13. Batasan Yang Tipis
— ■ —
Semenjak itu, rasanya berubah. Stephanie sendiri juga tak mengerti, kenapa ia mau saja mengatakan hal pribadi itu kepada orang yang jelas hanya akan dikenalnya sementara. Aneh, sungguh aneh.
Entah ada gangguan apa pada otaknya, ia pun juga tak paham.
Stephanie baru saja hendak mengganti saluran televisi yang tengah dilihatnya, ketika dirinya mendengar suara samar seseorang. Matanya mengernyit. Dan dengan segera ia menurunkan volume televisinya agar suara samar yang ia tangkap, bisa lebih jelas.
'Mr.Melrose?'
Setelah mencoba mengenalinya beberapa saat, akhirnya Stephanie bisa menebak siapa itu. Dan seharusnya, ia bisa menyadarinya sejak awal. Tidak ada orang lain lagi di rumah ini kecuali dirinya dan Patrick.
Semula, Stephanie sempat berpikir apakah perlu memeriksa keadaannya atau tidak. Ia jadi canggung dengan pria itu karena kejadian hari sebelumnya.
"Bodoh. Aku ini, 'kan partner-nya." Gumam Stephanie seketika merasa konyol akan dirinya yang masih berpikir dua kali, sebelum mengambil langkah.
Dengan keyakinan yang telah bulat, Stephanie pun melangkah menuju kamar milik Patrick.
Setibanya di depan kamar sang pria, Stephanie semakin bisa mendengar suara dari si pemilik kamar. Dan suara yang didengarnya, jelas bukan ucapan-ucapan bagus.
He's scared about something.
Perlahan, Stephanie membuka pintu di hadapannya. Yang andai ia boleh berkata jujur, cukup mengejutkan karena itu tidak dalam posisi dikunci. Ia menyembulkan kepalanya ke dalam, mencari sosok Patrick di balik cahaya temaram yang dihasilkan dari lampu tidur yang ada di sana.
"Mr.Melrose," panggil Stephanie pelan, sambil melangkah mendekati tempat tidur Patrick.
Di tempat tidurnya, Patrick terdengar gelisah. Ia menggumamkan kata ini itu. Napasnya tak teratur.
'Mimpi buruk ya.' Batin Stephanie langsung memahami. Karena tentu saja, ia familiar dengan hal itu.
Stephanie duduk di pinggiran kasur. Sesaat merasa ragu untuk menyentuh sang pria. Tapi—
"Mr.Melrose," panggil Stephanie lembut. Sebuah nada bicara yang hanya ia tunjukkan pada orang tertentu. Klien-nya tentu tidak masuk hitungan.
Tak ada balasan. Well ... seperti dugaannya.
"Tolong bangunlah, Mr.Melrose," ujar Stephanie menggenggam tangan Patrick tanpa ragu. "Buka mata Anda. Jangan takut."
Patrick tiba-tiba membalas genggaman tangan Stephanie. Tapi itu cukup kuat hingga membuatnya sedikit merintih. Tapi Stephanie masih bisa menahannya.
"Sir, bangunlah. Saya mohon buka mata Anda," minta Stephanie lagi masih dengan nada yang sama.
Perlahan, Patrick terlihat berusaha membuka matanya. Itu jelas tampak sulit dilakukan. Entah mimpi apa yang dilihat Patrick detik itu, Stephanie yakin pasti bukan sekedar mimpi buruk biasa.
"Will ... kerson ...?" sebut Patrick susah payah. Suaranya terdengar parau, dan serasa menyayat perasaan Stephanie.
Stephanie tersenyum.
"Ya, Sir. Ini sa—!!"
Belum selesai Stephanie berucap, Patrick tiba-tiba menarik tubuhnya hingga ia terjatuh di atas tubuh Patrick. Sang wanita mengerjap. Mencoba memahami apa yang tengah terjadi.
"T-t-tunggu dulu! Ini sudah—"
"Tolong diamlah," potong Patrick menyela cepat. Mendekap tubuh Stephanie yang berada di atasnya, dengan mata terpejam. "Dan tetaplah seperti ini. Stay with me."
Permintaan terakhir itu jelas diluar prediksi. Diluar naskah. Diluar dugaan. Diluar segalanya. Dan ketika Stephanie mencoba melawan--menarik diri--Patrick justru balik melawan. Membuat Stephanie terpaksa pasrah dengan keadaan.
"Jangan coba-coba melakukan sesuatu yang tak pantas," ujar Stephanie memperingatkan, "dan hanya kali ini saja, saya ikuti kemauan aneh Anda,"
"Kau sungguh kaku sekali," komentar Patrick tak habis pikir. "Tapi terima kasih, dan maafkan aku."
— ■ —
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top