6.3. Transaksi Informasi (Part-3)

Mari kita mempertimbangkan apa yang telah terjadi.

Arah gerak Biro Bawah Tanah telah muncul ke permukaan. Bangkit dari sudut-sudut gelap negara, bergerak di antara kerak-kerak dunia astral. Tujuan mereka hanyalah sebuah pembersihan nama baik institusi. Selama bertahun-tahun terakhir mereka telah digempur oleh berbagai tuntutan warga negara, atas inkompetensi mereka dalam mengayomi masyarakat dalam penanganan Astral. Klaim demi klaim masyarakat atas inkompetensi institusi, membuat sebuah kesempatan datang dari Tanah Tak Bertuan.

Hari itu, deklarasi dikumandangkan ke seantero negeri. Menggugat dan menolak Biro Bawah Tanah untuk 'memonopoli' dunia astral. Warga Tanah Tak Bertuan sepakat untuk membentuk sebuah institusi penanganan Astral independen yang lepas dari bayang-bayang negara. Pengadil Bidat namanya. Sejak deklarasi mereka kumandangkan, simpati demi simpati diraih oleh organisasi yang dianggap oleh Biro sebagai 'organisasi subversif'. Namun, sebutan itu hanyalah dianggap oleh 'pengangkangan' satu pihak dari Biro sendiri.

Yang masih aku herani, adalah reaksi dari orang-orang Non-Biro. Pemerintah Pusat masih dalam radio senyap dalam menanggapi lahirnya Pengadil Bidat. Militer juga masih berada di dalam koridor mereka masing-masing. Presiden sendiri terlihat tidak peduli, Menteri Agama sedang melakukan 'kunjungan kerja' ke Mesir, Oligarki masih ongkang-ongkak dari atas menara gading, sementara itu pemerintah daerah masih sibuk dengan agenda lainnya. Praktis, Biro yang terbakar amarah sendirian, lantaran 'ladang basah' mereka mendapat ancaman persaingan dari Pengadil Bidat. Namun, kalau kautahu perpolitikan negeri ini, kau bisa menemukan sebuah alasan klasik. Biro sendiri sedang dalam masa-masa problematik.

Tiga tahun lalu, Biro kehilangan 'Imam Besar' mereka dan sampai saat ini belum ada penggantinya. Rumor bahwa Biro Bawah Tanah sedang berada dalam kekosongan kekuasaan membuat situasi menjadi serba rumit. Kekuasaan menjadi terdesentralisasi dan terfragmentasi parah. Biro-Biro di daerah seperti membuat 'kerajaan' kecil mereka sendiri, membentuk raja-raja kecil yang kongkalikong dengan Pemerintah Daerah. Inilah yang menyebabkan kerusuhan seperti di Tanah Tak Bertuan, dengan mudah meletus. Entah apa yang membuat Pemerintah Pusat dan Biro tidak segera mencari Imam Besar. Bahkan rumor menjadi berkembang dari beberapa orang, menyatakan bahwa di dalam Internal Biro sedang terjadi 'perebutan kekuasaan'.

Situasi pelik di Biro Bawah Tanah membuat institusi lupa pada tugas awal mereka dalam mengawal ketertiban Dunia Astral. Itulah yang membuat anomali astral yang begitu serius muncul di Tanah Singasari. Beberapa mahasiswa hilang secara misterius. Mereka yang telah ditemukan, malah berubah menjadi 'vampir jadi-jadian'. Korban terus bertambah hari demi hari, bahkan sampai memakan korban dari pihak Biro sendiri. Biro Tanah Singasari hanya seperti menanggapi setengah hati. Makhluk gaib yang digadang-gadang sebagai 'Penguasa Banaspati', muncul untuk mencerabut status quo. Sejujurnya, aku masih belum begitu mengetahui detail dari kasus bombastis yang mulai merebak di kalangan warga. Namun, melihat dari cerita yang beredar, kasus Vampir Kampus membawa preseden buruk.

Adela.

Di mana setengah tubuhnya adalah Banaspati. Telah kusaksikan sendiri bagaimana 'fenomena astral' yang Adela ciptakan, sebagai manifestasi atas tragedi yang terjadi kemarin malam. Aku berusaha untuk tetap objektif, tetapi tidak dapat kulepaskan berbagai kemungkinan yang terus-terusan mengetuk pikiranku. Kasus yang meledak menjadi 'cerita mistis' ini, tidak bisa dipisahkan dari kondisi Adela. Tidak bisa diriku tidak takut akan kemungkinan bahwa Vampir Kampus ini ada hubungannya dengan Adela yang kini menjadi 'Setengah Banaspati'.

Biro mulai bergerak menyerang siapapun yang mengoposisi insitusi tersebut, terutama mereka yang bergerak di bawah komando Auman Taringan. Imam Besar Biro Cabang Tanah Singasari. Kemarahannya atas Pengadil Bidat, tidak dapat terlepas dari sebuah usaha untuk 'menancapkan' pengaruh Biro di Tanah Tak Bertuan. Terutama, usut punya usut, Biro dan Pemerintah Pusat pernah membangun sebuah proyek rahasia di tempat itu, puluhan tahun silam. Sayangnya, Tanah Tak Bertuan kini berada di tangan Pengadil Bidat, organisasi yang benar-benar menolak eksistensi Biro Bawah Tanah.

Di tengah konflik yang sedang memanas, di situlah efek samping mulai terlihat. Vampir Kampus dan penyerangan misterius pada Mahasiswa mulai terjadi. Warga sipil kembali menghilang, mengingatkanku pada penculikan besar-besaran yang terjadi tiga tahun lalu dalam sebuah teror kolosal Kasus Koper. Bedanya, kali ini mahasiswa ditemukan dalam keadaan sudah seperti 'kesurupan' vampir. Dari video yang ditunjukkan Sahetapy padaku, banyak pertanyaan yang mulai muncul.

Seperti apa kasusnya? Separah apa perkembangannya? Apakah orang yang tergigit dari 'vampir jadi-jadian' itu juga berubah menjadi vampir?

Aku dan Adela tidak tahu akan perkembangan situasi yang berjalan begitu cepat di kota ini. Seperti kami tersibukkan oleh urusan kami sendiri. Yah, memang benar adanya, kalau aku dan Adela sudah cukup panik disko, dengan berbagai tetek bengek perastralan yang kami alami sepanjang hari. Adela bahkan putus kontak dengan anggota TGIPF lainnya, lantaran tidak ingin memancing Biro untuk ikutan menyerang TGIPF. Sejauh ini, rekan dan orang dekat yang tahu keberadaan dan kondisi kami hanyalah Profesor Matsuri, Ibu Kos, dan Sahetapy. Berbagai panggilan masuk selain tiga orang itu, kami abaikan.

Lalu, di sinilah diriku dan Adela. Di jalanan kampus yang mengarah keluar gedung FISIP. Siang pergi, Malam tiba. Kami pun kembali menyambut kerajaan malam di luar ruangan. Langit malam dengan lapisan awan-awan kelam menutupi kerlap-kerlip bintang, sementara berkas-berkas senja terakhir mengiringi kearajaan Siang untuk undur diri di ufuk barat. Remang-remang lampu yang menerangi jalanan kampus membuat kami berdua semakin mawas diri. Segala hal buruk bisa saja muncul menyergap dari balik berkas bayang gelap malam. Samar-samar suara klakson mobil dan deru sepeda motor terdengar sebagai simfoni ingar bingar metropolitan Tanah Singasari.

Aku dan Adela melewati Gerbang Teknik yang biasa digunakan sebagai akses jalan keluar dari kampus. Dari gerbang, kami langsung disambut ingar-bingar aktivitas Kampung Mahasiswa. Pedagang kaki lima mulai membuka dagangan. Restoran ayam geprek mulai penuh dengan mahasiswa yang baru selesai mengikuti kelas sore. Pedagang Sempol memasak dagangannya di samping tenda tukang sol sepatu. Suara decit mesin fotokopi dan denting piring saling bersahutan. Asap rokok saling menyatu dengan asap sate dan uap dari dandang bakso. Gang-gang penuh dengan orang yang hilir mudik. Di tengah malam yang mulai menyebar kegelapan, manusia berjaya dengan gemerlap peradabannya yang terang benderang.

Aku terlalu berdansa dengan permasalahan dunia astral, sehingga lupa kalau manusia masih hidup tenteram dengan segala ingar-bingar peradaban mereka. Sejenak aku berpikir, sampai kapan ketenteraman ini berlangsung? Kala bayang-bayang penguasa astral berada di pinggiran kota, kala sorot pandang penguasa mengorkestrasi negara dari atas menara gading.

Aku menoleh ke arah Adela yang kini mendongak menatap langit malam yang berlapis berkas terakhir sinar senja. Mata hijau safir itu berbinar diterpa kerlip cahaya lampu dari Kampung Mahasiswa. Dirinya tidak lagi mengenakan pakaian berlapis, tidak lagi berjalan di bawah naungan payung hitam. Untuk pertama kalinya sejak dirinya berubah menjadi sosok Setengah Banaspati, wajahnya terlihat lebih sumringah, seperti mendapatkan kebebasannya kembali.

Tanpa ada kata yang terucap, kami berdua menikmati ingar-bingar senja ini, untuk sejenak saja.

"Jadi, ke mana kita harus menginvestigasi Vampir Kampus ini?" celetuk Adela, bertanya tanpa menurunkan kepalanya yang kini masih menengadah ke arah langit malam berselimut awan.

"Kita bisa memulai dari kasus terakhir. Ketum LPM FEB yang kehilangan reporter-reporter mereka," ujarku.

Adela menurunkan pandangan, menoleh ke arahku seiring dengan melantunkan pertanyaan, "Jadi ... kita ke Pujasera Jalan Veteran?"

Aku mengangguk. "Yah, kita bisa mulai dari sana."

Wajah Adela mendadak berubah menjadi lebih serius, setelah sebelumnya bernostalgia dengan kebahagiaannya sebelum menjadi 'astral jadi-jadian'. Gurat ragu yang begitu berat, dengan mata berkantung yang memiliki kantung mata. Bibir tipis yang menekuk tegang, sesekali menggretakan gigi dalam mulutnya. Dengan sebuah embusan napas yang begitu panjang dan berat, seperti sejenak melepaskan beban untuk diangkatnya kembali sekejap kemudian.

"Kenapa?" tanyaku kepada Adela.

Dalam keraguan, Adela berucap, "Benarkah ... ini ulah Biro?"

"Maksudmu?" Aku menelengkan kepala.

"Benarkah histeria akan Vampir Kampus ini digunakan untuk menjebakku?"

Sejenak aku terdiam, sebelum menyebut jawabannya, disertai dengan sebuah gelengan keraguan. "Aku memikirkan implikasi akan kasus ini, Adela. Bisa jadi ini ulah Biro. Namun, kita tidak tahu."

"Mereka ingin jadikan kau sebagai pelaku kejahatan." Aku mengangkat kedua tanganku dan memperagakan gerakan mengutip dengan jari telunjuk dan jari tengah.

Aku meantap Adela lamat-lamat. Gadis itu kembali membuang napas panjang. Negativitas menigiringi setiap perkataannya. Aku memahami, kalau baik aku atau Adela, kini terjebak situasi yang cukup pelik. Adela muncul sebagai sosok pertama yang berasimilasi dengan Makhluk Astral. Lalu diriku sendiri, adalah orang terdekatnya yang menyaksikan proses asimilasi itu. Kemungkinan besar, kita menjadi 'buronan' para 'penegak hukum' korup itu.

"Heh ... pelaku. Mengesankan. Di zaman di mana ilusi dijadikan sebuah kenyataan semu oleh manusia, mereka bisa mengecat sosok pelaku kejahatan pada orang yang tidak bersalah."

"Pelaku teriak korban, huh?"

Sangat mudah untuk menuduh orang lain melakukan tindak kejahatan yang ... bahkan tidak mereka lakukan. Dalam hening pembicaraan kami berdua, aku merenungi mengenai keterlibatanku dalam Dunia Astral. Mereka yang sebelumnya tidak dapat digapai oleh akal sehat, kini mengobrak-abrik akal sehat itu sendiri. Sepanjang kehidupanku, tidak pernah diriku terikat dalam hal-hal berbau mistis atau klenik. Tidak pernah ku mengetahui bagaimana bentuk rupa dari hantu itu. Berulang kali orang lain meneriakkan klaim bahwa hantu itu adalah ilusi, tetapi bahkan aku tidak tahu bagaimana rupa hantu ilusi itu sendiri. Bahkan, astral yang kulihat saat penyerangan kemarin malam, tampak seperti sosok manusia dengan wajah sedikit terdistorsi.

"Ilya, bagaimana selanjutnya?" Suara Adela memecah lamunanku. Dalam ekspresi penuh tanda tanya, ia mengharap jawaban padaku.

Aku berdehem. "Kita dapat mencari dulu informasi mengenai jejak para reporter yang hilang, setelah itu ...."

Kata-kataku terhenti, tatkala terlihat sosok orang yang pernah kukenal, perlahan berjalan menuju arah kami. Mulutku menganga, ketika dengan jelas aku melihat wajah sosok yang mendekati kami berdua. Ia berjalan di antara hiruk-pikuk manusia yang berjalan di gang Kerto, menyembunyikan sosoknya di balik ingar-bingar manusia. Sahetapy telah memperingatkanku, kalau 'orang itu' telah kembali ke Tanah Singasari, seiring dengan Sahetapy bertemu dengannya kemarin sore. Lama tidak terdengar kabarnya, hingga desas-desus bercerita kalau dirinya sedang berlibur di Surakarta.

Seorang lelaki, berkacamata, dengan rambut ikal sedikit gondrong dengan potongan yang cukup pendek. Ia mengenakan celana jeans kargo berwarna hitam yang kepanjangan karena kakinya sedikit lebih pendek daripada celananya. Mengenakan jaket hoodie berwarna abu-abu. Wajah bersih dari rambut jenggot dan kumis. Orang-orang akan mengira kalau dia adalah bocah sekolah menengah pertama yang dilepas berkeliaran di tengah-tengah Kampung Mahasiswa.

Lelaki itu menyelempangkan seperangkat compound bow lengkap dengan quiver di belakang punggungnya. Dia adalah anak unit aktivitas Panahan Mahasiswa yang sangat aktif di empat semester pertama, sebelum dirinya mengundurkan diri dari Tim Panahan FISIP. Tampangnya yang 'bocah' itu membuatnya memiliki ilusi impresi pertama. Apabila kau sudah berteman lama dengannya, lelaki itu memang sedikit ... di luar nalar.

Ketika mataku dan lelaki itu saling bertemu, ia langsung tersenyum menyeringai—senyumnya memang selalu menyeringai—sembari mengangkat tangan kanannya. Ia mempercepat langkahnya. Di kampus, ia terkenal sebagai 'bocil' tangan kanan Profesor Matsuri, lantaran dirinya yang memang 'asisten' beliau. Orang-orang sangat mudah berteman dengan dirinya yang memiliki pribadi easy going. Namun, tidak semua orang mampu untuk menerima pemikiran-pemikirannya yang di luar nalar. Obsesinya akan Dunia Astral membawanya dalam sebuah petualangan misterius yang menyebabkan dirinya secara tiba-tiba menghilang dari kampus selama hampir satu bulan terakhir.

"Adel, Ilya." Lelaki itu memanggil kami berdua, seraya melambaikan tangannya.

"Yo."

Kutatap wajah bocil itu. Mendadak diriku langsung tersenyum, seraya menyebut namanya.

"Ke mana saja kau, Alfian Surur?"


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top