1.4. Banaspati Kata (Part-4)

Adela Ratna.

Gadis itu mendapati dirinya telah berada di dua alam yang berbeda. Ia adalah satu dari sekian orang yang disebut sebagai 'mereka yang hidup di ambang batas'. Orang-orang seperti Adela memang tidak lazim di masyarakat, teralienasi di luar neraca lonceng, serta anomali bagi dunia yang penuh tipuan ini. Salah satu cara untuk bertahan hidup di dunia penuh tipu-tipu, adalah kau harus bisa menipu orang lain, sekaligus menipu diri sendiri. Meyakinkan bahwa tipuanmu adalah sebuah kenyataan, maka kau akan baik-baik saja.

Ketika gadis itu menangis menahan kemalangan sendirian, aku hanya bisa terdiam lemas. Aku merutuki diriku sendiri, karena telah menyebabkan Adela terbelenggu oleh kesengsaraan. Tidak bisa makan seperti layaknya manusia normal, haus akan darah—secara literal—makhluk hidup, serta memiliki kekuatan yang mampu mendekonstruksi kaidah-kaidah saintifik yang membangun peradaban umat manusia. Ini sudah seperti hukuman akibat dosa yang diperbuat. Namun, aku berpikir, apa salah Adela? Apakah ini adalah ujian dari Tuhan? Apakah ini dosa yang harus ditanggung olehnya? Apabila ini adalah ujian, maka ini adalah ujian yang tidak tertangguhkan. Membayangkan magnitudenya saja, sangat dahsyat untuk seorang Adela.

Ketika melihat seorang Adela Ratna mengangisi keadaannya, aku hanya bisa berdiri di ujung pintu, memandangnya tanpa bisa berbuat apa-apa. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan, adalah menenangkan dirinya. Aku kemudian berpikir, berpikir keras. Bagaimana cara mengembalikan manusia yang tiba-tiba dikutuk jadi setengah Banaspati? Kemustahilan absolut yang sangat absurd dan nihil akan konklusi. Seolah itu adalah takdir yang tidak dapat diubah dan kita hanya bisa pasrah menerimanya.

Tidak pernah aku merasa setidak-berdaya seperti ini. Badan terasa kaku, seluruh persendian seolah runtuh satu per satu. Seperti robot yang habis baterainya, seperti motor yang habis akinya.

Bu Tin—ibu kosku, induk semangku—datang untuk mengecek keadaanku dan Adela. Hal itu membuatku tergerak ingin memastikan, apakah benar yang dikatakan Adela. Meski aku memiliki praduga atas siapa yang menyerang kami kemarin malam, tetapi tidak dapat kusimpulkan begitu saja.

Adela tidak benar-benar berbohong mengenai kejadian kemarin malam. Adela hanya tidak menceritakan detail, hingga titik di mana kini Adela adalah manusia setengah Astral.

Menurut cerita Bu Tin, ia menemukan Adela sudah menangis sembari memapahku yang babak belur, dengan baju kemeja penuh noda darah, tepat di depan pintu. Adela bercerita bahwa kami berdua kena begal, tetapi tidak menceritakan bahwa begal kami bukanlah begal biasa. Tentu saja Adela tidak menceritakan bagaimana tiga 'begal' itu berakhir.

"Jadi benar apa yang diceritakan Adela, huh?" ujarku pada Bu Tin yang telah selesai menceritakan kembali penuturan Adela kemarin malam.

"Ilya." Bu Tin memanggil namaku, membuatku terlepas dari lamunan.

"Eh, oh, Ya, Bu Tin?" sahutku.

"Berangkatlah ke rumah sakit! Periksakan tubuhmu itu!"

Aku terkekeh, menggeleng seraya berujar, "Ah, aku tidak apa-apa—"

Bu Tin menukas alasanku. Pada akhirnya, aku diomeli juga sama beliau.

"Jangan bilang tidak apa-apa! Kautahu kalau aku dan Bapake panik ketika kamu babak belur. Lihat, pakaianmu belepotan darah semua."

"Ah ... haha ...." Aku hanya bisa nyengir, sembari menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Bu Tin melipat kedua tangannya, geleng-geleng seakan tidak percaya dengan apa yang telah dialami olehku dan Adela semalam.

"Ilya, siapa sebenarnya yang menyerangmu?" Sebuah pertanyaan terlontar, membuatku kagok sendiri untuk menjawab. Aku terdiam sejenak, menata jawaban.

"Orang-orang misterius, Bu." Aku mengedikkan kedua bahu.

"Entahlah, sepertinya mereka bukan orang asli sini. Kemungkinan besar pendatang, atau entah siapa. Kami bertiga dicegat tepat di gang sebelah Mekdi Watugong."

"Jam segitu jalanan masih ramai, Ilya. Lalu lalang penuh dengan motor, mobil, dan pejalan kaki," tukas Bu Tin.

Perkataan Bu Tin ada benarnya. Penyerangan yang dilakukan terhadapku dan Adela terlalu mencurigakan untuk sebuah 'pembegalan'.

Aku ingat kejadian itu terjadi ketika malam belum turun terlalu larut—meski aku agak sangsi, karena kejadiannya seingatku adalah jam sepuluh malam. Di tambah, gang tempat kami diserang ramai dengan tempat kos-kosan, warnet, tempat fotokopi, dan warung makan yang berjejer di sepanjang gang. Serta, itu adalah akses ke jalan raya utama kota yang berbatasan langsung dengan kampus. Bahkan, gerbang masuk ke parkiran mobil Fakultas Ilmu Administrasi—di mana sepertiga mahasiswanya membawa mobil sendiri untuk pergi ke kampus—berada tidak jauh dari tempat kami diserang. Kemudian, ada restoran cepat saji di dekat pertigaan masuk gang, di mana selalu ramai dengan mahasiswa dua puluh empat jam.

Kemungkinan besar yang dapat terjadi dengan faktor-faktor di atas hanyalah satu hal.

Kami sudah diincar dan latar telah di­-setting.

Tidak ada begal yang terlalu gila untuk merampok di tengah perkampungan Mahasiswa saat musim ujian akhir semester. Satu momen anomali keramaian, akan membuat semburat keluar mahasiswa sekampung yang sedang bertapa di kamar kosnya untuk persiapan ujian.

"Bapake sudah bilang masalah ini ke pertemuan RT-RW. Pembegalan ini sudah masalah serius, karena kejadiannya dekat sekali dengan Kampung Mahasiswa Ketawanggede. Ini masalah serius, Ilya!" cerocos Bu Tin, khawatir dengan keadaanku dan keamanan di sekitar rumah kos.

"Bu Tin tidak perlu khawatir—" Aku mencoba untuk menenangkan Bu Tin, tetapi dipotong lagi.

"Tidak perlu khawatir bagaimana? Kau tengok itu berita, Ilya! Bom meledak di gereja di Bandar Surabaya Minggu lalu! Lalu, baru-baru ini kasus mahasiswa yang tiba-tiba menghilang, lalu ditemukan dalam keadaan babak belur lah, lupa ingatan lah, sekarat lah. Bahkan ada yang sampai gila! Semakin hari, lingkungan semakin tidak aman, Ilya!"

Aku kena omel lagi.

"Oh, jangan lupa. Ibumu selalu menanyakan kabarmu kepadaku. Bagaimana aku harus mengatakannya, kalau kalu tiba-tiba ada apa-apa seperti kemarin malam??"

Aku hanya kembali menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Tidak bisa didebat lagi. Kalau sudah menyangkut masalah ibuku, aku selalu khawatir setengah mati sendiri.

"Aku mohon, Bu Tin. Umm ... tolong jangan bilang ini kepada ibuku. Aku tidak mau dia kepikiran. Seperti yang kautahu, Bu. Tiap hari, makin meningkat saja masalah kejahatan di kota ini. Bilang, kalau tidak ada apa-apa denganku." Aku menangkupkan kedua telapak tanganku, membuat gestur memohon. Bu Tin melengos.

"Lalu, bagaimana dengan dirimu??" tanyanya sedikit kecut.

Aku menggeleng. "Tidak apa-apa, Bu. Lihat. Aku baik-baik saja."

Bu Tin menghela napas panjang. Sepertinya ia tidak mau lama-lama berdebat, karena ada banyak pelanggan yang mungkin sudah mengantre di warungnya yang terletak di depan kos-kosan.

"Tapi jangan lupa, kau harus periksakan tubuhmu ke dokter! Luka babak belur kayak kemarin jangan disepelekan!" Bu Tin pun berjalan berlalu menuju depan kos.

"Aku mengerti, Bu Tin!" Sahutku.

Aku pun kembali masuk ke kamarku. Kulihat Adela yang sudah terduduk di depan meja belajarku. Ia merebahkan setengah badannya di atas meja sembari menerawang ke arah barisan buku yang berjejer rapi di rak.

"Heheh ... Bu Kos cerewet, ya?" komentar Adela, yang sepertinya mendengar pembicaraanku dan Bu Tin di depan pintu.

Aku menghela napas, sedikit menjelaskan pada Adela tentang Bu Tin.

"Beliau memang selalu begitu, apalagi denganku. Adik iparnya pernah menerima ibuku untuk ngekos di rumahnya, sewaktu ibu masih kuliah di universitas yang sama denganku. Kemungkinan besar, ada rasa ikatan sentimentil yang membuatnya dekat denganku."

"Oh, begitu ...."

Karena tidak ada pertanyaan susulan, entah mengapa suasana di kamarku menjadi terasa hening. Mungkin kita berdua lelah selepas apa yang telah terjadi, berusaha menstabilkan emosi, serta memikirkan apa yang harus kita berdua lakukan.

Mencari cara agar Adela menjadi manusia lagi. Benar-benar suatu hal yang sangat abstrak dan absurd. Selayaknya cerita-cerita fantasi yang ada di buku-buku novel.

Teringat novel, aku pun menarik sebuah buku yang berada di rak. Kebiasaanku adalah selalu membacakan penggalan kalimat yang tertulis dalam sebuah buku atau novel, tiap kali Adela bersamaku. Sesi 'mendongeng' rutin menjadi salah satu agenda yang 'tidak biasa' dalam hubungan kami berdua.

Aku menekuri sampul buku itu. Sebuah Novel.

Lumturo Sub Verda Krepusko.

Mercusuar di Bawah Senja Hijau, karya Indira Ratnamanggali.

Aku pun membuka dengan random di salah satu halaman. Tiba-tiba saja, aku tersentak kaget, tatkala huruf-huruf yang ada di halaman itu berjalan-jalan sendiri. Melayang-layang. Ada yang berlari-lari, ada yang terbang. Aku mengucek mataku, memastikan kalau diriku masih waras sebagai manusia.

Huruf itu masih berjalan-jalan. Bahkan kini setengah paragraf dari halaman itu sudah berceceran menjadi huruf-huruf yang berbaris melayang di udara. Huruf-huruf itu berbaris layaknya tentara latihan.

Aku melongo.

Aku menoleh pada Adela untuk memanggilnya, hanya untuk mendapatkan kepanikan lain.

Suaraku hilang.

Tidak. Lebih seperti ... kata-kataku terhenti di tenggorokan. Aku memaksa untuk memanggil Ilya untuk meminta tolong, tetapi aku malah terdengar seperti orang gagap.

Tipuan apa lagi ini?

"Ilya?" Adela terbangun, memandangku heran.

Seketika, sebuah memori tidak mengenakan seakan memukul kepalaku tiba-tiba. Teringat diriku pada sosok Banaspati di dalam mimpi.

Kalau kau berteriak minta tolong, kau akan jadi pria kedua

Dadaku terasa sesak, napasku tersengal. Aku seperti dilempar ke dalam ruang hampa udara.

Ilya Sore. Penuhi kontrakmu.

Aku jatuh berlutut. Tanganku memegangi leher dan dadaku. Tidak kuasa menahan siksaan, aku pun tersedak dan terbatuk dengan hebat. Adela bangkit dari duduknya untuk meraihku.

"Ilya!?"

****

Untuk sejenak, kupikir aku akan tamat seperti pria pertama dalam mimpiku tadi pagi. Lidahku kelu akibat apa yang terjadi padaku barusan. Terasa begitu nyata, sampai-sampai tubuhmu tidak sanggup merekonstruksi ketakutan yang kurasakan. Seperti mimpi yang berubah menjadi kenyataan. Pertanyaan demi pertanyaan langsung membombardir pikiranku.

Yang tadi itu apa? Bagaimana mungkin bisa senyata itu? Apakah ini efek samping dari—

Jantungku mencelus.

Bagaimana aku bisa dengan bodohnya lupa. Aku melupakan sekeping hal penting dari peristiwa kemarin malam. Kejadian yang apabila dipikir-pikir terasa absurd, sekaligus terasa menakutkan di saat yang bersamaan.

Dengan jelas aku mengingatnya, tepat sebelum aku kehilangan kesadaran tadi malam.

Adela menggigit leherku. Kedua taringnya menghunjam lapisan kulitku. Sebuah pertanyaan menggema di dalam telingaku.

Apakah ini efek dari gigitan Adela? Apakah aku perlahan berubah menjadi Banaspati, seperti layaknya Adela?

Aku tidak ingin berpikir negatif terlalu dalam.

Beruntung 'serangan' itu hanya sejenak. Aku mengambil segelas air putih, seraya meneguknya sambil sesekali dijeda untuk mengatur napasku. Aku memastikan kondisiku dengan membuka sebuah buku secara acak. Apa yang terjadi padaku masih sama. Tampaknya, diriku mengalami disleksia mendadak dengan sindrom teraneh yang pernah kuketahui. 'Serangan' itu terjadi padaku selama lima menit, sebelum akhirnya aku kembali normal.

Begitu aku menceritakan mengenai mimpi yang kudapatkan, serta apa yang 'kualami' barusan, Adela kembali menangis. Selama beberapa puluh menit ke depan, aku pun menenangkan Adela. Mencegahnya agar tidak menyalah-nyalahkan atas keadaan dirinya.

Apakah kontrak yang dimaksud, adalah kontrak yang terjalin ketika aku digigit oleh Adela? Namun, kontrak macam apa itu?

Otakku perlahan mulai merekonstruksi hipotesis.

Kami berdua menjadi target orang-orang misterius. Dalam satu kesempatan, Adela berubah menjadi 'Setengah Banaspati', untuk kemudian menggigitku. Secara tidak langsung, aku juga berubah seperti Adela. Namun, untuk satu alasan tertentu, aku tidak mengalami hal yang sama seperti yang dialami Adela. Diriku masih mampu minum air putih, serta sempat aku memakan sarapan yang diberi oleh Bu Tin. Aku bisa makan dengan normal, layaknya manusia biasa.

Kenapa? Mengapa bisa begitu?

Sebuah kata terlintas di benakku.

Kontrak.

Semua ketidakpastian, semua absurditas ini membuat sebuah kebingungan dalam satu hari ini. Cukup sudah ini terjadi.

"Tidak boleh. Kita tidak boleh begini terus." Aku menepuk kedua pundak Adela, menatap wajahnya yang terlihat kusut karena terus-terusan menangis. Seberkas perasaan iba kembali menyesap dalam lubuk hati. Keinginan untuk mengenyahkan kemalangan yang menghinggapi Adela, muncul dengan kuat.

"I-Ilya?"

"Engkau yang telah berwujud setengah Banaspati, serta diriku yang telah terikat dengan Kontrak Astral. Aku bahkan tidak tahu-menahu mengenai perklenikan atau hal-hal supranatural, hingga diriku tiba-tiba terkena disleksia mendadak."

Aku merengkuh Adela.

Tatkala mulutku dekat dengan telinganya, aku pun berkata lirih, "Kita harus cari cara, Adela. Kita harus cari jalan keluar atas masalah ini."

"Bagaimana caranya?" tanya Adela ragu.

Aku menghela napas. Kupejamkan mataku, semua posibilitas, semua probabilitas, tersusun satu per satu di pikiranku. Semesta memiliki probabilitas tak terbatas, di mana dunia telah bertumbukan dengan konsep 'niskala'. Semua yang niskala adalah kebohongan, semua yang niskala adalah tipuan.

"Kita akan mencari semua kemungkinan. Kita akan dapatkan semua keajaiban. Kita akan temukan caranya, meski itu berarti kita akan melawan dunia."

Kita akan temukan caranya.

****


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top