5.1. Loka Winaya (Part-1)
18 Mei, 14.30
"Profesor Matsuri mungkin bisa membantu kita ...."
Sebuah ide mendadak terlintas di pikiranku. Sebuah nama muncul, menjadi opsi untuk menentukan bagaimana Aku dan Adela harus bertindak setelah ini. Hari telah berlalu begitu lama, senjakala mulai terlihat di angkasa. Semakin lama kami mengulur masa, semakin berisiko kita bertemu dengan hal-hal merepotkan lainnya.
"Profesor Matsuri? B-bagaimana?" Adela bingung ketika aku menyebut nama itu. Bingung karena bagaimana orang terdekatnya itu bisa membantunya keluar dari masalahnya.
"Lebih kepada ... kita infokan apa yang telah terjadi pada kita berdua pada Profesor," ujarku menjelaskan. Namun, gurat wajah bingung gadis itu membuatnya semakin berputar-putar pada pertanyaan demi pertanyaan tanpa ujung.
"Ilya, aku tahu ini terdengar sedikit konyol, tetapi kurasa permasalahan yang benar-benar di luar akal sehat manusia ini ... tidak bisa diselesaikan dengan logika manusia. Apakah nanti Profesor tidak akan panik?"
Aku menghela napas.
Kekhawatiran dan kebingungan Adela bukanlah tanpa alasan. Belum ada 24 jam berlalu, semenjak aku dan Adela berbenturan dengan fenomena astral. Segala permasalahan seperti telah menggelendoti kami berdua. Adela mengalami transformasi yang membuat dirinya seperti 'dikutuk' menjadi manusia setengah Banaspati. Diriku tiba-tiba mengalami disleksia fluktuatif bersamaan dengan suara-suara gaib mulai menginvasi pikiranku.
Orang biasa mungkin sudah jadi gila. Perlahan bisa terjadi pada kami berdua. Antara kami tenggelam dalam histeria skizofrenik atau Adela yang perlahan kehilangan sisi manusianya. Sebuah cara sederhana terlintas, dengan mencari orang lain yang paham mengenai 'Dunia Astral'. Namun, aku benar-benar kehilangan opsi. Mencari bantuan ke orang-orang Biro sama saja dengan cari celaka. Aku juga ragu apakah Pengadil Bidat—organisasi yang muncul sebagai Biro Bawah Tanah tandingan—bisa membantu.
Pengadil Bidat. Mendengar nama itu, seketika aku langsung dilempar oleh kepingan memori traumatik yang menyakitkan. Kata demi kata mendadak bermunculan untuk membuatku mati rasa secara emosional. Kuarungi kepingan trauma itu untuk mendapatkan sebuah cara.
Pengadil Bidat, Tanah Tak Bertuan, Tim Investigasi yang dibantai habis ... Profesor Matsuri.
Semua kembali ke Profesor Matsuri. Beliau adalah 'instigator', seorang behavioris tulen lulusan Belanda. Tidak percaya dengan hal-hal irasional. Mungkin, apa yang Aku dan Adela alami adalah sebuah irasionalitas. Namun, kami hidup di loka yang menautkan rasionalitas dan irasionalitas dalam satu spektrum yang sama. Irasonalitas, adalah hal di dunia ini yang belum ditemukan rasionalisasinya. Aku memiliki firasat kuat, bahwa Profesor mungkin sedikit banyak dapat membantu kedua anak didiknya. Terutama Adela.
Lepas dari loka kontempelatif, segera aku berujar, "Kita mengalami masalah yang bertautan dengan Astral, tetapi kita masih hidup di dunia yang dikonstruksi oleh rasionalisme. Apakah kaulupa, bahwa selama ini kita sudah dibantu oleh Profesor Matsuri?"
Adela tergeming dalam pertimbangan. Ekspresinya mengisyaratkan dirinya yang tengah bergulat dengan kebingungannya sendiri. Ia menggigit ujung kuku jempol tangan kanannya. Melihat dirinya masih dalam kebimbangan, aku pun meyakinkannya kembali.
"Yah, aku bisa memahamimu. Siapa yang tidak kenal beliau, ibunda dosen kita tercinta? Profesor memang bukanlah orang yang mengimani konsep Astral, tetapi ingatlah bahwa tanpa beliau, Investigasi ke Tanah Tak Bertuan tidak akan pernah terjadi."
Adela berhenti menggigit kukunya.
"Kenapa kau yakin Profesor bisa membantu?" Mengharap sebuah jawaban, ia menatapku. Aku mengeluarkan ponselku, kemudian menunjukan pesan percakapanku dengan Profesor Matsuri.
"Karena ini. Ketika kita berada di restoran ayam geprek kemarin malam, aku mendapat pesan dari Profesor langsung, untuk mengawasimu. Beliau bilang, Biro sudah mulai bergerak untuk menandai setiap gerakan subversif yang mengancam Biro Bawah Tanah."
Adela ternganga heran. Kuperhatikan gigi taringnya yang terlihat sedikit lebih panjang dari pada taring manusia normal.
"Setidaknya kita telah mengetahui, bahwa Biro-lah yang mengirim orang untuk menghabisi kita berdua kemarin malam." Aku memandang Adela serius.
Aku memejamkan mata, sembari menghela napas sejenak. Tidak kusangka, Aku bisa sampai pada kesimpulan ini.
"Kita mungkin sudah jadi buronan Biro," ujarku kemudian.
Adela kaget. "T-Tunggu, kita jadi buronan??"
"Adela, ketika mereka sadar kalau orang suruhan yang mereka terjunkan tidak ada kabar, kemungkinan besar misi telah gagal. Mereka akan berpikir kalau kita berdua selamat dan sedang kabur entah ke mana. Seantero Biro cabang Tanah Singasari akan segera berlomba memburu kita berdua. Kita adalah segelintir orang yang mampu selamat dari eksekusi Para Pemburu Biro."
Hening tercipta. Samar-samar dapat kudengar suara televisi dari ruang tengah. Aku melirik ke arah jam dinding, di mana waktu telah hampir menunjukkan pukul setengah tiga. Hari telah mengundang waktu sore dengan begitu cepat. Selama seharian, kita berkutat dengan kepanikan absurd, berdiam sembari memikirkan nasib, atau sesekali berdansa dengan sembilu. Stamina fisik dan mental kami sudah terkuras habis karena terus dibenturkan dengan hal-hal di luar nalar.
Hingga Adela akhirnya memecah keheningan.
"Kenapa harus mulai dari Profesor Matsuri?"
Aku mengangkat tangan kananku, dengan jari yang mengisyaratkan angka satu.
"Satu, aku ... ingin membicarakan beberapa hal."
"Dua, paling tidak beliau memiliki satu-dua orang koneksi yang bisa membantumu untuk kembali jadi manusia. Tiga ...."
Aku terdiam sejenak tatkala melihat Adela. Membayangkan betapa berat beban yang harus dia emban. Membayangkan betapa remuk hatinya setiap hari dihantam berbagai cobaan. Aku menghela napas panjang, sebelum aku melanjutkan kalimatku.
"Seorang ibu pasti tidak akan tinggal diam ketika anaknya dilanda badai masalah, meskipun perannya hanyalah sebagai ibu asuh. Pulanglah, maka kau akan mendapatkan segala solusi atas masalah kehidupan."
Adela bergeming, seakan pasrah saja mendengar rencanaku. Air matanya di ambang kejatuhan, ketika dia buru-buru mengelapnya dengan tangannya. Aku segera mengambil tas selempang dan membuka lemari untuk mencari jaket cadangan. Ketika aku melangkah, kusadari sesuatu yang aneh di kakiku.
Aku teringat bahwa Si Pendek kemarin menembak betisku, sekarang entah kenapa seolah tidak terjadi apa-apa. Aku menduga Adela telah melakukan sesuatu ketika diriku tidak sadarkan diri. Namun, tidak ingin membuang waktu untuk berpikir panjang tenang hal kecil yang aneh, aku pun bergegas.
"Ayo!" Aku menggamit tangan Adela, tetapi ia seperti menolak ragu dengan menahan dirinya.
Aku menoleh.
"Kenapa?"
"Tunggu, Ilya. Kaulupa kalau aku adalah Setengah Banaspati dan diriku tidak bisa berjalan di bawah sinar matahari tanpa ada pelindung apapun?"
Seperti petir menyambarku di sore hari cerah tanpa ada awan ini. Aku bahkan lupa sebuah hal fundamental seperti itu. Perlahan aku menurunkan tangan Adela, terdiam diri di ambang pintu, sembari memutar keras otakku.
"Oh ...."
****
Aku memikirkan cara, bagaimana Adela bisa mengakali 'hukum fundamental astral' yang mengikatnya.
Ada hukum fundamental yang masih terikat dengan Dunia Astral. Sebagaimana namanya, segala hal yang gaib, tidak dapat berkuasa tatkala kerajaan surya masih menyingsing di langit. Tidak ada hantu di siang bolong, kecuali hantu itu sudah begitu sepuh hingga dapat menantang sinar matahari. Seluruh Astral mendapat kekuatan puncaknya kala malam berkuasa. Hal ini tampaknya juga berlaku bagi Adela, sekalipun dirinya belum menyebrang garis 'Tapal Batas' secara resmi.
Selain dirinya yang tidak dapat memakan makanan manusia, dirinya juga terikat dengan 'hukum fundamental' terkait penampakan sebuah Astral. Dalam hal ini ... Banaspati. Seperti Banaspati—dan variannya—ia tidak boleh terkena sinar matahari. Dalam konteks Astral pada umumnya, sosok Banaspati yang berkeliaran di tengah siang bolong, hanya akan terbakar tanpa sisa dan tanpa ampun.
Namun, dalam konteks Adela, ia akan menguap. Seperti air yang perlahan menguap ketika dipanaskan di atas kompor. Seperti kubangan air di atas aspal yang lindap terpapar sinar matahari. Tubuhnya dengan cepat mengeluarkan uap dengan jumlah besar dalam waktu yang sangat cepat. Bahkan ketika sebagian kecil tubuhnya terpapar sinar matahari sekalipun, seperti ujung jari kelingking. Efeknya? Seperti Banaspati yang tamat riwayatnya dua kali karena dehidrasi akut kurang dari lima menit, tergantung seberapa panas hari itu, kemudian, eksistensi fisiknya bisa-bisa menghilang tanpa ada sisa.
Bahkan untuk sekadar eksperimen kecil-kecilan, lima detik adalah waktu yang paling menyiksa buat Adela, tanpa ada pelindung apapun. Ketika Adela mencoba untuk keluar ke jalanan di depan kos-kosan, tubuhnya langsung dikerubungi uap dengan volume yang begitu deras. Seperti gas alam yang menyembur ke permukaan, tubuhnya melepaskan uap air dengan konsentrasi yang cukup banyak. Beberapa orang yang lewat mengira Adela sedang berlatih sulap. Aku—yang melihat dengan mata kepalaku sendiri—hanya bisa ternganga keheranan.
"Uuh ... bagaimana rasanya?" tanyaku, tatkala Adela melangkah gontai dari kejamnya sinar mentari senja yang mengeroyok seluruh tubuhnya. Kontras dengan kengerian absolut yang kurasakan tadi malam, dirinya kini seperti bocil kematian yang mewek karena habis dikeroyok koloni lebah.
Terengah hebat, Adela pun berdesis, "... untuk sesaat, aku sempat bertemu ibuku."
"Ilya ... kau lihat kakiku, bukan?" Adela menunjuk kedua kakinya yang sudah gemetar heboh, seperti habis menaiki seratus ribu anak tangga menuju puncak langit.
Aku menggeleng-geleng, sembari menggelus-elus dagu. "Hmm ... sepertinya memang tidak tertolong."
Bagaimana caranya agar sosok banaspati bisa berjalan di siang hari?
Berbagai solusi alternatif berseliweran di kepalaku, menunggu untuk diujicobakan kepada Adela. Menyelimutinya dengan kain tebal yang tidak bisa tembus cahaya matahari, hanya akan membuatnya tampak seperti mahasiswa kena mental karena overdosis belajar untuk UAS. Aku berpikir untuk naik taksi online, yang mana itu akan jadi biaya lagi. Terlebih lagi, kos-kosanku berada di depan gang yang tidak ramah oleh kendaraan roda empat. Kalau pakai taksi, harus jalan agak jauh ke gang yang lebih besar, tiga blok dari gang depan kos-kosanku. Tentu saja harus memikirkan cara lagi untuk melindungi Adela agar tidak 'dikeroyok' sinar matahari senja.
"Uuh ... kaupunya koper besar, Ilya? Kurasa ... kaubisa membawaku dengan koper itu—"
"Kau ingin aku juga jadi buronan polisi? Kalau kaupakai cara itu, orang mengira aku adalah Penculik Berkoper yang tiga tahun lalu sempat menghebohkan seantero Tanah Singasari?? Yang bener aja!? Nggak!"
Pada akhirnya, aku pun memakai cara pragmatis. Cukup rasional untuk tidak terlalu merepotkanku dan Adela. Tidak membuat orang mengira Adela adalah Pasien RSJ Lawang yang kabur. Kupinjamkan pakaianku ke Adela untuk dikenakannya. Sementara Adela ganti pakaian, buru-buru aku ke apotek terdekat untuk membeli masker sebagai pelindung muka. Sepulang diriku dari apotek, aku sudah melihat Adela seperti anak mahasiswa pecinta alam yang mau berangkat naik gunung.
Kemeja flanel lengan panjang bermotif Windowpane berwarna biru tua, kemudian dirangkap lagi oleh jaket bomber berwarna army. Celana yang Adela kenakan adalah celana kargo-ku berbahan chinos warna khaki. Tangannya terbalut sarung tangan coklat bergaris kuning dua di bagian pergelangan, serta kepalanya mengenakan topi baseball dengan lambang BMW dengan warna dasar hitam. Bahkan, Adela terlihat seperti artis yang menolak bombastis, kala ia mengenakan kacamata hitam.
Adela pun mencoba rencana pragmatisku ini, dengan berjalan di jalanan gang. Ia masih menguap, walaupun tidak sederas tanpa pengaman. Aku menepuk keras dahiku.
Alamak, bagaimana ini?
Sebuah pencerahan mendadak datang, kala aku menemukan sebuah payung hitam besar tergantung di dinding lorong kos-kosan. Itu adalah payung milikku yang sering kugunakan kala musim hujan menyerang.
Aku pun mengambil payung hitam itu. Kubersihkan payung itu dari debu dan kubuka payungnya untuk mengecek apakah ada rangka yang rusak. Setelah memastikan semua aman, kuberikan payung hitam itu pada Adela.
"Payung hitam?" Adela menaikkan sebelah alisnya.
"Yah, tidak ada cara lain. Pakai pakaian berlapis pun, kamu masih menguap," timpalku.
"Apakah berhasil?"
Aku tersenyum yakin. "Payung ini bahkan bisa membuatmu kegelapan di siang bolong."
"Hah? Ilya, Kau bercanda—"
"Kalau tidak percaya, coba saja."
Sedikit terpaksa, Adela pun mengenakan payung hitam itu dan mencoba untuk berjalan beberapa langkah. Aku tersenyum lebar, tatkala melihat tidak ada uap yang keluar dari tubuh Adela. Payung itu bahkan sudah seperti tempat yang super teduh di bawahnya, di mana tidak ada satu berkas cahaya pun yang menembus payung itu. Mengetahui bahwa cara ini berhasil, aku dan Adela pun bersiap untuk berangkat ke kampus, ketika Adela menjadi ragu lagi.
"Kaubenar. Aku tidak merasa tubuhku menguap lagi, tapi ...." Adela tidak menyelesaikan kata-katanya.
"Tapi?"
"Kauyakin menyarankanku untuk memakai payung hitam, di sore hari, di bawah langit cerah dengan sinar matahari, dengan mengenakan pakaian seperti mau naik gunung seperti ini? Bukankah itu terlihat aneh, Ilya?" Aku bisa dengar nada protes Adela yang mulai meninggi.
Mendadak, aku kepikiran sebuah skema kejahilan. Sebuah pembalasan kecil.
Aku menyahut payung itu dari Adela, membuatnya kini terpapar oleh senjakala.
"Oke, yaudah kalau begitu, jangan salahkan kalau kau menguap—"
"Aaaaaaa, oke! Oke! Aku akan pakai!" Adela berteriak panik, tatkala tubuhnya mulai menguap hebat lagi.
Kami pun berjalan menuju kampus. Di sepanjang perjalanan, beberapa orang yang berpapasan dengan kami, menatap Adela dengan muka penuh keheranan. Mereka tidak melepaskan pandangan mereka, dari sosok bombastis yang berkeliaran di sepanjang Gang Kerto. Beberapa di antaranya bahkan menahan diri untuk tidak tertawa lepas.
Ketika kami berdua mendekati Gerbang Fakultas Teknik, satpam yang berjaga di pos pun tertawa melihat penampilan Adela. Berjalan di sampingnya, tidak bisa membuatku untuk tidak ikutan tertawa. Sementara itu, kulihat muka Adela sudah memerah seperti kepiting rebus. Kudengar dirinya yang menggerutu, seraya menyebut-nyebut namaku dengan dongkol.
"Ilya Sore .... Awas saja kau! Sampai di kampus, aku akan bakar dirimu—"
Aku merebut payung itu lagi dari tangan Adela. Refleks, ia pun berhenti dan langsung berjongkok, sembari melingkupi kepalanya dengan kedua tangannya.
Gadis itu berteriak panik. "Aaaaaaaaa ibuuuu!"
Aku pun memberikan payung itu lagi, seraya beringsut, "Ngeluh lagi?"
Adela langsung menyambar payung itu, sembari menatapku kesal.
"Nuh-uh. Tidak ada Astral yang mau berjalan-jalan di siang hari di tengah terik matahari. Itu adalah tindakan bodoh. Kalau mau bisa berjalan di siang hari, setidaknya kau harus hidup berabad-abad sampai rambutmu beruban seperti mbah-mbah penunggu Gunung Lawu."
"Ilya! Ini tidak lucu!" Adela berdecak sebal.
"Tahanlah untuk sementara, Del. Kalau kita tidak gerak nemu solusi atas Setengah Banaspati-mu, kamu akan hidup selamanya seperti badut gendut yang bawa payung hitam. Kau akan berkeliaran di siang bolong, di sepanjang Kertosentono—"
"Satu kampus pasti akan ramai-ramai mengantarku ke Lawang, Ilyaa!"
Ketika Sang Putri Separuh Banaspati meratapi kesusahan yang menimpa dirinya, aku yang di sampingnya pun tertawa. Diriku tidak sadar, bahwa karma akan berbalik padaku dengan begitu cepat setelah ini.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top