11. Jadi, Kenapa Ingin Tahu?

— ■ —

Langkah pria berkulit gelap tersebut melambat saat matanya menangkap sosok seseorang yang tengah duduk sendirian, di sebuah kursi taman cokelat. Pria tersebut memiliki postur tubuh jangkung, kulitnya putih agak pucat, rambut cokelat yang sedikit keriting.

There he is.

"Patrick!" Pria itu memanggil sambil melambai pelan. Menarik perhatian pria jangkung itu dari lamunannya.

"Hei, Johnny," Patrick segera beranjak dari tempat ia duduk ketika bertemu dengan sahabatnya. Dan tanpa menunggu balasan lain, keduanya langsung berpelukan sebagai salam antar sahabat.

"Kau terasa lebih berisi ketimbang terakhir kali kita bertemu," komentar Johnny usai melepaskan pelukannya, dan menilai sosok di hadapannya dari ujung kaki hingga kepala.

Patrick terkekeh akan komentar tersebut.

"Tampaknya partner-mu memberi makan dengan baik," tambah Johnny berkecak sebelah pinggang.

"Ah, partner ya ...," Patrick seketika terbayang akan sosok Stephanie. Dan ia ingat, ia pergi tanpa berpamitan langsung dengan wanita itu. Hanya meninggalkan pesan di secarik kertas.

Johnny terdiam memandangi Patrick penuh selidik. Seperti mencoba mengorek isi pikiran teman dekatnya itu.

"Dan apakah partner wanitamu itu yang ingin kau bicarakan?" tebak Johnny sedikit mengulas senyum.

Patrick memandang Johnny dengan pandangan aneh. Seperti tidak suka, tapi juga takjub.

"Aku anggap itu jawaban ya," sahut Johnny menarik kesimpulan.

"Aku bahkan belum berkata apa-apa," gerutu Patrick.

"Memang. Tapi ekspresi wajahmu mengatakan segalanya," balas Johnny sembari melangkah menuju bangku yang diduduki Patrick sebelumnya. Lalu duduk, dan mencari sesuatu dari dalam tas selempang yang dibawanya. "Dan artinya, suatu tindakan yang tepat aku membawa ini bersamaku,"

"Apa?" tanya Patrick ikut mendekat ke bangku taman tersebut, dan duduk di samping Johnny.

Tepat setelah Patrick duduk di samping Johnny, pria itu tampak mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tasnya. Menyerahkannya pada Patrick, yang memandangnya penuh tanda tanya.

"Kau ingin tahu soal partner wanitamu itu, 'kan?" ujar Johnny menjelaskan, "kalau begitu ini jawabannya."

Serasa dirasuki oleh sesuatu, Patrick langsung menggerakkan tangan kanannya untuk menyambar kertas tersebut. Tapi Johnny, yang lebih cepat, segera menarik kembali tangannya sehingga Patrick hanya mendapatkan udara kosong.

"Johnny apa yang kau ...," Patrick menatapnya tajam. Kini bingung dengan kemauan teman dekatnya itu.

"Sebelum kau membaca ini, biarkan aku bertanya satu hal," ujar Johnny masih menahan kertas di tangannya, agar tidak berada dalam jangkauan Patrick. "Kenapa kau tiba-tiba ingin tahu soal partner-mu itu? Dari apa yang kuingat, kau menolak mentah-mentah kehadirannya saat hari pertama, 'kan,"

Checkmate!

Itu adalah pertanyaan yang amat sangat tidak diharapkan Patrick. Meski ia telah memerkirakan pertanyaan tersebut, tetap saja ia tak siap ketika sungguh mendengarnya.

"Apa salahnya memahami partner-mu?" balas Patrick seperti balik bertanya pada Johnny.

"Memang tidak salah," jawab Johnny mengangguk setuju. "Tapi, akan lebih baik lagi jika kau memahaminya secara langsung dan perlahan. Tidak dengan cara instan semacam ini,"

"Bukan masalah, 'kan? Toh hubunganku dengan Willkerson hanya sementara," balas Patrick menggedikkan bahu. Tak ambil pusing.

"Dan itu juga berlaku untuk pertanyaanku tadi. Ini hanya sementara, jadi untuk apa kau ingin tahu soal dirinya,"

Patrick membisu. Ucapannya dengan cepat diputar balikkan oleh Johnny.

"Pat—"

Di saat Johnny menurunkan kewaspadaannya, Patrick menyambar cepat kertas di tangan pria berkulit hitam tersebut. Membuatnya mengerjap beberapa kali untuk mencerna apa yang baru saja terjadi.

"Kau selalu saja banyak bicara, Johnny," komentar Patrick mendengus dan tersenyum bangga dengan keberhasilannya mendapatkan apa yang ia mau.

Johnny menatap tak percaya kertas yang telah berpindah tangan darinya itu. Tapi setelahnya, ia mengalah saja. Ya sudahlah.

Menyadari Johnny tak berniat melawan atau sejenisnya, Patrick pun memilih untuk mulai membaca apa yang ada di kertas tersebut.

Selama beberapa saat, keduanya terdiam. Patrick fokus dengan kertas di tangannya, sedangkan Johnny dengan ponselnya.

"Ha ... apa-apaan dengan rekam jejak ini," komentar Patrick usai membaca dua dari tiga selembaran tersebut. "Dia ... selalu berurusan dengan pecandu, ataupun orang-orang dengan mental tidak stabil? Bukankah itu gila?"

"Tidak juga," sahut Johnny seolah membela kebenaran dari apa yang tertulis di kertas tersebut. "Meski ia punya masalah dengan gejala Narkolepsinya, ia memiliki skor sempurna dalam test masuk Metanoia. Dan Willkerson adalah satu-satunya pekerja yang memiliki otak jenius di Metanoia. Partner yang luar biasa, bukan?"

Patrick kembali membaca data yang tertera di kertas tersebut. Tepatnya pada data statistik test yang dijalani Stephanie. Semua hasilnya--dari lima kategori--sempurna.

'Saya tidak jenius.'

Tiba-tiba, sebuah kalimat yang diucapkan Stephanie belum lama ini, terngiang di kepala Patrick.

"Dia bukan seorang jenius," bisik Patrick.

"Hm?"

"Dia, Willkerson, ia mengatakan dirinya bukan orang yang jenius. Tapi data ini ...," Patrick terhenti. Kembali membaca kertas di tangannya, seolah memastikan apa yang ia baca adalah kebenaran. "Kenapa ia justru berbohong?"

"Karena ia merasa itu tidak penting," jawab Johnny mewakili. "Ia hanya menjalankan tugas sebagai partner sewaan. Tentang siapa dirinya, atau sejenius apa dia, baginya itu tidak penting. Selama pekerjaannya berjalan lancar, maka itu sudah cukup."

Dan perkataan Johnny, seketika menyadarkan sesuatu di dalam diri Patrick.

— ■ —

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top