6.4. Transaksi Informasi (Part-4)

"Surakarta!? Kau berlibur di Surakarta!?"

Dalam nada tinggi, kulantunkan keterkejutanku kala mengetahui nasib dari lelaki berbadan bocah SMP di hadapanku kini. Sang lelaki, dengan wajah seperti tanpa dosa, cengar-cengir dengan santainya seperti biasa, hanya memandangku penuh jenaka sembari menggaruk-garuk kepalanya. Alfian Surur, lelaki di depanku selalu hadir dengan membawa cerita yang penuh kejutan.

"Yep." 

Jawaban singkat dari Alfian membuatku merasa kesal, sekesal tatkala Adela dipertemukan dengan Sahetapy. Kini, giliran Adela yang mengangguk-anggukan kepalanya, seolah-olah memaklumi responsku. 

Tidak, Alfian adalah 'entitas' yang jauh berbeda dengan seorang Sahetapy. Alfian selalu menjadi pusat perhatian dari anak-anak Program Studi Psikologi, tidak terkecuali diriku. Ketika dirinya tidak terlihat di publik selama hampir satu bulan lamanya, kupikir dia telah menghilang entah kemana. Bahkan, aku mengkhawatirkan kalau dirinya juga terlibat masalah dengan Biro atau organisasi misterius lainnya.

Lalu, di perempatan depan Gerbang Belakang Fakultas Teknik ini, aku berjumpa dengan dirinya lagi. Dengan entengnya, ia mengatakan bahwa dirinya sehabis 'membolos', dengan liburan ke Surakarta.

"Kau menghilang selama hampir sebulan hanya untuk berlibur ke Surakarta!!?" Kembali dengan nada tinggi aku lontarkan kesangsianku atas cerita Alfian.

Namun, Alfian berkacak pinggang, sembari memasang wajah gerutu dan mencebik bibirnya. "Hey, I need some refreshing trip, okay."

"Kau bohong," timpalku.

"Kenapa aku bohong? Aku tidak bohong, Ilya. Hey, lagipula aku sudah tidak ada mata kuliah lain lagi selain skripsi. Aku ini mahasiswa tuwir seperti kau!"

Apa yang dikatakan oleh Alfian memang benar adanya. 

Bocah itu dan aku, adalah mahasiswa tua yang sudah bau kolot menanti kepastian kapan akan mengerjakan penelitian untuk skripsinya. Namun, setidaknya aku sudah mencuri start duluan daripada Alfian yang menghilang tanpa jejak, tanpa kabar, dan tanpa ada informasi apapun. 

Seperti dirinya kabur dari kota ini dalam sebuah misi rahasia yang dituntaskannya di Surakarta. Namun, aku berusaha untuk tetap berpikir positif. Mungkin saja, dia tidak memberitahu semua orang kalau dirinya sedang ingin pulang ke kota tempat dirinya dibesarkan. Toh, mahasiswa-mahasiswa tua seperti kami sudah terbebas dari beban ikatan harus menghadiri kelas perkuliahan. Di zaman kiwari ini pun. mengerjakan skripsi pun bisa dilakukan dari kampung halaman.

Mungkin saja begitu, tetapi kenyataannya, mungkin aku akan segera mengetahuinya sesaat lagi.

"Cengki bilang kalau dia bertemu denganmu kemarin sore. Dia bilang kau keluar kota entah ke mana, dalam rangka apa, dan berapa lama," sahutku.

Seperti teringat sesuatu, Alfian pun langsung berujar, "Ah ... ya. Aku bertemu dengan Cengki ...."

Namun, sejenak ia menyadari hal lainnya. "Tunggu, kau bertemu dengan Cengki?"

Aku mengangguk. "Barusan, di Pojok MIPA."

Alfian mengangguk-anggukan kepalanya. "Ah ... coba kutebak ... Himaroki?"

Aku menggeleng, seraya menyanggah, "Lebih besar dari itu."

"Oh ...." Alfian kini menoleh ke arah Adela yang berada di sampingku.

"TGIPF?"

Adela mengangguk cepat.

"Ya."

"Ah, jadi kalian ingin menginvestigasi Vampir Kampus?"

Aku terkesiap, begitu pula dengan Adela. Tentu saja mustahil bagi seorang Alfian yang memiliki kepekaan informasi mengenai apa yang terjadi di Tanah Singasari, melewatkan hal bombastis seperti 'kisah mistis Vampir Kampus'. Rupa-rupanya, rumor itu sudah menyebar dengan luas, dalam taraf tidak dapat dikendalikan hanya dengan menghapus video-video viral saja. Efek Streissand telah bekerja sebagaimana mestinya.

"Bagaimana ... kaubisa tahu?" tanyaku dengan penasaran.

Alfian tersenyum menyeringai, sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Mas Ilya ... Mas Ilya."

"Itu sudah jadi sensasi di kalangan mahasiswa, termasuk bagi diriku yang sedang jauh dari Tanah Singasari. Orang yang berselancar di dunia maya secara kronis tentu saja tahu tentang apa yang sedang terjadi di Tanah Singasari. Bahkan Kajineman Mangkunegaran saja tahu segala tetek bengek Perastralan di segala sudut Tanah Jawa." 

Sembari melipat tangannya, Alfian menceritakan alasannya mengetahui situasi di Tanah Singasari. Apabila ada seseorang yang mampu menyaingi Sahetapy dalam hal rekoleksi informasi-informasi receh di daerah Tanah Singasari, mungkin Alfian adalah orangnya.

Ingin kutanyakan padanya apakah dia juga mengetahui bahwa aku dan Adela diserang oleh Biro, tetapi mendadak aku teringat perkataan Sahetapy, untuk mewaspadai Alfian Surur. Kata-kata Sahetapy membuatku jadi sedikit sensitif membagi informasi atau memancing seseorang untuk berbicara tentang topik yang krusial seperti itu.

Menyambung pembicaraan, aku pun berujar, "Mahasiswa menghilang ... kemudian ditemukan telanjang di sudut kota. Ketika mereka bangkit, mereka menerkam rekan-rekan mereka sebagai mangsa."

"Menarik ...." Alfian mengelus-elus dagunya, seraya pandangannya menerawang ke arah kami berdua. Ia seperti menatap kami, tetapi seperti pula pikirannya telah terbang menyelusuri lautan informasi yang diketahuinya. Langit malam telah menampakkan panggungnya dengan sempurna. Hiruk-pikuk kota dapat terdengar dari Kampung Mahasiswa. Dalam keheningan, kami seperti teralun dalam pikiran kami masing-masing.

Mendadak, keheningan pembicaraan itu pecah, tatkala Alfian tiba-tiba mengajakku dan Adela untuk ikut dengannya.

"Hei, care to share the story?"

Alfian menunjuk sebuah plang restoran ayam goreng cepat saji yang begitu terkenal seantero negeri. Tempat favorit keduanya untuk cari makan, setelah sebuah warung prasmanaan di depan kos-kosannya di daerah Sumbersari.

****

Alfian Surur.

Ketika nama itu terdengar telingaku, ketika seseorang mengonfirmasiku apakah aku mengenalnya, mendadak seperti ada sebuah rekoneksi ikatan persahabatan yang penuh dengan nostalgia. Kami berdua berasal dari kota yang berbeda, dengan kultur yang berbeda, dengan status sosial dan ekonomi keluarga yang berbeda, memiliki keyakinan yang berbeda, dengan kemampuan individu yang berbeda, bahkan besar di budaya pergaulan yang berbeda. Namun, entah kenapa aku dan Alfian begitu dekat. Kampus yang sama, fakultas yang sama, program studi yang sama, mempertemukan dan mendekatkan kami berdua.

Pertama kali aku bertemu dengannya, sewaktu kami tengah mengerjakan tugas ospek. Waktu itu, kami berada dalam satu kelompok yang sama, dalam satu rombongan kelompok ospek yang sama. Bahkan, kita berakhir dalam kelas yang selalu sama dan memiliki Pembimbing Akademik yang sama. Sejak saat itu, aku dan Alfian sudah sering bersama. Terkadang sering terlibat dalam sebuah pembicaraan dengan topik yang begitu random. Dari membahas sejarah bagaimana runtuhnya Roma hingga membahas sejarah bagaimana keripik nangka tercipta.

Bisa dibilang, kami adalah duetto yang jarang terpisahkan, meski terkadang pemikiran kami berbeda, pemahaman kami berbeda, keyakinan kami berbeda, atau ... beberapa kelas mata kuliah kami berbeda. Bahkan, arah gerak kami pun berbeda. Alfian sudah tercebur dalam aktivitasnya sebagai anak Panahan, sedangkan diriku berkecimpung di dunia Pers Mahasiswa. Namun, aku dapat mengonfirmasi ini, jika kau bertanya tentang keyakinannya. Ia adalah orang yang paling sering mempertanyakan, sekaligus menjadi orang yang paling taat dalam keyakinan yang diikat oleh tubuhnya.

Hingga pada suatu ketika, Alfian menghilang dari peredaran. Satu orang mempertanyakan keberadaannya, hingga semua orang menanyakan kepada diriku sebagai orang yang menjadi duetto-nya. Ke mana Alfian Surur? Bahkan seorang Profesor Matsuri pun menanyakan keberadaannya yang tiba-tiba senyap tanpa ada informasi. Aku agak sedikit memaklumi hal itu. Bukan, bukan sebagai teman dekat, tetapi karena aku paham kalau Alfian Surur adalah orang yang sangat sulit 'ditemukan'

Secara literal.

Kau harus pergi ke kos-kosannya, menggebrak-gebrak pintu kamarnya untuk membangunkan dirinya yang ketiduran karena seharian dirinya ketinggalan kelas. Dia adalah orang yang paling sulit untuk dihubungi, benar-benar membalas pesan delapan jam setelah kau mengirimkannya. Kadangkala, Profesor Matsuri jengah karena kebiasaan 'asistennya' yang sangat sulit dihubungi dan dilacak keberadaannya. Bahkan, semisal Alfian akan tidur malam ini, bisa jadi kau akan menemukannya terbangun tiga hari ke depan tanpa ada yang tahu kalau dirinya tiga hari tertidur, di kamarnya yang terkunci dari dalam. Maka, tidak heran, jika tidak ada yang tahu di mana keberadaan Alfian yang tidak pernah terlihat batang hidungnya di lingkungan kampus selama satu bulan belakangan. Ia bukanlah orang yang dengan seenak jidat mengumbar informasi dan pengalaman pribadinya, jika bukan orang yang begitu dekat.

Agak sedikit eksentrik, tatkala dirinya selalu menjadi center of attention para mahasiswa Prodi Psikologi. Namun, di satu sisi, dirinya adalah orang yang paling sulit ditemukan keberadaanya. Bahkan, jika dirinya menghilang secara misterius, orang tidak akan pernah tahu keberadaannya, lalu baru panik sebulan atau dua bulan setelah terakhir dirinya terlihat. Seperti ia berkonspirasi dengan bumi untuk menghilangkan wujudnya, menghindar dari hiruk-pikuk dan ingar-bingar gemerlap kota. Seperti yang terjadi saat ini. Seakan, Alfian Surur adalah anomali yang dimiliki oleh seorang manusia, selayaknya anomali yang diprakarsai oleh Astral. Ia adalah anomali di antara semua orang yang pernah kutemui selama hidupku.

Lalu, apa yang dilakukan oleh Alfian Surur di Surakarta? Jujur, aku sendiri tidak tahu. Aku bukanlah cenayang untuk mengintip kehidupan pribadinya. Sebuah asumsi logis adalah kalau dirinya pulang ke tanah kelahirannya. Dia adalah orang Surakarta tulen. Namun, ia tinggal dan besar di Jakarta. Bahkan KTP-nya orang Jakarta. Orang tuanya tinggal di Jakarta, bahkan dirinya pernah bercerita kalau beberapa kerabatnya tinggal di daerah-daerah yang dekat dengan Jakarta. Ke rumah neneknya, mungkin? Namun, ia mengadu pada kami berdua bahwa dirinya sedang 'liburan'.

Kini kami telah berada di restoran cepat saji yang menjadi 'tempat mangkal' Alfian Surur untuk makan. Aku dan Adela, sudah duduk semeja dengan Alfian. Di depan kami, sudah terpampang makanan yang Alfian pesan. Seporsi Double Beef Cheeseburger, sekotak kentang goreng dengan taburan garam dapur, kondimen berupa saus tomat yang diletakan dalam sebuah cawan, serta segelas besar susu soda kocok. Sebuah paket lengkap makanan dengan gizi yang dipertanyakan kualitasnya, penuh kolesterol yang mengancam jantung dan gula yang mengancam pankreas. Sepaket 'makanan sampah' yang memaksa perut untuk menerimanya sebagai sumber nutrisi. Gurih micin yang terkandung di setiap menunya menggenjot kinerja indera perasa dan menghipnotis otak agar mereka mengira makan-makanan terenak di dunia.

Aku selalu mempertanyakan pola makan Alfian yang begitu serampangan. Di zaman kiwari di mana ilusi Astral menjadi sebuah kebiasaan umum, makanan-makanan sampah dari franchise restoran cepat saji ini selalu menjadi gebrakan utama dalam mengakuisisi perut-perut masyarakat. Kita tidak akan pernah tahu, seartifisial apa daging yang terkandung di dalam Cheeseburger yang kini Alfian konsumsi. Kita tidak akan pernah tahu, berapa kadar garam dalam saus tomat itu, atau gula pada susu soda kocok. Yang jelas, makanan-makanan seperti ini adalah lingkaran setan yang menjadikan masyarakat kiwari terpapar obesitas, sakit jantung, dan diabetes kronis.

Yang lebih menyedihkan lagi, kemungkinan besar, pegawai-pegawai yang menahkodai kapal bisnis restoran cepat saji seperti ini, berada dalam risiko jeratan ketidakadilan kapitalisme. Penyalahgunaan undang-undang ketenagakerjaan makin sering berlaku di negeri ini, seiring dengan majunya peradaban manusia. Membuat kita bertanya-tanya, apakah kita memang benar terbebas dari belenggu penjajahan berabad-abad silam?

Aku melihat Adela, memandang makanan yang Alfian pesan dengan muka jijik. Telah kusaksikan sendiri, siksaan berat yang dialami Adela dalam persoalan memakan makanan manusia dengan benar. Terkena 'kutuk' menjadi manusia setengah banaspati, membuat dirinya tidak dapat menikmati makanan selayaknya manusia normal. Namun, aku tahu sendiri, apabila Adela memang tidak begitu menyukai makanan-makanan sampah yang begitu artifisial rasanya itu. Ia pasti akan lebih memilih untuk merogoh kantong uang lebih mahal sedikit, untuk menikmati hamburger yang diracik secara manual, tanpa ada tambahan bahan pangan di dalamnya. Jika di lain kesempatan dirinya tidak memiliki cukup uang, Adela akan berakhir menikmati mi instan yang dirinya racik sendiri agar tidak terlalu 'sampah'.

"Kau mengikuti kisah mistis itu?"

Dalam sebuah kesempatan, sehabis Alfian menghabiskan Double Cheeseburger-nya, aku pun mulai melempar topik pembicaraan. Ya, sepanjang kami berada di restoran cepat saji ini, hanya Alfian yang memesan makanan. Aku hanya memesan segelas kopi yang begitu artifisial rasanya—lebih seperti biji-bijian digoreng gosong, kemudian digiling menjadi sebuah bubuk yang menyerupai kopi—dan tidak kuhabiskan. Sementara itu, Adela tampak tidak memiliki semangat untuk makan. Ia tidak memesan apapun, sehingga gadis itu hanya melihat Alfian menikmati makanannya.

Alfian mengelap mulutnya dengan tisu yang telah disediakan di meja makan, lalu ia pun menjawab pertanyaanku, "Yah ... ini adalah kasus luar biasa yang melibatkan entitas 'vampirik'."

Alfian mengode kata vampirik dengan kedua tangannya.

Aku menelengkan kepala, seperti biasa, meminta penjelasan sejelas mungkin dari Alfian. "Entitas ... vampirik? Maksudmu ... ini benar-benar ulah Astral?"

Alfian menganggukan kepalanya. "Secara sederhana, kasus yang ditemui baru-baru ini adalah manusia yang berubah menjadi Vampir. Secara prosesnya, ada sosok Astral yang mampu mengubah properti fisiologis makhluk hidup ... ya, ini adalah fenomena Astral. Bahkan ... ini sudah jadi anomali."

Jika Alfian sudah mulai membicarakan terkait saintifik dan astral, mulailah kami pada acara 'perkuliahan' jalanannya. Aku mengubah telengan kepalaku di sisi lain, masih berusaha memahami eksplanasi Alfian. Meraba-raba konsep Astral yang pria itu jabarkan. "Mengubah properti fisiologis makhluk hidup? Seperti ... mengubah struktur dan fungsi tubuh tertentu di manusia agar menyerupai sosok Astral ...."

Alfian menggosok-gosok dagunya, seraya bergumam, "Hmm ... bagaimana menjelaskannya ya ...."

Dalam kontempelasi tiga detiknya, Alfian akhirnya menemukan alur penjelasan yang dibutuhkan, seiring dengan dirinya yang menepuk tangannya.

"Jadi, begini."

Alfian pun mulai bercerita.

"Kasus Vampir yang kita ketahui saat ini sebenarnya mampu dijelaskan secara terstruktur dalam koridor ilmiah, walau dalam kasus riil yang lain, kita masih belum dapat menemukannya. Serta ... kautahu ... penelitian tentang Dunia Astral masih berbenturan dengan kepercayaan, agama, serta kaidah-kaidah rasionalisasi saintifik itu sendiri."

"Namun, di sinilah kita hidup sekarang. Di bumi di mana hantu bisa dipegang," sahutku menimpali.

Alfian mengangguk menyetujui. "Hantu memang bisa dipegang, jika kita mengetahui struktur dan komposisi dari energi yang membentuk hantu itu sendiri, Ilya. Bahkan, anomali Astral pun, jika ditilik lebih lanjut, itu adalah sebuah reaksi antara energi yang dimiliki oleh Astral, untuk kemudian dibenturkan dengan kaidah-kaidah ilmiah di alam nyata."

"Uuh ... maksudnya, Bang Fian?" Adela yang sedari tadi hanya menjadi penonton dialog, kini berbaur dalam pembicaraan itu.

Alfian menjentikkan jarinya, seraya memain-mainkan bekas tisu yang tergeletak di meja. Ia pun menggunakan apa pun yang ada di atas meja untuk membantunya menjelaskan. Piring, tisu, nampan, cawan bekas saus tomat. Ia mulai menatanya seperti layaknya seperangkat alat peraga.

"Gampangnya, astral memiliki energi, kemudian bereaksi dengan substansi lain yang bersinggungan dengan energi tersebut. Dari reaksi energi itu, terciptalah anomali astral. Seperti suhu yang tiba-tiba mendadak dingin tatkala di dekat kita ada sosok Astral, karena energi dari Astral tersebut bereaksi dengan udara di sekitar, kemudian terjadilah reaksi fisika yang mampu menyerap aliran panas di udara."

"Lalu, bagaimana dengan kasus Vampir Kampus ini?" Adela mengejar penjelasan Alfian.

"Hmm ... kupastikan kalian sudah mengetahui video yang sempat viral itu, benar bukan?"

Aku hanya mengangguk menanggapi, sedangkan Adela menanggapi dengan kalimat konfirmatif.

"Yang pasien rumah sakit menggigit orang yang menjenguknya itu kan, Bang Fian?"

Yang ditanya mengangguk. "Ya, benar. Ada kemungkinan, itu disebabkan karena Astral."

"Hmm ... apakah itu menjadi sebuah fenomena kesurupan? Kutukan? Atau bahkan guna-guna?" Aku balik menimpali pembicaraan dengan pertanyaan.

Alfian menggelengkan kepala, seraya balik menjawab, "Hmm ... karena ini kasus yang melibatkan vampir ... ini berbeda dengan kesurupan jin seperti umumnya. Satu konsep besar dalam perastralan, tetapi sudah beda metode. Ah, tapi kita tidak bisa langsung menjustifikasi kasus ini, selayaknya kasus vampir yang menggigit manusia lalu manusia tersebut menjadi vampir seperti di film-film horror zaman now."

"Bukankah memang seperti itu film-film yang berkaitan dengan vampir ... atau drakula pada umumnya?"

"Film-film seperti itu hanya mereduksi konsep dan kultur daripada vampir itu sendiri, Ilya." Alfian berkacak pinggang, menatapku dengan ekspresi sedikit menggerutu.

"Lalu ... seperti apa konsep dari kesurupan vampir ini?" Giliran Adela menyahut dengan pertanyaan sambungan.

"Bukan kesurupan, lebih tepatnya ... vampir tersebut memasukan sebuah substansi asing berupa energi astral ke dalam tubuh targetnya. Lalu, substansi tersebut mulai memengaruhi syaraf pusat manusia tersebut, menjadikan otak manusia itu terjebak dalam ilusi yang diciptakan oleh Si Astral," lanjut Alfian menjelaskan.

"Ilusi?" Adela menaikkan kedua alisnya.

"Seperti ... ketika kamu bangun, kamu melihat teman yang menjengukmu sebagai Double Cheeseburger raksasa. Kamu dalam keadaan lapar dan lemas, kemungkinan tidak makan selama tiga hari, kemudian otakmu ditipu oleh ilusi Astral. Apa yang terjadi?"

Alfian giliran melempar pertanyaan padaku dan Adela. Untuk sejenak, aku merekonstruksi jawaban di pikiranku. Namun, Adela sudah mencoba menjawabnya secara perlahan, beberapa patah kata demi patah kata.

"Kau ... akan ... mencoba menggigit temanmu ... karena mengira temanmu itu makanan?" ujar Adela sembari mengakhiri kalimat dengan nada tinggi.

Alfian menjentikkan jarinya, mengamini pernyataan Adela. "Yak, tepat sekali, Adel. Lalu, sebuah reaksi berantai terjadi. Sayangnya kasus pasien rumah sakit yang menggigit penjenguknya itu masih belum ada berita lebih lanjut."

Aku mendadak melihat ekspresi Adela yang berubah drastis. Dari dirinya yang tidak berminat, malas melihat Alfian menghabiskan makan malamnya, kini dipenuhi oleh gelombang ketakutan dan kegelisahan. Bisa kulihat Adela sedikit membelalak, ketika Alfian menjelaskan mengenai fenomena 'Vampir Kampus' yang tengah viral. Tubuhnya mendadak menggigil karena merinding, mulutnya mendadak bergemeletuk karena menahan dinginnya rasa takut yang menjalar seketika di tubuhnya. Mulutnya melongo dan napasnya kembang-kempis.

Aku mulai paham, ke mana pembicaraan ini mengarah. Perubahan ekspresi Adela yang mulai gelisah, seakan mengafirmasi kalau pembicaraan ini sangat relatable dengan situasi pelik yang membelitnya. Adela mungkin akan terus-terusan mengejar Alfian untuk setiap informasi yang berkaitan dengan apapun astral yang menyedot darah makhluk hidup.

Hal itu membuat Alfian tampak sedikit heran, lalu mulai melempar tatapan curiga kepada Adela. Kembali aku teringat akan kata-kata Sahetapy.

Sebaiknya ... kau menghindar dari dia untuk sementara.

Aku merasa janggal dengan pernyataan Sahetapy, seakan dirinya mengetahui maksud di balik kembalinya Alfian dari liburannya di Surakarta. Sebisa mungkin aku mengamati Adela, agar dirinya tidak membocorkan kenyataan bahwa dirinya kini adalah Setengah Banaspati.

"Kenapa?" Alfian pun akhirnya memech hening yang sempat terbentuk.

"Uuh ... berarti ini ulah Vampir?" Adela berusaha untuk menghindari kemungkinan bocornya 'informasi'. Yang pasti, dia tidak ingin orang lain tahu kondisinya, selain Aku atau Profesor Matsuri.

"Lebih tepatnya Banaspati."

Bahkan aku pun terkesiap, tatkala Alfian mengatakan kata itu. Tidak kusangka, percakapan yang berusaha Adela hindari di depan orang yang 'tahu segala informasi di Tanah Singasari'.

"B-Banaspati?" Gemetar, Adela mencoba mengonfirmasi kepada Alfian.

Sementara itu, lelaki itu pun mengangguk mantap. "Ya. Aku curiga kalau ini ada kaitannya dengan spesies astral itu. Kautahu jika Tanah Singasari memiliki sosok Penguasa Banaspati?"

Entah mengapa, kami berdua mendadak bingung sendiri kala itu. Penguasa Banaspati adalah sebuah topik lain, yang bahkan sendiri kami tidak mengetahui kalau ada makhluk astral seperti itu.

"Penguasa Banaspati? Maksudmu, raja Astral?" Aku mengerutkan kening.

Alfian menggeleng. "Bukan ... Penguasa Banaspati."

"Uuh ...." Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Alfian melongo, wajahnya terkesiap melihat kami berdua.

"Kalian tidak tahu?" ucapnya dengan nada setengah meninggi.

Aku menghela napas, sembari berkacak pinggang. "Kami bukanlah orang yang paham dengan tetek-bengek perastralan, Alf."

Selama satu, dua, tiga kali Alfian menghela napas panjang. Keterkejutannya mengenai ketidaktahuan kami seputar Penguasa Banaspati—atau apalah itu nama pastinya—sudah seperti dirinya yang terkejut tatkala mengetahui kami tidak tahu apa-apa soal materi perkuliahan Psikologi Umum yang diajar di semester satu.

Perlahan, Alfian memulai introduksinya dalam perkuliahan sesi kedua mengenai serba-serbi Astral.

"Kautahu bahwa ada Astral yang memilih rupa sebagai Banaspati, telah berkuasa lama di Tanah Singasari selama lebih dari beberapa abad malah. Bahkan, jika dunia tidak mengalami adanya Wahyu Agung sekalipun, kisah tentang sosok 'Penguasa Banaspati' akan menjadi legenda mistis di kota ini!"

"Lalu ... bagaimana ceritanya, Bang Fian?" Adela menyambut dengan permohonannya kepada Alfian untuk segera menjabarkan kisah mengenai Penguasa Banaspati. 

Aku melihat perubahan suasana hati Adela yang terberkas di wajahnya. Pada mulanya dirinya tidak terlalu tertarik, sampai suatu titik di mana Alfian menyinggung Banaspati. Ia terlihat begitu bersemangat begitu topik telah bergeser untuk membahas sebuah aspek penting yang menjadi petunjuk bagi Adela—dan mungkin juga bagi diriku—untuk memulihkan dirinya seperti sedia kala.

"Raja dari kaum Banaspati lokal yang mendirikan kerajaannya di Tanah Singasari selama berabad-abad lamanya. Dikisahkan bahwa ada dua Raja Banaspati yang saling merebutkan tahta di Tanah Singasari, hingga pada suatu hari, Raja Banaspati satu menghabisi ... memusnahkan Raja Banaspati lainnya, sehingga di Tanah Singasari, hanya ada satu raja."

Tidak ada dua penguasa di satu Tanah kekuasaan. Tidak ada dua raja di dalam sebuah negeri. Tidak ada dua pemimpin negara dalam suatu bangsa.

"Tunggu dulu. Kenapa dinamakan Banaspati? Kalau ini memang benar Astral yang mampu mengisap darah manusia, menjadikan korbannya sama selayaknya astral itu, kenapa tidak menamai ini sebagai ulah Vampir?" Aku pun ikut menimbrung dalam pembahasan, bertanya kepada Alfian.

Alfian tersenyum, seraya melanjutkan ceritanya.

"Masyarakat kita selalu menamai spesies Astral dengan sebutan lokal. Vampir ... pada dasarnya adalah spesies yang sangat terdiversifikasi oleh kultur-kultur tertentu. Vampir, Drakula, Banaspati, Aswang, Jiangshi ... Nachzehrer. Kalau di Bali ada Leyak. Mereka adalah entitas pengisap darah makhluk hidup."

Sejenak Alfian menyesap susu soda kocoknya, sebelum kembali melanjutkan sesi 'perkuliahan liar-nya' mengenai Astral, Banaspati, dan Tanah Singasari.

****


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top