12. Si Nomor 1

— ■ —

Patrick membuka pintu rumahnya dengan perasaan malas. Dirinya terlalu malas--atau tak siap tepatnya--bertemu dengan wanita yang baru saja ia intip--secara tidak langsung--jati dirinya. Yah, walau apa yang ia baca, konsepnya hanya secara umum di dalam ruang lingkup pekerjaannya.

"Welcome home,"

Sapaan Stephanie sukses mengejutkan Patrick. Membuatnya berbalik cepat memunggungi pintu rumahnya yang baru ia tutup.

Di hadapannya, sang wanita dari Metanoia jelas tengah berdiri menatapnya. Kedua tangannya bersembunyi di balik pinggangnya, bibirnya mengukir senyum samar.

"Anda kembali lebih cepat dari dugaan saya," komentar Stephanie kemudian. Dan seketika, tatapannya jatuh pada lembaran yang dibawa sang pria berambut cokelat itu.

Patrick tak menyahut. Ia hanya diam membisu memandangi partner sementaranya itu.

"Kenapa kau berbohong?" tanya Patrick tiba-tiba, yang jelas keluar dari topik yang tengah mereka bahas.

Stephanie mengangkat sebelah alisnya.

"Bohong? Soal apa?" balas Stephanie bertanya balik.

"Aku bukan seorang jenius. Lalu kenapa data ini menyatakan sebaliknya?" Patrick mengangkat kertas yang dibawanya. Menunjukkan tulisan yang tertera di sana, ke Stephanie. Dan membiarkan wanita itu untuk membacanya.

Sang wanita berambut honey blonde itu menyipitkan mata. Mencoba membaca lebih jelas tulisan yang tertera di kertas di hadapannya.

"Tunggu. Dari mana Anda mendapatkan data ini?" tanya Stephanie usai membaca sebagian besar tulisan yang ada.

Terkejut? Tentu saja ia terkejut.

"Johnny," jawab Patrick dengan singkat.

"Ah, rupanya Anda pergi menemui Mr.Hall," komentar Stephanie mengangguk-angguk paham. Sejenak melepas pandangan dari Patrick, untuk memikirkan sesuatu.

"Jawab pertanyaanku, Willkerson," pinta Patrick tiba-tiba melangkah mendekati Stephanie. Mengembalikan fokus sang wanita kepadanya lagi.

Stephanie memandang lurus pria jangkung di hadapannya. Tidak merasa gentar akan intimidasi yang diberikan Patrick secara tidak sadar. Dan untuk kali pertamanya semenjak Patrick bertemu Stephanie, ia melihat wanita itu tersenyum sinis.

"Kenapa Anda memermasalahkannya?" tanya Stephanie masih memertahankan senyum sinisnya. Bahkan nada bicaranya pun tampak berbeda.

Itu sopan. Tapi mengandung unsur merendahkan di baliknya.

Patrick mengerjap. Pikirannya serasa kosong selama beberapa saat.

"Apa?" Hanya satu kata itu yang terpikirkan olehnya.

"Seperti yang saya bilang, kenapa Anda memermasalahkannya?" balas Stephanie mengulang pertanyaannya lagi. Tangannya bergerak meraih kertas yang dibawa Patrick. Membacanya ulang, dan ganti menunjukkannya kepada Patrick.

"Data ini adalah fakta," ungkapnya, "dan saya akan jujur menjelaskan semua ini, andai Anda memang mempertanyakannya. Tapi sebelum saya menerima itu semua, tolong jawab pertanyaan saya barusan.

Kenapa Anda memermasalahkan ucapan bohong saya? Bohong atau tidak, itu bukan hal penting, 'kan? Toh hubungan dua arah ini hanya sementara,"

"Kenapa kau selalu membahas hubungan sementara?" balas Patrick menantang. "Apa sesungguhnya, kau tak mengharapkanku sebagai partner-mu?"

Kali ini, Stephanie yang ganti membisu. Yang ganti merasa otaknya kosong selama beberapa saat. Sebelum akhirnya, ia tak bisa menahan diri untuk tidak terkekeh.

"Oh astaga, maafkan saya atas ketidaksopanan saya barusan," ujar Stephanie usai berhasil menghentikan kekehannya. "Saya tidak bermaksud mengejk Anda atau sejenisnya."

Patrick mengangkat sebelah alisnya. Seketika merasa bingung dengan perubahan drastis dari sikap wanita di hadapannya.

"Faktanya, saya hanya merasa tak tahu bagaimana menghadapi sikap Anda terhadap saya," ujar Stephanie kemudian mengakui. Matanya memandang kertas di tangannya, tapi tak benar-benar memandang ke arah itu. "Semua partner saya terdahulu, tidak peduli akan siapa saya. Bagi mereka, selama saya menjadi partner yang baik, itu sudah lebih dari cukup. Karena itu, ketika saya mendengar segala ucapan Anda terhadap saya, saya tak tahu harus bagaimana menghadapinya.

Lalu soal kebohongan itu, maafkan saya. Saya tak ingin mengakuinya karena saya memiliki hal yang tak mengenakan akan fakta tersebut. Anda tahu? Menjadi jenius itu adalah mimpi buruk. Terutama jika Anda berada dalam tubuh anak kecil,"

"Apa maksudmu?" tanya Patrick mengerutkan kening.

"Anda ingat tato di belakang leher saya?" balas Stephanie menunjuk lehernya. Dan Patrick mengangguk sebagai jawaban. "Itu menyimpan sebuah arti. Singkatnya, ini adalah tingkatan saya ketika di panti asuhan dulu,"

"Kau ... dari panti asuhan?"

Stephanie mengangguk. "Willkerson adalah nama keluarga yang mengadopsi saya," jelasnya, "sebelumnya, saya tak memiliki nama marga. Hanya Stephanie ... The number 1."

— ■ —

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top