30. Karena Pada Akhirnya Semua Akan Selesai
— ■ —
Stephanie duduk terdiam memandangi dirinya dari pantulan cermin di hadapannya. Ia sudah selesai membereskan barang-barang, dan siap untuk pergi. Kapan saja.
Karena hari ini adalah last day.
"Jadi, ini benar-benar selesai ya," ucap seoramg pria yang dikenali Stephanie selama 45 hari terakhir.
"Bukankah bagus?" balas Stephanie terdengar mencela, "setelah saya pergi, Anda lalu bebas ingin berbuat apa. Tanpa merasa takut akan dihalangi atau sejenisnya,"
Pria yang berada di ambang pintu, terdengar mendengus geli.
"Lalu apa gunanya usahamu maupun usahaku selama 45 hari ini?" balas Patrick tak habis pikir.
Kini ganti Stephanir yang mendengus geli.
"Rasanya sungguh aneh mendengar Anda berkata begitu," komentar Stephanie kemudian.
— ■ —
"Baiklah, perkembangan Anda cukup baik," ujar Stephanie saat membaca laporan pengawasan yang ia buat selama menjadi partner Patrick. "Tapi, saya harap, perkembangan ini kedepannya tak mengalami penurunan,"
"Berisik. Diamlah," balas Patrick terkekeh.
"Kalau begitu, saya akan pergi sekarang," ujar Stephanie lagi, sembari memasukan lembar laporannya ke tas yang ia bawa. "Jika dugaan saya benar, Mr.Hall pasti akan menghubungi Anda cepat atau lambat. Menanyakan soal keadaan Anda saat ini,"
"Pasti ia akan mempertanyakan itu."
Hening kemudian. Manik cokelat amber milik Stephanie, sesaat beralih ke arah lain. Menghindari tatapan langsung dari sepasang iris heterokromatik itu.
"Hei," panggil Patrick yang langsung membuat Stephanie memandangnya lurus. "Andai ... andai aku berniat menyewa seorang partner dari Metanoia, apakah kita bisa kembali lagi ke kondisi semacam ini?"
Stephanie mengerjap. Pikirannya mencerna maksud dari ucapan Patrick yang terasa berbelit.
Hingga akhirnya, senyum hangat terukir di bibir sang wanita.
"Apa Anda mengharapkan saya akan menjadi partner Anda lagi di kemudian hari?" terka Stephanie dengan nada menggoda atau jahil. "Anda serius ingin berhadapan dengan wanita menyebalkan dan kasar seperti saya,"
"Oh shut up," sahut Patrick, "ini hanya sebuah perandai. Bukan berarti aku sungguh berminat menyewa partner. Kedepannya, aku bisa melakukan ini sendiri,"
"Begitu kah?" balas Stephanie tersenyum penuh arti.
Wanita berambut honey blonde itu seketika menghela napas. Senyumnya sirna sedetik kemudian. Dan tangan kirinya yang kosong, bergerak meraih lengan kanannya. Meremas-remas bagian itu tanpa berniat menyakiti diri sendiri.
"Mr.Patrick," panggil Stephanie memandang tajam pria jangkung di hadapannya. "Bisakah Anda menjanjikan satu hal kepada saya?"
Patrick mengangkat kedua alisnya penasaran.
"Setelah ini benar-benar selesai, tolong, carilah wanita yang sungguh menyayangi Anda," ujar Stephanie berpesan. "Yang mencintai Anda,"
"Wanita yang mencintaiku?"
"Ya. Karena Anda membutuhkan sosok itu. Anda sudah memiliki seorang sahabat yang begitu peduli kepada Anda. Kini, saatnya Anda mencari seseorang yang Anda cintai. Yang kelak, akan menjadi pendamping hidup Anda untuk selamanya hingga ajal menjemput. Bukan pendamping yang hanya bertahan selama 45 hari,"
"Kau meledek dirimu sendiri?"
"Entahlah," Stephanie mengangkat kedua bahunya, "lalu saya ucapkan terima masih karena telah memanusiakan saya selama ini. Itu ... adalah suatu tindakan yang sungguh berarti bagi saya."
Stephanie melangkah mendekati Patrick. Kedua tangannya bergerak naik, dan menyentuh masing-masing pipi Patrick. Merasakan dengan jelas, tulang pipi yang jelas nampak tajam itu.
"Um ... Steph?" panggil Patrick merasa bingung dengan apa yang hendak dilakukan Stephanie.
Faktanya, yang dilakukan Stephanie sangat sederhana. Tapi juga berani. Dimana untuk kali pertamanya dalam sejarah hidup seorang Stephanie Willkerson, ia berani mencium orang yang menjadi partner sementaranya.
"Thank you for your kindness, Patrick," bisik Stephanie usai mencium cepat pipi kiri Patrick, "and, good bye."
Stephanie perlahan menjauhkan diri dari Patrick yang membeku di tempatnya. Mata cokelat amber itu memandang sang pria hangat. Dan usapan singkat yang diberikan Stephanie sesaat sebelum kecupannya, rasanya meninggalkan bekas yang menenangkan.
"Dan apa Anda tahu? Apa pendapat saya tentang diri Anda sebagai partner saya?" tanya Stephanie membawa topik baru. Yang langsung membuat Patrick tersadar dari lamunannya.
"Pe-pendapatmu tentangku?" tanya Patrick memastikan.
Stephanie mengangguk, dan tersenyum polos kepada Patrick.
"You're the worst partner I've ever met in my life," ungkap Stephanie tanpa merasa sungkan atau sejenisnya.
"Oh fuck off." Balas Patrick dengan kekehan.
Ya, yang terburuk.
Terburuk dalam artian yang sebenarnya, atau tidak sebenarnya?
— ■ —
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top