klenik, mistik, gaib, mulai termaterialisasi sebagai konsep niskala yang semu. Sebuah ilusi yang dituturkan kepada setiap umat manusia di muka bumi. Berbagai manusia di belahan dunia yang berbeda pun, turut berbeda dalam memaknai 'retorika' yang dikidungkan pada hari di mana Wahyu Agung turun.

Namun, satu hal yang mungkin bisa menjadi eksplanasi atas kekacauan, keriuhan, dan kegaduhan yang tejadi adalah, Alam Gaib tidak lagi menjadi Alam Gaib. Alam gaib telah berubah menjadi konsep yang dinamakan Astral. Alam Gaib berubah penamaan menjadi Alam Astral, seiring dengan ditemukannya berbagai bukti yang mendukung Wahyu Agung.

Hantu adalah ilusi, lantas bagaimana manusia memaknai? Segala hal yang gaib, segala hal yang niskala, segala yang memiliki wujud yang samar, perlahan menunjukkan diri. Menjadikan Alam Astral berubah spektrum. Ibarat kata dunia yang kita tempati adalah sebuah 'Spektrum A', sedangkan Alam Astral adalah 'Spektrum B', lantas apa yang terjadi di muka bumi ini, bahwa Alam Astral perlahan mengalami pergeseran spektrum. Alam Astral mulai bergeser mendekati spektrum alam kenyataan, menjadikan batas-batas kegaiban mulai kabur. Pergeseran itu pun mengalami puncaknya pada waktu Wahyu Agung. Di mana dua spektrum dunia yang berbeda, melebur menjadi satu.

Secara kasar dapat disimpulkan bahwa Alam Astral dan Alam Kehidupan saling bertumbukan, menjadikan batas-batas yang membuat manusia tidak dapat menggapai 'Spektrum B', menjadi suatu hal yang dapat digapai dengan logika saintifik umat manusia. Namun, dalam teori lain, kedua alam tidak benar-benar bertumbukan, seperti saling menabrak menjadi sebuah kekacauan. Dalam fenomena Wahyu Agung, dua spektrum dijabarkan sebagai dua dunia yang berbeda. Kemudian, aspek-aspek yang membentuk kedua dunia itu mulai bertaut dan bergabung menjadi sebuah kesatuan yang baru. Sebuah sintesis dari asimilasi kedua dunia, di mana Dunia Nyata dan Dunia Astral saling bertaut, saling berkolaborasi membentuk kehidupan manusia menjadi seperti sekarang ini.

Sebagai akibatnya, muncullah makhluk-makhluk yang kita kenal sekarang dengan Makhluk Astral. Mengapa bisa terjadi demikian? Karena akibat asimilasi kedua dunia, menyebabkan apa yang sebelumnya kita tidak dapat kita raih dengan indera kita, kini mampu kita raih seperti meraih benda riil pada umumnya. Karena itulah, makhluk-makhuk niskala pun mulai berwujud. Hantu-hantu mulai menampakkan dirinya secara nyata. Masih terlihat sedikit seram, tetapi hantu-hantu tersebut kini berwujud seperti selayaknya manusia. Meski begitu, terkadang ada beberapa kasus, di mana Astral masih berwujud selayaknya wujud gaib mereka sebelum Wahyu Agung turun. Namun, sebagian besar Astral kini berwujud selayaknya manusia dengan fitur-fitur khas pada identitas Astral mereka sebelumnya.

Muncullah sebuah konsep bernama 'Niskala yang Termaterialisasi'. Tidak nyata menjadi nyata, dongeng menjadi sejarah, kisah-kisah mistis menjadi sebuah berita sehari-hari. Orang-orang mampu melihat Astral sebagaimana mereka melihat makhluk hidup seperti manusia, hewan, dan tumbuhan. Gaib telah kehilangan identitasnya sebagai konsep niskala yang tidak berwujud. Kini, semua orang bisa melihat Astral, tetapi tidak semua orang dapat mengidentifikasi apakah orang yang mereka temui di jalan adalah manusia atau bukan.

Konsep Niskala yang Termaterialisasi pun akhirnya menurunkan problema yang lain. Bagaimana kita mengidentifikasi apakah seseorang yang kita temui di jalan adalah astral atau manusia betulan? Sampai saat ini, kajian demi kajian masih terus dilakukan, meski metode-metode mereka yang berusaha ilmiah, malah ditentang oleh konsep saintifik itu sendiri sebagai bentuk culture shock, atau dalam hal ini adalah concept shock. Namun, kita akan membahas itu lain kali, karena perdebatan mengenai Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Astral apakah hal itu merupakan ilmiah atau sebagai sebuah bentuk olok-olok saintifik dalam bentuk pseudosains.

Kembali pada problema Niskala yang Termaterialisasi pertama yang menginisiasi sebuah penemuan, bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi mana makhluk hidup dan mana makhluk astral. Namun, penemuan itu juga menemukan hal lainnya, bahwa tidak semua manusia memiliki kemampuan identifikasi seperti itu. Mereka yang mampu mengidentifikasi, mampu melihat astral baik dalam wujud asli, maupun wujud 'membo-membo' mereka. Dalam hal ini, manusia tersebut mampu melihat jejak-jejak yang dihasilkan oleh astral tersebut sebagai Astral Signature, atau yang lebih umum disebut sebagai 'Jejak Astral'. Sedangkan, orang yang tidak mampu mengidentifikasi astral, hanya akan melihat astral sebagai sosok manusia yang tidak dia kenal, yang berjalan berpapasan sambil lalu.

Lalu, sampailah pada problema Niskala yang Termaterialisasi yang kedua. Ketika Makhluk Astral termaterialisasi menjadi 'makhluk kasat mata', maka secara otomatis, hukum-hukum alam di Dunia Nyata akan bekerja pula mempengaruhi Makhluk Astral tersebut. Seperti ketika Makhluk Astral bersinggungan dengan apa-apa yang ada di Dunia Nyata, maka makhluk tersebut juga akan menerapkan hukum saintifik yang sama, seperti makhluk lain pada umumnya. Hanya saja, Makhluk Astral memiliki 'energi' mereka sendiri dalam memanipulasi segala bentuk konsep ilmiah yang ada di Dunia Nyata. Seringkali, problema tersebut menimbulkan sebuah manifestasi lain, menyebabkan masalah di dunia nyata. Contohnya adalah kasus Vampir Kampus yang tengah terjadi di Tanah Singasari, atau orang lokal menyebut mereka dengan Banaspati.

Sebuah disclaimer, bahwa penyebutan Makhluk Astral akan menyesuaikan dengan di mana astral itu tinggal, seperti apa faktor budaya yang berlaku di suatu tempat. Mungkin saja di Cina saja, orang tidak mengenal Banaspati tetapi dengan sebutan Jiangshi. Sama seperti orang-orang di Eropa Tengah, bahwa mereka mengenal Vampir sebagai Drakula—diambil dari kisah nyata seorang penguasa yang haus darah—bukan sebagai Banaspati. Konsep mereka sama, tetapi penamaan mereka yang bervariasi.

Lalu, apa yang terjadi di Tanah Singasari? Mengapa terjadi sebuah kasus yang menggemparkan, di mana manusia tiba-tiba berubah menjadi seperti Vampir jadi-jadian?

Semua itu bermula dari konsep Penguasa Banaspati yang menempati sebagian 'tanah' di Tanah Singasari. Penguasa Banaspati, di mana gelar itu diberikan kepada 'Banaspati' terkuat yang mampu menguasai suatu daerah, menjadikan Banaspati-Banaspati lain tunduk padanya. Penguasa Banaspati ini terikat dengan hukum yang ditegakkan di masing-masing daerah yang berbeda. Mereka memiliki daerah kekuasaan mereka sendiri yang ditandai dalam batas-batas yang mereka buat sendiri. Mulanya, mereka tidak ingin mengusik manusia, hingga pada satu titik, manusia itu sendiri yang mengusik mereka.

Kemungkinan besar yang terjadi adalah, ada yang sengaja mengusik Penguasa Banaspati di Tanah Singasari. Lebih tepatnya mengusik 'daerah kekuasaannya' dengan memprovokasi sang Penguasa Banaspati itu. Lalu, sebagai bentuk retaliasi, Penguasa Banaspati itu mulai mengeluarkan terornya, dengan maksud untuk memberikan sebuah 'peringatan'.

Jangan mengganggu daerah kekuasaanku.

****

"Penguasa Banaspati itu memiliki nama?" ujar Adela bertanya, memutus penjelasan Alfian.

"Nama yang tidak boleh sembarang disebut. Dalam kebiasaan kultur masa lalu, menyebut namanya berarti memanggil wujudnya. Sebuah pantangan dalam perklenikan orang-orang Konservationis. Pamali," sanggah Alfian.

"Baiklah, Bung. Kita tidak sedang menghadapi makhluk halus yang berbahaya dan seluruh Astral bisa dilawan dengan memukulkan pipa paralon ke tubuhnya." Aku menimpali sanggahan Alfian.

"Kita tidak sedang menghadapi makhluk halus sebagaimana yang diamini manusia sebelum Revelasi Agung, Adel. Peradaban manusia berevolusi, begitu juga dengan mereka yang menghuni spektrum Astral," balas pria itu, sembari berkacak pinggang.

"Lalu, Bang Fian, bagaimana dengan fenomena mahasiswa yang mendadak menjadi vampir itu? Kutukan? Klenik?"

"Kurang lebih demikian. Dewasa ini, mereka menyebutnya dengan ritual."

"Ritual?" Adela menelengkan kepala.

Alfian mengangguk untuk mengonfirmasi. "Dua belas mahasiswa, ditambah dua regu penegak Biro yang berjumlah delapan orang. Total ada dua puluh orang telah hilang. Apabila lima belas orang mahasiswa yang menjadi korban hilang telah ditemukan, besar kemungkinan mereka telah terkontaminasi."

"Terkontaminasi?" Baik diriku dan Adela sama-sama mengernyit.

"Kemungkinan besar mereka telah menjadi ... vampir jadi-jadian."

Mendadak, kulihat Adela mulai duduk dengan tidak nyaman. Tanpa sepengetahuan Alfian, aku menggenggam tangan Adela untuk menenangkan dirinya.

"Mereka bisa disembuhkan?" tanya Adela mulai mengejar. Tempo bicaranya juga mulai naik.

"Hmm ... kalau ini akibat ritual klenik Penguasa Banaspati, bisa disembuhkan dengan dua cara. Melakukan kongkalikong dengan Penguasa Banaspati, atau ... menghabisinya."

Oke, dua cara yang hampir mustahil. Aku sendiri tidak tahu seberapa kuat Penguasa Banaspati ini. Iseng, kucoba memancing dengan sebuah pertanyaan.

"Lalu ... kenapa Biro tidak menghabisinya saja?"

Alfian langsung balik menanyaiku. "Kaupikir Biro Cabang Tanah Singasari mampu?"

"Eh?" Aku tertegun.

"Apabila sebuah Astral terikat dengan tanah atau tempat di mana mereka berkuasa, makin besar juga kekuatannya. Karena itulah, kebanyakan raja-raja Astral yang bertebaran di muka bumi, telah memiliki pengaruh-pengaruh mereka di dunia nyata," lanjut Alfian.

"Lalu ... asumsi Biro menanggapi serius ancaman ini, seberapa besar kekuatan yang dibutuhkan untuk mengalahkan Penguasa Banaspati Tanah Singasari?"

"Hmm ... seisi Biro Cabang Tanah Singasari kemungkinan besar belum mampu untuk mengimbangi."

Ah, sepertinya kesempatan untuk menyembuhkan Adela dengan cara menghabisi Penguasa Banaspati ... tidak masuk akal.

Aku melirik pada Adela, kini tenggelam dalam lamunannya sendiri.

"Kecuali ada sosok Astral yang mampu untuk mengimbangi kekuatan si Penguasa Banaspati Tanah Singasari, Biro hanya dapat menyeret si Penguasa Banaspati dalam sebuah konsesi status quo." Segera Alfian menyambung.

Mendadak, aku pun penasaran akan suatu hal yang mengganjal.

"Hei, Alf."

"Hmm?"

"Kau tiba-tiba muncul ketika situasi tengah terekshalasi di Tanah Singasari. Apakah kedatanganmu ini telah kaurencanakan."

Alfian tidak segera menjawab. Ia tersenyum padaku dan Adela. Sebuah senyum yang sangat mencurigakan.

Ah, sial. Perasaanku tidak enak.

"Well, aku masih menganggap kalau ini hanya sebuah kebetulan, tetapi kaubenar, Ilya. Kedatanganku adalah untuk mengejar suatu hal." Akhirnya, Alfian menjawab dalam sebuah nada yang sangat samar-samar mencurigakan.

"Suatu hal?" Aku berusaha mengejar jawaban Alfian.

Dengan tenang, Alfian bercerita. "Sehari lalu, sebuah jejak astral yang begitu besar, terasa di Tanah Singasari. Siapapun yang mampu melihat anomali luar biasa itu, pasti tidak akan tinggal diam. Bahkan Biro di kota lain pun sudah mulai bersiaga tentang preseden buruk yang turun di kota ini."

Sial. Jadi dirinya sudah menyadari ada yang aneh.

"Itu yang membuatmu menyudahi liburanmu di Surakarta dan kembali ke Tanah Singasari, Alf? Demi mengejar sebuah anomali astral?"

Alfian terkekeh, seraya memandangku dengan sebuah tatapan yang mencurigaiku. "Terkadang, obsesi membuat seseorang menjadi lupa diri mereka, Ilya."

Mendadak, aku baru sadar, tatkala restoran cepat saji ini dari tadi sepi. Terlampau sepi.

"Namun, yang lebih mengejutkanku adalah sebuah bukti yang memanduku untuk menemukan sebuah fakta, bahwa jejak astral itu terkonsentrasi di kos-kosanmu dan perjalanan sepanjang ke kampus."

Diam. Hening.

Tiba-tiba saja, seseorang—tidak—sesosok perempuan dengan baju seperti seragam militer, meloncat dari arah belakang Alfian, muncul entah dari mana, hendak menikamku dengan sebuah pisau belati. Seketika itu juga, Adela yang ada di sampingku langsung bereaksi dengan menangkis pisau belati itu dengan bilah pedang berapi. Iris mata Adela berubah warna menjadi merah menyala. Sosok perempuan itu di luar dugaan menangkis pedang berapi Adela.

Jantungku mencelus ketika melihat sosok perempuan tersebut. Seorang perempuan yang sangat aku kenal. Bahkan kemungkinan besar ia sangat mengenalku. Sayangnya, pandangan perempuan itu sudah berbeda dari yang pernah kukenal.

"Alfian Surur, ini sebab kau liburan lama di Surakarta!?"

Alfian memandangku dengan senyum menyeringai. Aku dan Adela terjebak dalam situasi yang tidak terduga ini. Sepertinya tebakanku benar.

Perempuan yang menyerangku, dikenalkan oleh Alfian setahun lalu sebagai kekasihnya. Yang membuat hal ini menjadi sebuah absurditas absolut adalah kehadiran perempuan itu di tempat ini, saat ini, di restoran ini. Begitu melihat dengan jelas wajah perempuan itu, aku merutuki diriku sendiri karena kena penyakit pikun mendadak di saat-saat seperti ini.

Perempuan itu telah meninggal tiga bulan lalu.

"Astral Signature yang begitu jelas tepat di depanku. Menyala terbakar menyelimuti sosok Adela Ratna. Apa yang telah kau perbuat ...."

Sebuah gerakan tidak terduga dari Alfian yang menarik busur compund bow-nya, terbidik ke arahku.

"ILYA SORE!"

****


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top