3. Mukjizat, Aklamasi Tuhan
Dunia di mana niskala adalah ilusi manusia, Tuhan tetap menurunkan mukjizatnya dalam bentuk yang tidak pernah kita duga. Hawa dingin artifisial yang tercipta dari paradigma astral, mendadak lindap seketika. Rasanya seperti malam-malam biasanya. Namun, perlahan udara dingin kembali menyeruak. Hanya saja, yang kurasakan begitu beda dari dingin sebelumnya. Seperti kau merasakan panas dan dingin di saat yang bersamaan. Angin malam mendadak mogok untuk berembus.
Kupandang angkasa, di mana langit hitam gelap, mendadak perlahan berubah warna menjadi nila, dengan bintang yang berebut untuk tampil di panggung kerajaan malam. Purnama menampakkan wujudnya yang berubah warna menjadi merah darah, menyinari Tanah Singasari dalam sinar merahnya. Seakan menunjukan pertanda malapetaka turun di Tanah Singasari. Kurasakan belenggu di tubuhku yang melonggar, tatkala astral-astral yang mencengkeramku seperti dilanda kepanikan.
Bukan hanya aku dan astral-astral itu yang merasakan perubahan drastis. Si Pendek, Si Jangkung, dan Si Bongsor, yang beberapa detik lalu tampak gembira karena segera memparipurnakan kejahatan mereka, kini mereka tercengang melihat panggung malam telah berganti adegan. Gurat wajah mereka terlihat seperti diguyur oleh kecemasan dan ketakutan yang mulai menginvasi relung hati mereka. Si Pendek tolah-toleh melihat ke arah sekitar yang terasa aneh. Si Jangkung melihat dengan cemas, astral yang digunakannya untuk menyiksaku kini seperti kelonjotan dalam histeria. Si Bongsor terlihat menggigil, sembari terpana menyaksikan pemandangan tidak biasa di langit Tanah Singasari.
Malam itu, kusaksikan turunnya Dosa Negara Ini.
Si Pendek menjatuhkan pistolnya, seraya dirinya yang membungkuk sembari memegangi dadanya. Ia terbatuk-batuk, lantas sesuatu membuatnya tersedak. Si Pendek mengerang kesakitan, membuat kedua rekannya yang lain seperti melihat terror. Dari lubang topeng yang menutupi mulutnya, mengalir cairan berwarna merah pekat kehitaman.
Dalam hening aku terkejut, tatkala melihat tubuh Adela yang tiba-tiba bangkit dan tangannya seperti otomatis mendarat di leher Si Pendek. Telapaknya mencengkeram leher Si Pendek dengan keras. Tidak sempat Si Pendek menghindar dari sebuah gerakan yang hampir seketika terjadi itu. Seperti Adela berpindah posisi dalam satu kedipan mata. Si Pendek mengerang seperti berusaha minta tolong, tetapi lehernya dalam keadaan tercekik dan ia tersedak oleh darahnya sendiri. Topeng yang ia kenakan pun pecah seketika, menampilkan wajah tipikal bapak-bapak di usia empat puluh tahunan. Dari mulutnya, mengalir perlahan darah yang begitu deras seperti air terjun. Belum sempat aku mencerna horor di depan mataku, mata Si Pendek keluar air mata, untuk kemudian darah mengiringinya.
"Ap-apa yang terjadi!!?" Ke-kenapa dia bisa tiba-tiba bangun sendiri!! Boss menembaknya!!" Si Bongsor menuding-nuding Adela yang kini tengah mencekik Si Pendek. Dari suaranya, ia seperti dikhianati oleh pandangannya sendiri.
"Ini ... ini, ini sihir! Ilmu hitam! Ilya Soreee!! Apa yang telah kauperbuat!!" Si Jangkung, suaranya meraung-raung berusaha marah, tetapi nadanya bergetar seperti ketakutan melihat monster.
Aku tidak menghiraukan keduanya. Pandanganku terpaku pada Adela yang kini telah bangkit, mencengkram leher penembaknya, seperti ingin menumpahkan dendamnya. Di bawah langit malam nila bertabur bintang, di bawah purnama merah darah yang menyinari Tanah Singasari melalui kengerian merah darah.
Kengerian demi kengerian bertambah sedikit demi sedikit. Seperti bulu roma yang dicabut satu per satu dengan paksa. Badanku tidak kuasa menahan sebuah kengerian absolut, sehingga dalam posisi terduduk, tubuhku menggigil dengan otomatis. Dunia ini penuh dengan ilusi, bahkan segala hal yang gaib sekalipun. Namun, apakah ilusi atau kenyataan yang sedang kulihat kini, aku tidak dapat mengetahuinya lagi. Semua ilusi menjadi nyata dalam satu kedipan mata.
Horor masih belum selesai tampil, kini lapis demi lapis kengerian menyelimutiku.
Darah Si Pendek, tergenang tepat di bawah kakinya, kini seperti mengalir pelan merayap ke arah Adela. Seolah mengkhianati hukum fluida, darah itu hidup, merayap menuju mulut Adela. Gadis itu seperti menyesapnya seperti menikmati jus tomat. Teriakan Si Pendek perlahan lindap menjadi kebisuan, seolah-olah ia terbungkam oleh kekuatan mistis. Kepalanya menengadah ke atas langit. Lalu, seperti air mancur yang mengeluarkan sirup stroberi, mulut Si Pendek menyemburkan lebih banyak cairan merah kehitaman yang begitu pekat tiada henti. Tubuh pendosa itu perlahan-lahan mengurus, seluruh kulitnya dengan cepat mengeriput, membuatnya seperti mumi yang telah kering kerontang.
Adela pun melepaskan cengkramannya dari leher Si Pendek. Tubuh pendosa itu kini melayang-layang di udara, seperti kertas yang diterbangkan angin. Jubah dan seluruh pakaiannya terjatuh di tanah. Tubuh Si Pendek yang sekarang telah menjadi lembaran kulit kering—secara literal—tergeletak layu di atas aspal. Seiring dengan kejadian mengerikan itu, sebuah nyala api tiba-tiba menyambar Adela, kemudian membentuk seperti sebuah cincin yang mengelilingi tubuh Adela. Di sekitar tubuhnya muncul seperti kunang-kunang yang menyala cerah, secerah lampu paling terang di tengah kegelapan absolut.
Tidak, bukan kunang-kunang. Lebih seperti api-api kecil yang membentuk seperti kupu-kupu, berputar-putar mengelilingi Adela.
Aku seperti melihat sebuah kemustahilan, termanifestasi dalam spektrum rasional yang pernah diketahui umat manusia.
Apa yang kulihat? Mukjizat? Azab? Kutukan? Pengadilan?
Kini, Adela—atau sosok yang tengah memakai tubuh Adela—menatap ke arah Si Jangkung dan Si Bongsor. Kedua pria itu terlihat bergemetar hebat. Bahkan Si Jangkung sudah bersiap ancang-ancang untuk berlari, tetapi kakinya seperti dipaku mencancap di atas tanah. Adela mengangkat tangannya. Seketika sebuah api yang berbentuk seperti bilah pedang, muncul dari genggamannya.
Adela mengebaskan 'pedang berapi itu' membuat tiga sosok astral suruhan kini sedang menari histeris, seketika terbakar oleh api dari pedang berapi yang tercipta dari genggaman Adela. Astral itu musnah tanpa sempat melepaskan jeritan, tanpa sisa, tanpa jejak, perlahan terdisintegrasi menjadi kupu-kupu api yang terbang ke langit malam.
Mukjizat dan azab adalah aklamasi Tuhan. Tiada yang bisa mencegah-Nya. Tiada yang dapat menandingi kuasa-Nya.
Adela menghunus pedangnya ke arah Si Jangkung dan Si Bongsor.
Langit malam menemukan manusia kedua yang akan diadili selanjutnya.
****
"Sesat! Sesaat! Ilya Sore, apa yang kaulakukan, keparat!?"
Si Jangkung, dalam nada suara yang mengatakan bahwa ia seolah baru saja ditabrak oleh kejadian yang diakibatkan oleh entitas yang tidak dapat dinalar logika. Ia menumpahkan kemarahannya kepadaku, menganggapku telah melahirkan sesuatu yang mempecundangi akal manusia.
Ya, setelah kengerian absolut yang terjadi pada Si Pendek, malam itu mendadak menjadi malam penuh terror di bawah sinaran rembulan merah darah.
"Penyihir! Kau inkarnasi penyihir!"
Si Bongsor, berteriak-teriak ketakutan sembari menatap Adela, menuding-nudingnya dengan jari yang gemetar. Aku melihat kaki Si Bongsor yang sudah bergidik hebat. Ia bahkan sampai terkencing-kencing.
"Ilya Sore! Kau telah melakukan praktik Ilmu Hitam! Bersiaplah! Biro akan memburumu, mengeksekusimu, memusnahkanmu dari peradaban manusia!"
Si Jangkung berkelakar dalam selimut ketakutan. Bahkan ancamannya saja terdengar tidak masuk akal di telingaku. Tiga orang Biro—mungkin saja preman atau residivis yang disewa untuk melakukan tindakan kotor—menyerangku dan Adela dalam suatu kesempatan kala malam menggantung di atas Tanah Singasari. Berulangkali mereka menjadikanku sebagai sosok jahat yang harus dimusnahkan, karena mengganggu kuasa Biro.
Dan di sinilah aku, beralaskan aspal dingin Tanah Singasari. Menyaksikan sebuah absurditas paling absurd, termanifestasi menjadi kenyataan yang tak terdefinisikan indera manusia. Beberapa menit lalu menyangka bahwa malam ini adalah akhir dari hidupku, untuk kemudian menyaksikan bagaimana semesta bekerja untuk menegakkan set pengadilan mereka.
Aku hanya terpana melihat bagaimana api-api itu berdansa mengelilingi Adela. Menyaksikan bagaimana ketakutan manusia bekerja.
Ia layaknya peri-peri terbang mengelilingi magistrat yang turun dari langit untuk menegakkan pengadilan semesta.
Aku berkedip, hanya untuk melihat kembali Adela sudah berada tepat di depan Si Jangkung. Jantungku mencelus.
Gadis itu kini mencengkeram kepala Si Jangkung yang telah kehilangan suaranya. Perlahan, dari ujung rambut kemudian melebar ke ujung kaki, tubuh Si Jangkung terbakar oleh api yang muncul dari ubun-ubunnya. Kurang dari setengah menit, tubuh Si Jangkung telah terlalap oleh api. Seluruh tubuh pendosa itu seperti tergulung oleh api yang disiram bensin.
Tidak terdengar jeritan Si Jangkung, hanya mulut yang mengangga dengan tubuh yang kelojotan. Normalnya, ketika orang terbakar, secara refleks mereka akan menjatuhkan diri mereka, untuk kemudian mengguling-gulingkan diri mereka ke tanah untuk memadamkan api. Namun, Si Jangkung terlihat seperti tubuhnya dipaku di tempat ia berdiri. Ia hanya bisa berdiri kejang-kejang, sebelum akhirnya api melahap habis tubuhnya. Tanpa ada abu tersisa, perlahan tubuh itu terdisintegrasi menjadi ratusan titik api serupa kupu-kupu yang terbang ke angkasa. Sebuah kengerian yang begitu indah. Sebuah keindahan, tanpa disadari telah menghilangkan nyawa dua manusia.
Hingga pada akhirnya, puncak dari pentas kengerian pun datang.
Si Bongsor.
Ia berdiri menyaksikan horor yang mematahkan seluruh akal sehat umat manusia
Si Bongsor telah membuang kewarasannya. Ia ingin berteriak, tetapi kalimatnya membuatnya tercekik. Dalam keputusasaan absolut yang mungkin saja dia rasakan, Si Bongsor meraih sesuatu di balik jubahnya. Ia mengeluarkan pistol dengan jenis serupa yang dimiliki oleh Si Pendek. Si Bongsor mendodongkan pistol itu ke arah Adela . Melaung panik, ia memuntahkan seluruh peluru di dalam magazin pistol itu.
Sayangnya, senjata manusia tidak mampu untuk melukai Adela, yang kini berdiri di depannya. Peluru yang dimuntahkan pistol itu seperti lenyap ketika menyentuh permukaan tubuh Adela. Lenyap ditelan oleh api yang mengelilingi tubuhnya. Tiada api yang mampu untuk melenyapkan peluru yang berkandung logam di dalamnya secara sekejap mata. Malam itu, seakan seluruh nalar, hukum ilmiah, dan rasionalitas mati perlahan.
Adela pun bersabda, dengan suara yang cukup berat, seolah suara itu bukanlah suara yang selama ini kudengar sebagai seorang 'Adela'.
"Di bawah nama Penguasa Semesta, aku akan menjatuhkan hukuman atas dosa yang kauperbuat."
Dengan satu tebasan, pedang berapi yang berkobar itu membelah tubuh Si Bongsor menjadi dua bagian secara simetris vertikal. Separuh tubuh Si Bongsor pun merosot jatuh, seiring dengan perlahan, api yang melingkupi tubuh Adela, kini juga mulai mengerubungi tubuh Si Bongsor yang terbelah. Jasad tanpa roh itu, perlahan lenyap menjadi kupu-kupu api, menghilangkan 'jejak'-nya dari muka bumi.
****
Mendadak, tubuhku seperti dirayapi oleh ketakutan yang sangat hebat.
Malam itu, aku menyaksikan kegilaan yang tak terdefinisikan. Tidak ada rasionalitas yang dapat menggapai irrasionalitas yang ditunjukkan oleh Adela. Seusai Adela menuntaskan 'pengkhakimannya', batinku menjerit.
Batinku menyuruhku untuk pergi dari tempatku berdiri. Namun, tubuhku seperti tidak mau bergerak mengikuti tuannya. Aku hanya bisa diam di tempatku kini. Adela menoleh memandangku. Sepasang mata safir hijau itu telah tiada, berubah warna menjadi sepasang netra berwarna merah berkilau. Seperti mendapati diriku yang berada di dekat tempat itu, Gadis itu pun bergerak ke arahku. Aku pun mengesot berusaha menjauh, tidak berani untuk berkedip barang sekali. Sekali aku berkedip, mungkin aku sudah bernasib sama seperti ketiga pembunuh sewaan dari Biro itu.
Adela kini berada hanya beberapa langkah di depanku. Ia menatapku dengan tajam, seolah aku tidak dapat lepas dari tatapannya. Tiada kata yang terucap dari mulut kami berdua, hanya engahanku yang memburu mengiringi ketakutanku. Kepalaku penuh dengan puluhan pertanyaan yang hendak kutanyakan pada Adela. Hanya saja, ada satu hal yang terlintas di pikiranku saat ini.
Demi Sang Hyang. Demi Penguasa Semesta. Demi Penghadir Wahyu.
Demi Tuhan. Demi Allah.
Akankah kaumusnahkan hamba-Mu pada malam penuh sembilu ini? Para Pemburu dari Biro Bawah Tanah mengirimkan hukuman kematian padaku, apakah ini cara Engkau mengirimkannya padaku?
Apakah ini waktunya penghakimanku? Apakah ini harga dari nyawa yang telah kurenggut dari Maut yang telah menjemputnya?
Aku berkedip. Ketika aku membuka mataku untuk sepersekian detik, aku melihat Adela masih berdiri di depanku. Namun, tiada lagi kulihat api yang mengelilinginya. Aku melihat raut wajahnya seketika berubah, setelah sepertinya ia telah menguasai dirinya kembali.
Adela menatapku seperti baru melihat hantu terseram di hadapannya. Mungkin, lebih tepatnya, menyadari apa yang telah dirinya lakukan. Langkahnya gontai, seiring dia menatuhkan dirinya karena kakinya gemetar hebat, tiada kuat menahan syok.
"I ... Ilya ...."
Mulutnya gemetar. Ia memengangi kepalanya. Gemetar, mulutnya pun berucap, "I-Ilya ... ap-apa yang kulakukan ...."
Tubuhnya menggigil, napasnya semakin lama terengah-engah dengan hebat, mengalami hiperventilasi.
"Ilyaaa!!!" Dalam teror yang mengguncang akal sehat, ia berteriak memanggilku.
Yah, siapa pun akan kehilangan akal sehatnya dengan cepat, ketika siapa pun itu telah menghilangkan nyawa tiga orang manusia dengan cara yang paling brutal dan di luar penafsiran logika ilmiah manusia.
Bergegas aku bangkit, segera memeluk Adela agar dirinya tenang. Persetan dengan nyeri hebat yang menyeruak di kaki. Aku bahkan lupa kalau kakiku tertembak. Setengah syarafku sudah mati rasa karena menghadapi roller coaster orkestrasi takdir beberapa saat lalu.
"Adela ... tenanglah. Semuanya sudah selesai. Tidak ada yang perlu kaukhawatirkan."
"Ilya ...." Adela masih menggigil, tetapi perlahan ia mulai mengeratkan pelukannya. Dalam diam, ia melepaskan tangisannya.
"Ilya, aku takut ...."
Semua sudah selesai.
"Ilya ...."
Aku menyesal.
Ketika aku terlambat menyadari, tubuhku telah tergeletak jatuh berdebam ke aspal. Sembari Adela memelukku begitu erat, aku hampir merasakan punggungku remuk. Telah kusadari, leherku telah diterkam oleh Adela, seraya sepasang taring itu menghunjam urat nadi di leherku.
Ah ... inikah akhirku?
Aku bahkan tidak dapat diberi kesempatan untuk merasakan rasa sakit, tidak diberi kesempatan untuk terkejut, menerima segala ketakutan. Semua terjadi sekejap mata, hingga otakku tidak dapat memproses nyeri yang kudapat. Taring Adela menusuk lapisan daging di leherku.
Detik itu aku menyadari bahwa penghakimanku memang akan diturunkan malam ini juga. Mendadak aku teringat berbagai hal random yang telah kualami, ketika aku masih duduk di bangku SD hingga ingatanku ketika aku pertama kali aku bertemu dengan Adela. Ketika kau di ambang akhir hayatmu, kau akan mengingat segala hal yang telah kaualami selama kauhidup.
Mataku tiba-tiba begitu berat, sehingga aku melepaskan kesadaranku. Terdengar suara yang menggaung di telingaku, sebelum kesadaranku hilang.
Ilya Sore ... penuhi kontrakmu.
Di bawah langit malam berwarna nila, di bawah horizon violet, di bawah purnama merah darah, aku mengubah seseorang yang kucinta menjadi sosok monster.
Banaspati.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top