17. Tapi Merokok Sesekali Tidak Apa, 'kan?
— ■ —
Stephanie membuka pintu rumahnya--ralat, Patrick--dengan perasaan malas. Setelah mendapat ceramah dari rekannya, rasanya ia jadi tak ingin kembali ke tempat Patrick tinggal. Tapi, ketika Stephanie baru saja menginjakkan kaki di bagian teras dalam, samar-samar ia mencium aroma yang tak asing.
"Rokok?" bisik Stephanie mencoba menghirup aroma samar itu lebih dalam. "Benar. Ini bau rokok."
Dengan cepat, Stephanie melepas sepatu fantofelnya dan melesat masuk menuju ruang tengah. Setibanya di ambang pintu ruang tersebut, langkah Stephanie terhenti saat matanya menangkap apa yang telah ia perkirakan.
"Oh, hei," Patrick yang tengah menikmati sebatang rokok, seketika terhenti saat menyadari kepulangan Stephanie. "Kau sudah kembali rupanya,"
Stephanie tak menyahut. Ia hanya memandangi sang pria yang tengah duduk di pinggir jendela. Dua jemari tangan kanannya, jelas terlihat tengah menjepit sebatang rokok yang masih tersisa setengah.
"Rokok dari mana itu?" tanya Stephanie sembari mendekat ke tempat Patrick berada. Wanita itu tak memiliki niatan untuk membalas sapaan atau ucapan Patrick sebelumnya.
Patrick memandang rokok yang dipegangnya. Lalu kembali ia menatap Stephanie.
"Ini milikku," jawab Patrick dengan polos.
"Jangan bohong," peringat Stephanie menyipitkan mata.
"Aku tidak bohong," balas Patrick masih dengan nada polos tak berdosa. "Selama kau di sini, aku memang tak pernah merokok. Walau sesungguhnya, aku juga seorang perokok,"
Kembali Stephanie terdiam. Semula, matanya lurus menatap ke iris heterokrom milik Patrick. Sebelum akhirnya, ia ganti menatap rokok yang dibawa sang pria, dan mengulurkan tangan ke arahnya.
"Apa?" Patrick menatap tak percaya, "bahkan kau melarangku merokok ju—"
"Tolong berikan saya satu batang," potong Stephanie.
"Pardon?" balas Patrick meminta pengulangan. Ia tak salah dengar, 'kan?
"Please, give me one your cigarette,"
"Kau bisa merokok? Dan yang utama, kau seorang perokok?"
"Tolong beri saja saya sebatang, Mr.Patrick."
Semula, Patrick ragu untuk memberikan satu batang rokoknya. Tapi, saat ia melihat tatapan Stephanie yang sungguh memohon, akhirnya ia memberikannya satu. Bersama pemantiknya juga.
Tanpa berpikir dua kali, Stephanie langsung menerima rokok serta pemantik yang diberikan Patrick. Lalu membakar ujung rokoknya, dan duduk di pinggiran jendela tanpa berniat melepas mantel yang dikenakannya untuk pergi tadi.
"Kau pergi ke kantormu, 'kan?" tanya Patrick membuka topik.
Stephanie menjawab dengan anggukan. Lalu menyesap rokoknya, dan mengembuskan asapnya ke udara hampa.
"Untuk apa?" tambah Patrick.
"Hanya ingin memastikan sesuatu," jawab Stephanie, "saya pergi ke perpustakaan di kantor Metanoia. Dan sedikit berbincang hangat dengan rekan kerja saya."
Berbincang hangat? Benarkah demikian?
Keheningan tercipta tak lama setelahnya. Masing-masing dari mereka, sibuk menikmati rokok mereka.
Dan tiba-tiba, pandangan Patrick seketika tertuju lurus ke arah wanita yang duduk di hadapannya.
"Bagaimana rasanya bekerja di Metanoia?" tanya Patrick. Yang secara tak terduga, pertanyaan itu sukses membuat Stephanie membelalakkan mata tak percaya.
'Kenapa ia begitu peduli?' batin Stephanie tak paham lagi, bagaimana ia harus menghadapi seorang Patrick Melrose ini.
— ■ —
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top