1.2. Banaspati Kata (Part-2)

12 jam setelah transformasi, 18 Mei, 11.10

"Aneh."

Aku yang tenggelam dalam pikiranku, tidak sadar telah berbicara sendiri di alam sadar, menarik perhatian Adela.

"Aneh kenapa?" Pertanyaan singkat Adela perlahan menarikku kembali dari dunia kontempelasiku.

Berawal dari pemikiran, berujung pada sebuah persoalan, untuk kemudian kukatakan sebuah pertanyaan.

"Kalau kamu semalam menggigitku, lalu menyesap darahku, kenapa aku tidak menjadi setengah Banaspati sepertimu?"

Aku dan Adela terdiam. Kami saling bertatap muka, tetapi ruh kami seakan kembali memasuki ruang kontempelasi kami masing-masing. Adela terlihat mengernyit, sembari mulutnya bergumam kata yang tidak terartikulasi dengan jelas. Sesekali ia membuka mulutnya, hanya untuk tiada bersuara dan kembali pada kebisuan dengan menutup mulutnya.

Aku menyadari ketika serangkaian kepingan memori kemarin malam tiba-tiba diputar terus-menerus oleh otakku. Penyerangan oleh orang-orang misterius, Astral yang tiba-tiba keluar dari balik bayang-bayang mereka, tubuh-tubuh yang terbakar menjadi abu, jasad manusia yang melambai seperti lembaran kertas kering yang melayang tertiup angin, api yang melayang-layang di angkasa, hingga rasa sakit di leherku. Semua itu terasa tidak nyata dan nyata di saat yang bersamaan. Seperti tidak masuk di akal, tetapi begitu nyata seperti menyaksikan sendiri tepat di depan muka.

Mengapa tidak terjadi? Mengapa diriku-seorang manusia-tidak berubah menjadi selayaknya Adela yang merupakan jelmaan setengah Banaspati? Mengapa logika yang kutemui di kultur-kultur film dan literatur populer tidak berlaku di sini? Apa karena dia adalah setengah Banaspati, sehingga tidak terhitung sebagai jelmaan makhluk gaib?

"Huh, benar juga? Kenapa ya kira-kira?" Adela sendiri hanya menyerah dalam ketidaktahuannya, menggeleng-gelengkan kepalanya. Bahkan Adela sendiri tidak mengerti anomali yang tidak biasa ini.

Bicara mengenai anomali pun, Adela adalah salah satu dari sekian banyak apa yang disebut-sebut sebagai 'Anomali Astral'. Begitu kata 'orang-orang pintar' menyebutnya. Keniskalaan yang nirniskala, kehidupan yang tidak hidup. Disebut Astral bukan, tetapi tidak juga terklasifikasikan menjadi manusia normal. Mungkinkah akibat dari anomali ini, sebuah hal yang seharusnya terjadi, malah tidak terjadi?

"Tapi ... salah satu orang yang menyerang kita kemarin malam ... kau juga menggigitnya," ujarku memecah senyap, menata kembali alur percakapanku dengan Adela.

"I-iya. Aduh, Ilya, sepertinya mengingatnya saja membuatku mual sendiri."

"Kau mengingatnya? Kau sadar melakukannya?" tanyaku.

"Seperti insting yang seketika dilakukan. Semua terjadi secara begitu saja. Aku bahkan tidak sempat untuk ngeri, jijik, atau apa. Rasanya ... seperti kau biasa melakukan itu, sehingga kau tidak pernah merasa jijik," jelas Adela sembari memejamkan mata, sesekali menggelengkan kepala untuk menjauhkan ingatan mengenai apa yang disebut sebagai kebrutalan.

Berusaha untuk mengenyahkan memori tidak nyaman, Adela pun mengambil sekeping wafer cokelat dari toples yang ada di meja. Sebelum mendekatkan wafer itu ke bibirnya, ia sempat mengamati wafer cokelat tersebut. Adela memakan perlahan wafer itu, hanya untuk dilepehkannya kembali.

"Bagaimana?" tanyaku.

Adela menggeleng, seraya berseloroh, "Kau pernah mencoba memakan kain kassa? Rasanya seperti kau mencoba memakan itu."

Aku mungkin pernah menggigit kain baju, tetapi tidak sampai menelannya. Pun juga aku pernah merasakan bagaimana permukaan kain kassa. Membayangkannya terasa begitu absurd nan penuh dengan hiperbola. Namun, berulangkali Adela telah komplain bahwa makanan apapun selalu terasa aneh di mulutnya. Seperti Adela dikutuk untuk tidak dapat makan apapun selain darah manusia.

Seperti pagi tadi, tatkala ia menangisi dirinya karena gagal merasakan semangkuk soto yang dirasakannya seperti air bekas cucian pakaian. Absurd dan hiperbola, tetapi benar nyata adanya. Asumsi awal bahwa Adela terkena guna-guna, tetapi aku ragu kalau ini hanyalah sekadar guna-guna.

"Tidak berhasil juga, ya?" Aku bergumam, menatap Adela kasihan.

Bagaimana cara dirinya mendapatkan nutrisi pun, aku tidak mampu membayangkan lebih jauh.

Terbersit rasa penasaran, mengenai seberapa tahan Adela mampu untuk tidak menggila dan mulai menyedoti darah manusia layaknya Banaspati. Seberapa tahan ia untuk 'berpuasa', sampai ia mampu memakan sesuatu yang bukan darah manusia?

"Adel, apakah kau merasa lapar?" celetuk bertanya.

Adela menggeleng. "Tidak, kenapa?"

"Kapan terakhir kali kau makan?"

"Hmm ... kemarin mala-"

Aku berdehem memotong kalimat Adela untuk mengoreksi pertanyaanku. "Kapan terakhir kali kau makan-makanan yang normalnya manusia makan?"

"Kemarin sore, sewaktu kita berdua ... umm ... jalan-jalan."

Aku terdiam. Realita seperti menghantam kepalaku, membuatku mati rasa sendiri.

Kau mengacaukan hari-harinya. Kau telah berlaku keji pada pacarmu sendiri.

Kau terlibat!

Suara-suara niskala dalam bentuk rangkaian kalimat yang bergelayut di depan muka kembali menggangguku. Fenomena aneh ini terjadi padaku pagi ini. Seperti sebuah efek samping yang diakibatkan oleh peristiwa kemarin malam.

Kontrak.

Dalam diam, aku menyebut kata itu.

"Kenapa? Tunggu, Ilya, apakah kau tidak menikmatinya?" Adela menatapku sedikit cemas.

"Aku memang berniat mengajakmu jalan sekaligus minta maaf. Hanya saja ... yang terjadi setelahnya, hingga sampai kini kau mengalami hal-hal yang aneh ini, hari yang semestinya membuatmu senang berubah menjadi malapetaka, membuatku berpikir, apakah ini salahku?" Aku pun berujar penuh dengan negativitas. Rasanya menyakitkan apabila menggenggam negativitas itu di dalam kepalamu.

Adela menyahut dengan nada tinggi. Sudah lama aku tidak mendengar Adela mengomeliku.

"Tuh, kan! Kebiasaan lagi kamu, sih! Ilya, stop menyalahkan diri sendiri! Kalau ada orang yang patut disalahkan, adalah mereka yang kemarin malam menyerang kita. Toh mereka sudah lenyap dari muka bumi ini!"

Lenyap dari muka bumi. Terdengar hiperbolik, tetapi itu adalah fakta konkret.

"Tapi-"

"No. Nein. Tidak ada kata tapi." Adela menukasku.

Aku menghela napas panjang. Memutuskan untuk tidak menanggapi Adela. Aku pun menatap langit-langit kamar kosku. Tidak ada tragedi yang lebih kacau, daripada pacarku berubah menjadi setengah Banaspati setelah dirinya kencan bersamaku. Rasanya aku ingin mengutuk diriku sendiri karena telah menyeret Adela dalam kemalangan tiada tertangguhkan.

Sudah cukup Adel menderita. Aku harus mencari cara. Begitulah pikirku.

Aku menatap Adela, meyakinkannya dengan tatapan seserius mungkin. "Adel, mungkin saja aku memang tidak bersalah. Namun, aku tidak bisa membiarkan dirimu menjadi 'setengah Astral jadi-jadian' seperti ini. Kita membutuhkan solusi, solusi atas masalahmu. Aku akan mencari caranya, jadi ... jangan terlalu khawatir."

Adela menggeleng. "Aku hanya tidak ingin kamu terbebani, Ilya."

"Tidak perlu risau, Del. Juga ... aku terpikirkan sesuatu yang menggangguku."

"Apa itu?"

"Asumsi kamu meminum darahku kemarin malam, ditambah satu orang yang kausedot habis darahnya. Yang berarti, sudah dua belas jam lamanya. Apakah kamu merasakan seperti keinginan untuk makan? Lapar, begitu?" tanyaku.

"Hmm ... tidak, Ilya. Aku belum merasa lapar ... tapi, bagaimana menggambarkannya ya? Seperti kau tidak lapar, tetapi jadi lapar kalau melihat makanan."

"Maksudmu?" Aku mengernyit.

"Hmm ... semisal kamu menemukan segelas es krim di meja, kemudian tergelitik dirimu untuk mencoba memakan es krim itu. Kamu berkata, 'Wah, ada es krim enak nih, kayanya!', terus kepikiran untuk makan es krim. Nah, seperti itu rasanya, kira-kira."

Aku melongo.

Gelar 'Lima Raja Pengulas Kuliner Tanah Singasari' bukanlah gelar kaleng-kaleng kacang goreng. Sayang, analogi yang ia jabarkan itu, digunakan untuk menggambarkan bagaimana Banaspati tergila-gila dengan darah makhluk hidup.

Kini pun ia menatapku terdiam tanpa kata. Wajahnya persis seperti orang menemukan es krim sebesar tubuh manusia di depannya.

"Ah ... aku mengerti, tapi tolong jangan memandang orang lain seperti itu. Cukup aku saja yang jadi korban ... dan tiga orang misterius kemarin tentunya."

"Maaf, tetapi aku sudah melihatmu seperti es krim segede tubuh manusia, Ilya," ujarnya datar sembari menatapku lamat-lamat.

Aku bergidik ngeri.

"Tolong jangan buat ini menjadi semakin absurd, Del!"

Adela menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Setidaknya, tahan hasratmu untuk mengisap darah sampai kita nemu caranya kau bisa mengonsumsi apapun yang normal. Bahkan nasi sebiji sekalipun!" sahutku. Adela pun memengangi kepalanya, menggeram seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Entah mengapa aku mendapatkan pengetahuan absurd mengenai Astral. Manusia dan Astral, keduanya sama-sama memiliki insting primitif yang sama, apabila bertemu dengan makanan. Makan adalah kebutuhan primer semua makhluk, bahkan Astral sekalipun. Insting purba 'kebinatangan' adalah kunci bertahan hidup manusia sejak purba bermula.

Berburu makanan atau diburu menjadi makanan. Makan atau musnah. Rasa penasaran akan Astral ini bermuara pada tindakan diriku yang tiba-tiba bangkit dari duduk, keluar dari kamar menuju ruang tengah kos-kosan.

"Mau ke mana?" tanya Adela.

"Kita akan melakukan percobaan," ujarku tanpa berpaling.

****

Apa tujuanmu?

Kita analogikan seperti ini. Manusia butuh energi untuk beraktivitas, lantas butuh makan untuk mendapatkan energi. Apabila cara kerja Astral-seperti Adela yang kini menjelma menjadi 'Banaspati jadi-jadian'-serupa dengan cara metabolisme manusia, maka, usaha Adela untuk menahan dirinya meminum darah akan bisa diprediksi.

Menahan diri? Apakah Astral mampu untuk menahan diri? Mereka hanyalah konsep semu dan niskala yang secara tiba-tiba saja termaterialisasi secara ajaib di Zaman Kiwari ini.

Aku tidak bisa membiarkan Adela terperangkap dalam 'ketidakpastian' niskala ini.

Bagaimana jika terjadi sesuatu, apabila Adela tidak minum darah manusia dalam waktu yang lama? Apa kau bisa menjamin keselamatannya? Apa kau bisa menjamin bahwa ia tidak berbahaya bagi orang-orang disekitarnya.

Tidak akan. Kautahu, kami mencari sebuah prosentase kecil bernama keajaiban. Bila itu tidak ditemukan ... kita akan membuat keajaiban itu sendiri.

****

Aku membawa balik sebuah cangkir untuk minum teh. Cangkir itu kepunyaan ibunda kos, tetapi beliau membiarkan anak-anak satu kos untuk menggunakannya. Adela penasaran dengan apa yang akan kulakukan. Aku menatap cangkir itu cukup lama, sebelum aku menyambar sebilah pisau dapur, hendak menusukannya ke tangan kiriku yang sudah ada di atas cangkir.

"ILYA, STOP!"

Adela memegangi tangan kananku begitu kuat, sehingga ujung pisau yang kugenggam berhenti tepat beberapa milimeter dari lapisan kulit tangan kiriku. Lantas, aku meletakkan pisau itu.

"Apa kau sudah gila!??"

Lengkingan Adela membuat sebelah telingaku mengalami tinitis sejenak.

"Aku mencoba mengukur seberapa lama sosok Banaspati pengisap darah bisa menahan diri untuk tidak meminum darah seseorang. Ditambah, berapa kalori yang kaubutuhkan untuk aktivitas biasa ditambah aktivitas tidak biasamu seperti ... mengeluarkan api dari tubuhmu, misalnya," jelasku.

"Dengan mencoba memotong tanganmu?? Demi Tuhan, Nggak!! Please, hentikan kegilaan impulsifmu itu, Ilya!" sengak Adela sembari menjauhkanku dari pisau yang tadi kupegang.

"Adel, kita butuh pengukuran. Kita butuh takaran. Coba, berapa banyak darahku yang kauhisap?"

Adela mengedikan kedua bahunya. "Entahlah ... hmm ... kurasa seukuran cangkir teh yang kaubawa tadi."

Aku meraih ponselku, kubuka aplikasi mesin pencari, kuketikan beberapa kata kunci hingga muncul beberapa situs web beberapa saat setelahnya.

"Umm ... Ah, ketemu. Rerata pria dewasa memiliki darah kira-kira sebanyak empat setengah hingga lima setengah liter ...," ujarku lirih sembari menekuri kalimat yang ada di layar ponselku.

"... Kemudian, ditambah dengan darah sebanyak satu cangkir teh, itu sudah lebih cukup untuk memenuhi kebutuhan kalori harian, kurasa ...." Kucoba menyimpulkan, yang entah bagaimana terdengar aneh.

"Uuh ... mengukurnya dengan kalori terdengar cukup aneh." Adela berkomentar.

Aku melengos. Kutaruh ponselku di meja, seraya menerjunkan diriku ke atas kasur.

Aku menatap langit-langit kamarku, lantas berujar, "Aku tahu ... tapi, kita tidak ada standarisasi kebutuhan kalori untuk makhluk astral, Del. Kita butuh acuan dan acuan terlogis adalah dengan menggunakan standar manusia. Asumsi, kalau makhluk Astral memiliki properti fisiologis yang mirip dengan manusia."

Semakin jauh berasumsi, aku merasa persoalan ini jauh lebih ruwet. Adela hanya menatapku dengan wajah memelas. Kami berdua masih belum pulih secara psikis, setelah bolak-balik dihantam oleh realita.

Banaspati. Darah manusia. Kontrak.

Resistensi. Kalori. Astral.

Berputar-putar kata-kata itu dalam pandanganku kini. Sepertinya aku mulai memahami orang yang suka mengeluh 'banyak pikiran'. Seperti ini rasanya ternyata. Sumpek, jengah, jenuh, seperti pandangan dan berpikir pun sudah sulit. Semua hal yang memusingkan ini, hanya untuk sebuah solusi agar Adela tidak meminum darah orang lain atau lebih parah ... darah binatang-asumsi apabila Adela tidak jijik meminumnya-.

Aku pun bangkit dari rebahan. Hantaman rasa pusing karena anemia ini cukup mengganggu tiap kali aku bangkit dari tidur atau duduk. Aku pun mengambil sebiji kapsul suplemen penambah darah yang berada di rak kecil di atas meja belajarku.

"Tidak ada cara lain selain darah manusia, huh? Kurasa ... memang sulit-"

"Ilya, stop minum obat penambah darah! Itu tidak akan membantu." Adela mengomeliku lagi.

"Well, tidak, jika kamu pada akhirnya mengisap darahku lagi. Setidaknya kita harus cari solusi alternatif," saranku.

Adela diam berpikir, sejurus kemudian ia berceletuk, "Bagaimana kalau maling darah dari PMI?"

"Nguwawor!"

"Mungkin aku akan coba minum darah hewan?"

"Stop, itu tidak higienis. Sumber penyakit. Ah, tapi, darah manusia juga tidak higienis. Tetap saja, aku tidak ingin kau minum darah apapun itu bentuknya."

Percakapan kami terhenti begitu saja. Adela kini menatapku sembari terdiam. Keheningan ini membuatku merinding perlahan.

"Adel?"

Ia tidak menyahut. Ia masih menatapku tajam.

Kenapa dengannya?

"Del, kenapa?"

Matanya terlihat berkabut, pandangannya kosong. Perlahan ia mendekatiku. Kewarasanku kembali berdenting normal, kemudian dengan sigap menyalakan alarm tanda bahaya.

Ah, gawat.

Refleks, aku pun menyentil dahi Adela, dengan kekuatan momentum penuh.

Ctass!

Sampai berbunyi sentilanku, membuat Adela langsung terjongkok seraya mengusap dahinya yang langsung berwarna merah.

"Aaaarrgh! Ilyaaa!" erangnya kesal.

"Hoo ... ternyata bisa terasa sakit juga," ujarku terkesima.

"Bahkan Astral pun terjengkang dengan sentilanmu, Demi Tuhan, sakit tau!" sengit Adela, masih mengusap-usap dahinya. Aku terkekeh. Sejenak aku berpikir, mungkin saja sentilanku berguna, apabila ada Astral yang tidak sopan muncul tiba-tiba di depanku.

"Maaf, maaf. Sudah kubilang untuk mencoba menahan seluruh hasratmu untuk minum darah. Kau malah main terjang saja."

"Tidak ada yang bisa menolak godaan untuk mencoba es krim tepat di depan muka!" Adela mulai ngelantur.

"Kau masih menggunakan analogi es krim? Adela, kau serius??"

"Dua ratus rius!"

"Berarti, kau lapar?"

Adela menggeleng. "Tidak juga sih, hanya saja penasaran rasa es krim bagaimana."

"Del, stop menganalogikan aku sebagai es krim, tolong!"

"Kenapa?"

"Bagaimanapun, hal itu benar-benar absurd. Tidak masuk di akal!"

Perdebatan tiada henti ini pun lantas berakhir, ketika aku mengulurkan lenganku dan Adela mengisap darahku-lagi-untuk kedua kalinya. Tetap saja, diriku tidak berubah menjadi Banaspati atau Setengah Banaspati.

Hingga saat ini pun, aku sendiri masih tidak menyangkanya.

****




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top