1.3. Banaspati Kata (Part-3)
Rumah di tengah hutan itu seperti telah ditinggal bertahun-tahun lamanya. Cat temboknya telah lama memudar, tergantikan oleh lapisan koloni lumut yang makmur. Tanaman merambat menggerogoti setiap dindingnya. Kanopi-kanopi dari pohon yang rindang menggantikan separuh atapnya. Keramik lantainya bopeng hilang di beberapa titik. Sunyi pun menjadi penghunyi abadinya. Kegelapan adalah nuansa yang menghinggapinya.
Di tempat itulah aku tiba-tiba sudah berada. Merasakan langkah demi langkah yang tidak biasa, sembari berjuang untuk melawan ketakutan yang merayapi jengkal demi jengkal lapisan kulit. Bagaimana rasanya dirayapi oleh ketakutan? Aku merasakannya seperti setiap langkah yang kauambil, rasa dingin demi dingin perlahan menusuk, mengiris setiap bagian tubuhmu secara perlahan. Di tempat itulah aku bertemu malapetaka.
"Adel?"
Aku menyebut namanya tatkala melihat sosok di hadapanku. Wajahnya mirip—tidak, sama persis malah—dengan Adela. Bahkan tatkala sosok itu menoleh ke arahku, aku bisa mengenalinya sebagai Adela. Sayangnya, itu bukanlah dia. Begitu aku menatap wajahnya, diriku seperti diam membeku di tempat. Ia lemparkan senyum misteriusnya begitu kedua mata kami bertemu.
Aku bertanya-tanya bagaimana diriku bisa tiba-tiba ada di tempat seperti ini, tetapi sebelum aku menemukan jawabannya, aku sudah harus bergulat demi menyelamatkan diri. Sosok di hadapanku itu membuat dua orang—yang entah siapa dan entah bagaimana mereka bisa bersamaku—yang berada di samping kiri dan kananku, tampak begitu ketakutan. Aku melirik ke arah mereka berdua, dua orang lelaki yang pucat pasi dan ketakutan setengah mati. Mereka seperti melihat penampakan terhoror selama hidupnya.
Rupanya benar.
Sosok itu bermata merah semerah saga, berkulit putih pucat layaknya mayat, serta rambut hitam sebahu yang tergerai mengambang diselimuti oleh api-api kecil yang mengelilingi rambutnya. Seperti ratusan bintang jatuh yang turun ke bumi. Ia tidak lagi tersenyum simpul, tetapi mulai menunjukkan seringai dengan taringnya kepada aku dan dua orang di sebelahku.
Vampir.
Namun, masyarakat Jawa lebih memilih Banaspati sebagai penyebutan dari sosok Astral pengisap darah makhluk hidup. Di beberapa daerah, mungkin sudah berubah namanya. Namun, mereka memiliki karakteristik yang hampir sama. Mereka mengisap sari kehidupan dari makhluk hidup, khususnya, darah.
Vampir. Drakula. Banaspati. Jenglot. Leak. Nachzehrer.
Sosok itu mendekati kami secepat kedipan mata, sehingga ketika kami berkedip untuk yang kedua kalinya, sosok itu sudah berada tepat di depan kami. Tubuh kami berontak ingin lompat dan lari sejauh-jauhnya, tetapi kedua kaki kami serasa dipaku ke tanah. Sosok itu langsung menangkap pria yang pertama yang sudah gemetar hebat. Aku sempat melihat pria pertama ingin mengucap 'minta tolong', tetapi suaranya tidak keluar.
Kemudian sosok itu langsung menerkam mulut pria pertama, mengigit lidah pria itu, kemudian mencabutnya seperti orang menarik daging ayam dengan taringnya. Mulut pria pertama mengucurkan darah yang langsung menguap menjadi asap berwarna merah pekat sebelum tetes pertama menyentuh tanah. Kemudian, pria itu jatuh berlutut dan memegangi lehernya seperti tercekik, sebelum perlahan-lahan tubuhnya menjadi kering kerontang.
Sosok banaspati itu kemudian menempelkan telunjuknya ke tubuh pria pertama yang telah berubah menjadi seperti lembaran kulit yang kering. Seketika api menyambar, perlahan membakar pria pertama hingga musnah menjadi abu.
Aku melihat horror itu tepat di depan mataku.
Kewarasanku mulai bekerja. Sinyal tanda bahaya menyala kencang di dalam kepalaku.
Lari, Ilya! Lari, sialan!
Instingku sudah berontak, bahkan memaksaku untuk memotong kedua kakiku hanya agar diriku bisa kabur. Pikiranku sudah menjerit ingin diriku lari sekencang mungkin, tetapi kakiku masih diam saja. Sosok itu mendekat dan ke arahku dan pria kedua. Aku pun panik, memukul-mukul kakiku, memaksa agar syaraf motorikku distarter dengan paksa.
Pria kedua berhasil menguasai dirinya dan langsung memelesat kabur meninggalkanku.
"Toloo—gghhhuuuaaakh!"
Tiba-tiba saja, pria itu berhenti berlari, kemudian menjatuhkan dirinya sembari memegangi lehernya. Kepalanya mendongak ke atas dengan mata melotot, ia pun seperti tersedak dan dari mulutnya menyemburkan darah. Seluruh cairan yang berada dalam tubuh pria itu keluar layaknya air mancur. Tubuh pria kedua itu perlahan terdisentegrasi menjadi cairan berwarna merah gelap, seiring dengan cairan itu mengalir ke arah sosok Astral yang berada di depanku untuk dihisapnya.
Untuk pertama kalinya, aku merasakan kengerian setengah mati.
Aku tidak ingin berakhir seperti dua orang itu!
Sosok itu kemudian berbalik memandangku. Tubuhku sudah mati rasa, seperti sudah menyerah pada keadaan. Ingin aku berteriak ketakutan, tetapi aku tidak ingin itu menjadi penanda akhir kehidupanku.
Kemudian sosok itu berkata, dengan suara yang persis dengan suara yang pernah kukenal.
"Kalau kau berteriak minta tolong, kau akan jadi pria kedua. Kalau kau berteriak 'setan', kau akan jadi pria pertama."
Entah mengapa, tiba-tiba otakku menyuruhku untuk melantangkan sesuatu, sementara diriku tidak ingin mengucap satu patah kata pun.
Kalau aku bicara, aku akan tamat. Kalau aku bicara, aku akan tamat. Kalau aku bicara, aku akan tamat.
"Tidak apa-apa, bicaralah, apabila itu membuatmu merasa nyaman," ujar sosok itu, sembari tersenyum padaku.
Sial, dia bisa tahu isi pikiranku, kah?
Aku menutup mulutku rapat-rapat, tetapi gigiku bergetar sendiri. Seiring sosok itu mendekat ke arahku, aku menghitung probabilitas keselamatanku yang semakin menciut. Sosok itu mirip sekali dengan Adela. Wajahnya, suaranya, tinggi badannya. Seolah-olah sosok itu adalah Adela yang menuntut balas dendam kepadaku.
"Ilya Sore." Ia menyebut namaku.
"Penuhi kontrakmu."
Belum sempat aku mencerna perkataan sosok itu, belum sempat aku memaknai kata-kata itu, sosok di depanku menyambarku hingga diriku terkapar di lantai, menerkam leherku layaknya singa yang menerkam leher mangsanya.
Aku tamat.
Aku membuka mata.
Aku tamat.
Telah kulihat langit-langit berpola yang sama dengan langit-langit kamar kosku.
Tidak. Aku selamat.
Dua detik, tiga detik, lima detik, aku berusaha untuk menggapai realita. Aku mencubit pipiku hanya untuk merasakan sakit. Berusaha kuraih keping demi keping kesadaranku, hingga aku dapat memastikan bahwa diriku sudah terbaring di kamar kosku.
"Il ... ya?"
Aku menoleh ke arah sumber suara. Kulihat Adela yang terduduk di kursi sebelah kasurku. Ia melongo melihatku. Matanya merah dan mukanya kusut sehabis menangis.
"A-del?"
Adela langsung mewek, air matanya mengalir lagi dengan deras tatkala melihatku terbangun dari mimpi paling mengerikan yang pernah kualami.
"Uuuu ... Ilyaaaaa ...."
Aku terbangun dan kekasihku menyambutku dengan tangisan kesedihan.
****
9 Jam setelah transformasi, 18 Mei, 08:06
Antara mimpi dan kenyataan, memoriku tercecer menjadi kepingan yang butuh direkonstruksi untuk menjadi sebuah ingatan. Mimpi buruk mengenai sosok Astral mengerikan penyedot darah manusia dengan sekali kedip adalah mimpi terburukku. Namun, apa yang kudengar dari mulut Adela, seperti membuatku dihantam realita dan kengerian mimpi buruk di saat bersamaan. Kemungkinan besar, orang lain akan jatuh pingsan karena tidak kuat menahan beban pahitnya realita.
"Ilya, aku jadi vampir."
Aku menatap Adela. Hening. Aku tidak berani untuk kedip, kalau-kalau aku masih bermimpi. Bahkan mengucap kata apapun aku tidak berani.
Namun, sudah kupastikan berkali-kali kalau aku sudah terbangun dari mimpi.
"Gimana?" Aku pun berujar, seperti orang linglung dengan tempat yang baru dikunjungi semasa hidupnya.
"Ilya ... Aku-Ak-u ... tadi ...." Badan Adela gemetar hebat, giginya bergemeletuk, napasnya terengah-engah seperti orang yang kena kumat asma, dan pandangannya lari ke mana-mana.
Adela diserang panik yang hebat.
Aku langsung menggapai kedua tangannya dan menatap Adela, seraya menuntunnya untuk menggapai ketenangan.
"Tenang ... Tenang. Pejamkan mata ... lalu tarik napas pelan-pelan ... hembuskan perlahan melalui mulut."
Adela melakukan setiap apa yang kuucapkan. Sekali lagi kutuntun dirinya untuk menenangkan diri.
"Bagus, sekarang ... lakukan sekali lagi."
Tidak lama setelah Adela tenang, aku pun memintanya untuk menceritakan apa yang terjadi.
"Ilya ... apakah kau ingat kejadian semalam?" tanya Adela lirih. Sepertinya ia masih dilanda panik dan cemas sekaligus. Aku pun meneroka kembali ingatanku. Antara tumpang dan tindih dengan mimpi yang barusan aku alami, perlahan aku menemukan keping demi keping ingatan yang tercecer di antara aliran mimpi.
Langit malam berwarna nila dan sinar purnama merah yang menyinari. Suara tembakan. Tanganku yang berlumuran darah. Tangisan dan jeritan saling menyahut tumpang tindih. Orang terbakar, kemudian musnah menjadi abu. Adela yang berdiri dengan dilingkari api-api yang menyerupai kupu-kupu. Mata merah saga. Taring. Rasa panas dan dingin yang menyengat leher. Suara yang menyuruhku untuk memenuhi 'kontrak'.
Bang!
Seperti realita memukul kepalaku dengan keras. Berulang kali aku memejamkan mata sembari menghela napas panjang. Sesekali kulirik Adela yang melihatku dengan muka cemas, mengharap diriku berbicara apapun itu.
Mimpi itu adalah representasi dari rekoleksi memori. Tertaut dengan emosi dan termanifestasi ketika manusia tercebur di alam bawah sadar mereka. Mimpi yang kualami, sebagian adalah kenyataan, sebagian lagi fantasi yang dimanufaktur oleh emosi. Namun, tidak pernah aku menghadapi suatu absurditas yang tidak masuk akal seperti kala ini.
Mendadak dadaku sesak. Kata-kata yang hendak kuucapkan tergantung di tenggorokan. Perasaan dalam mimpi telah terangkat menjadi hal yang nyata. Sebuah emosi yang perlahan meluap ke kepalaku, hanya untuk dihempaskan menuju sebuah ketiadaan dan ketidakberdayaan.
Adela berkata bahwa dirinya telah berubah menjadi sosok Banaspati—entah mengapa aku lebih familiar dengan penyebutan itu—tetapi seketika rasionalitas membombardirku dengan pertanyaan keingintahuan. Ingin aku bertanya, tetapi aku takut dengan jawaban yang diberikan Adela.
Aku perlahan bangkit dari tidurku, mencoba untuk duduk di atas kasur.
Menoleh ke arah Adela, aku pun akhirnya bertanya, "Kau mengingat kejadian kemarin malam?"
Adela hanya mengangguk perlahan. Aku menghela napas besar, sembari memikirkan seberapa besar magnitude efek peristiwa kemarin malam.
Kami diserang gerombolan orang-orang misterius yang bersekutu dengan Astral. Di mana pada akhirnya aku menyaksikan Adela—pacar, kekasih, pasangan—bertransformasi menjadi anomali di dunia yang penuh tipu daya ini.
Begitu kiranya yang bisa kugambarkan.
"Lalu, bagaimana aku bisa ada di sini?" lanjutku bertanya.
"Selepas kejadian itu, kamu sempat tidak sadarkan diri. Aku memapahmu, kemudian membawamu ke kosanmu," jawab Adela.
Reaksi pertama Adela adalah membawaku ke kos-kosan. Adela kemungkinan terlalu panik dan syok untuk menggapai rasionalitas dengan membawaku ke rumah sakit. Ditambah, kejadian kemarin malam cukup dekat dengan di mana kos-kosanku berada.
"Apa reaksi ibu kos?"
Adela melirik ke arah pintu kamar kosku yang terbuka. "Kaget dan ikut panik. Kau hampir dilarikan ke rumah sakit ketika kau sadarkan untuk sejenak. Ibu kos memaksamu untuk dilarikan ke rumah sakit, tetapi kau menolak."
Bu Tin—ibu kosku—tentu saja akan bereaksi seperti itu. Aku sudah seperti anak asuhnya sendiri. Beliau pasti akan mengadu ke ibuku, apabila aku terkena suatu musibah atau masalah.
"Ah, iya. Orang rumah bisa heboh kalau mendengarku masuk rumah sakit. Omong-omong, Ibu kos tidak curiga?"
Adela menggeleng. "Aku ... sedikit berbohong. Aku bilang kalau kita kena begal semalam."
"Ibu kos tahu dengan ... kondisimu yang sebenarnya?"
Adela kembali menggeleng. Sepertinya energinya terkuras secara fisik dan mental, sampai-sampai ia hanya menggeleng pelan untuk menjawab.
Asumsi Ibu kos percaya dengan Adela mengenai bualannya ....
Ah, tidak. Adela sudah sering main ke kos-kosanku, sampai pada tahap Bu Tin memintanya untuk mengajari anak perempuannya Bahasa Inggris dan Matematika. Juga, ia adalah pelanggan tetap warung Bu Tin. Mungkin Adela tidak ingin membuat kehebohan lebih lanjut dengan orang-orang terdekatnya.
"Terlepas dari kau mengingat penyerangan kemarin malam. Bagaimana kautahu dirimu menyadari kalau kau benar-benar menjadi ... Banaspati?"
"Banaspati?" Adela mengernyit.
"Orang-orang lebih menyebut dengan nama lokal, daripada nama populer. Kau tidak akan menemukan orang bercerita tentang vampir selain ketika mereka mendiskusikan film. Selain itu ..., apa yang terjadi kemarin malam ... lebih seperti mitos Banaspati yang menjadi nyata," jelasku.
"Uuh .... aku menyadari ketika aku mencoba untuk memakan sarapan yang disuguhkan oleh Ibu kos barusan." Adela kemudian menunjuk sebuah mangkuk yang ada di atas meja belajarku.
Aku menengoknya. Mangkuk itu berisi soto ayam, dengan asap tipis yang masih mengepul tipis-tipis.
"Hmm ... lalu?"
Adela hendak menjawab, tetapi ia terlihat ragu. Bibirnya sedikit gemetar sebelum ia menjawab, "Aku tidak bisa memakannya. Entah kenapa, setiap makanan yang kumakan selalu terasa aneh."
Aku menaikkan sebelah alisku. "Aneh? Seperti ...."
"Seperti rasa air bekas cucian pakaian lah, comberan lah."
Deg!
Jantungku mencelus. Realita kembali menamparku, sampai-sampai aku mengira Adela terlalu panik sampai dirinya berkata hal absurd. Namun, dari ekspresinya, kemungkinan besar itu memang terjadi.
Oi oi oi ...
"M-maksudmu?"
Sembari terisak, Adela menceritakan bahwa dirinya tidak dapat mengonsumsi makanan apapun. Semangkuk soto, selembar roti tawar, bahkan segelas air putih. Hatiku remuk redam ketika Adela menceritakannya, sampai-sampai aku memandunya untuk menggapai ketenangannya kembali.
"Kau benar-benar berubah menjadi separuh Banaspati, huh?" komentarku getir.
"Separuh ... Banaspati?" Adela menatapku penuh tanya.
"Separuh manusia dan separuh Banaspati. Seperti di cerita-cerita novel fantasi populer. Engkau masih dikenali sebagai manusia, tetapi dirimu mampu melakukan apa yang Banaspati lakukan."
Mendadak aku teringat sesuatu.
"Adela, apakah kau ... api kemarin malam—"
Seakan Adela telah tahu arah pembicaraan kami—atau mungkin Adela ingin menunjukkan kalau dirinya benar-benar berubah menjadi 'Manusia Setengah Banaspati'—dengan menunjukkan seberkas api yang tiba-tiba muncul dari telapak tangannya. Seperti kompor yang tiba-tiba menyala ketika dinyalakan. Api itu menari-nari di atas telapak tangan Adela. Membuatku terkesiap, dengan mulut melongo, seakan itu adalah trik sulap.
Aku berharap yang kulihat adalah trik sulap.
Aku, terguncang dengan fenomena tidak masuk akal di depanku, hanya bisa tertawa kering. Aku menunduk sembari meraup mukaku, seiring dengan memori demi memori perlahan menyesap menjadi sebuah gulungan film yang terputar otomatis di kepalaku.
Aku teringat tanganku yang berlumur darah. Aku teringat napas tipis Adela yang terjatuh dalam pelukanku.
Meregang nyawa.
"Ilya ...." Adela memanggilku khawatir.
Sebuah suara lain tiba-tiba tergaung dalam kepalaku.
Darah orang yang kaucintai tertumpah di tanganmu.
Kau juga terlibat, Ilya Sore!
Aku tertawa kering mendengarnya. Semesta memvonis putusan pengadilannya padaku. Dalam hati yang remuk redam dihantam realita demi realita, aku pun melafalkan beberapa baris kalimat dari sebuah cerita yang cukup familiar untukku.
"Heheh .... Kami adalah orang-orang malang, di mana kami hidup dihimpit oleh tangan-tangan penguasa dunia. Kami adalah para pencari kebenaran, di mana nyawa kami dipertaruhkan pada tipisnya benang jahit."
"Ada apa, Ilya?"
Tanpa sadar air mataku mengalir. Aku menoleh, menatap Adela lamat-lamat.
"Adela ... seharusnya kau tidak menghadang peluru yang memelesat ke arahku malam itu."
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top