5.4. Loka Winaya (Part-4)
"Jadi ... kalian diserang oleh Biro?" Profesor Matsuri akhirnya menanyakan hal itu kepadaku dan Adela. Beliau menatapku tajam, membuatku untuk berhati-hati agar tidak kepleset lidah. Mendadak, aura di dalam laboratorium menjadi sedikit suram.
Aku menghela napas sebelum akhirnya menjawab, "Ya ... dan tidak. Mereka mengaku bekerja untuk Biro."
"Tentu saja mereka bekerja untuk Biro." Profesor Matsuri pun kembali menyandarkan dirinya pada kursi. Sesekali beliau memutar-mutar bolpoin dengan jari-jemarinya. Beberapa kali dapat kudengar suara decakan. Kekecewaan, keprihatinan, dan kecemasan yang bercampur baur dari ekspresinya. Ditekurinya coret-coretan catatan kecil mengenai hasil penuturanku mengenai penyerangan yang dilakukan oleh 'antek-antek Biro' kemarin malam.
Profesor Matsuri sesekali melirik ke arah Adela, hanya untuk memasang ekspresi melas. Berkali-kali ia menggeleng-gelengkan kepala, seakan tidak percaya dengan apa yang telah menimpa anak asuhnya.
Anak asuh, mungkin itu adalah penyebutan yang tepat untuk hubungan antara Profesor Matsuri dan Adela Ratna. Sejauh yang kutahu, Adela bukanlah orang asli Tanah Singasari. Tujuan dirinya untuk merantau ke Tanah Singasari adalah untuk melanjutkan kuliah, terlepas dari kampung halaman Adela yang memiliki banyak universitas yang lebih prestisius daripada yang ada di Tanah Singasari. Ketika kutanyakan iseng, ia hanya menjawabnya dengan setengah bercanda pula.
"Aku sedang tidak ingin dekat dengan ayahku."
Tebak-tebak buah manggis, menghasilkanku sebuah asumsi kalau dirinya ada konflik dengan ayahnya. Akhirnya, ia memutuskan untuk kuliah ke luar kota, di mana akhirnya ia tinggal bersama Profesor Matsuri. Profesor sendiri berkata bahwa, menerima Adela untuk tinggal di tempatnya bukanlah murni kemauannya. Profesor berkata bahwa Ibunya Adela adalah sahabat dekat. Merawat Adela adalah salah satu bentuk 'balas budi ikatan persahabatan' tersebut.
"Dia adalah ibu-nya, tetapi versi mini. Tingkahnya itu, keras kepalanya itu, wajah itu, sangat mirip sekali dengan ibunya." Begitulah kiranya seorang Adela yang dideskripsikan oleh Profesor Matsuri. Maka, sedikit banyak, Profesor merasa bertanggung jawab atas apapun yang terjadi dengan Adela. Hubungan 'ibu-anak asuh' ini sudah melampaui tingkatan kasih sayang hubungan ibu dan anak kandung yang sebenarnya. Seperti aku setengah tidak percaya, tetapi memang begitu realitanya.
Maka, apa yang telah terjadi kepada Adela kini, bermuaralah semua pertanggung-jawaban itu kepadaku. Orang yang berada di dekatnya, tatkala tragedi itu terjadi. Dua kali aku berada di dekat Adela dalam situasi di mana kami berdua berada di garis ambang batas kehidupan. Dua kali pula, kami berdua berdansa di tengah 'kamar bola maut' yang mengiringi. Karena itulah, setiap kata-kata yang terlantun dari mulutku tatkala bercerita, Profesor Matsuri dengan tenang dan khidmat mendengarkannya. Seolah Profesor sudah siap untuk memecahkan 'implikasi' daripada bermain dengan 'Hukum Astral' Ini.
"Lalu, bagaimana dengan kondisi Adela?" Profesor Matsuri kemudian melempar pertanyaan lainnya.
Aku menggelengkan kepala dengan lunglainya ketika menjawab, "Untuk sementara, kami berdua telah melakukan tindak pencegahan, seperti yang telah kuceritakan tadi. Jujur, Profesor. Aku tidak tahu apa-apa mengenai perklenikan modern seperti ini. Apakah Anda memiliki saran?"
Profesor Matsuri tidak segera menanggapi. Ia terdiam sembari memandang corat-coret catatan yang kini berada di mejanya. Seolah sedang mengalkulasi dampak yang ditimbulkan, seolah tengah mencari sebuah pemecahan.
"Ada dua tempat." Beliau menatap kami berdua. Aku pun terhenyak mendengarnya. Begitu pula Adela yang langsung beranjak dari sandaran duduknya.
"Tempat?" Serentak kami berdua mennggapi.
"Pergilah ke mana mereka merawat semua orang tanpa pandang bulu. Pergilah ke tempat di mana kasih sayang Tuhan diturunkan melalui mereka." Seperti biasa, Profesor Matsuri menyukai penjelasan yang alegoris. Namun, bertahun-tahun mengenal beliau, sudah dapat kutangkap maksudnya.
"Benarkah? Benarkah ada tempat yang seperti itu? Merawat semua orang tanpa pandang bulu? Merawat mereka yang tertimpa kemalangan karena 'Hukum Astral' yang menjerat?" Aku mengejar jawaban Profesor.
Profesor mengangkat kedua bahunya, seraya berujar, "Setidaknya, mereka independen dalam hal melakukan pelayanan publik yang berkaitan dengan astral dan non-astral. Tentu saja, di bawah pengawasan Biro. Namun, mereka memiliki otoritas untuk melakukan operasi secara independen."
Adela terlihat melongo melihat penjelasan Profesor.
"Huh, tidak kusangka ...."
"Apa?" Profesor mengangkat sebelah alisnya.
Terpana Adela berujar, "Tidak kusangka Profesor tahu hal-hal terkait Astral, terlepas dari Anda yang tidak ingin berurusan dengan Astral itu sendiri."
"Kalau terkait institusi negara dan sistem penyelenggaranya, tentu saja aku tahu. Kalau mengenai Astral dan seluk-beluk penanganannya, itu sudah berbeda cerita," tanggap Profesor Matsuri.
Lantas, bertanyalah diriku pada Profesor Matsuri.
"Lalu, ke mana kah kami harus mencari pertolongan, lepas dari campur tangan Biro, Profesor? Anda ada alternatif?"
Sejenak Profesor termenung, sebelum akhirnya menjawab, "Hmm ... lepas dari campur tangan Biro ... kurasa kalian bisa memulainya dengan mendatangi Takmir Masjid Jami Tanah Singasari atau Keuskupan Tanah Singasari."
Kami berdua serempak berseru, "Huh, bagaimana bisa?"
"Biro hanya menangani kriminal dan gangguan sipil yang berkaitan dengan Astral, bukan untuk menyembuhkan orang yang terkena gangguan astral. Kalau kau sakit, ke dokter, bukan ke polisi."
"Uuhh ... benar sih, tetapi aku tidak mengetahui kalau kedua tempat itu dapat menangani kasus Adela." Aku menanggapi.
"Meski probabilitasnya masih fifty-fifty, setidaknya mereka tidak ada urusan untuk menangkapmu. Kecuali kalau kau bikin onar di tempat ibadah, bahkan polisi sipil juga akan mengejarmu. Juga, mereka adalah dua otoritas yang ditunjuk Pemerintah Daerah terkait hal-hal sipil yang bersinggungan dengan Dunia Astral. Selain itu, mereka lepas dari Biro karena mereka menerapkan Dualisme paham."
"Dualisme paham?" Aku mengernyit.
Profesor lantas mengacungkan dua jarinya sembari menjelaskan. "Ada dua cara untuk memaknai keberadaan Astral. Pertama, Modernis. Mereka yang memaknai bahwa Astral adalah sebuah konstruk yang dibentuk secara kolektif oleh manusia."
"Kedua, Konservationis. Yakni, mereka yang memaknai bahwa Astral sama saja dengan konsep gaib sebelum Pencerahan Agung turun. Mereka menolak bahwa Astral adalah konstruksi manusia dan merupakan entitas tersendiri," lanjut Profesor. Aku dan Adela manggut-manggut sembari terkesima dengan informasi yang baru saja kami berdua dapatkan.
"Aku baru tahu hal-hal seperti itu ada di dunia ini."
"Ah, aku juga begitu. Selama ini, kupikir ... makhluk niskala adalah ... makhluk niskala."
Giliran Profesor yang mengeryit heran. "Kalian memangnya sekolah diajari apa saja?"
"Maaf, Prof. Kami berdua memang tidak terlalu berpikir terlalu dalam tentang konsep Astral. Kami hanya mengamini kalau ... mereka ada," ujar Adela.
Aku pun menyambung ujaran Adela. "Meski begitu, kami juga diajarkan mengenai konsep Astral secara Modernis."
"Institusi pendidikan kebanyakan masih Konservationis atau ... Dualisme. Kalaupun ada model institusi pendidikan yang memeluk paham Modernis secara penuh ... kebanyakan ada di institusi sekunder seperti ... pesantren," simpul Profesor Matsuri.
"Apakah Profesor berarti Konservationis? Karena menolak menganggap Astral sebagai konstruksi persepsi manusia?"
"Aku tidak keduanya."
Aku dan Adela serempak menyahut, "Eeeh ...."
"Buat apa?"
Nah, kalau sudah Profesor Matsuri berkata 'buat apa?', tidak mampulah diriku atau Adela mengejar lebih jauh lagi. Beliau memang seorang pribadi yang berdasar pada penalaran yang logis. Penalaran logika manusia yang terbentuk atas kaidah-kaidah ilmiah. Apabila aku mengejar untuk mendebatnya, Profesor mungkin akan cenderung mengamini orang-orang Modernis. Namun, untuk sebuah hal, beliau juga membenci orang-orang yang mengamini konsep Modernisme Astral. Penuh dengan omongan coro demi kepentingan-kepentingan kapital yang mengabaikan kaidah konstruksi ilmiah, katanya.
"Lantas, kenapa Profesor bisa tahu kalau otoritas Takmir Masjid Jami dan Diocesse Tanah Singasari menyediakan pelayanan publik penanganan Astral secara independen?" Penasaran, pada akhirnya aku bertanya.
"Tidak semua dosen dan akademisi sepertiku, Ilya. Setiap hari aku mendengar remeh-temeh semacam itu dari obrolan santai di pagi hari para akademisi."
"Oh ... ah ... oke."
Entah mengapa, aku jadi masygul sendiri menanyakan hal tersebut. Sementara itu, kulihat Adela telah terpekur dengan pikirannya sendiri. Kemudian, dalam sebuah selentingan emosi yang terberkas dari ekspresinya, ia pun akhirnya mengutarakan kegelisahannya.
"Apakah ... mereka menerima aku?" ujarnya.
Profesor Matsuri menaikkan sebelah alisnya.
"Maksudnya?"
"Profesor, aku Setengah Banaspati."
Profesor mendengus, seraya beringsut, "Setengah, seperempat, dua pertiga. Tidak ada bedanya. Secara teknis, kau masih manusia."
Adela terkesima dengan jawaban Profesor, lantas ia berdalih, "Profesor, aku bisa mengeluarkan api seenak jidat, lho? Aku minum darah manusia, lho?"
"Lantas? Bukankah itu keren."
Profesor Matsuri benar-benar luar biasa.
"Uh ... ada kondisi-kondisi di mana itu menyulitkan Adela, sih," sahutku menambahi. Untuk sejenak, Profesor Matsuri tertegun. Ia lantas melirikku dengan tatapan curiga.
"Sebentar, minum darah manusia ... gimana?"
Aku melirik ke arah Adela, di mana dirinya balik melirikku dengan tatapan yang membingungkan. Hal itu membuat Profesor Matsuri menatapku semakin curiga.
"Well, Ilya. Kau harus tanggung jawab—" Sebelum Profesor Matsuri berkomentar yang aneh-aneh lagi, aku pun menyelanya.
"Tanggung jawab apa lagii?? Tentu saja, Profesor!"
"Sebentar. Di awal kaubilang bahwa dirimu mengalami gejala Disleksia? Hmm ... kasusmu menarik untuk dipelajari." Profesor menopangkan dagu pada tangannya.
Buru-buru aku menggeleng cepat. "Tidak, terima kasih, Profesor. Aku tidak mau jadi subjek penelitianmu lagi. Cukup jadi dosen pembimbing skripsiku saja."
Profesor menatapku lama, sebelum akhirnya ia berdehem serya berujar, "Ehem ... baiklah. Karena kalian berdua sudah di sini ... mari kita pertimbangkan apa yang telah terjadi."
****
Profesor Matsuri yang tadinya mengalami syok berat, kini telah mampu menguasai dirinya kembali. Profesor pun tengah sibuk mencoret-coret whiteboard , menempelkan beberapa foto dan diagram, sembari menandai beberapa foto tersebut dengan spidol berwarna merah. Setelah menyiapkan 'panggung kontempelasi' yang sudah jadi, Profesor pun menggeret whiteboard itu untuk di tunjukkan kepadaku dan Adela.
Ia kemudian menunjuk foto seorang pria yang berada tepat di tengah-tengah whiteboard. Pria itu tampak lebih tua daripada ayahku, memakai baju takwa berwarna putih, celana cekak berwarna khaki, dan sepasang sandal jepit. Begitu foto itu tampil, diriku langsung terpantik sebuah emosi yang kuat. Amarah, kesal, jengkel, campur aduk menjadi satu.
"Kalian tentu tahu siapa dia." Profesor Matsuri melirik kepadaku dan Adela. Wajah gadis itu sudah tampak tidak senang, begitu tahu pembicaraan ini mengarah ke mana.
"Auman Taringan. Imam Besar Biro Bawah Tanah Cabang Tanah Singasari. Salah satu orang yang dinominasikan menjadi Sekretaris Jenderal—Imam Besar—Biro Bawah Tanah selanjutnya," sahutku menimpali.
Sembari mencoret-coret whiteboard, Profesor Matsuri menjelaskan, "Seperti yang kalian tahu, terjadi gejolak besar dalam tubuh Biro Bawah Tanah. Tiga tahun terakhir ini, Biro Pusat kehilangan Sekretaris Jenderal mereka. Biro sedang dalam masa vaccum of power untuk waktu yang sangat lama. Situasi politik yang semakin memanas, turut memanaskan persaingan dalam internal Biro."
"Karena itukah, Biro di cabang-cabang daerah sering ditemukan banyak kasus penyelewengan?" Aku mencoba mengaitkan benang merah dari kasus yang mampu menyeret Biro ke dalam jurang konflik lebih dalam. Tiga tahun. Tiga tahun terakhir, Biro gonjang-ganjing, terutama setelah Sekretaris Jenderal mereka menghilang pasca menangani Kasus Koper yang sempat menghebohkan keamanan nasional.
"Kurang lebih seperti itu. Namun, satu. Orang ini. Satu orang ini adalah yang menanamkan bom waktu di Tanah Tak Bertuan selama puluhan tahun lamanya. Kemudian, baru meletus tahun lalu." Profesor mengetuk-ngetuk keras foto yang memuat sosok Auman.
"Proyek Mercusuar," sambungku. Profesor mengangguk.
"Ekshalasi yang terjadi di Tanah Tak Bertuan ... terjadi karena proyek yang seharusnya mangkrak tidak terurus, mendadak menyala pada satu malam dan hampir menghancurkan Tanah Tak Bertuan."
"Profesor, bukankah dia adalah salah satu orang yang terlibat dalam konstruksi Proyek Mercusuar di era 1998?"
"Kaubenar, Ilya. Kalau ada satu orang dari Biro Bawah Tanah yang terobsesi dengan Proyek Mercusuar di Tanah Tak Bertuan. Auman Taringan adalah orangnya."
Mendadak, Ilya memandangku dengan ekspresi kesal. Mulutnya mencebik dan tatapannya menyipit.
"Ilya." Adela menyebut namaku.
"Ke-kenapa?"
"Aku tidak tahu apa-apa tentang proyek itu—" Adela hendak memprotes, sebelum akhirnya Profesor menyelanya.
"Tentunya kausudah melihatnya, Adela."
"Huh?" Adela menelengkan kepala.
"Menara-menara di Bukit Tanah Tak Bertuan."
"Menara radio itu!? Kukira itu menara radio biasa. T-tapi, bagaimana, Prof??"
"Semua sudah kujabarkan di catatan mengenai Kekejian di Tanah Tak Bertuan. Buku catatan yang kuberikan padamu kemarin," sahutku menanggapi.
"Buku ... oh ...." Adela kemudian terdiam sejenak. Mendadak, seperti baru saja teringat sebuah horor, ekspresi Adela berubah panik. Perlahan, ia mengeluarkan sesuatu dari tas kantung yang kupinjamkan padanya. Kemudian, ia pun mengangkat sebuaah bongkahan benda yang terlihat gosong dengan tangan gemetar hebat.
Mulutku menganga melihat katastrofi di depanku. Adela hanya bisa nyengir.
Buku catatan yang memuat Laporan Kekejian Tanah Tak Bertuan ludes terbakar.
"Huu ... Ilyaaa ...." Adela menatapku dengan mata berkilau-kilau, memasang tampang melas.
"Fakta bahwa pakaian yang kaukenakan tidak terbakar habis itu lebih tidak masuk akal." Aku pun meraup mukaku. Serasa diriku baru saja mendapatkan vonis pengadilan yang begitu berat. Kedua bahuku terasa turun dan badanku terasa lemas.
"Kita mulai dari nol, huh?" Profesor hanya mengomentari datar.
"Mayoritas isi buku catatan itu sudah tertuang di laporanku yang tertolak publik. Namun, ada beberapa hal yang tidak kucantumkan karena aku meragukan validitasnya," ujarku, untuk kemudian langsung ditembak dengan dugaan dari Profesor Matsuri.
"Biar kutebak ... bagian Proyek Mercusuar?"
"Ya, sayangnya."
Kudengar Profesor Matsuri yang mendengus kecewa. Kekecewaannya itu tersirat ketika ia mengatakan, "Kita tidak bisa melawan Biro dengan menyerang hal terkait Proyek Mercusuar."
"Bukankah, kita bisa melakukan inkuiri?" sahutku.
"Mereka tidak akan membiarkan bangkai tercium oleh siapa saja. Mereka pasti cuci tangan dengan bersih. Kalaupun inkuiri, mana mau mereka?"
Penyelidikan Proyek Mercusuar pun tersendat lagi. Awalnya kupikir kami bisa untuk mendesak Biro, dengan 'menembak' kasus Proyek Mercusuar untuk dilempar kepada publik sebagai bahan investigasi. Sayangnya temuanku di Tanah Tak Bertuan, ada pada buku catatanku yang telah ludes terbakar. Mau melakukan investigasi lanjutan pun, akses ke situs proyek pasti telah dibatasi. Terutama semenjak Tanah Tak Bertuan dikuasai penuh oleh Pengadil Bidat.
"Terlebih lagi, Pengadil Bidat kini secara teknis yang memegang kendali atas Proyek Mercusuar. Mereka sangat protektif dengan sesuatu yang ada di dalam situs proyek itu," komentarku.
"Karena itulah, Biro bersikeras mendesak pemerintah untuk menetapkan Pengadil Bidat sebagai organisasi subversif. Mereka ingin melenyapkan bukti-bukti atas kejahatan HAM mereka di masa lalu. Proyek Mercusuar dalah kunci dalam missing link ini," sambung Profesor.
Proyek Mercusuar bisa dikatakan sebagai proyek rahasia bersama antara Biro dan Militer. Diinisiasi pertama kali secara klandenstein pada awal 1990, proyek itu dibalut dengan samaran proyek menara telekomunikasi dan radio pada umumnya. Namun, setelah diselidiki baru-baru ini, proyek itu dirumorkan sebagai salah satu upaya pemerintah dalam mengembangkan sebuah 'senjata' rahasia. Bisa dibilang, proyek kolaborasi antara Biro dan Militer, menciptakan sebuah instrumen misterius. Instrumen itu mampu memantik konflik terror yang terjadi pada medio 1997 hingga 1998.
Kini, Sebuah konflik pecah di Tanah Tak Bertuan, tempat di mana Proyek Mercusuar tercipta. Apapun yang kini berada di tangan warga-warga Tanah Tak Bertuan, tentu saja menjadikan Biro kalang kabut. Mungkin saja, Militer diam-diam telah memantau situasi. Situasi semakin berkembang menjadi masalah nasional yang pelik, di mana Biro ditengarai sebagai pihak yang memecah kedamaian di Tanah Jawa.
Perlahan, Tanah Jawa akan menjadi panggung yang memainkan 'yudha' di mana para niskala akan turun memainkan perannya. Seharian tanpa ada informasi apapun yang masuk dari luar, membuatku sedikit bingung, langkah apa yang bisa kulakukan.
"Profesor, apa yang telah terjadi selama seharian ini?" tanyaku.
"Aliansi mahasiswa akan mengadakan aksi dalam waktu dekat. Sepertinya ini adalah aksi massa gabungan. Kemudian, Sahetapy dengan Himaroki-nya, akan melakukan finalisasi kesepakatan hubungan bilateral dengan Pengadil Bidat. Tim dari akademisi juga akan kembali menekan Biro untuk membuka kembali keterlibatan mereka dalam Proyek Mercusuar," terang Profesor bercerita.
"Profesor. Aku ingin bertanya. Apakah Anda sebenarnya mengincar proyek itu?" celetuk Adela yang selama ini mengamati percakapanku dengan Profesor.
"Hmm ... benar juga. Aku baru sadar. Selama ini, kau selalu mengejar-ngejar mengenai investigasi atas Proyek Mercusuar. Namun, aku tidak pernah tahu, mengapa Anda terlihat seperti mengejar-ngejar proyek itu?" tambahku menanyakan.
Profesor tidak menjawab. Bangkitlah ia dari sandarannya di tembok, kemudian menuliskan dua patah kata di papan tulis. Kata yang terasa asing, seiring dengan 'disleksia mendadak' muncul kembali ke permukaan. Sempat kutangkap yang ditulis oleh Profesor, aku yakin itu berasal dari Bahasa Jerman.
"Uuuh ... maaf, disleksiaku kambuh." Aku menggeleng.
"Eehh ...." Profesor tampak semakin tertarik dengan kondisiku.
"Frische Blume ... uuh bunga segar?" Adela mengeja kata di papan tulis.
"Itu nama seseorang, Adela," ungkap Profesor Matsuri.
Kami berdua terkejut, seiring Profesor menyematkan foto seorang perempuan di atas tulisan 'Frische Blume' itu.
"Huh?"
"Siapa dia?" tanyaku penasaran.
"Kaupernah mendengar nama itu ketika menyelidiki Mercusuar di Bukit Tanah Tak Bertuan setahun lalu, Ilya?" Profesor malah menanyaiku balik.
Aku menggeleng. "Hmm ... sepertinya ya ... dan tidak. Aku lupa."
"Adela?" Profesor menelengkan pandangannya ke arah Adela. Adela pun menggeleng.
"Maaf, Profesor."
Profesor menghela napas, seraya melipat kedua tangannya. "Ini alasanku agar Biro memaksa membuka perkara Proyek Mercusuar yang batal direalisasikan."
"Batal direalisasikan? Kupikir Proyek Mercusuar berhasil terealisasi? Bukankah proyek itu berkaitan dengan Operasi Naga Hijau, seperti yang dirumorkan di internet?"
"Operasi Naga Hijau adalah test project daripada Proyek Mercusuar, Ilya. Proyek itu mangkrak sebelum paripurna. Alasannya adalah krisis moneter, tetapi kita tidak tahu yang sebenarnya. Tiga tahun lalu, orang ini melakukan pra-investigasi dan menghilang tanpa jejak." Profesor mengetuk-ngetuk jarinya ke foto Frische Blume.
"Uuh ... siapa sebenarnya Frische Blume ini, Profesor?"
Profesor terdiam tidak segera menjawab. Kedua matanya terpejam, kepalanya menengadah ke langit-langit laboratorium. Mendadak, suasana menjadi sedikit berat. Sesekali Profesor melengos, seolah masa lalu kembali menggelayutinya.
"Sahabatku." Sebuah jawaban singkat, tetapi terdengar sangat berat ketika diucapkan.
"Lalu, apakah dia sudah ditemukan?"
"Pertanyaannya bukan tentang dia lagi, Ilya."
Profesor kemudian berjalan kembali ke kursinya, seraya mengatakan pertanyaan demi pertanyaan.
"Apa yang sebenarnya dibangun oleh negara ini di Bukit Tanah Tak Bertuan belasan tahun silam? Kenapa Biro terlalu paranoid dengan proyek itu? Kenapa Biro berusaha menghilangkan segala jejak terkait dengan Proyek Mercusuar? Kami selalu memburu setiap pertanyaan terkait Proyek Mercusuar, tetapi selalu mengalami jalan buntu. Bahkan, tidak segan mereka melakukan intimidasi sebagai ajang pembungkaman."
Kini, Profesor Matsuri telah kembali di kursinya, menatapku dan Adela dengan aura yang begitu serius. Ia mengharapkan sebuah insight dari dua orang di depannya.
"Ilya Sore dan Adela Ratna, dua orang dari TGIPF yang selamat dari kerusuhan berdarah di Tanah Tak Bertuan setahun silam, tentu kautahu hal itu."
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top