4. Rekoleksi Retro
17 Mei, 4 jam sebelum penyerangan, 18.15.
... Dunia memutuskan untuk menjadikanku sebagai antagonis selanjutnya. Selayaknya dunia membutuhkan palagan selanjutnya seusai umat manusia tersiksa oleh dua kali Perang Agung. Kuputuskan menerima takdirku menjadi antagonis selanjutnya di dunia yang telah melahirkanku. Agar dunia dalam cerita ini tetap berjalan seperti sedia kala. Maka, majulah, Anak-Anak Adam! Angkat senjatamu dan hadapi diriku di palagan selanjutnya!
"Ilya."
Kudengar suara Adela memanggil namaku.
Lawanlah aku, Sang Antagonis yang turun untuk melanjutkan cerita!
Akulah orang yang kaucari. Pria yang memulai segalanya! Pria yang memanggil Banaspati Kata untuk turun membawa pengadilan bagi negeri ini ...
Entah mengapa, diriku sudah terlempar ke alam sadar. Pikiranku pun mentas dari ruang-ruang pengandaian. Aku terbangun dari kontempelasi, menyadari bahwa diriku sudah berada di depan barisan buku yang tertata rapi di rak. Aku menoleh, melihat Adela yang melongo menatapku. Entah berapa lama aku tenggelam dalam arus cerita yang kubaca. Aku yang kikuk sendiri, hanya bisa menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal, membuat Adela terkekeh.
"Maaf, aku asyik sendiri—"
Adela menggeleng, lantas berucap, "Tidak apa, aku sudah terbiasa melihatmu berdiri sembari tenggelam dalam buku yang kamu baca. Entah mengapa, itu menjadikan hiburan tersendiri buatku."
Aku menaikkan sebelah alisku.
"Hiburan—"
"—Ah, oh. Lupakan." Buru-buru, Adela mengakhiri topik pembicaraan. Namun, dalam sejenak, ia sudah menyambung pembicaraan lagi. Ia sedikit menyembunyikan wajahnya dari pandanganku.
"Well, entah mengapa aku suka setiap kali kita berjalan-jalan di toko buku seperti saat ini. Melihatmu berdiri, sementara pikiranmu sudah berkelana dengan kalimat demi kalimat yang kaubaca, entah mengapa aku suka memandangmu kala itu."
"Hoo, kalau begitu sering-sering saja kita ke toko buku—Aduh!" Belum sempat diriku selesai berkelakar, sebuah pukulan mendarat di lenganku.
"Heh, bisa aja kamu." Adela menimpali, sembari menyembunyikan senyumnya.
"Omong-omong, kau menemukan buku yang menarik perhatianmu, Del?" Aku pun mengganti topik pembicaraan.
Adela menggeleng. "Meskipun aku telah menemukannya, aku tidak membeli hari ini."
"Kenapa?" tanyaku.
Adela menceblik, sepasang matanya memandangku melas seraya berseloroh, "Tekor, Pak! Gapunya wang."
"Huh? Aku bisa membelikannya untukmu—" Buru-buru aku mengambil dompet di saku celanaku.
"Aaaah! Gausah! Gausah! Jangan repot-repot—" Adela mengangkat kedua tangannya, mencegahku untuk menarik dompet, tetapi aku bersikeras untuk membelikan buku yang ia inginkan.
"Gapapa, Del. Anggap saja sebagai bentuk permohonan maaf—"
Adela menyetopku, "Oke, oke! Aku maafin, aku maafin! Tapi aku benar-benar tidak ada niatan untuk beli, hanya window shopping saja!"
Akhirnya, aku pun mengurungkan untuk mengeluarkan dompet. Kami berdua pun terjebak dalam situasi yang kikuk ini untuk beberapa saat. Namun, hari ini sepertinya Adel tampak seperti tidak ada beban, terlepas dengan apa yang dia hadapi selama beberapa hari terakhir. Aku berpikir bahwa Adela masih kaku denganku, setelah perdebatan dan pertentangan hebat kami berdua selama beberapa waktu belakangan ini.
"Haah ... Ilya. Tidak biasanya kau boros begini," komentar Adela.
"Boros? Kupikir aku tidak boros," dalihku.
Adela menggeleng, seraya menyambung komentarnya.
"Maksudku, dalam artian mengeluarkan uang tanpa pikir panjang. Sebuah hal yang tidak biasa bagi anak rantauan."
"Sekali-kali saja, sih. Lagipula, sudah kuperhitungkan uangku mau dibelanjakan apa saja," jawabku.
Adela memandangku, sembari mengangguk-anggukan kepalanya. "Hmm, sudah kuduga, skill penghematan tingkat dewa anak kos memang sesuatu sekali."
Mendadak, giliran diriku yang 'kepo'. Berkacak pinggang, aku pun menatap Adela heran, menanyainya seperti ibu-ibu mengomeli anaknya.
"Nah, sekarang ... bisa-bisanya tengah bulan sudah boncos?? Tidak biasanya—ah, jangan bilang untuk biaya 'riset' ...."
Adela tersenyum jahil, menatapku sembari menggaruk-garuk kepalanya.
"Haah ..., kaubisa gunakan anggaran dari LPM, tahu." Aku melipat kedua tanganku.
Adela menggelengkan kepala dengan tampang melas. "Aku hanya tidak ingin membebani anak-anak, Ilya. Aku tahu, uangku habis untuk ini-itu, demi TGIPF."
Tim Gabungan Independen Pencari Fakta.
Mendengar singkatan itu, pikiranku langsung melayang jauh untuk memaksaku memutar kembali memori yang tak mengenakkan itu. Kami berdua bertengkar, sampai kami berdua tidak lagi mau mengobrol atau menatap muka satu sama lain. Bertemu pun karena terpaksa. Niatanku untuk 'rujuk' dengannya hari ini pun, awalnya membuatku merasa kalau diriku terlalu egosektoral. Namun, setelah melihat respon Adela yang mengiyakan diriku, entah kenapa ini mungkin jadi preseden baik.
"Tim Gabungan Independen Pencari Fakta, huh? Tidak kusangka, kamu bisa menarik aktivis politik dan akademisi untuk ikuti aksi investigasimu. Dilihat-lihat, sepertinya usahamu mulai mendapat titik terang, Del," komentarku yang refleks menempuk-nepuk kepalanya. Adela diam saja, tetapi bisa kulihat wajahnya bersemu merah.
"Te-terima kasih sebelumnya, tapi untuk akademisi, aku lebih banyak dibantu oleh Profesor Matsuri. Pun, tim akademisi dan tim dari Asosiasi Jurnalis Independen memiliki ketua mereka sendiri-sendiri. Aku hanya mewakili dari tim mahasiswa dan pers mahasiswa. Uhh, sebenarnya, aku tidak tahu harus mulai dari mana, jika bukan karena kamu, Ilya," komentarnya, seraya memegangi tanganku.
Aku menarik pelan tanganku, seraya berdalih, "Ah, kau hanya melebih-lebihkan—"
"Aku tidak melebih-lebihkan!" sahut Adela.
"Aku tahu, sebenarnya kamu peduli banget denganku, Ilya. Bahkan sampai mengkhawatirkanku, jadi ... aku minta maaf." Gadis itu pun membungkukkan badannya dengan takzim di hadapanku. Hal itu membuatku jadi kikuk sendiri.
"Lho? Nggak, maksudku, eh—gimana ya—"
Oke. Kini aku merasa bersalah melihatnya terbebani begini. Namun, di sisi lain, kerap kali diriku dibayang-bayangi kekhawatiran masa lalu yang menerorku. Apa yang Adela kerjakan sekarang, memiliki risiko yang sangat tinggi. Sebuah pemantik seperti yang dilakukan oleh Adela kemarin, akan membuat arah gerak dari mereka yang terlibat menjadi berubah.
Tanah Tak Bertuan, kekejian yang terjadi setahun lalu, mereka yang terlibat dalam penderitaan rakyat Tanah Tak Bertuan selama puluhan tahun lamanya. Sebuah perubahan arah gerak bangsa dan sebuah rahasia yang tersingkap. Mereka yang melakukan dosa di masa lalu, berusaha menutup-nutupinya.
Aku pun menunduk takzim menghadap gadis itu, membuatnya terkejut dengan perbuatanku.
"Aku juga minta maaf. Mungkin, aku terlalu berlebihan sampai membuatmu sakit hati."
Adela terdiam. Kami saling memandang, seiring suasana di sekitar kami menjadi semakin berat. Pusat perbelanjaan hari ini ramai, tetapi ketenangan di pojok toko buku ini membuat sebuah ketidaknyamanan tersendiri. Aku jadi masygul, tidak tahu ingin berkata apa setelah ini. Kami sama-sama mengakui egosektoral kami masing-masing, tetapi setelah itu, apa? Apakah aku dan Adela harus melangkah dalam arah gerak yang paralel? Apakah kita akan saling berbelok untuk saling menjauh?
Semua rasa yang mengganjal ini akhirnya memutuskanku untuk mengutarakan sebuah ajakan pada Adela. Sebuah ajakan kecil, untuk mengawali sebuah rekonsiliasi.
"Bagaimana kalau kita cari makan?"
****
Tanah Singasari seperti membentuk peradaban di dalam peradaban mereka sendiri. Di sebuah Loka Winata, di mana para pemuda dan pemudi dari penjuru negeri, melakukan penjelajahan atas pencarian ilmu pengetahuan. Tiap-tiap daerah yang memiliki banyak universitas besar, pasti membentuk sebuah 'peradaban' baru di dalam 'Tanah-Tanah' yang telah memiliki legitimasi atas kedaulatan daerah mereka masing-masing. Menciptakan apa yang didefinisikan sebagai 'kawah candradimuka'. Seperti masa lalu, Tanah Singasari kembali menjadi mercusuar, bandar, atau mandala daripada mereka yang ingin menuntut ilmu.
Tiga tahun aku merantau ke Tanah ini untuk menimba ilmu pengetahuan, membuatku menaruh sentimen dan mengikatku dalam bentuk nostalgia. Di Tanah Singasari, aku menemukan arah gerakku, menemukan bagaimana hidup berjalan, serta menemukan bagaimana hatiku tertaut pada romansa dengan seorang gadis bernama Adela Ratna.
'Peradaban', di mana itu terdefinisikan, membentuk sebuah kultur-kultur di mana 'loka winata' menciptakan sebuah pusat peradaban baru suatu daerah. Dari para mahasiswa yang menimba ilmu, membutuhkan gubuk kecil untuk tinggal sementara. Para pedagang, yang menyediakan kebutuhan bagi para mahasiswa. Para penjaja kuliner, yang menyediakan nutrisi, 'penyaman suasana hati dan perut' bagi mereka yang tengah berjuang menggali ilmu di gunung besar ilmu pengetahuan. Dinoyo yang berada di Utara, Ketawanggede yang menjadi 'mandala', dan Sumbersari di Selatan. Tiga daerah itu menciptakan sebuah pusat peradaban baru bernama 'Kampung Mahasiswa'.
Salah satu yang dibawa dari Kampung Mahasiswa itu adalah kuliner. Berbagai macam makanan ditawarkan oleh para pengelana ilmu, untuk mendekatkan diri mereka pada masakan rumah. Mulai dari warung makan yang menjajakan berbagai masakan rumahan, hingga kios yang menawarkan jenis kuliner tertentu. Dari warung tegal hingga restoran, dari makan siang hingga jajanan.
Di sinilah diriku, berada di sebuah restoran rumahan yang menjual ayam geprek di pinggiran jalan utama MT Haryono. Kenapa ayam geprek? Yah, gadis yang kini duduk di hadapanku menyukainya.
Adela menyuapkan sendoknya ke mulutnya. Ia memejamkan mata dengan erat, mengernyit dengan wajah senang, menahan kegembiraan dalam suaranya yang tergumam dalam dirinya. Seperti ia membuang segala beban berat dan tekanan hidup dari jauh-jauh hari lamanya. Seakan dunia berevolusi pada dirinya, membuatku menaruh pandangan pada dirinya. Seakan ia mengundang perhatianku untuk mengunjungi pusat perhatian padanya.
"Ada apa?"
Lamunanku terpecah, Adela memergokiku menatapnya.
Tersenyum lantas menggelenglah diriku. "Ah, tidak ada. Aku hanya suka melihatmu menikmati makanan."
"Kenapa?"
Aku menghela napas "Kau benar-benar menanyakan segala hal ...."
"Aku hanya penasaran saja. Selama ini, ketika aku melihatmu makan. Aku selalu mendapati dirimu, alih-alih mengomentari rasa, tekstur, atau tampilan masakan, kau malah bermonolog analogi masakan dengan cerita fiksi. Hal itu terjadi tiap kali kaumakan sesuatu," sambungku kemudian, melempar sebuah topik kepada Adela.
"Oh, 'hi'hu, 'Ehi'a'haan—"
"Telan dulu, Del!"
Adela buru-buru menelan makanannya, kemudian menggelontornya dengan sebuah tegukan air putih. Ia meletakkan sendok dan garpunya, untuk kemudian ia pun mulai bercerita.
"Kebiasaan, sih. Aku kebiasaan makan dengan lambat, sehingga terkadang teman-temanku jengah sendiri. Namun, kenapa harus cepat-cepat, kalau bisa dinikmati dengan santai. Waktu aku kecil, ibu dan bapak selalu makan lebih cepat sehingga aku sering mendengar ibu atau bapak cerita banyak hal. Pekerjaan, terkadang mendiskusikan tentang permasalahan masyarakat, atau mengomentari buku yang barusan ibu atau ayah baca."
"Huh, lalu hubungannya?" sergahku.
"Persepsiku dengan makanan jadi berubah. Aku jadi dapat melihat, bahwa setiap masakan memiliki banyak cerita di balik pembuatannya. Hal itu beresonansi dengan emosiku sewaktu memakan makanan."
"Heh ... bisa begitu rupanya ...." Aku manggut-manggut seperti baru saja mendapatkan sebuah pengetahuan 'antik' mengenai 'kritik' kuliner yang filosofis.
"Ketika orang memakan masakan yang enak, ia pasti mengeluarkan segala cerita. Senang atau sedih. Gembira atau marah," lanjut Adela.
"Huh, seperti sehabis makan bareng di warung makan, kemudian berlanjut dengan cerita nabi-nabi," sahutku. Entah kenapa, aku berpikir yang kukatakan adalah omong coro asal jeplak. Bodoh sekali diriku ini.
"Uuh ... ya. Kurang lebih seperti itu."
Aku pun kemudian menunjuk sepiring ayam geprek di depanku yang sudah kumakan setengah. "Lalu, bagaimana rasanya ayam geprek ini? Anak-anak sering bilang kalau di sini ayam gepreknya enak, tapi aku sendiri belum pernah mencobanya sampai sekarang."
"Ilya, kautahu kenapa orang membuat ayam geprek?" Adela pun tersenyum misterius, menanyaiku balik.
Aku menggeleng. "Tidak, kenapa?"
"Ketika kamu makan ayam geprek, kamu akan merasakan bagaimana seseorang mencurahkan segala emosi yang ia pendam selama ini, terutama kemarahan. Oleh karena itu, ayam geprek biasanya selalu dipadukan dengan sambal yang pedas, untuk merasakan bagaimana emosimu dipanaskan."
Aku terpana, terkesima, dan terdiam. Mulutku melongo seakan telah mendengar sebuah hal yang begitu absurd. Seperti diriku yang melayang di angkasa luar penuh bintang, membayangkan betapa luasnya alam semesta. Namun, aku segera menguasai diriku. Kupandang Adela dengan serius.
"Kau bercanda?" timpalku.
Dengan datarnya, Adela berkata, "Uuh ... iya. Itu cuma cerita asal jeplak, Sorry."
Namun, buru-buru ia melanjutkan ceritanya.
"Ah, tapi, ketika aku makan ayam geprek, seperti aku sedang membaca sebuah cerita epik di mana sekelompok petualang tengah berhadapan dengan naga yang mampu menyemburkan api!"
"Hoo, kisah fantasi!" sahutku.
"Kelompok petualang itu terdesak dan bolak-balik hampir jadi santapan naga, sampai sang tokoh utama meloncat setinggi mungkin, mengayunkan gadanya, lalu menghantamkannya tepat di kepala naga itu dengan kekuatannya!" Adela memvisualisasikan ceritanya dengan kedua tangannya.
Aku melirik ke arah sekitar, memastikan pengunjung warung makan yang lain tidak kagok ketika curi dengar pembicaraan kami berdua. Orang pasti sudah mengira kami berdua sedang membahas sebuah novel atau film.
"Wow ...." Aku melongo dengan penuh kesima.
Lantas, aku melempar tanya. "Lalu, gimana kalau kau sedang makan ayam geprek, tetapi lagi sedih?"
Adela mulai lanjut bercerita. Ekspresinya berubah jadi melas. "Hmm ... rasanya akan beda. Seperti merasakan seorang gadis yang patah hati karena ditinggal kekasihnya yang ternyata selingkuh dengan teman baiknya sendiri ...."
"Hmm ... bisa jadi drama roman gitu—"
Entah kenapa, Adela menatapku sengit.
"Kenapa kau melihatku seperti itu!?"
Adela lanjut bercerita, dengan sebuah pelintiran yang tidak bisa diprediksi.
".... kemudian, sebuah suara berbisik di balik keheningan yang menghantuinya. Suara itu berkata .... sepertinya ... membakar pria berengesek itu bersama pasangannya ketika mereka sedang bercumbu di rumah pria berengsek—"
Seketika aku mengangkat kedua tangan di hadapan Adela.
"Oke, stop," tukasku. Adela masih memandangku sengit. Mukanya kecut. Seolah dia yang ingin menumpahkan segala emosi yang dirinya pendam. Entah apa maksudnya, tetapi sangat mungkin dirinya masih kesal denganku.
"Aku serius," ujarnya datar, seraya melanjutkan makan malamnya. Namun, baru ketika dirinya mengangkat sendoknya, ia tertawa.
Dengan sedikit berbisik jahil, ia berkata, "Kaget, ya?"
"Untuk sejenak, aku berpikir kau ingin menyedot darahku, kemudian membakarku hingga jadi kering," timpalku, sembari menyeruput kopi yang tadi telah kupesan.
Kami berdua pun tertawa.
****
Adela baru saja menuntaskan santapan makan malamnya, ketika diriku menyebut namanya.
"Adel."
"Hmm?" Adel menanggapi sembari meneguk tandas segelas air putih.
"Kamu serius ingin melanjutkannya? Reinvestigasi dugaan pelanggaran HAM di Tanah Tak Bertuan?" Suaraku seperti sedikit berat ketika menanyakannya. Was-was apakah ini akan jadi rekonsiliasi pembicaraan yang berhasil atau tidak.
Adela mendehem, sebelum menjawab, "Peluru sudah ditembakkan, pertempuran sudah dimulai, Ilya. Tidak ada kata untuk mundur. Semua mahasiswa menaruh ekspektasi padaku."
"Baiklah, jika itu keinginanmu. Namun, aku akan tetap menjagamu dari kejauhan." Kulipat kedua tanganku dalam sedekap, lantas menatap Adela dengan serius.
Adela mengibaskan tangannya. "Tidak perlu, khawatir, Ilya—"
Aku menukas, "Kita berhadapan dengan sebuah institusi negara yang bekerja di balik bayang gelap peradaban bangsa. Aku tidak ingin kau berakhir sepertiku, bahkan lebih buruk daripada itu. Apa yang kulakukan telah membawa preseden buruk, untuk setiap usaha seseorang yang ingin mengungkap lagi kebenaran di balik apa yang telah terjadi di Tanah Tak Bertuan."
Aku seperti membuka babak adegan baru dalam opera. Requirem seperti saling bersahutan mengiringi suasana hatiku. Aku pun mulai bertutur alegori.
"Negara ini telah dijalankan oleh mereka yang hanya ongkang-ongkang, berkuasa dari atas menara emas. Sementara rakyat ini harus berjibaku untuk mendapatkan pekerjaan layak. Di kompleks pertambangan yang mengirim buruhnya, untuk berdansa dengan maut setiap hari."
Adela terdiam. Ia menatapku dengan melas, seperti baru saja menginjakkan kaki di panggung drama.
"Ilya ...."
Gadis itu memanggil namaku, tetapi diriku masih dikaluti oleh alegori yang memburu.
"Di manakah wastu-wastu yang diimpikan oleh mereka yang terhina itu sekarang, dengan taman bunga, kebun buah, dan hidup yang tenteram? Kita hidup di loka yang penuh dengan tipu daya para penguasa, di mana mimpi tidak eksis dan kita terjatuh dalam jurang ironis."
Sejenak, aku melihat perubahan ekspresi Adela. Pandangan yang kuat dan tajam. Mengernyitkan dahi yang menyimpan sebuah amarah, tetapi seperti kalut ikut merasa sedih. Kedua tangannya yang berada di atas meja terkepal dengan erat. Gadis itu memukul-mukul pelan meja itu, tetapi tidak sampai menggelegar ke seluruh permukaan.
"Mereka membuatmu menjadi seperti mercusuar yang kehilangan cahayanya, Ilya ...," ujar Adela sembari tersenyum pahit.
Pada akhirnya, seorang pahlawan pun menjadi martir, untuk kemudian eposnya lindap ditelan kekejian manuisa itu sendiri.
Aku membuka tas selempangku. Kukeluarkan sebuah buku catatan dengan sampul yang sudah lusuh. Telah terselip lembar demi lembar kertas tambahan di dalamnya. Bahkan buku catatan itu tampak lebih tebal daripada ukuran aslinya, sehingga berbentuk sedikit menggelembung. Kusodorkan buku catatan itu di depan Adela.
"Huh? Apa ini ...?" tanyanya bingung.
"Aku menyimpan seluruh catatan yang kutulis selama diriku menginvestigasi Kerusuhan Tanah Tak Bertuan. Seluruh kejadian, seluruh penemuan, seluruh kebenaran. Semuanya," ujarku.
Adela dengan gemetar menyentuh buku catatan itu. "Ini ... Laporan Kekejian Tanah Tak Bertuan yang asli??"
"Bisa dibilang, itu adalah detail dari Laporan itu sendiri," komentarku.
"Kupasrahkan kepadamu. Aku mungkin sudah tidak bisa untuk kembali ke ranah itu, tapi kaubisa," lanjutku kemudian.
Mata Adela berbinar tatkala menerima buku catatan itu. Mulutnya tergetar tiada dapat berkata-kata. Dalam wajahnya, terlukis sebuah kegembiraan. Seperti dirinya tiba-tiba kejatuhan rezeki nomplok.
Aku berpikir, mungkin sebaiknya Adela yang melanjutkannya. Ia mendapatkan support dari banyak pihak. Ia diantar oleh ekspektasi dan harapan dari rekan-rekan mahasiswa. Beberapa dosen dan akademisi juga ikut tergerak, kala Adela memutuskan untuk memulai kembali sebuah 'petualangan yang berbahaya'.
Mungkin, dengan inilah aku dapat memberikan dukungan pada Adela. Sekaligus menebus sebuah permohonan maaf.
"Bang Ilya! Terima kasih! Terima kasih banyak! Aku pasti akan menuntaskannya!" Adela berujar dengan mantap, menatapku tanpa beban, tanpa rasa benci lagi, serta penuh dengan optimisme. Sudah lama aku tidak mendengar Adela memanggilku penuh gembira dengan sebutan itu.
Dalam gamang, aku berujar, "Adela, berhati-hatilah."
Ponselku bergetar. Aku nyalakan layar ponselku. Sebuah pesan obrolan dari seseorang yang sangat kukenal.
Pesan dari: Profesor Matsuri.
Ilya, tetap awasi Adel. Setelah dia membuat satu Biro kebakaran jenggot karena pertanyaannya di Kuliah Umum kemarin, dia pasti jadi salah satu target utama. Dari gelagat yang terlihat secara samar, Biro sudah mulai bergerak, bahkan sejak Pengadil Bidat mengumumkan diri mereka ke publik. Berhati-hatilah pada setiap ke mana pun kalian melangkah. Mereka adalah institusi yang bekerja di sudut tergelap negara ini.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top