2. Partner Sesungguhnya

- ■ -

Yang akan ditemui Stephanie bukanlah orang penting. Hanya warga London biasa yang merupakan seorang pencandu. Jadi, ia tak perlu berpakaian sangat formal. Cukup sweater hitam long neck yang dilapisi mantel cokelat susu--hawa sudah mulai terasa dingin mengingat ini sudah akhir bulan november--celana jeans biru dan ankle boots hitam bertali. Dan pukul 9 pagi ini, Stephanie tampak telah berdiri di depan kediaman pria bernama Patrick Melrose itu.

Ia menekan bel pintu di dekatnya. Itu berbunyi nyaring dan terdengar cukup keras dari luar. Kemudian, ketika Stephanie berniat memencet kembali bel rumah tersebut untuk yang kedua kalinya, pintu di hadapannya terbuka. Menampakkan pria bertubuh kurus tinggi, berkulit putih agak pucat yang tertutupi oleh pakaian tidur biru yang tengah dikenakannya setengah hati--tali pakaiannya tidak ia ikat sehingga menunjukkan kaos abu-abu serta celana pendek hitamnya. Mata biru kehijauannya, memandang Stephanie dengan heran. Surai cokelatnya nampak berantakan jika Stephanie boleh berkomentar.

"Mr.Patrick Melrose?" tanya Stephanie tak berniat berbasa-basi.

Pria itu--Patrick--terdiam. Keningnya terlihat sedikit berkerut.

"Yes," Sang pria mengangguk. "And, you're?"

"Stephanie Willkerson," jawab sang wanita segera. "From Metanoia. Maksud kedatangan saya kemari adalah untuk memenuhi tugas saya sebagai partner sewaan,"

"Apa?" Patrick memiringkan kepalanya spontan. "Partner sewaan? Aku tak pernah meminta hal seperti itu. Bahkan, aku tak tahu maksudmu soal Me ... Me ... Me ... apa?"

"Metanoia,"

"Yap," Patrick mengangguk. "Kurasa kau salah orang, Ms.Willkerson,"

"Maaf jika mengecawakan Anda. Tapi sayangnya, saya tidak salah," jawab Stephanie dengan tenang. "Alamat serta nama yang diberikan teman Anda, Mr.Johnny Hall, sangat sesuai. Jadi-"

"Kau bilang Johnny Hall?" potong Patrick tiba-tiba.

Stephanie mengangguk kemudian. "Ya. Mr.Hall lah yang menyewa kami untuk Anda, Mr.Melrose."

Patrick terdiam kemudian. Dalam sikap diam itu, Stephanie terus memerhatikannya dengan ekspresi datar. Tapi sesungguhnya, wanita itu tengah menilai sikap pria jangkung di hadapannya tersebut.

Namun tiba-tiba, pintu di hadapan Stephanie ditutup keras oleh Patrick, tepat di depan mata wanita berambut honey blonde itu. Yang tentu saja, hal tersebut sukses membuat Stephanie tersentak. Dan mengerjap dalam diam kemudian, untuk memproses apa yang baru saja terjadi.

'Oh God.'

***

Begitu pintu itu ia tutup dengan rapat dan sekuat tenaga, Patrick langsung melesat menuju telepon rumahnya yang ada di ruang sebelah. Menyambar gagang telepon berwarna biru itu, lalu menempelkannya ke telinga kirinya. Sedangkan tangannya yang lain segera menekan nomor orang yang hendak dihubunginya.

Selama beberapa saat, hanya terdengar nada sambung dari gagang telepon yang digenggam Patrick. Dengan sabar--atau sebenarnya gelisah--pria berambut cokelat itu menunggu. Kakinya bergerak menghentak-hentak cepat di permukaan lantai.

Hingga akhirnya-

Klik.

"Johnny?" Patrick segera berucap begitu sadar panggilannya diterima oleh pihak seberang.

["Patrick? Ada apa?"]

"Johnny! Ada wanita aneh yang entah darimana mengatakan, bahwa kau memintanya menjadi partnerku!" Tanpa berniat berbasa-basi atau sejenisnya, Patrick langsung mengutarakan inti pembicaraannya.

["Partner untukmu? Oh! Ia pasti dari Metanoia, 'kan? Ya. Memang aku yang membayar mereka untukmu,"]

"Apa maksudmu?" Patrick menegang, "untuk apa pula kau melakukan itu?"

Terdengar suara helaan napas dari pihak kedua.

["Karena kau terus-terusan menolak untuk ikut dalam perkumpulan itu, kupikir memiliki seseorang di dekatmu adalah hal bagus untukmu. Bukankah kau mengatakan hendak mencoba untuk berhenti menjadi seorang addicted?"]

"Ya benar. Dan aku bisa melakukannya sendiri," jawab Patrick refleks menganggukkan kepala. "Jadi kau tak perlu-"

["Jika kau memang mampu melakukannya sendiri, kenapa kau masih menjadi seorang pengguna hingga detik ini?"]

Komentar itu membuat Patrick membisu.

"Diaa mengatakan, 'sedikit saja tidak masalah',"

["Dia siapa? Patrick, tak ada seorang pun di sisimu, yang mengatakan tidak masalah kau terus-terusan bergantung pada kokain maupun heroin. Selain itu, bukankah aku pernah mengatakannya padamu untuk merasakan hal baru. Karena itu-"]

Ucapan Johnny yang terdengar dari telepon terputus tiba-tiba oleh suara kasar dari arah pintu depan. Suara itu cukup keras hingga berhasil mengejutkan Patrick, dan buru-buru ia melihat apa yang terjadi. Mengabaikan pertanyaan Johnny soal suara tersebut.

"Kau ...!" Iris biru kehijauan itu membelalak. "Apa yang kau lakukan dengan pintunya!?"

Di ambang pintu rumahnya, tampak wanita tinggi--untuk seorang perempuan--dengan surai honey blonde panjang sepunggung yang tergerai rapi, berdiri di sana.

"Oh, Anda tidak perlu khawatir soal pintunya," ujar Stephanie tak merasa bersalah dengan tindakannya. Yang ternyata, baru saja mendobrak pintu rumah Patrick. "Saya akan membayar kerusakannya. Berapa pun itu,"

"Ini bukan soal mahal tidaknya pintu itu!" balas Patrick lantang, "kau sudah masuk tanpa izin!"

"Dan Anda sudah menutup pintu di hadapan seorang wanita, yang hendak membantu Anda," balas Stephanie dengan nada tenang.

"Aku tak pernah memintamu untuk membantuku!"

Stephanie hendak kembali membalas ucapan Patrick. Tapi, sang pria telah lebih dulu pergi dari tempatnya. Kembali menuju ruangan sebelumnya dan menyambar teleponnya lagi.

"Johnny! What the fucking hell with this woman!?" ujar Patrick kesal.

["Wanita? Oh, apa ia dari Metanoia? Ternyata sudah tiba ya. Sesuai permintaanku untuk datang menemuimu hari ini,"]

"Jadi, memang kau yang menyuruh wanita itu?"

["Ya. Aku menyewa partner dari perusahaan jasa khusus. Oh jangan khawatir, mereka perusahaan legal. Jadi, kau takkan mendapat masalah, Patrick,"]

"Aku tak peduli mereka legal atau tidak! Yang aku permasalahkan adalah, kenapa kau bertindak seenaknya seperti ini?! Aku tidak but-"

["You really need it, Patrick. Don't lie to me. So, if you really, really want stop being a addict, you need someone with you anytime. To caring or cheer you with right way,"]

Patrick terdiam usai mendengar penuturan teman dekatnya itu. Sesaat, sedikit berbalik untuk melihat ke arah ambang pintu yang membatasi ruangannya dengan koridor depan pintu.

["Maaf, Patrick. Aku harus akhiri panggilannya. Untuk saat ini, cobalah untuk menerima kehadiran wanita itu. Jika kau merasa tidak cocok setelahnya, kau boleh marah padaku. See you, Patrick."]

Dan tak lama setelahnya, panggilan itu berakhir.

***

"Kau!"

Stephanie yang semula tengah sibuk mengembalikan pintu yang didobraknya ke tempat semula, menoleh ke sumber suara itu. Mendapati sosok Patrick yang--ia yakini--sudah selesai dengan urusannya.

"Sir, saya punya nama," ujar Stephanie mengeluh. Berbalik kemudian untuk memandang penuh Patrick.

"Berapa banyak Johnny membayar kalian?" tanya Patrick tak memedulikan keluhan Stephanie, soal bagaimana ia memanggilnya.

"Itu rahasia perusahaan. Yang bisa saya katakan, angkanya berada di atas nominal bayaran kota ini,"

"Kalau begitu, akan kubayar kau empat kali lipat,"

Stephanie mengerjap. "Pardon?"

Patrick tak menyahut. Sang pria terlihat sibuk dengan sebuah amplop cokelat di tangannya.

"Aku akan membayarmu lebih," jelas Patrick mengarahkan amplop cokelat itu kepada Stephanie. "Dan sebagai gantinya, pergilah dari sini. Tinggalkan aku sendiri. Katakan pada bosmu bahwa-"

"Sayangnya, saya harus menolaknya," balas Stephanie tak berniat menyentuh amplop tersebut. Bahkan seinci sekalipun. Ia hanya memandang amplop itu malas. "Kami punya aturan yang berlaku soal pembayaran jasa. Dan kami dilarang menerima uang suap seperti ini,"

Patrick terdengar mengerang dan memutar bola matanya dramatis.

"Kau terlalu kaku, Miss," komentar sang pria, "lagipula, aku tidak menyuapmu. Aku klienmu, bukan? Jadi aku memberimu bayaran berkali-kali lipat, dengan syarat tinggalkan aku,"

"Tidak," Stephanie tersenyum samar, "maaf bila mengecewakan. Tapi secara teknis, Anda bukanlah klien utama saya. Tapi, Mr.Hall lah yang merupakan klien saya. Jadi, apa yang Anda lakukan ini sudah termasuk dalam tindak penyuapan,"

"Oh, bullshit!" sentak Patrick dengan lantang. Jelas merasa tak suka dengan nasib yang diterimanya.

Stephanie menghela napaa panjang. Ia akan berkata jujur. Meski baru beberapa saat berhadapan dengan pria bernama Patrick Melrose ini, ia punya firasat bahwa pria ini akan menjadi calon partner terburuk dalam sejarah hidupnya bekerja sebagai partner sewaan.

Tapi ia tak bisa kembali lagi. Ia sudah disini. Bahkan bertemu dengan Patrick Melrose itu sendiri.

"Oke, begini saja," Usai terdiam beberapa saat untuk berpikir, Stephanie kembali berucap. "Bagaimana jika Anda mencobanya selama seminggu terlebih dulu?"

Salah satu alis Patrick nampak melengkung ke atas.

"Waktu yang diminta Mr.Hall untuk menjadi partner Anda adalah 45 hari. Terhitung mulai hari ini. Sebagai uji coba, mungkin Anda bisa menerima kehadiran saya sebagai partner selama seminggu. Jika dalam waktu itu Anda merasa tak ada perubahan, bahkan merasa lebih buruk, Anda bisa mengusir saya. Bahkan menuntut Metanoia. Bagaimana?"

Patrick seketika terdiam menimang-nimang saran Stephanie. Itu hanya seminggu. Tidak terlalu lama. Selain itu, ia yakin wanita blonde ini pasti takkan bertahan dengan segala tingkahnya. Pasti!

"Baiklah," Akhirnya, setelah diam memikirkannya untuk beberapa saat, Patrick mengutarakan persetujuannya. "Aku akan menerima masa uji coba itu. Seminggu. Tidak lebih,"

Stephanie mengangguk. "Karena hari ini sudah terhitung, maka saya memiliki 6 hari kedepan," jelasnya kemudian. Lalu mengulurkan tangannya kepada Patrick. "Kalau begitu, tolong izinkan saya memerkenalkan diri lagi. Saya Stephanie Willkerson, salam kenal. Semoga saya bisa menjadi partner yang pantas untuk Anda kedepannya."

Patrick pun membalas uluran tangan Stephanie. Merasakan sentuhan hangat dari tangan sang wanita.

"Patrick Melrose," ujarnya balik memerkenalkan diri. "Dan ya, kuharap kedepannya kau tak bisa bertahan."

"Yah ... kita akan lihat itu." Jawab Stephanie tersenyum tipis.

Stephanie kemudian melepaskan tangannya dari Patrick. Sesaat ketika ia menggenggam tangan pria jangkung itu, rasanya dingin dan sedikit basah. Ia bisa memerkirakan kenapa demikian.

"Anyway," Stephanie berucap kembali, "had you breakfast?"

Pertanyaan itu tampak membuat Patrick mengangkat kedua alisnya. Mata biru kehijauannya, terlihat membesar.

"No," jawab Patrick akhirnya. Dengan jujur.

"Really? In this time?" Stephanie nampak mendelikkan mata. Merasa tak percaya dengan apa yang didengarnya.

Tapi kemudian, wanita itu nampak menggedikkan bahu. "Well ... whatever," tambahnya, "I'll making breakfast for you then. Where's your kitchen, Mr.Melrose?"

***

"What the fucking hell this?" Stephanie bertanya dengan perasaan geram ketika melihat lemari pendingin di kediaman Patrick, tak memiliki bahan makanan yang memadai. "You don't have anything in here,"

Beruntung, usai Stephanie bertanya dimana dapur milik Patrick, pria itu langsung mengantarkannya tanpa menolak. Tapi ia tak mengira, inilah hasil yang Stephanie dapat.

"Apa Anda tak pernah sarapan?" tanya Stephanie kemudian, sembari menutup pintu lemari pendingin di hadapannya. Dan berbalik menghadap Patrick.

"Tentu saja aku sarapan," jawab Patrick yang nampak berdiri bersandarkan pinggiran meja dapur, tepat menghadap ke Stephanie.

"Dan apa yang Anda makan?"

"Rasanya, jika dikatakan apa yang kumakan, itu tampak kurang tepat,"

Stephanie mengangkat tangannya tiba-tiba. "Let me guess," tuturnya, "cocaine?"

"Heroin, whiskey," tambah Patrick menghitung dengan jari tangannya yang panjang itu.

Mendapatkan jawaban itu, Stephanie hanya bisa menarik napas dalam.

"Baiklah," ujar wanita honey blonde itu kemudian. Pasrah dengan keadaan. "Kalau begitu, saya akan pergi berbelanja. Mr.Melrose, Anda akan ikut dengan saya,"

"Ha? Kenapa pula aku harus ikut?" balas Patrick yang secara tidak langsung menolak kemauan Stephanie.

"Anda tidak bisa terus-terusan berada di rumah," jawab Stephanie dengan tenang. Berjalan pergi dari sekitaran dapur, dan menuju ke arah depan televisi. Menyambar mantel cokelat susunya yang tersampir di sofa yang menghadap ke televisi. "Dan tubuh Anda perlu cahaya matahari,"

"Then? You want me what with that? photosynthesis?" balas Patrick masih dari tempatnya, dan jelas mencela.

Stephanie terhenti sesaat dari kegiatan mengenakan mantelnya. Menoleh sedikit kepada Patrick, dan mengerjap dalam diam.

"Yes." Jawab Stephanie kemudian. Sembari kembali mengenakan mantelnya.

- ■ -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top