6.1. Transaksi Informasi (Part 1)

Sahetapy.

Brian Sahetapy.

Apabila ada mahasiswa biasa yang lepas dari afiliasi 'Para Eksekutif', tetapi memiliki pengaruh yang cukup kuat di kampus ini, dia adalah orangnya. Tampangnya yang tidak mencerminkan elegansi Eksekutif Mahasiswa, menegaskan dirinya yang selalu memosisikan dirinya sebagai oposisi.

Pria jangkung yang kurus kering. Banyak sebutan dan panggilan atas nama yang diemban sepanjang hidupnya. Beberapa mahasiswa dan dosen memanggilnya 'Brian', Adela menolak mentah-mentah untuk memanggil nama depannya hanya demi memanggilnya 'Sahe'. Aku memanggilnya dengan nama 'Cengki' dari istilah Hokkien yang berarti 'kemujuran'.

Ketika ia bertemu dengan kami berdua, rambut kribonya ia kuncir dengan menggunakan sebuah karet rambut berwarna merah jambu. Mulutnya cokelat kehitaman dan mengeluarkan aroma tembakau terbakar yang sangat kuat. Ia adalah perokok berat, penyumbang cukai tembakau yang konsisten. Ia mengenakan kemeja flanel dengan warna dasar hitam bergaris putih dan celana jeans lusuh yang disobek di bagian lutut. Uniknya, dari sekian fashion yang melekat di tubuhnya, hanya sepatunya yang terlihat kinclong, modis, dan berasal dari merek ternama. Setidaknya dirinya memiliki selera dalam memilih alas kakinya, sementara itu ia seakan tidak memedulikan.

Sahetapy adalah orang yang oportunis, penuh perhitungan, serta sangat kukuh dalam ideal-ideal diri yang ia terapkan. Di tahun kedua perkuliahannya, Sahetapy mengajak beberapa mahasiswa 'non-blok' yang mengafirmasikan diri mereka sebagai 'anak kiri', untuk membentuk sebuah perkumpulan mahasiswa yang bermanifestasi sebagai 'poros ketiga organisasi kampus. Organisasi itu mulanya muncul sebagai klub diskusi-diskusi mahasiswa yang muncul di ruang-ruang belakang kampus—sebut saja kantin—. Hingga pada suatu saat, kampus didominasi oleh dua faksi, Ormek dan Anti-Ormek. Sahetapy secara praksis melihat itu sebagai bentuk 'dualisme polar' yang dapat membuat pergerakan mahasiswa sakit. Oleh karena itu, Sahetapy mentransformasi perkumpulan yang ia bentuk menjadi sebuah organisasi pergerakan mahasiswa yang mengoposisi dua faksi itu.

Perhimpunan Mahasiswa Poros Kiri. Himaroki.

Ketika bangsa ini selalu dalam bayang-bayang 'hantu' yang telah lama punah, Himaroki hadir dalam wujud 'poros penyeimbang' pergerakan mahasiswa. Tatkala bangsa ini menganggap 'tabu' dan 'bidat' Ideologi Kiri, Himaroki hadir di ruang-ruang kecil diskusi belakang kampus. Ketika persekusi menjadi ancaman bagi mereka yang berusaha 'membangkitkan hantu bangsa' di masa lalu, Himaroki hadir sebagai tabir yang menyelimuti mereka dari 'mata-mata jahat'. Puluhan tahun setelah musnahnya generasi kiri, Himaroki hadir sebagai 'gerakan alternatif' mahasiswa, kala dua faksi lain hanya tergerak atas kepentingan-kepentingan kelompok mereka sendiri.

Lalu, pendiri sekaligus anggota tetap dari Himaroki, kini berada di hadapanku dan Adela. Sorot mata Sahetapy mengindikasikan, kalau ia telah mati-matian untuk mencari keberadaan kami berdua. Senyumnya merekah ketika melihatku berada dalam jarak pandangnya. Gelagatnya mungkin sedikit penuh misteri bagi sebagian orang, tetapi tafsiranku berkata lain. Sejak Himaroki mendeklarasikan untuk membantu mengusut tuntas kasus di Tanah Tak Bertuan, Sahetapy dan Himaroki-nya sudah seperti 'agen informasi' bagi mahasiswa-mahasiswa lainnya. Namun, entah mengapa hal itu tidak berlaku dengan Adela. Begitu ia melihat Sahetapy, mukanya langsung jengah. Gadis itu langsung membuang muka ketika Sahetapy memanggilnya.

"Dua hari tanpa ada berita sama sekali. Berulangkali aku mencoba menghubungi ponsel kalian berdua, tetapi tidak pernah ada yang menyambut. Semua orang bertanya, di manakah Ilya Sore? Di mana kah Adela Ratna?" ujar Sahetapy dengan kebiasaan khasnya untuk menyebut nama orang dengan lengkap.

"Maaf, Ceng, kami sedang ada sedikit masalah—" Aku berusaha menghindari topik pembicaraan yang tersulut, mengingat Aku dan Adela was-was dengan situasi yang menimpa kami berdua. Namun, sepertinya Sahetapy tidak ingin membiarkan kami berdua lewat begitu saja. Kemungkinan besar, Aku dan Adela akan diajak ngopi olehnya.

Sahetapy menukasku, "Ah, klasik sekali. Sebuah masalah pelik. Terakhir kali aku mendapat info dari intel kalau kalian sedang berduaan di sebuah toko buku di pusat perbelanjaan Dinoyo—"

"Sahe, apa maumu." Adela—dengan tatapan tajam—menukas Sahetapy galak.

Lelaki lusuh itu tertawa, seiring dengan dirinya berseloroh, "Wah, wah! Sabar dulu, Nona Adela Ratna. Niatanku memang sengaja untuk menyambut kalian berdua dengan sedikit relaksasi otot, menurunkan ketegangan dengan humor—"

"Humormu garing dan kau begitu menyebalkan." Sebuah kalimat pedas meluncur begitu saja dari mulut Adela. Sahetapy terbahak-bahak mendengarnya.

Sembari bergeleng-geleng kepala, Sahetapy berseloroh, "Hahaha. Ilya Sore, Adela Ratna selalu melontarkan kalimat-kalimat yang pedas, tetapi lugas. Ah, terlepas dari sambutanku yang menurut Adela Ratna garing, aku benar-benar mendukung kalian berdua agar rujuk lagi."

Sahetapy adalah orang serius yang paling tidak serius di kampus. Bahkan menurutku, di kalangan Himaroki pun, Sahetapy terlihat seperti orang yang suka bercanda. Selain itu, Sahetapy memiliki kemampuan 'lidah buaya', di mana dia pandai sekali kalau bertukar kata dengan gadis-gadis mahasiswi lainnya. Namun, sifatnya yang sedikit menggambarkan 'bendera merah' itulah yang membuat Adela tidak menyukai Sahetapy. Menurutnya, Sahetapy memiliki potensi sebagai lelaki buaya pada umumnya.

"Sahe, kami tidak ada waktu untuk urusan pertele-telean ini. Katakan saja apa maumu, apa yang hendak kaukatakan!" Adela sedikit demi sedikit mulai terdengar geram. Ia menyentak Sahetapy, yang mana lelaki itu masih cengegesan saja. Sementara itu, diriku was-was apabila Adela lepas kendali. Walaupun hari sudah sore, tetapi kampus masih ramai. Terlebih di area lobi lantai satu dan kantin kampus yang selalu ramai.

"Haha ... oke, oke. Omong-omong, kalian seperti habis melakukan pertemuan serius di lantai lima. Kalian bertemu dengan Bu Matsuri?"

Seperti yang sudah kuduga, 'raja intel FISIP' bukanlah julukan kaleng-kaleng Sahetapy. Kurasa, kemampuannya yang mudah berbaur dengan orang lain, pribadinya yang suka sekali bercanda, serta dirinya yang tidak mudah spaneng. Untuk itulah, link pertemanan Sahetapy begitu luas, sampai di titik dia mampu melahirkan gerakan 'poros ketiga' di kampus. Aku pun mengangguk mengiyakan dugaan Sahetapy. Lelaki itu tersenyum.

"Ya, kami sedang mendiskusikan masalah yang sedang terjadi, Ceng. Dari arah gerak pihak-pihak yang tengah berkonflik, situasi menjadi semakin pelik."

Kurasakan tanganku yang disentuh-sentuh oleh lengan Adela. Aku meliriknya yang memasang muka cemas. Ia mengodeku untuk tidak jadi 'ember bocor' dengan membeo ke Sahetapy perkara apa yang dialami oleh kami berdua selama seharian ini.

"Hmm, pasti Biro, bukan? Heheh, katakanlah, Ilya Sore." Sahetapy terkekeh, lantas kembali dengan nada bangga, menyambung 'deduksi'nya.

"Dua hari di mana kau dan Adela Ratna tidak tampak batang hidungnya di sekitaran kampus, apa yang telah kautemukan dari investigasi mengenai Biro—"

"Kemarin malam, tiga orang misterius menyerang kami berdua, tepat di gang belakang Mekdi Watugong."

Aku menukas Sahetapy hingga pria itu tertegun lama. Mula-mula ia memandangku dan Adela sembari senyam-senyum, untuk perlahan senyum cengengesan itu menghilang.

****

Ada dua hal yang mampu memancing fokus Sahetapy. Pertama adalah ketika kau sudah mulai melempar topik diskusi atau perdebatan terkait hal-hal 'kiri'. Kedua, informasi yang terlalu penting untuk dilewatkan.

Aku berhasil memancingnya. Raut wajah Sahetapy berubah drastis. Ia memandang kami berdua dengan muka datar, tetapi tatapannya tajam serius. Seolah dirinya sangat mempertimbangkan apa yang akan keluar dari mulutku. Aku melirik Adela, di mana ia terkesima dengan perubahan muka Sahetapy. Seolah baru kali ini ia mengetahui 'sisi lain' dari Sahetapy.

"Ikutlah." Sahetapy berbalik memunggungi kami, kemudian tangan kanannya mengode kami untuk mengikutinya. Setelah itu ia tiada berkata lagi sembari melangkah mendahului kami. Aku dan Adela pun mengikutinya. Sahetapy tidak berbicara apapun tatkala berjalan di depan kami. Aku sendiri tidak tahu raut muka apa yang Sahetapy tampilkan, sehingga aku hanya bisa melihat punggung Sahetapy. Suara langkah sepatu pun mengiringi perjalanan kami bertiga. Pendiri Himaroki itu menggiring kami melewati selasar yang menghubungkan dua gedung perkuliahan yang digunakan sebagai kantin.

Adela yang mengiringi langkahku, menyuruhku untuk mendekat padanya.

Ia pun berbisik, "Ilya. Aku benci Sahetapy!"

Sepertinya ia masih kesal dengan Sahetapy. Entah apa yang membuat Adela menjadi begitu kesalnya dengan lelaki itu. Masih teringat diriku kala pertemuan terakhir mereka sewaktu Aksi Demo Mahasiswa di depan Kantor Walikota Tanah Singasari beberapa pekan silam.

"Dia 'kan memang usil begitu, Del. Sabar saja kalau kau menghadapinya—" Aku berusaha menjelaskan, tetapi dengan cepat Adela menukasku.

"Tingkah dan guyonannya selalu garing, menjengkelkan! Apa anak Organisasi Eksternal memang begini semua?? Dari dulu!"

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Bingung harus merespon apa. Dalam kebingungan itu, aku pun mencoba menenangkan Adela.

"Mereka kadang-kadang ngeselin, tetapi tidak ada orang se-eksentrik Cengki, Del. Jadi ... yah ...."

Adela mencebik, dengan nada kesal ia pun berkata, "Kau ... dan sirkelmu satu itu, ampun dah!"

Seketika Sahetapy yang ada di depan kami pun meledakkan tawanya. Sepertinya ia mencuri dengar pembicaraan kami berdua di belakang. Sesekali ia menoleh ke arah belakang, menunjuk-nunjuk malu Adela dengan tatapan mengejek. Adela pun hanya meresponnya dengan muka sangar. Aku menahan tangannya agar dirinya tidak kelepasan melempar bola api atau menghunus pedang berapinya.

Kami bertiga pun sampai di lobi gedung A FISIP yang menjadi gedung administrasi fakultas. Dari lobi gedung, kami bertiga pun berbelok ke arah pintu belakang, kemudian keluarlah kami menuju sisi belakang gedung FISIP. Dari sana, kami bertiga berjalan sejenak menuju gedung Perkuliahan Fakultas Matematika dan Ilmu Alam. Langkah Sahetapy pun bergegas tatkala tempat tujuannya sudah dekat. Sebuah plang tertera di depan bangunan.

Pojok MIPA.

Apabila ada mahasiswa yang ingin mengetahui di mana anak-anak Himaroki sering nongkrong, di situlah tempatnya. Fakultas MIPA memiliki tiga kantin berbeda dan satu kantin ini kadangkala dipakai anak FISIP dan FMIPA secara bersamaan karena lokasinya yang persis di antara kedua fakultas. Di tempat itulah pertama kali aku diundang Sahetapy untuk bergabung dalam diskusi rutin yang diadakan oleh Himaroki setiap hari Kamis. Meski aku bukanlah anggota resmi, Sahetapy tetap mengajakku.

Aku melihat Pojok MIPA yang sepi dengan pengunjung. Hanya ada satu orang wanita berusia sekitar empat puluh tahunan sebagai penjaga kantin yang kini tengah khidmat menekuri surat kabar yang dibacanya di meja kasir. Sahetapy pun pergi menemui wanita paruh baya itu, sementara kami berdua mengambil kursi untuk kami duduk. Setelah itu, Sahetapy datang dengan tiga gelas es teh untuk dibagikan kepadaku dan Adela. Sahetapy pun merogoh tas selempangnya. Mengeluarkan sebuah kotak karton berwarna merah marun dengan paduan kuning keemasan, berisi batang-batang rokok. Diambilah sebatang rokok dari kotak itu, kemudian disulutnya ujung rokok dengan korek api gas. Sahetapy menyedot rokok itu, membuat nyala di ujungnya, membakar sedikit demi sedikit tembakau yang terkandung dalam gulungan batang putih itu. Sahetapy kemudian mengembuskan asap rokok yang ia isap.

"Benarkah yang kaukatakan itu, Ilya Sore?" Sahetapy dengan serius memulai topik pembicaraan.

"Ceng, Biro menarget kami. Kemungkinan besar karena mereka terpancing pertanyaan-pertanyaan Adela sewaktu di Auditorium UIN empat hari kemarin. Mereka sudah bergerak," jawabku.

Sahetapy pun mengangguk-anggukan kepalanya. "Berarti apa yang dikatakan oleh telik sandi memang benar adanya. Kalau begitu, kita juga harus waspada terhadap segala gerak-gerik Biro. Ilya Sore, apakah memang benar tiga orang saja?"

Aku menaikkan kedua bahu. "Sejauh ini, iya. Namun, aku masih was-was kalau Biro sudah mulai menyebar orang-orang mereka yang lainnya."

"Hah ...."

Sahetapy menyandarkan punggungnya ke kursi plastik, sembari mengembuskan asap rokok yang ditahan di paru-parunya. Sesekali ia menyeruput es teh, sembari mengawang pandangannya ke langit-langit Pojok MIPA. Aku menoleh ke arah Adela. Tatapannya masih waspada, tetapi ekspresi kesalnya sedikit menghilang. Mungkin karena Sahetapy tiba-tiba menyeriusi percakapan, sehingga Adela pun mengesampingkan emosinya.

Lelaki itu menghela napas, seraya berujar, "Aku prediksikan kalau Biro sudah beberapa langkah lebih dulu daripada kita, Ilya Sore. Yang jadi kekhawatiranku hanyalah Pemburu Biro."

"Pemburu Biro?" Aku mengulangi dua kata terakhir yang diucap oleh Sahetapy. Ketika nama itu terlantun, kemudian diproses di otakku, entah mengapa aku jadi merasa merinding sendiri tanpa sebab.

"Satuan khusus yang dibentuk Biro. Mereka adalah yang orang dengan licik terlicik institusi gelap itu. Bisa dibilang, mereka adalah Polsus Astral-nya Biro." Sahetapy kembali menyedot batang rokoknya.

Sekejap kemudian, seraya menoleh ke arahku, Adela berceletuk, "Apakah jangan-jangan yang menyerang kita adalah Pemburu Biro, Ilya?"

Aku hanya menggelengkan kepala dalam ketidaktahuan.

"Nah, mengenai pertanyaan yang diajukan oleh Nona Adela Ratna, bisa kaujelaskan ciri-ciri orang yang menyerang kalian tadi malam, Ilya Sore?" Sahetapy turut turun mencoba untuk mengidentifikasi pertanyaan Adela mengenai Pemburu Biro.

Maka kuceritakan peristiwa di mana Aku dan Adela diserang oleh orang-orang misterius. Kisah yang menjadikan kami berdua seperti sebagaimana diri kami sekarang harus menanggung sebuah absurditas klenik. Kisah yang memaksa kami berdua untuk melakukan diskursus serta langkah eksperimental bersama Profesor Matsuri. Namun, aku hanya menceritakan apa yang sekiranya tidak membuat Sahetapy memaki-maki diriku sebagai pembual besar. Cukup Profesor Matsuri yang menemukan fakta bahwa Adela telah menjadi 'Setengah Banaspati'.

Di satu sisi, Sahetapy menanggapi ceritaku dengan cukup skeptis. Setidaknya ia tidak mengamini bahwa Pemburu Biro telah turun untuk menjalankan tugasnya mengamankan legitimasi Biro Bawah Tanah.

"Huh, aku ragu jika yang menyerang kalian tadi malam adalah Pemburu Biro, Nona Adela Ratna," sahut Sahetapy.

"Kenapa?"

Sahetapy menghela napas sebelum menjawab rasa penasaran Adela.

"Apabila yang menyerang kalian kemarin malam adalah Pemburu Biro, bisa dipastikan kalian akan kembali pulang ke kampung halaman masing-masing dalam bentuk surat obituari."

Aku menelan ludah. Retorika yang diceritakan Sahetapy cukup jelas terdengar di telingaku. Pemburu Biro bukanlah entitas yang harus dianggap enteng, apabila kau masih ingin hidup di dunia ini.

"Sampai hati mereka menghilangkan nyawa?" Dalam nada tinggi kututurkan keterkejutanku.

"Ilya Sore, kaulupa kita sedang dalam keadaan perang dingin, antara warga Tanah Tak Bertuan, dengan Biro Bawah Tanah?"

"Ya, kita tahu dan paham hal itu, Ceng, tetapi ... skala yang kubayangkan tidak menyangka akan sampai pecah konflik seperti ini."

Telah beberapa kali kudengar rumor-rumor menyeramkan mengenai Biro Bawah Tanah. Namun, baru kali ini rumor itu membuat seluruh bulu roma berdiri. Baru kali ini ketakutan menyelimutiku, sembari merutuki peruntungan nasib bahwa bukan Pemburu Biro yang menyatroniku dan Adela kemarin malam.

"Sahe, bisa kauceritakan tentang Pemburu Biro ini? Aku bahkan baru tahu mereka punya pasukan samber nyawa seperti itu." Adela mengejar pertanyaan, masih dalam rasa penasarannya.

Sahetapy menoleh ke arah sekitar, sebelum dirinya menceritakan beberapa hal mengenai Pemburu Biro.

Pemburu Biro—seperti namanya—telah disumpah untuk menjadi 'pasukan elit' Biro Bawah Tanah. Institusi yang mengatur dan menangani segala hal krusial mengenai Astral dan konsekuensi atas Astral yang mengacau di masyarakat, menyebabkan institusi tersebut membentuk sebuah satuan 'pasukan elit gerak cepat serbaguna'. Hanya sedikit yang mengetahui bagaimana Pemburu Biro bekerja. Mereka bekerja di balik bayang-bayang Biro Bawah Tanah, yang bekerja di balik bayang-bayang negara.

Secara fungsional, mereka sudah seperti 'Satuan Anti Teror' yang dibentuk untuk merespon ancaman apapun yang diakibatkan oleh fenomena-fenomena astral. Semua demi untuk keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun, tidak jarang satuan anti teror ini diturunkan untuk 'melenyapkan' siapapun yang menyalahgunakan fenomena astral. Sudah banyak korban 'eksekusi' Pemburu Biro. Dukun santet, anggota sekte sesat, mereka yang melakukan 'Klenik Ilegal' yang mampu mengancam keamanan masyarakat.

Lalu, pecahlah konflik di Tanah Tak Bertuan. Biro menjadi yang tertuduh sebagai pihak telah menginstigasi kerusuhan. Seiring dengan Pengadil Bidat yang terbentuk sebagai Biro 'tandingan', hal itu makin membuat Biro ketar-ketir dengan arah gerak mereka ke depannya. Pengadil Bidat dianggap sebagai 'ancaman serius' Biro. Lebih simpelnya, ketika sekelompok orang memutuskan untuk membentuk institusi kepolisian 'tandingan', tentu saja 'polisi' yang asli akan menganggap mereka sebagai penginisasi kekacauan.

"Ceng, dari mana kaubisa tahu mengenai Pemburu Biro?" tanyaku pada Sahetapy.

Sahetapy tersenyum jahil. "Informan, lah."

"Siapa?"

"Ada dua orang. Satu. Teman, rekan, sahabat sejati daripada Ilya Sore."

Mendadak, aku mengingat seseorang setelah Sahetapy mengatakan hal itu. "Tunggu, kau bertemu dengannya? Kapan?"

"Kemarin sore. Kupikir kau yang menemuinya, Ilya Sore?" Sahetapy menanyaiku balik dengan heran. Sementara itu, Adela juga ikut terpancing oleh rasa penasarannya, memutuskan untuk mendengarkan percakapanku dan Sahetapy dengan intens.

"Aku baru tahu kalau dia kembali setelah menghilang entah ke mana. Dia bilang lagi ke luar kota. Tunggu ... kauyakin itu, Ceng?" Aku menatap Sahetapy, berharap jawaban meyakinkan.

Sahetapy mengangguk. "Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kalau itu adalah dia, Ilya Sore. Aku tidak melakukan tipu muslihat apapun. Sebaiknya ... kau menghindar dari dia untuk sementara."

Saran Sahetapy terdengar begitu tendensius di telingaku, sampai diriku pun mencoba membantahnya. "Ah, tapi, kita belum tahu yang sebenarnya."

"Mas Ilya Sore ... Mas Ilya Sore ...." Sahetapy tertawa, sembari menggeleng-gelengkan kepalanya dan menyebut-nyebut namaku. Sejenak, aku berpikir bahwa Sahetapy cukup menyebalkan di beberapa kesempatan. Salah satunya adalah dengan cara dia 'menyindir' seseorang.

"Kau membawa sebuah bola panas fakta di balik Kekejian Tanah Tak Bertuan, mulai saat ini sebaiknya kau mulai mempertimbangkan orang-orang yang ada di sekitarmu."

Sahetapy benar. Diriku membawa 'fakta' panas yang mampu menggonjang-ganjingkan dunia Perastralan. Aku melirik ke arah Adela yang sedari tadi memandangi gelas berisi es teh di depannya telah berembun hebat. Ia melipat kedua tangannya, tiada bersuara dan hanya memandang gelas di depannya.

"Lalu, yang kedua?"

"Pengadil Bidat."

Aku terkejut. Rumor tentang Himaroki yang mencari kesepakatan dengan Pengadil Bidat benar adanya.

Pada akhirnya, Adela pun angkat bicara. "Aku baru teringat, Profesor Matsuri menyebut kalau Himaroki sedang melakukan proses finalisasi kerjasama dengan Pengadil Bidat—"

Sahetapy menggeleng. "Lebih tepatnya, kami sudah mencapai titik temu, Adela Ratna. Kita tidak dapat mundur lagi. Sebagai oposisi, kita harus memilih keberpihakan."

"Apa skenario terburuk jika konflik perang dingin antara dua institusi yang mengatur segala hukum tentang Astral ini meletus?"

Sahetapy tidak langsung menjawab Adela. Direnungkannya dulu perkataannya dalam bentuk hisapan terakhir rokoknya, dilepaskannya asap-asap yang mengepul di udara, hingga kemudian ia menatap kami berdua.

"Pertumpahan darah tidak akan terelakkan. Bisa jadi Tanah Singasari menjadi palagan selanjutnya setelah Tanah Tak Bertuan."

****


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top