9. Tempat Yang Menjadi Saksi

— ■ —

Sesak.

Dingin.

Dadanya terasa dipenuhi oleh literan air.

Baik tubuh maupun kepalanya serasa sulit untuk digerakkan. Untuk ditarik dari suatu tempat.

'Tolong!'

Ia menjerit dalam ketakutannya.

'Hentikan! Tolong!'

Tapi jeritan itu seolah hanya terdengar dari dalam kepalanya saja. Mulutnya tak dapat terbuka. Dan ia tak tahu harus bagaimana.

'Tolong!'

"Jangan banyak lagak hanya karena kau memilik otak jenius, sialan!"

***

Ombak air tampak tumpah dari bathtub tersebut hingga membasahi permukaan lantai, ketika sesosok kepala menyembul keluar dari sana. Dalam keadaan tubuh yang masih basah, ia berdiri dengan wajah tertunduk. Tapi terlihat jelas bahwa kedua bahu wanita bersurai honey blonde itu bergerak naik turun.

Tak hanya itu.

Keheningan yang tercipta jelas di kamar mandi tersebut, sesaat serasa dipenuhi oleh deru napas sang wanita. Tatapan dari mata cokelat ambernya terasa tak fokus--buram.

"Ya Tuhan," Stephanie menutup wajahnya dengan kedua tangannya. "Kenapa hal itu teringat lagi olehku? Uh ... narkolepsi sialan. Membuatku tertidur begitu saja."

Ia menurunkan tangannya perlahan. Dan dengan perasaan yakin tidak yakin, ia menarik keluar kakinya dari bathtub yang airnya sudah berubah dingin.

Langkah Stephanie terhenti saat dirinya tiba di depan washtafel sebelumnya. Jam tangan tadi masih ada di sana. Tentu saja, mana mungkin benda itu akan berpindah begitu saja.

'Hari ini terasa melelahkan,' batin Stephanie memandang pantulan dirinya di cermin. Mengusap pipi kanannya, lalu bergerak mengusap tengkuk lehernya.

"Aku mau pulang." Gumamnya menundukkan wajah.

Suara ketukan pintu seketika membuat Stephanie terlonjak. Ia berbalik menghadap pintu kamar mandi, dan kedua tangannya spontan menutupi tubuh bagian depannya. Dirinya lupa masih dalam keadaan tidak berbusana.

"Y-ya?" tanya Stephanie agak malu.

"Kau baik-baik saja?" Suara Patrick terdengar menyahut dari balik pintu. "Aku hanya memeriksamu karena kau mandi terlalu lama,"

Oh. Itu agak mengejutkan.

"S-saya tidak sengaja tertidur," beritahu Stephanie jujur, "tapi sekarang sudah selesai. Saya akan segera keluar."

Tak ada balasan. Dan Stephanie langsung berpikir jika Patrick telah meninggalkan pintu kamar mandi.

Tapi kemudian, suara sang pria kembali terdengar.

"Ada yang ingin kubicarakan," ujar Patrick. "Jadi, aku akan menunggumu di ruang makan."

Usai mengatakan itu, ganti terdengar suara langkah kaki. Yang Stephanie yakini pasti milik Patrick.

Pria itu sudah pergi ya. Namun yang lebih penting—

'Apa dia akan memecatku?' batin Stephanie langsung menarik kesimpulan negatif, yang seketika membuatnya terkekeh getir. 'Tentu saja, 'kan? Toh aku membawa dampak buruk untuknya.'

***

Stephanie menyukai keheningan serta ketenangan. Tentu saja ia sangat menyukainya. Meski kedua hal itu tak jarang memicu narkolepsinya. Tapi, kali ini, ketimbang hening ataupun tenang, situasinya saat ini lebih cocok dikatakan canggung.

Persetan dengan kejadian tadi. Dan yang utama, persetan dengan dirinya karena sembarangan mengamuk di hadapan partner-nya.

Seperti yang diminta Patrick sebelumnya, keduanya kini berada di ruang makan. Duduk berhadapan di kursi makan, tanpa tahu siapa yang akan memulai lebih dulu.

"Aku tidak boleh menangis di depan Ayahku," ujar Patrick tiba-tiba. Yang entah bagaimana, memberikan perasaan lega di dalam diri Stephanie.

Mungkin karena suasana awkward mereka akhirnya pergi.

"Meski ia sudah mati, tak jarang segala perlakuannya padaku masih terbayang di pikiranku," lanjut Patrick lagi, "dan yang terburuk dari segala tindak kekerasan yang dilakukannya padaku, ia bahkan ...," Ia terhenti perlahan. Mulutnya seperti ragu untuk melanjutkan. "Dia ... dia ...,"

"Mr.Melrose," Stephanie tiba-tiba bersuara. Melihat Patrick berucap terbata-bata seperti itu, ia bisa mengerti bahwa hal tersebut tidak mudah diutarakan. Terutama kepada dirinya yang notabenya hanya orang asing dikehidupan seorang Patrick Melrose.

"Anda tidak perlu memaksakan diri," lanjut Stephanie tersenyum tipis. "Saya merasa senang Anda mau berkata jujur terhadap masalah Anda. Tapi, saya takkan memaksa Anda untuk mengatakan semuanya secara langsung. Semua butuh yang namanya proses."

Stephanie membawa salah satu tangannya ke bawah meja. Mencari sesuatu. Sebelum kembali ia membawa tangan kanannya ke atas, dan menyodorkan sesuatu kepada Patrick.

"Seharusnya saya segera mengembalikan ini kepada pemiliknya," ujar Stephanie lebih dulu, "tapi karena kejadian-kejadian tadi, ini terbawa bersama saya."

Stephanie mengangkat tangannya kemudian. Menunjukkan sebuah jam silver yang amat dikenali Patrick.

"Kau ... bagaimana ...?" Patrick tampak kehabisan kata-kata. Hanya pertanyaan ambigu itu yang bisa ia utarakan.

"Beruntung para pemalak itu masih membawa jam tangannya. Sehingga saya bisa mendapatkannya kembali," jelas Stephanie, "ini jam tangan pemberian sahabat Anda, 'kan? Karena itu Anda harus menjaganya. Seperti Anda menjaga diri Anda. Maaf, saya tidak bisa menjaga Anda hari itu."

Patrick meraih jam tangan tersebut. Memandang bagian depannya, lalu ganti ke bagian sebaliknya. Semuanya masih baik-baik saja. Masih sama seperti terakhir kali ia memakainya.

"Terima kasih ...," ujar Patrick menggenggam erat jam tangan di tangannya. "Terima kasih telah mengembalikan ini ... Stephanie."

Eh?

"Sebagai balasan, bagaimana jika aku membuatkan makanan untukmu?" tawar Patrick menyimpan jam tangannya, dan beranjak dari tempat ia duduk.

"Untuk apa? Toh saya akan segera dipecat oleh Anda," balas Stephanie.

"Ha? Apa yang kau bicarakan?" tanya Patrick memiringkan kepalanya. "Kapan aku bilang akan memecatmu? Aku ingin bertatap muka denganmu karena ingin menceritakan masalahku. Bukan untuk hal lain. Jadi, berhenti berpikir bodoh, dan duduk diam di sini selagi aku membuatkan sesuatu."

"Jangan coba-coba Anda memasukan sesuatu ke dalam makanan buatan Anda itu," peringat Stephanie saat Patrick hendak berjalan menuju dapur.

"Tidak, bodoh!" balas Patrick langsung dengan tegas. Sebelum akhirnya melangkah pergi.

Stephanie tak bisa menahan kekehannya ketika mendengar balasan tersebut. Entah apa yang lucu, tapi rasanya ia ingin saja tertawa. Melepas segala kepenatan yang ia rasakan. Dan tanpa ia sadari, tampak Patrick menyunggingkan senyum ketika melihat tawa Stephanie.

'Tadi ... ia memanggil nama depanku?' batin Stephanie ketika dirinya telah ditinggal sendiri. 'Apa ia mengatakannya secara tidak sadar? Atau ...,'

"Aku tak mau berharap terlalu banyak." Gumamnya menggelengkan kepala.

— ■ —

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top