5.5. Loka Winaya (Part-5)

Astral.

Sesuatu yang mengubah arah gerak peradaban manusia, tatkala sebuah titah mewartakan bahwa hantu adalah ilusi. Sebuah kefanaan yang menipu, sebuah kebohongan besar yang dibuat-buat sendiri oleh manusia. Sebuah orkestrasi kolosal yang digunakan manusia dengan harapan dapat mengelevasi lebih lanjut peradaban makhluk kecil yang angkuh ini. Namun, segala hal yang dibilang orang sebagai Astral ini, tidak terlepas dari sebuah peristiwa besar pada suatu malam di tahun 1965. Peristiwa yang mengglobal, memengaruhi segala aspek kehidupan manusia di masa depan.

Tidak, kita tidak sedang bicara mengenai sebuah usaha orkestrasi kudeta yang berdampak pada pembantaian politik di negeri ini di tahun yang sama. Namun, sebuah peristiwa di mana seluruh umat manusia di dunia mengalami mimpi yang sama. Tua maupun muda, laki atau perempuan, kaya atau miskin, rakyat atau penguasa, kulit putih atau berwarna, di daerah kutub atau di daerah khatulistiwa. Dalam sebuah kalimat yang teralun dalam setiap sanubari manusia, berkatalah dalam mimpi itu bahwa 'hantu itu adalah kefanaan'. Gemparlah jagad dunia manusia. Beberapa ilmuwan berkata bahwa arah gerak peradaban manusia mulai diiringi dengan berbagai pelintiran-pelintiran yang membentuk masa depan umat manusia. Mendadak, orang tidak dapat lagi meyakini konsep 'gaib' seperti sebelum peristiwa itu terjadi.

Hantu, setan, makhluk gaib. Di masa lalu, hal-hal itu dimaknai sebagai sesuatu yang tidak terjamah oleh indera manusia. Gaib merupakan hal yang tidak mampu untuk tergapai logika umat manusia. Sesuatu yang tidak terjamah indera, sesuatu yang niskala, sesuatu yang supernatural. Di masa lalu, hantu-hantu menjelma menjadi sesuatu yang menakutkan, mengerikan, dan menyeramkan, memagari manusia untuk tidak melawan kodrati alam itu sendiri. Dari dahulu, manusia selalu mencari letak daripada 'spektrum yang tidak terjamah itu'. Bersamaan dengan keingintahuan manusia untuk mengeksplorasi alam semesta yang tiada terhingganya.

Mendadak, sebuah daulat dari Yang Maha Kuasa seolah turun ke muka bumi. Batas-batas dua spektrum yang berbeda menjadi kabur. Tahun-tahun itu, dunia sedang bergejolak karena konflik tipis-tipis antara dua raksasa adidaya. Maka, berkembang pulalah berbagai usaha untuk menarik spektrum yang sebelumnya dinamakan 'alam gaib' ini, untuk mampu dijamah oleh manusia.

Bicara astral, bicara pula mengenai konspirasi ulung yang beredar. Sebuah teori konspirasi yang masih belum bisa disirnakan hingga kini masih menjadi diskursus, dari forum dunia maya hingga debat kusir tongkrongan warung kopi. Sebuah teori yang menyebut bahwa, 'peristiwa kolosal' yang membuat manusia mampu 'mematerialisasikan' konsep gaib adalah ulah dari dua bangsa adidaya yang tengah berperang dingin. Teori ini menganggap bahwa Amerika dan Uni Soviet ditengarai menjadi dedengkot daripada 'mimpi simultan' itu. Namun, kebenarannya hingga kini masih belum bisa dibuktikan. Ilmuwan dari kedua bangsa adidaya pun terheran-heran dengan 'fenomena ajaib' yang turun ke muka bumi ini. Seolah tiba-tiba bumi menjadi seperti kisah-kisah fantasi dengan segala ajaib dan majik yang termanifestasi secara riil. Bahkan ketika Uni Soviet bubar berpencar, manusia masih mengejar kebenaran di balik 'fenomena ajaib' ini.

Uni Soviet membangun sebuah alat yang mampu untuk mewujudkan apa yang menjadi ketakutan umat manusia di daerah Duga! Amerika mengirimkan instrumen pengubah konsep supernatural ke bulan dan mengaktifkannya di sana! Uni Soviet dan Amerika sama-sama berpacu untuk mengembangkan potensi daripada 'keniskalaan yang termaterialisasi' ini.

Omong kosong. Omong coro. Bullshit.

Semua tetek bengek mengenai konspirasi yang tidak tervalidasi kebenarannya itu, pada akhirnya memecah umat manusia menjadi dua faksi besar.

Peradaban manusia pun bergerak dalam dua arah yang paralel. Satu yang mengamini peristiwa 'Wahyu Agung' sebagai sebuah fenomena supernatural skala global. Satu lagi yang menolak 'Wahyu Agung', yang dengan skeptis mengatakan bahwa ini adalah akal-akalan segelintir elit maniak untuk mengacaukan perkembangan ilmu pengetahuan yang telah dibangun umat manusia dengan tertatih-tatih. Namun, kiwari telah tiba, ilmu pengetahuan dan 'keniskalaan yang termaterialisasi' saling bertaut untuk membentuk kisah-kisah masa kini dan masa depan. Ramai-ramai kita mendebat apakah 'Wahyu Agung' adalah keajaiban Tuhan ataukah akal-akalan elit global. Namun, realita yang termanifestasi hanyalah sebuah ironi. Ibuku berkata bahwa, mau hantu itu nyata atau hanya tipuan, manusia masih menjadi makhluk yang angkuh dan menebar kerusakan di muka bumi.

Perang, konflik etnis, pertumpahan darah, kelaparan, kemiskinan, warga yang terusir dari tanah mereka, penggundulan hutan besar-besaran, penambangan habis-habisan, kapitalis rakus yang menguasai tampuk kepemimpinan bangsa, aristokrat yang bangkit kembali melegitimasi feodalisme, orang cilik yang terpinggirkan. Aku mulai mempertanyakan apakah Wahyu Agung ini turun sebagai 'pertanda', bahwa manusia sedang mengakselerasi kehancuran peradaban mereka dengan sendirinya?

Di negeri ini sendiri, pelanggaran-pelanggaran HAM masih belum teradili sampai saat ini. Tanah Tak Bertuan hanya menambah panjang sejarah gelap bangsa. Di negeri ini sendiri, yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah miskin. Di negeri ini sendiri, para elit politik bersekutu dengan kapitalis rakus, membentuk sebuah skema oligarki yang perlahan mengisap 'sumber-sumber' kehidupan rakyat. Di negeri ini sendiri, demokrasi di ambang kegagalan, seiring dengan tumbuh suburnya feodal. Makin banyak ketidakadilan tercipta, seiring dengan alam gaib yang menyatu dengan alam manusia.

Yang gaib kini berubah nama menjadi 'astral'. Sebuah manifestasi atas pemikiran, ingatan, dan emosi umat manusia. Dieksploitasi oleh segelintir golongan yang menghamba pada sebuah hal yang niskala. Munculnya institusi-institusi yang niatnya mengatur 'keniskalaan' yang telah tertumpah di tanah bangsa, malah menjadikan kesengsaraan rakyat sebagai ladang profit. Aku berpikir, apakah suatu hari, bangsa ini akan runtuh karena orang-orangnya ketergantungan terhadap hal-hal yang niskala ini. Apabila Tuhan telah bersabda bahwa hantu adalah ilusi, maka yang terjadi di umat manusia hanyalah lapisan-lapisan ironi yang termanifestasi. Umat manusia pelan-pelan bergantung kepada 'kefanaan' yang mereka ciptakan sendiri.

Sebuah selentingan di warung kopi pun terceletuk. Kalau hantu itu hanyalah tipuan, lantas mengapa masyarakat negeri ini malah semakin percaya dengan hantu? Kalau hantu bisa dilihat manusia biasa, mengapa masyarakat malah mengejar-ngejarnya? Orang pun perlahan akan berpikir, mungkin zaman edan yang pernah diramalkan akan benar-benar terjadi. Sedikit demi sedikit, umat manusia terjatuh dalam jurang kegilaan.

Astral.

Hal yang di luar nalar, menjadi nalar itu sendiri. Sebuah kemustahilan, menjadi kenyataan itu sendiri. Hampir dua puluh empat jam aku berkutat di dalam pertarungan melawan kemustahilan itu. Berada dalam kontempelasi yang konstan, memperdebatkan keabsahan dari Astral. Kuakui diriku hanya mengenal astral lewat tuturan dan kisah yang lalu-lalang melewati telinga. Namun, seolah nasib yang turun di kala langit yang berubah warna menjadi nila dan purnama yang dilingkupi merah menyala, diriku dipaksa untuk menerima 'kemustahilan' yang termanifestasi itu.

Berawal dari turunnya mencari kebenaran yang disamarkan, di sebuah tempat bernama Tanah Tak Bertuan. Berpetualang untuk melarikan diri dari gelapnya cengkeraman kejahatan dan kekejian. Lalu, dipaksa untuk berdansa antara penalaran dan pengandaian, bertarung melawan keniskalaan yang tercipta dari perasaan.

Adela Ratna.

Sebuah faktor kausalitas yang menyeretku dalam konflik semu dimensi astral hingga detik ini. Sebuah paragon, atas konflik yang sedang direbus sebagai orkestrasi mereka yang berkuasa di menara gading. Bertanya-tanya padaku, mengapa Biro Bawah Tanah sedemikian ngototnya untuk menghapus noktah dosa mereka? Mengapa mereka ingin 'menguasai' Tanah Tak Bertuan' demi puluhan menara-menara besi yang mangkrak di bukit itu? Sedemikian obsesifnya mereka demi menghilangkan sebuah jejak peristiwa. Apa yang terjadi di Tanah Tak Bertuan sejatinya adalah bukti nyata bahwa rakyat ini terjajah di negeri sendiri. Namun, mengapa penguasa menampiknya begitu hebat, begitu kuat, sampai mereka sepeti kebakaran jenggot?

Legitimasi? Nama baik bangsa?

Bukankah bangsa ini telah membagi-bagikan kue kepada trah-trah ningrat yang pernah berkuasa? Bukankah pada awalnya, mereka tidak lagi peduli dengan nasib rakyat mereka sendiri?

Hingga akhirnya seorang Adela Ratna menjadi martir atas keegoisan umat manusia. Menjelma menjadi sosok 'Dosa Bangsa Ini'.

****

Adela kini telah berada di Loka Winaya, memperjuangkan dirinya untuk kembali menjadi manusia. Manusia yang menjadi 'Setengah Banaspati' terdengar sebagai omong kosong, tetapi kita dipecundangi dengan omong kosong itu sendiri. Profesor Matsuri tergegun heran, apalagi diriku. Apa yang dialami oleh Adela adalah sebuah paradoks yang nyata.

Apabila sebuah kapal tua yang bagiannya satu per satu digantikan dengan bagian yang baru, apakah kapal tersebut adalah kapal yang sama?

Apabila sebuah konsep yang abstrak, mendadak termanifestasi menjadi sebuah hal yang riil, masihkah konsep itu disebut konsep yang abstrak? Apabila sosok Banaspati perlahan menyatu dengan sosok manusia, masihkah dia disebut Banaspati atau manusia? Sampai manakah batasan niskala ini mampu untuk ditelisik?

"Bagaimana mungkin, Adela disebut makhluk gaib dan makhluk hidup di saat yang bersamaan. Ini adalah paradoks," celetukku.

"Lantas bagaimana mungkin paradoks disebut paradoks, jika hal yang disebut paradoks terjadi dalam situasi yang nyata?" Profesor Matsuri menyahut celetukanku. Kami pun saling sahut-menyahut, berkontempelasi dalam menetapkan eksistensi 'Adela'.

"Adela adalah anak manusia—"

"—yang memiliki kemampuan dan properti yang serupa seperti Banaspati."

"Berarti aku adalah manusia setengah Banaspati. Aku adalah gaib dan tidak gaib di saat yang sama," timpal Adela, sembari berkacak pinggang.

Aku menghela napas, lantas menoleh ke arah Profesor.

"Profesor, bagaimana menyingkirkan paradoks ini?"

Profesor menggelengkan kepala.

"Ilya, paradoks tidak bisa disebut lagi paradoks ketika sudah kejadian. Momen di mana kau menemukan bagaimana keadaan kucing dalam Kotak Schrodinger, paradoks itu selesai. Tidak ada paradoks."

"Lantas, bagaimana manusia dan Banaspati dapat koeksis dalam satu kesatuan?" Aku mengedikkan kedua bahu.

"Simpel saja, maka ia tidak lagi disebut Banaspati. Momen di mana keniskalaan menjadi hal yang dapat ditangkap oleh indera dan logika, maka keniskalaan itu menjadi sebuah konsep yang konkret. Adela benar."

Makin lama, perdebatan ini makin menarikku pada sebuah permainan seperti berjalan di atas tali. Jatuh, maka kau akan jadi gila sendiri.

Aku mengusap-usap keningku, seraya diriku merasa pusing dengan eksperimen pikiran ini. "Jadi ... Adela adalah spesies Manusia-Banaspati pertama di dunia ini?"

"Kalau kita menganut logika ilmiah ... ya. Adela adalah lima puluh persen manusia lima puluh persen Banaspati, Ilya."

Sebuah statemen yang sulit dibantah. Maksudku, apa yang terjadi, terjadilah. Jika eksistensi itu eksis, maka dirinya eksis. Kalau Adela eksis sebagai percampuran antara manusia dan Banaspati, maka eksislah dirinya. Aku merasa Descartes sedang terpingkal-pingkal melihatku dari dalam kuburnya.

"Ilya ... kau yang memaksaku untuk menerapkan standar logika ilmiah pada hal gaib seperti ini." Kali ini, Profesor Matsuri yang berkacak pinggang. Sebuah skema anamnesis yang kami bertiga lakukan ini sudah seperti mencari benda berwarna hitam di tempat yang nircahaya. Kami hanya dapat menggapai beberapa konsep yang 'bisa dipegang' dengan konsep materi yang konkret dan telah menjadi bagian dari ilmu pengetahuan manusia. Kami sudah seperti meneliti sebuah 'anomali' atas makhluk hidup yang tiba-tiba berasimilasi dengan makhluk niskala.

Adela Ratna adalah anomali bagi dua spektrum sekaligus. Manusia bukan manusia seutuhnya, begitu juga bukan Banaspati seutuhnya. Lalu, aku dan Profesor Matsuri merasa bahwa kita harus segera melakukan sesuatu, atau hal yang lebih buruk akan terjadi pada Adela.

Pertama adalah menemukan cara untuk memahami cara kerja transfer energi dalam diri Adela. Dalam hal ini, kebutuhan nutrisi. Adela hanya dapat mengonsumsi darah manusia dan air seduhan bunga yang teracik sebagai teh. Apabila manusia biasa hanya mengonsumsi air sehari-hari, tentu kebutuhan nutrisi tidak akan terpenuhi. Namun, aku telah menyaksikan bagaimana siksaan yang dialami Adela kala mencoba makan-makanan yang biasa dikonsumsi manusia. Apapun itu, bahkan air putih sekalipun.

Berbagai ujicoba telah dilakukan dengan meminta Adela mengonsumsi beberapa jenis makanan. Air, roti, biskuit, buah apel, cokelat batangan, teh, kopi, hingga nasi padang. Semua terasa seperti kacau. Seperti indera pengecap Adela diretas, kemudian pengaturan syaraf pengecapnya diatur sedemikian rupa hingga Adela tidak mampu merasakan dengan benar, setiap makanan yang memasuki mulutnya.

Profesor Matsuri menganalogikan ini dalam dua perspektif. Perspektif pertama adalah perspektif orang yang sakit. Ketika seseorang sakit—terutama yang berhubugan dengan syaraf pembau dan perasa seperti batuk atau pilek—maka ia tidak akan merasakan kenikmatan ketika memakan sesuatu. Seperti terasa hambar atau terasa aneh yang membuatmu ingin memuntahkannya.

Perspektif kedua adalah kondisi psikologis tertentu yang memengaruhi nafsu makan seseorang. Ada beberapa kasus orang dengan fluktuasi emosi yang berubah-ubah, memengaruhi nafsu makan sampai pada taraf dirinya menyugesti tubuhnya sendiri untuk menolak segala nutrisi yang masuk ke tubuhnya. Beberapa gangguan makan seperti orang yang menderita Anoreksia misalnya.

"Ini hanya bagian dari anamnesis sampai ada pemeriksaan lebih lanjut. Ada dugaan kalau faktor psikologis menjadi hal yang memengaruhi kenapa Adela tidak dapat makan-makanan manusia." Begitulah Profesor berkata, sembari dirinya menyiapkan segelas air yang kini telah terletak di mejanya.

"Contohnya?" Aku mengejar pernyataan Profesor lebih lanjut.

"Sebuah self-suggestion yang direpetisi oleh otaknya, membuat tubuh Adela juga terpapar pada sugesti tersebut. Apakah kau ada suara-suara atau bisikan-bisikan yang mengganggumu, Sayang?" Profesor menoleh ke arah Adela. Gadis itu menggeleng, menanggapi rentetan pertanyaan yang mulai diajukan oleh Profesor.

"Tidak ada, Profesor."

"Sugesti diri?"

"Hmm ... entah mengapa jantungku berdebar-debar setiap kali aku makan yang bukan darah. Seolah-olah diriku menjadi takut setiap kali memakan sesuatu, Prof."

"Lalu, kau sempat meminum air rebusan ... uuh ... kembang? Bagaimana kalau itu?"

"Perasaan berdebar juga menggelayutiku ketika mencoba meminum air seduhan bunga yang sempat Ilya berikan. Namun, ketika air itu terasa normal, aku langsung meminumnya seperti meminum air putih biasa."

"Jadi, tidak ada suara-suara astral yang mengganggumu?"

"Tidak ada, Prof. Kecuali makanan itu beraroma, kautidak akan tahu bagaimana rasanya setelah makanan itu masuk ke mulutmu."

"Hmm ... berarti sebenarnya kamu dapat memakan makanan manusia, tetapi lidah dan hidungnya berkata lain."

"Yah. Seperti orang yang tidak pernah memakan puding durian sebelumnya, kemudian tiba-tiba diberi puding durian. Ketika mencoba memakannya, kita tidak tahu bagaimana rasanya setelah makanan itu berada di lidah, atau tercium baunya."

Entah mengapa, analogi durian ini membuatku sedikit enek ketika membayangkannya. Profesor Matsuri seperti kedapatan sebuah ide, kemudian memungut beberapa butir permen dari sebuah mangkuk kecil. Permen itu dibungkus dengan kemasan berwarna kuning dan tergambar sebuah simbol bertanda sebuah buah di bungkusnya.

"Omong-omong durian ... ini cobalah kaumakan." Profesor Matsuri menawarkan permen itu kepada Adela. Adela sempat mengamati bungkus permen itu dengan ekspresi sedikit jijik, sebelum akhirnya ia membuka bungkusnya dan memakan permennya.

"Hoeek!" Adela langsung memuntahkan permen itu.

"Bagaimana rasanya?" tanya Profesor.

Adela mengernyit, sesekali menjulur-julurkan lidah seperti melepehkan semua yang melekat di lidahnya. Suaranya yang serak bersungut, "Seperti durian."

"Tunggu, kaubisa mencium aroma durian dengan benar?" Profesor menimpali. Meluncurlah komentar kontroversial dari seorang Adela Ratna.

"Maksudmu, Prof?? Buah dengan bau dan rasa yang mengerikan itu?"

"Huh ... kupikir kau menyukai segala jenis makanan," sahutku mengomentari.

Adela menatapku kecut seraya mengomel, "Aku tidak suka durian. Baunya membuatku hampir pingsan berdiri!"

Sebuah fakta yang mencengangkan tersingkap hari ini. Seorang Adela Ratna tidak menyukai durian dan turunannya.

"Hmm ... itu berarti syaraf Adela mengasosiasikan makanan dengan sesuatu yang tidak ia suka atau tidak dapat dimakan." Aku pun berkomentar.

"Aku terpikir sebuah cara yang mungkin bisa dilakukan, tetapi ini akan mengorbankan satu hal." Bak ditumpahkan ilham, Profesor Matsuri langsung berceletuk. Kami berdua menatap Profesor lama, mengharapkan sebuah jawaban.

"Bagaimana itu?"

Profesor Matsuri menghela napas, dengan nada berat ia pun berujar, "Mematikan syaraf perasa Adela."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top