5.6. Loka Winaya (Part-6)

Aku terdiam. Profesor Matsuri membuang mukanya ke arah jendela yang menampilkan langit senja. Kulirik wajah Adela yang langsung melempar ekspresi sedih nan kecewa. Seberkas senyum terpaksanya pun keluar.

"Profesor, untuk seorang mahasiswi yang hobi mengulas kuliner ... ini adalah pembunuhan karir yang sangat sistematis," timpalku.

Profesor pun memungkasi pembicaraan, "Namun, jika kita berhasil menemukan cara untuk mengubah Adela kembali seperti semula, kurasa tindakan drakonian seperti itu tidak diperlukan."

Untuk menghibur Adela yang pundung, Profesor pun merebus kantung teh berisikan bunga kamomil murni untuk gadis itu. Sesap demi sesap, Adela pun menenggak 'teh' itu hingga tandas. Aku pun berpikir ngelantur, kira-kira bunga apa saja yang 'cocok' dijadikan teh. Seketika pikiranku berkelana membayangkan sebuah rak supermarket yang memajang berbagai teh. Melati, mawar, kamomil, serunai, telang, dandelion, bahkan sepat aku menemui sebungkus lavender kering yang dapat diseduh menjadi teh.

Kulihat Adela yang mulai tersenyum riang lagi, seiring dengan lantunan terima kasih terucap dari gadis itu. Dosen kepala laboratorium itu masih terheran, sekaligus terlibas oleh rasa penasaran. Profesor pun menyeduh tiga bunga berbeda dalam tiga cangkir berbeda. Aku mengomeli Profesor karena beliau tampak sedikit aneh-aneh, tetapi Profesor tidak peduli. Aku pun menemukan fakta, bahwa Profesor Matsuri sangat akrab dengan budaya minum teh, seiring dengan koleksi teh yang berjejer di rak pantry laboratorium.

Profesor terlihat tidak puas. Bagaimanapun, Adela tidak dapat mengandalkan nutrisi dari hanya teh atau 'bunga seduh' saja. Profesor Matsuri kemudian mengambil gelas berisi air putih yang tadi dibawanya. Lalu, tanpa diduga, tanpa aba-aba, dan tanpa disangka, Profesor Matsuri menyayat telapak tangan kirinya dengan pisau dapur, tadi digunakannya untuk mengupas buah apel yang diujikan kepada Adela. Tetes demi tetes darah langsung jatuh ke air di gelas, perlahan mengubah warna air tersebut menjadi berwarna merah.

"Profesor!" seru Adela, seraya menghampiri 'ibu asuhnya' itu. Profesor hanya bergeming, sembari menatap air dalam gelas yang kini telah memerah karena tetesan darahnya. Adela tampak sedikit berjengit ketika memegang tangan Profesor, sebelum ia membersihkan luka di telapak tangan Profesor dengan handuk.

"Nggak Ilya, nggak Anda, sama saja!" Adela berkacak pinggang, sembari mengomeli Profesor yang hanya melengos dan memasang muka datar.

"Kita butuh sebuah tes, Adela."

"Apakah ada cara yang lebih aman, selain melukai diri kalian sendiri??"

"Pilihannya dua. Maling darah dari Bank Darah PMI di Syaeful Anwar atau minum darah binatang," celetuk Profesor dengan nada bercanda.

"Prof!"

Adela menekan tangan Profesor, membuat beliau meringis menahan rasa sakit. Profesor lantas menarik tangannya dari Adela, menahan agar darah tidak terus-terusan keluar dari telapaknya. Aku hanya tertegun melihat rentetan peristiwa tersebut, seiring dengan aksi ekstrem dari Profesor yang biasanya kalem dan tenang. Bahkan, setelah itu beliau menyuruh Adela untuk meminum air campuran darahnya.

"Huh? Entahlah apa aku bisa meminumnya ...." Gurat keraguan muncul dari wajah Adela.

Profesor mengedikkan bahunya. "Secara teknis darah adalah air. Gelas ini adalah darah yang diencerkan dengan air. Sebagian besar tubuh manusia adalah air. Aku tahu ini sedikit menjijikan ... tapi, kita tidak ada cara lain."

"Profesor, bagaimana jika kau mengalami hal yang sama denganku?" sahutku menanggapi. Namun, Profesor hanya menelengkan kepalanya.

Dengan santainya beliau berkata. "Well, kita akan tahu setelah ini."

Aku dan Adela saling pandang. Sehuah obsesi yang dimiliki oleh Profesor Matsuri, naluri keingintahuan yang begitu deras telah mendorongnya untuk bertindak selayaknya sore ini. Mungkin, apabila aku berada di posisi beliau, aku akan melakukan hal yang sama. Namun, berbagai kekhawatiran mendadak mengguyurku. Kembali pikiranku melintasi sebuah analogi mencari benda di kegelapan. Kita tidak tahu apa yang ada di depan kita, sampai benar-benar dekat untuk disadari. Bahkan, eksperimen spontan ini benar-benar penuh risiko. Yah, aku tahu, Profesor bukanlah orang yang mendalami metodologi eksperimental seperti ini. Bagi beliau, dunia dan manusia adalah data statistik, mesin pengolah data adalah teman dekatnya.

Perlahan Adela maju untuk mengambil gelas itu. Ia mengangkatnya, mengamati warna merah cerah yang terpantul. Adela memejamkan mata, seraya menenggak tandas isi gelas tersebut. Lalu, dengan pelan nan elegan, Adela meletakkan gelas itu kembali ke atas meja. Dia lantas bergeming tegak. Matanya terpejam untuk meresapi cairan yang baru saja dia tenggak.

"Bagaimana?" Profesor menatap Adela lamat-lamat, demi sebuah reaksi. Sementara itu, Adel masih terdiam, tetapi bisa kulihat ritme napasnya yang mulai memburu.

"Adel?"

Adela membuka matanya yang terlihat berkabut. Netra hijau safir itu berubah warna menjadi merah saga yang lama kelamaan semakin menyala terang. Detik itu, seluruh kulitku mendadak tertusuk oleh hawa teror yang kurasakan kala malam itu. Tanpa sempat berpikir dua kali, Adela telah maju hendak menerkam Profesor Matsuri yang berjarak hanya lima langkah. Tujuan gadis itu hanyalah sebuah titik, leher. Aku pun maju, hendak menghalau Adela, tetapi tampaknya Profesor dengan tenang mampu menghindar dan dengan sigap menahan Adela agar tidak menerkam lehernya.

"Perubahan perilaku yang seketika terjadi, peningkatan agresivitas, dan penurunan kinerja otak dalam logika penalaran. Kemungkinan besar otak akan kebanjiran dengan Adrenalin, seiring dengan meningkatnya detak jantung! Tidakkah kaulihat perubahan behavioristik itu, Ilya!?" teriak Profesor Matsuri dengan ekspresi yang bertolak belakang dengan ketegangan yang terjadi.

Sebuah seringai yang menunjukan perasaan puas akan terbukanya sebuah rahasia alam. Profesor Matsuri tampak senang sekali, sampai tidak mampu menyembunyikan kekagumannya. Batas antara seorang jenius dan gila hanya dipisahkan oleh satu larik garis tipis. Profesor Matsuri seperti baru saja menemukan sebuah fenomena baru sepanjang hidupnya.

Perlahan dorongan Adela pun melemah, seiring kesadarannya mulai turun kembali untuk menguasai tubuhnya. Tubuh gadis itu pun bergetar menggigil, seiring dengan dirinya yang mulai menangis. Profesor Matsuri memeluk tubuh gadis itu, menenangkannya. Di antara senggukan, Adela berkali-kali merapal permohonan maaf, tetapi Profesor tidak memedulikan. Berulang Profesor membelai rambut Adela.

"Cukup ... jangan takut. Tidak apa-apa—"

"Pr-Prof ... a-aku—"

"Tidak apa-apa. Semua baik-baik saja."

"A-aku takut. Aku tidak dapat mengendalikan diriku."

Aku memerosotkan tubuhku di kursi, menangkap sebuah momen yang cukup menyedihkan. Berulang kali aku merutuki diriku sendiri karena tidak sigap atas hal yang terjadi dalam sepersekian detik. Di kepalaku, terngiang-ngiang berbagai kata yang berseliweran, berusaha membanjiri otakku dengan rasa cemas, panik, serta pikiran-pikiran yang mengganggu. Lalu, perlahan pikiran-pikiran itu seperti menyingkir dengan sendirinya, seiring aku mulai menguasai gejolak emosi. Kuregulasi ritme napasku, kutata kembali rangkaian peristiwa yang kurekam oleh netraku dalam segmen demi segmen memori.

Menghadapi sebuah fenomena Astral itu terasa begitu melelahkan. Kau tidak mampu untuk menangkap fenomena demi fenomena yang terjadi di luar jangakuan nalarmu. Fenomena Astral selalu berkelindan dengan hal-hal yang tidak dapat direngkuh oleh logika manusia. Hal itu beringsut menyeretmu ke jurang kegilaan. Makhluk pengisap darah, api yang muncul dari ketiadaan, indera pengecap yang terdistorsi. Semua tampak seperti fantasi, semua tampak seperti kefanaan yang tiba-tiba muncul di dunia nyata. Sementara itu, nalarmu masih meraba-raba apa yang sebenarnya terjadi, ketika kefanaan itu telah menenggelamkanmu.

Setelah berseteru dengan gejolak emosinya, Adela telah terlihat lebih tenang dalam menguasai dirinya kembali. Masih dalam rasa keingintahuan, Profesor pun kembali menanyai Adela.

"Katakan, apa yang kaurasakan ketika darah itu memasuki sistem pencernaanmu?"

Adela tampak ragu, sebelum akhirnya ia menceritakan apa yang dirasakannya dengan begitu detail.

"Ketika aku dekat dengan manusia, otakku terus-terusan mengatakan kalau yang didepanku adalah makanan. Semakin dekat aku dengan manusia, semakin kuat aromanya. Keinginan untuk makan seketika melonjak seperti orang yang tidak makan tiga hari. Setelah meminum darah, rasanya seperti habis makan ... begitu. Ah, Profesor, pagi ini Anda membaca tiga laporan skripsi, di mana tiga-tiganya adalah bab dua tentang kajian pustaka. Salah satunya adalah milik Ilya yang—demi apa, Bang Ilya—terlalu banyak typo! Ah, juga Anda pagi ini membaca tiga buah jurnal internasional yang semuanya membahas tentang instrumen amplifikasi astral."

Aku dan Profesor Matsuri tertegun untuk waktu yang lama. Profesor pun akhirnya berceletuk, "Apakah aku menceritakan itu hari ini?"

Adela menggeleng. "Tidak, tertulis jelas dari darah Anda."

"Tunggu ... kaubisa ... mengetahui apa yang bisa dibaca orang dari ... darah?" Aku ikutan menimpali pertanyaan.

Dengan tegas dan jelas, Adela menjawab, "Jelas sekali seperti nonton dokumenter tiga babak."

Aku dan Profesor melongo. Terkesima dalam keterkejutan yang tiada tara. Seperti rangkaian fenomena magis terus-menerus muncul perlahan menggeser kewarasan kami berdua. Terangkum dalam sebuah statemen, bahwa Adela mampu untuk membaca informasi yang 'dibaca' oleh pemilik darah yang dirinya minum. Yah, secara teknis, dia dapat 'membaca' apa yang kita baca. Sebagai pengandaian bahwa syaraf netra Profesor Matsuri terhubung dalam sebuah percabangan yang turut menghubungkan syaraf netra Adela. Meski begitu, dari penuturan gadis itu, hanya terbatas pada apa yang orang lain baca.

"Apa?" Adela meruntuhkan lamunan Aku dan Profesor.

"Kita menemukan sesuatu yang di luar penalaran yang melebihi konsep di luar nalar," celetukku.

****

Entitas itu bernama 'Adela'.

Tidak patut rasanya mengatakan seperti itu, tetapi secara fisiologis, cara kerja tubuh Adela sudah bergeser sedikit jauh dari apa yang manusia dapat lakukan. Mengeluarkan api dari tubuhnya seakan dirinya adalah korek api berjalan. Mengorek informasi apa yang orang lain baca, dari darah yang dihisapnya. Mampu untuk membuat manusia seperti mengalami kegagalan organ vital secara total, mengunci kemampuan lingusitik manusia, membungkamnya dalam kebisuan yang mengancam. Membakar makhluk hidup sampai habis tanpa residu. Belum lagi sederet jejak Astral yang termanifestasi dalam bentuk fenomena-fenomena yang mempecundangi konsep ilmiah alam semesta.

Semua hal itu telah terekam dalam memoriku. Melalui mata kepalaku sendiri, aku memproyeksikan bentuk-bentuk fenomena tidak masuk akal itu, ke dalam konsep kontemplatif yang rumit. Tatkala dirimu melihat hal yang tidak masuk akal, seperti kau berusaha memasukkan sebuah kotak-kotak mainan plastik melalui lubang telingamu, kemudian menembus kepalamu. Sejauh mana kita dapat menerima hal yang tidak masuk akal, tergantung dari seberapa reaktif diri kita dalam ketidakmasukakalan itu.

Lantas, bagaimana kita memosisikan Adela dalam indentifikasi makhluk hidup?

Berbagai hal luar biasa itu tidak dapat mengesampingkan fakta bahwa Adela adalah 'manusia'. Kasarannya seperti manusia yang memiliki kemampuan super. Superhero. Namun, 'superhero' adalah konsep abstrak yang diyakini terus-menerus oleh manusia sebagai bentuk mekanisme pertahanan diri. Adela masih memiliki fisik-fisik seperti manusia. Dia membutuhkan makan untuk nutrisi. Ia masih bisa berjalan seperti manusia pada umumnya. Seluruh organnya masih organ manusia. Ia adalah makhluk hidup secara kasat mata, bukan hanya Astral semata. Paradoks Kapal Theseus kembali terngiang di kepala. Apakah Adela itu manusia atau Astral? Ketidakmampuannya untuk jalan di bawah sinar matahari atau makan makanan manusia, mereduksi dirinya sebagai 'bukan lagi manusia'. Namun, di saat bersamaan, ia bukanlah Astral, karena keniskalaannya telah berkelindan dengan tubuh 'manusianya'.

Lalu, Banaspati. Sepengetahuanku, ada dua jenis Banaspati. Pertama adalah 'Mereka' yang tercipta dari ketakutan manusia, lalu termanifestasi dalam kobaran api. Kedua adalah 'Mereka' yang memangsa darah manusia, menyesapnya hingga tidak menyisakan kehidupan. Astral ini juga terasosiasi sebagai pertanda daripada malapetaka. Lalu, ada Adela. Memanifestasikan api, mengisap darah manusia—terlepas dari dia menapakkan kakinya ke tanah atau tidak—, dan membuat jejak Astral yang tidak masuk akal.

Dalam suara-suara niskala yang sempat menyerangku kala malam itu, telah turunlah 'penghakiman langit' ke bumi. Apakah Adela adalah Krittimukha yang dikirim oleh Semesta untuk menjatuhkan amarahnya? Dalam kehidupan di mana budaya, kepercayaan, dan prinsip rasionalisme berkelindan membentuk peradaban, semua akan terlihat, terdengar, dan terasa nyata adanya. Namun, apakah aku dapat percaya dengan Krittimukha yang turun ke bumi, sedangkan Adela—orang terdekatku—terikat oleh masalah demi masalah dalam kehidupannya.

Mengapa? Mengapa Semesta menampilkan skenario ini untuk ditampilkan di atas panggung dramaturgi kehidupan manusia? Seolah aku, Adela, bahkan Profesor Matsuri harus jungkir balik dalam kontempelasi tiada henti untuk memahami hal yang absurd ini. Di dalam ruang laboratorium ini, kami berpacu untuk menemukan solusi-solusi dari sebuah problema absurditas.

Akhirnya kami bertiga menemukan solusi dari masalah krusial yang dihadapi Adela. Paling tidak, dirinya tidak mengalami dehidrasi karena kekurangan cairan. Namun, Adela tidak dapat terus-terusan menenggak kelopak bunga yang direbus. Harus ada nutrisi untuk dipenuhi, sedangkan satu-satunya nutrisi yang dapat dikonsumsi hanyalah darah manusia. Ada kemungkinan darah makhluk hidup juga dapat ia konsumsi. Namun, kami kembali terhadang oleh dilema pelik. Haruskah Adela menjalani kehidupannya sebagai manusia absurd yang hanya dapat meminum darah makhluk hidup? Belum lagi, kemungkinan Adela yang melanggar hukum 'konfidensial' karena mengintip 'kehidupan' manusia lain, melalui kemampuannya 'membaca' apa yang orang lain 'baca'. Adela telah menjawabnya dalam sebuah ekspresi yang tidak tertangguhkan. Ia menolak cara-cara 'buas' seperti itu.

Namun, pertanyaan lain lantas mengejar kami bertiga. Mau sampai kapan begini terus?

Kami meneroka setiap rencana potensial demi satu tujuan, mengembalikan Adela sebagaimana kodratnya sebagai manusia. Aku dan Adela adalah pelarian, dari institusi Biro yang penuh dengan sisi gelap manusia. Aku dan Adela adalah eksil, menghindar dari kejaran 'penegak hukum astral' yang tengah digerogoti ketamakan manusia. Kemarin malam adalah waktu di mana mereka hendak mengeksekusi kami berdua. Namun, karena sebuah keajaiban saja, Aku dan Adela masih dapat menemui Profesor Matsuri untuk mencari sebuah kebijaksanaan. Mungkin saja, kami akan mencari kebijaksanaan lain di tempat yang masih mengulurkan tangannya, untuk membantu umat manusia yang tersesat dalam kehidupannya. Mencari di mana kami mendapat arah gerak, tanpa harus tunduk pada kuasa penguasa yang menyetel hidup orang dengan seenaknya.

Di dunia di mana Astral telah termanifestasi menjadi sebuah konsep konkret. Bahkan konsep absurd pun dapat termaterialisasi. Sosok Astral memiliki potensial energi yang dapat memutar-balikan paradigma ilmiah. Irrasional yang mendekonstruksi rasionalitas, menjadi sebuah konsep yang baru. Berbagai hal luar biasa telah dipraktikan oleh Adela. Seperti bagaimana ia menyembuhkan luka sayat Profesor Matsuri dengan 'api-nya'.

Mulanya aku anggap itu saesuatu yang mungkin. Menutup luka dengan api bukanlah hal yang absurd, hanya saja mungkin kita tidak pernah tahu bahwa ada orang yang melakukan itu. Namun, penyembuhan ini seperti menampar dunia kedokteran. Luka milik Profesor seperti tertutup tanpa ada bekas. Segala nyeri dan sakit yang meregang pun sirna. Salah satu contoh daripada hal irrasional mendekonstruksi rasionalitas. Seperti majik, fantasi, absurditas yang melebar dari penalaran. Mendadak terpikirkanlah oleh diriku, mengenai luka tembak yang kudapat kemarin malam. Aku tidak merasakan rasa sakit itu lagi, paling tidak sekarang aku tahu kenapa. Dalam sebuah kesempatan aku pun bertanya pada Adela dan ia pun mengonfirmasi asumsiku.

Luar biasa. Fantasi klasik yang tidak masuk akal. Majik yang menampar realita. Mungkin kalian akan menyebutku gila, tetapi jika terjadi, maka terjadilah.

Sandikala telah turun sebagai pertanda, matahari telah turun takhta. Malam akan segera tiba, ketika tiga orang di ruangan ini, lelah dikeroyok fenomena luar biasa.

"Ke mana kalian setelah ini?" Profesor Matsuri bertanya, memecah kebisuan.

Aku mengangkat bahu. "Entahlah ... mungkin kami akan pergi ke Masjid Jami untuk mencari petunjuk selanjutnya."

Profesor Matsuri menghela napas, lantas saran dari dia pun terujar, "Biro tengah waspada, apalagi setelah tiga orang agen mereka menghilang tanpa jejak. Kusarankan kalian berdua untuk menginap di rumahku terlebih dahulu, sampai situasi sedikit mendingan."

Begitu mendengarnya, Adela menggeleng. "Terima kasih, Profesor, tapi kami tidak ingin membahayakan diri Anda juga."

"Lalu, ke mana kalian akan tinggal?" Profesor melirikku dan Adela bergantian.

Aku atau Adela tidak menjawab pertanyaan itu. Sebagai pelarian, kami tidak dapat menjawabnya.

"Ehh ... entahlah." Hanyalah itu responku.

"Ilya, seaman-amannya tempat adalah rumah kita sendiri, no?"

"Profeso—"

Sang Kepala Laboratorium Pengolahan Data Sosial di depanku pun menggelengkan kepala, meletakkan telunjuk di bibirnya. "Nuh-uh. Tidak ada penyangkalan. Setidaknya Biro Bawah Tanah bukanlah tiran penjajah yang seenak jidatnya masuk pekarangan rumah orang tanpa izin."

"Yeah ... setidaknya."

"Aku tahu kalian mengkhawatirkan keselamatan orang lain dan kita berhadapan dengan Institusi negara yang bekerja di balik bayang-bayang. Namun, bukan berarti kita harus meringkuk dalam bayang ketakutan di rumah yang telah menaungi kita. Jangan khawatir. Agen-agen lingkar dalam Biro setidaknya tidak segegabah orang-orang suruhan yang menyerang kalian. Di rumahku, kalian aman."

Mendengar kepastian dari Profesor Matsuri, entah mengapa aku menemukan sedikit titik terang. Setidaknya, barang satu atau dua malam, Aku dan Adela dapat rehat sejenak dari kejaran Biro. Namun, baru kusadari sebuah masalah lainnya.

"Profesor, kau membiarkan seorang laki-laki menginap di rumah teman perempuannya—"

Sebelum aku mencerocos panjang lebar, Profesor menyelaku.

"Lantas, kalian mau ngapain?"

Aku sedikit terbata sebalum berkata, "Uuh ... hal-hal yang tidak terduga mungkin bisa saja terjadi. Kita semua tidak akan pernah tahu."

Dengan nada bercanda, Profesor pun menimpali, "Paling-Paling Adela diam-diam mengisap darahmu—"

"Itu tidak akan terjadi, Profesor. Jangan mengatakan hal yang aneh-aneh!" sahut Adela memprotes.

Profesor Matsuri hanya cekikikan. Lantas, ia menatap Aku dan Adela dengan muka serius. "Kalian sudah dewasa untuk mempertimbangkan mana benar mana salah, no? Kalau kalian aneh-aneh pun, aku akan tahu."

Tidak ada lawan. Tidak ada debat lebih lanjut lagi.

"Terima kasih, Profesor," ucap Adela.

Profesor Matsuri menyarankan, "Beristirahatlah. Kurasa lebih baik kalian ke Masjid Jamek besok saja."

Aku menoleh kepada Adela. Ia mengangguk sekali dengan tegas, tanpa adanya keraguan.

"Hmm ... kalau begitu, aku akan mengantar Adela pulang."

"Ya. Segeralah pulang, sebelum malam datang."

Waktu menunjukkan pukul lima sore ketika kami sampai di lantai dasar. Kuamati lobi kampus seperti masih ramai, meski aku tahu itu hanyalah sosok-sosok Astral yang berkeliaran. Kulirik selasar kampus yang berfungsi sebagai kantin masih ramai dengan mahasiswa—kali ini benar-benar manusia—yang mengaso selepas sesi perkuliahan sore. Fisip menyelenggarakan perkuliahan malam hingga pukul sembilan, tetapi kebanyakan itu hanya kelas-kelas tambahan. Teringat padaku bahwa kampus akan memasuki minggu tenang sebelum Ujian Akhir Semester. Kemungkiann besar, banyak mata kuliah yang telah selesai dalam perkuliahan, sehingga tidak membutuhkan banyak kelas tambahan.

Aku dan Adela hendak keluar dari gedung, ketika seseorang memanggil kami berdua. Seorang pria, bertubuh kurus, rambutnya yang kribo diikat ke belakang membentuk kuncir kuda dengan sebuah kuncir kecil berwarna pink. Tubuhnya dipenuhi dengan bau asap rokok yang kuat.

"Dua hari ini aku tidak menemukanmu dan seharian ini kau tidak dapat dihubungi. Siapa sangka kau bersama Adela berada di sini." Sosok pria itu tersenyum ketika menemukanku dan Adela. Seperti ia menunggu saat-saat pertemuan ini.

Aku pun berujar sebuah nama.

"Sahetapy."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top