5.2. Loka Winaya (Part-2)

Dari bangunan berwarna oranye yang menjulang milik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik itu, ratusan mahasiswa berlalu-lalang keluar masuk gedung. Pojok Fisip yang menjadi tempat istirahat—sekaligus terhubung dengan kantin—ramai dengan mahasiswa yang nongkrong. Gedung sekretariat Lembaga Semi Otonom pun juga ramai oleh mahasiswa dari berbagai organisasi.

Gazebo-gazebo di sebelah Utara kampus, penuh dengan kelompok-kelompok mahasiswa dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang kerja kelompok, nongkrong, menggelar diskusi dengan sarasehan, menyelenggarakan nonton bareng, main gim dengan membajak wifi gedung Teknik Mesin di seberang, bahkan ada yang pacaran tanpa pandang situasi. Beberapa mahasiswa tampak masih celingak-celinguk ragu, tatkala menyebrangi jalan di antara gedung-gedung Teknik Mesin. Aku berpikir, mungkin mereka adalah mahasiswa tahun pertama. Mereka takut diculik oleh senior-senior kurang kerjaan yang memendam dendam kesumat dengan Fisip.

Tempat parkir yang terhampar di Barat gedung pun penuh dengan motor dan mobil. Saking penuhnya, beberapa mobil pun terpaksa parkir di pinggir jalanan kampus. Semakin banyak BMW dan Lamborghini yang terparkir di dekat jalanan menuju Fakultas Ilmu Administrasi. Hal yang normal. Kontras dengan tunggangan mahasiswa Fisip yang didominasi oleh 'Supra Bapak'. Bahkan setelah kejadian yang menimpa Aku dan Adela kemarin malam, semua tampak normal. Tidak ada keanehan. Semua berjalan seperti hari-hari biasanya.

Ujian akhir semester akan tiba dua pekan dari sekarang, tetapi kampus tetap hidup oleh ingar-bingar mahasiswa dan segala kegiatan mereka. Sesuatu yang kadang-kadang tidak kusangka, karena kampus ramai dari biasanya. Gejolak politik yang tengah terjadi tahun ini membuat para mahasiswa akhirnya sadar, betapa pentingnya sebuah konsolidasi massa untuk melakukan aksi. Di kancah lokal misalnya, mahasiswa menuntut agar Biro Bawah Tanah direformasi. Dugaan korupsi, melanggar tupoksi pemerintahan, dan keterlibatan Biro dalam pelanggaran HAM di Tanah Tak Bertuan. Selain itu, stagnansi koalisi di parlemen, praktik oligarki di tubuh Pemerintahan Pusat, hingga munculnya semangat feodalisme di daerah-daerah, membuat masyarakat semakin jengah.

Ini mungkin adalah tahun terpanas dalam sejarah mahasiswa selama satu dekade ke belakang. Tidak akan sedahsyat 1998, tetapi mungkin akan menjadi titik perubahan arah gerak masa depan bangsa. Bahkan, ketika zaman di mana hantu adalah ilusi turun sebagai babak baru peradaban manusia, sejarah manusia tetap melaju pada jalurnya. Hanya saja, sedikit ada bumbu di setiap kehidupannya.

Di sepanjang perjalananku menuju gedung kampus, terpampang beberapa spanduk-spanduk yang ditulis dengan cat semprot. seperti berusaha untuk memantik sebuah gejolak perubahan di negeri ini. Tulisan-tulisan itu teralun dalam sebuah bait-bait amarah sebagai berikut:

ASTRAL BUKAN KOMODITAS, KORUPSI DI BIRO HARUS DIBERANTAS!

TANAH TAK BERTUAN DIJAJAH OLEH BANGSA SENDIRI!

STOP PENIPUAN BERKEDOK PENGUSIRAN SETAN, REFORMASI KEMENTERIAN AGAMA!

"Profesor benar, huh?" celetuk Adela.

"Semua pemain sudah mulai arah geraknya masing-masing. Permainan sudah dimulai, Del," sahutku.

"Apa yang terjadi selama seharian ini?"

"Kemungkinan besar, konsolidasi, Del. Beberapa rumor yang beredar di Kampung Mahasiswa, akan ada aksi besar dalam beberapa hari ini."

"Himaroki?"

"Mungkin. Ah—"

Mendadak, berkeliaranlah tulisan-tulisan di spanduk yang tadi kulewati. Huruf-huruf itu seperti berbaris sembari meloncat-loncat seperti melakukan protes. Aku pun segera mengetahui, Disleksia Spontan-ku terjadi lagi. Aku melirik Adela yang sedari tadi ekspresinya sudah seperti menahan kesal.

Tanpa sadar, ia berbisik, "Sang Kesatria pun mengumpulkan tentara dari seluruh penjuru negeri, bersatu untuk meruntuhkan rezim Raja Iblis ...."

"Adel ... kau tidak apa-apa?" Aku memecah lamunan Adela. Gelagapan, gadis itu kembali menggenggam kesadarannya.

"Ah! Eh—oh. Nggak—Nggak apa-apa! Hehe ...."

Adela tertawa masygul, membuatku berpikir yang tidak-tidak. Namun, belum sempat aku terbuai oleh pikiran yang berkelana, sosok Astral yang lewat di depanku tiba-tiba membuatku tersentak kaget. Sosok seperti perempuan dengan gaun putih lusuh dan terdapat bekas bercak darah di bagian bawah gaunnya. Wajahnya seperti wajah manusia umumnya, tetapi dirinya begitu pucat.

"K-Kaulihat itu, Del!?" Terbata-bata, aku melirik sosok astral yang memasuki gedung.

Adela mengangguk, "Ya, aku melihatnya. Sudah sering aku mendengar berbagai rumor terkait Gedung Fisip, tetapi baru kali ini aku melihatnya sendiri."

Begitu kami berdua memasuki lobi gedung perkuliahan, makin riuh-lah suasana. Baik manusia atau Astral. Berbagai macam sosok niskala tertangkap jelas oleh mataku. Kulihat Adela yang sedikit gemetar memandang ke arah sekitar. Bagiku, ini seperti dibukakan mata batin. Puluhan sosok 'gaib' muncul begitu saja, di tempat yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Beberapa rumor mulai tampak seperti nyata, satu per satu.

"Terlepas dari sosok Astral yang kutemui kemarin malam, tidak pernah kuduga kampus kita ternyata sarang Astral," gumamku.

"Biar kutebak, dari ekspresimu sepanjang kita masuk Gerbang Teknik, kamu sudah seperti melihat puluhan sosok Astral yang sudah berkeliaran seperti kampung sendiri. Mungkinkah ... kamu takut, Ilya?" Adela mengejar pandanganku, menyunggingkan senyum jahilnya di hadapanku. Berusahalah diriku untuk menghindari tatapannya, tetapi Adela terus berputar mengejar. Ia pun tertawa.

"Heh! Jangan tertawa!" protesku.

"Heh ... kita impas sekarang, tapi, aku penasaran, kenapa kamu bisa melihat Astral?"

"Mungkin saja karena kaugigit, sekarang mata batinku terbuka. Tentu saja kau bisa melihatnya. Terima kasih!" timpalku ngasal. Sementara itu, Adela terlihat senang. Rupa-rupanya ia menganggap kondisiku kini adalah 'pembalasan' atas kejahilanku sepanjang perjalanan ke kampus.

"Hehe ... sama-sama ...."

Begitulah tatkala kami sampai di gedung perkuliahan Fisip. Terlepas dari astral yang berkeliaran, seolah tidak mengusik keriuhan yang meramaikan lantai satu. Aku dan Adela pun menunggu di depan lift yang kini masih berada di lantai empat. Aku mengamati di sekitar. Seperti dua spektrum alam yang saling bersinggungan, tetapi saling tidak mengetahui. Walaupun manusia telah diberikan 'wahyu' bahwa hantu hanyalah ilusi, seperti ada batas-batas absolut yang tidak bisa diseberangi oleh kedua makhluk. Astral dan manusia, hidup saling berdampingan.

"Melihat kampus yang masih ramai sebelum minggu tenang, aku jadi teringat. Apakah hari ini kau ada perkuliahan?" celetukku membuka topik obrolan di depan lift.

"Hmm ... coba kuingat ... beberapa mata kuliah sudah selesai dan tinggal mengumpulkan tugas saja. Paling hanya datang untuk absen saja. Praktikum juga sudah selesai semua. Beberapa mungkin masih ada pertemuan, tetapi minggu ini kuputuskan kalau aku akan pakai jatah bolos," ujar Adela.

"Hmm ... untuk mahasiswi yang hectic sepertimu, kau cukup rajin untuk masuk di setiap kesempatan dan tidak titip absen. Luar biasa."

Adela berkacak pinggang, sembari tersenyum bangga. "Aku sudah mengkalkulasikan semuanya, dong! Ah, tapi nilaiku kemungkinan besar jeblok semua. UTS kemarin benar-benar tidak ada ampun."

"Parah?"

"Parah. Mungkin aku akan dapat rata-rata B atau C plus—"

Aku melongo. Dalam ketidakpercayaanku, aku menyungut, "Segitu parah?? Standar parahmu segitu, Del?? Gimana aku—"

"Jangan bohong!" sahut Adela.

Gadis itu terlihat sebal, seraya menunjuk wajahku.

"Kamu tinggal skripsian dan nilai C plusmu hanya ada dua biji. Lainnya B plus ke atas—"

Aku nyengir sembari menggaruk belakang kepalaku yang tidak gatal. "Mau bagaimana lagi—Whoa!"

Aku terkesiap kaget, ketika mendapati pintu lift yang terbuka dan hanya ada sosok perempuan, memakai pakaian kasual, tetapi kulitnya putih seperti cat tembok dan ekspresinya datar. Ia memakai kemeja warna merah marun, sepertinya. Perempuan itu berjalan melewatiku dan Adela. Ketika aku menoleh, ia sudah tidak ada.

Jantungku mencelus.

Tidak. Kemeja yang dikenakan sosok tadi adalah kemeja putih, tetapi telah terwarna merah bata sehabis terkena darah.

"Kurasa kini aku tahu bagaimana rasanya menjadi anak yang bisa lihat hantu." Buru-buru aku dan Adela memasuki lift.

"Ah, penampilannya tidak seperti yang di film-film. Mereka tampak ... sedikit normal," pinta Adela.

Aku menghela napas panjang.

"Tetap saja, melihat penampakan di siang bolong itu sesuatu. Kaulihat mbak-mbak astral yang barusan naik lift tadi?"

"Oh, hantu penunggu lift gedung B! Aku tahu rumornya, ternyata muka aslinya seperti itu. Rumornya, dia adalah hantu dari mahasiswi yang terjatuh dari lantai lima karena terdorong lift dan tergen—"

"Stop." Aku menukas Adela.

"Well, Ilya. Kita hidup di era ketika hantu tidak lagi jadi menyeramkan, tetapi jadi lebih menyebalkan."

"Huh ... mengesankan, Del. Mengesankan."

Lift berhenti sejenak di lantai tiga. Beberapa mahasiswa memasuki lift kami.

Karena hening yang bikin kikuk, aku pun mencoba memulai topik pembicaraan. Kujawil pundak Adela.

"Omong-omong, aku penasaan. Konsistensi jadwal perkuliahan dirimu yang selalu tidak pernah bolos. Siapa dosbing akademikmu, keren banget bisa mengatur jadwalmu yang super sibuk?"

Adela tersenyum, seraya berseloroh, "Pake nanya. Ibu kita tercintah!"

Tahu siapa yang dimaksud, aku memutar mata.

"Sudah kuduga."

"Aku sebenarnya anak bimbingan Pak Amir, tapi beliau pensiun tahun kemarin, jadi aku ditransfer ke Profesor Matsuri," lanjutnya bercerita, seiring dengan lift yang sudah berhenti di lantai enam. Begitu lift terbuka, telah menunggu rombongan mahasiswa yang hendak masuk lift. Kami pun keluar.

"Wah rame. Anak kuliah jam satu siang masih belum pada cabut semua sepertinya," gumamku.

Tiba-tiba saja seseorang memanggilku.

"Ilya!"

Aku menoleh ke arah sumber suara. Salah satu rekan sekelasku rupanya.

"Yo!" Aku mengangkat tanganku.

"Ke mana?"

"Huh? Anu ... bimbingan!"

"Oalah, Oke, duluan yak!"

Aku dan Adela bergegas menuju sebuah pintu. Kudapat melihat, di atas pintu itu sudah terpampang sebuah plang dengan tulisan : Laboratorium Pengolahan Data Sosial. Lalu, di bagian tanda kehadiran di samping pintu, sudah terpampang tabel plat nama yang nyaris kosong, kecuali sebuah nama yang masih terpasang.

Matsuri Saekiina.

Akhirnya, kami sampai di tujuan. Diriku mengembus nafas lega, tetapi kulirik Adela malah gemetar seperti belum sarapan.

"Kita sudah sampai ... kenapa?" tanyaku, memandang Adela heran.

"Ilya ... tiba-tiba saja aku merasa lemas."

Aku menepuk dahiku. "Wah, gawat."

"Ilya, boleh aku numpang dulu di kosanmu untuk sementara?" sahut Adela kemudian, di mana permintaannya yang absurd itu langsung mengejutkanku.

"Huh? Kenapa??"

Adela nyengir, sembari memandangku melas.

"Ehehe ... aku rasa ... aku takut ketemu Buk'e—"

Aku terperangah. Beringsut, kuraup wajahku.

"Adela Ratna sang Setengah Banaspati takut bertemu dengan seorang Profesor Matsuri Saekiina?? Kau bikin orang-orang yang menyerang kita tadi malam jadi butiran debu dan kau takut ketemu dengan mamak asuhmu sendiri??" Kulontarkan omelanku sejadi-jadinya.

"Ilya ... serem ... aku pengen pulang saja—" Adela merengek, tetapi aku tidak ingin tertipu lagi olehnya. Terakhir kali aku tertipu, dia sudah menyesap darahku sampai diriku pingsan.

"Kita sudah sampai sini, Del! Tanggung!"

Adela mencebik. "Ilya, kamu tidak tahu gimana Prof. Matsuri ngomel-ngomel, bahkan Astral pun takut—"

Di luar dugaan, pintu laboratorium terbuka. Sosok setinggi diriku, berambut pendek—pake banget—sedikit ikal, berkemeja flanel berwarna merah marun bermotif Scottish Plaid, dan bercelana jeans, telah berdiri di ambang pintu. Wajahnya melongo melihat kami.

"Oh—"

Yang dibicarakan pun muncul. Profesor Matsuri Saekiina.

"Ilya? Adel?"

Kami berdua saling tertegun satu sama lain, sebelum akhirnya Profesor mengisyaratkan dengan tangannya untuk menyuruh kami masuk laboratorium. Begitu pintu tertutup, Profesor Matsuri langsung memeluk Adela erat-erat. Aku yang melihat adegan itu, sudah mengandai-andaikan mereka seperti ibu yang dipertemukan dengan anaknya yang hilang.

"Adel, dari mana saja kau, Bengal! Aku mengkhawatirkanmu sedari kemarin! Kau tidak pernah membalas chat, ditelepon tidak diangkat!" Profesor mengomeli Adela seperti emak yang mengomeli anaknya. Adela hanya cengar-cengir saja, pula. Kami tidak mengharapkan ekspektasi seperti ini. Namun, baru kali ini aku melihat Profesor Matsuri begitu sentimental.

"Ilya, ke mana saja kalian kau? Kenapa aku sulit menghubungi kalian berdua? Apa yang terjadi?"

Seakan seperti disambar petir langit cerah tanpa awan, kami berdua langsung terhenyak, bergeming di tempat. Aku dan Adela saling melirik. Tanpa ba bi bu, tanpa basa-basi, tanpa acara sedih-sedih, Profesor Matsuri langsung melontarkan pertanyaan yang paling kami hindari.

"Uh ... eh ... A-nu—" Adela terbata-bata berusaha untuk mengeles. Namun, Profesor Matsuri bukanlah orang yang sabar dengan mereka yang memutar-mutar pembicaraan.

Aku pun mengatakannya. Tanpa tedeng aling-aling, tanpa ada kalimat yang berputar-putar.

"Kami berdua diserang oleh Agen-Agen Biro di tengah perjalanan pulang. Akibatnya, Adela kini berubah menjadi setengah Astral titisan Banaspati."

Profesor Matsuri melongo keheranan. Ia menatapku, seakan diriku omong coro sehabis mabuk sari tape ketan hitam.

"Katakan sekali lagi."

Tiga kata lugas, cepat, dan mengancam.

Aku menghela napas, sebelum mengulangi kembali penuturanku. "Kami diserang Agen Biro Bawah Tanah, kami hampir tamat, dan Adela kini berubah menjadi setengah Banaspati yang bisa mengeluarkan api dari tubuhnya—"

"Jangan bercanda, Ilya!" kata Profesor Matsuri dengan nada tinggi nan cepat.

Aku tahu pasti begini akhirnya. Sempat teringat dulu, kata-kata Profesor Matsuri, kala beliau menawariku informasi mengenai sesuatu yang mencurigakan terjadi di Tanah Tak Bertuan setahun lalu. Beliaulah yang membawaku untuk terjun dalam investigasi pertama.

Ilya Sore, Ketika kau terjun di Tanah Tak Bertuan, sangat mungkin kau akan berurusan dengan institusi yang mengatur 'perastralan', yakni Biro Bawah Tanah di bawah komando Kementerian Agama. Namun, kukatakan ini padamu, aku tidak percaya pada Astral.

Ya, beliau menolak segala hal yang berbau mistisisme. Seorang akademisi dan ilmuwan tulen.

Kukepalkan tanganku, berusaha untuk mempertahankan argumen. "Aku tau, ini kedengarannya bullshit, Prof, tapi, memang benar keadaannya begitu."

Profesor Matsuri menghela napas panjang, seraya meraup mukanya. Ekspresinya begitu keras, karena beliau pasti menolak ceritaku yang terkesan mengada-ngada. Apalagi, hal ini terkait dengan Adela, anak asuhnya.

"Dua statement pertama masih aku dapat terima, tetapi tidak untuk yang ketiga—"

"Maaf, Prof, tapi ... Ilya benar." Adela menyela pembicaraan ibu asuhnya, seraya menyalakan seberkas api yang keluar dari jari telunjuknya. Aku dan Profesor melihat itu, secara nyata, dengan mata kepala sendiri. Bahkan Adela menambah jumlah apinya.

Satu detik, dua detik, tiga detik telah berlalu dalam keheningan. Samar-samar, terdengar deru lembut CPU komputer laboratorium. Profesor Matsuri menatap Adela lamat-lamat.

Satu menit berlalu sudah, ketika aku memastikan bahwa Profesor Matsuri pingsan berdiri.

****


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top