2.3
MARCO POV
"Aga!" Panggilku dari ruang tengah di lantai dua. Aku tahu Bhagas sedang ada di kamarnya.
"Iya, Ayah?" Sahutnya sambil mengelurkan kepala dari balik pintunya.
"Sini doong temenin Ayah nonton. Sepi nih Mama lagi sama Nenek."
Lalu Bhagas menggampiriku.
"Ayah nonton apa?" Tanyanya saat duduk di sampingku.
"Nonton iklan. Bingung abisnya nonton apa." Jawabku.
"Ayah aneh!" Serunya.
"Aga! Aga seneng ga mau punya ade?" Tanyaku.
"Seneng Yah. Aga gasabar adek lahir. Aga penasaran cewe apa cowo."
"Adenya Aga cowo." Kataku. Bhagas langsung antusias dengan info baru ini.
"Yeayyyyyy!!! Aga berati punya temen main!" Serunya bahagia.
"Aga nanti bantuin Ayah sama Mama jagain Ade yaa." Kataku.
"Iya Ayah. Siap!" Jawabnya.
"Aga jangan ngiri ya sayang kalo nanti Mama jadi sibuk sama Ade." Kataku.
"Iya Ayah. Aga tau ko. Ade kan masih kecil belum bisa apa-apa. Masih harus diurus sama Mama. Aga kan udah gede." Jawabnya.
Dan ya! Aku terharu. Aku terharu karena ia yang baru 8 tahun sudah bisa berfikir seperti itu. God! am so proud to be his dad! Bhagas memang jauh lebih dewasa ketimbang umurnya.
"Good Boy! My Boy! Tapi Aga harus inget. Mama Clar tetep sayang sama Aga walaupun Mama nanti sibuk sama Ade!" Seruku.
"Iya Ayah. Lagian kan aku juga nanti bisa ajak main adek. Jadi makin rame deh rumah ini!"
Aku langsung memeluknya, mengecup puncak kepalanya. Aku gapernah nyesel ngadopsi Bhagas. Dia hal terbaik pertama yang ada di hidupku. Dia magnet yang menarik kebahagiaanku.
Bhagas yang bikin aku jadi seorang Ayah. Dia mau manggil aku Ayah meskipun dia ga kenal aku sebelumnya. Dia yang bikin aku kenal Clarissa. Sampe sekarang. Sampe aku mau punya anak biologis. Itu semua gabakal nyata kalo ga ada Bhagas.
"I love you. Son!" Kataku.
"I love you. Dad!" Balasnya. Dan aku memperat pelukanku.
Aku melepas pelukanku karena ponselku bergetar.
Mama Clar calling...
Clarisaa menelfonku.
"Kenapa, bae?" Tanyaku menjawab panggilannya.
"Ini Mama. Marco. Mama sama Papa lagi di jalan ini nganter Clarissa! Ketubannya pecah!"
Seketika otakku juga pecah. God! Aku harus apa sekarang.
"Mar! Marco!" Seru Mama di kejauhan sana.
"Iya Ma! Mama di jalan? Bawa ke BMC aja ma. Aku nanti minta tim dokter kandungan nunggu Clarissa dateng. Biar langsung ditangani."
(BMC = Bogor Medical Center)
"Yaaa? Ini kita udah sampe di RSIA Melania."
"Lho Ma? Kan Clarissa selama ini check up nya di BMC terus!"
"Udah gapenting. Yang penting kamu kesini sekarang yaa!" Seru Mama lalu mematikan telfonnya.
Aku panik. Panik sejadi-jadinya. Gimana ini?????
"Kenapa Yah?" Tanya Bhagas.
"Mama mau ngelahirin sayang. Ayoo Aga ikut!" Kataku.
Bhagas langsung lari ke kamar yang sudah disiapkan untuk adiknya. Entah apa yang akan ia lakukan. Aku menyambar kunci mobilku. Masuk ke kamar untuk mengambil dompet dan jaket.
"Aga cepetaaan!" Seruku sambil berlari menuruni tangga.
Aku langsung masuk ke mobilku, tak lama Bhagas masuk dengan membawa tas biru yang lumayan besar.
"Itu apa?" Tanyaku.
"Aku pernah bantuin Mama packing ini. Katanya ini persiapan kalo adek lahir." Jawabnya. Shit! Dia lebih siaga dari gue. Gileee Marco!
"Oke Goodboy!" Seruku, lalu mengemudikan mobilku menuju Melania. Jarak rumahku dengan RSIA Melania lumayan jauh, tapi untung saja jaraknya berdekatan dengan rumah Orang Tua Clarissa. Setidaknya ia tidak perlu lama menahan sakit dan cepat ditangani oleh orang yang tepat.
"Aga telfon Oma, Oma Ibun sama Tante Zet dong. Bilang Mama lahiran di Melania!" Seruku sambil memberinya ponselku.
Dengan sigap Bhagas meraih ponselku dan melaukukan apa yang kupinta.
Kami tiba di rumah sakit. Aku menelfon Mama.
"Ma? Dimana?" Tanyaku begitu telfon diangkat.
"Di ruang inap. Baru pembukaan 3 ternyata hehe."
Hehe? Hehe? Ya ampun Ma ini situasi lagi tegang sempet-sempetnya ditambahin hehe. Batinku.
"Di ruang apa?" Tanyaku.
"Mama ga inget. Dari lobi belok kiri pintu ke 2." Jelasnya.
"Oke Ma." Aku langsung mematikan telfonnya. Menggandeng Bhagas menuju ruangan yang di jelaskan oleh Mama.
Begitu sampai di ruangan, aku melihat Clarissa. Terbaring dalam bangkar rumah sakit. Aku langsung menghampirinya, menggengam tangannya dan mengecup keningnya.
"Gimana?" Tanyaku.
"Udah ga sakit ko. Tadi doang rada sakit." Jawabnya.
Mukanya pucat namun tetap terlihat ceria. Senyum indahnya tetap mengembang di pipinya.
"Temenin aku jalan-jalan yu?" Ajaknya.
"Jalan-jalan?" Tanyaku heran.
"Tadi dokternya bilang banyakin jalan biar nanti keluarnya gampang. Bolak-balik ruangan ini aja." Jelasnya. Aku mengangguk.
Segera aku membantunya, memegangi tangannya sementara kami berjalan bolak-balik di ruangan ini.
Bhagas memperhatikan kami dari sofa. Ia duduk diapit oleh Mama dan Papa-nya Clarissa. Mama mengelus-elus rambutnya.
Sekian menit mondar-mandir lalu Clarissa menjerit. Sepertinya perutnya sakit lagi. Aku langsung memapahnya untuk kembali ke bangkarnya. Mama juga sepertinya memanggil suster.
Dokter datang bersama suster, ternyata aku mengenalnya. Dokter Fatma. Seniorku dulu di kampus yang sekarang udah jadi dokter specialis kandungan.
"Wah ini ternyata istrinya Marco?" Tanyanya.
"Iyaa dok. Priksa dulu aja. Tolong!" Kataku. Enggan basa-basi disaat istriku sedang menjerti-jerit kesakitan.
"Langsung pindah aja yu. Ke ruangan bersalin. Udah siap ini!" Jelasnya.
Aku mengangguk. Tapi jantungku berdetak lebih liar dari tadi. Aku hanya berharap bahwa jantung ini tidak melompat keluar.
Aku berjalan dan ikut membantu mendorong bangkar menuju ruang bersalin. Clarissa terus mencekram tanganku. Aku tersenyum untuk menyemangatinya. Sengaja tak berkata apa-apa. Bisa-bisa pertahananku dalam menjaga ketenangan bisa bobol kalau aku buka suara.
Kami sampai di ruang bersalin. Dokter Fatma bilang kalau posisi bayinya sudah pas, jadi Clarissa bisa melahirkan secara normal. Good to know!
"Baby! Yang kuat yaa!" Seruku saat ia mulai menjerit.
Aku gaķ kuat. Sungguh! Bisakah aku lari dan menunggu di luar? Oh shit gue bukan lakik kalo gitu!
Aku dokter bedah. Aku terbiasa dengan darah. Dengan macam-macam alat yang mengerikan. Dengan semua yang berhubungan dengan operasi.
Tapi tidak ini. Disini. Melihat Clarissa berjuang. Menjerit karena sakit. Tak ada hal lain yang bisa kulakuan selain mengelus rambutnya. Tanganku yang lain bahkan dicengkram kuat olehnya.
Aku sudah berlutut agar wajah kami setara. Kelihatan sekali Clarissa kesakitan, wajahnya tak menyembuyikan semua itu.
Aku dokter, aku terbiasa dengan semua ini. Harusnya! Tapi tidak. Aku bukan dokter specialis kandungan. Dan asal tahu saja, semua pasienku pasti di bius dulu. Mereka tidak merasakan sakit apapun. Beda dengan ini.
Sekian menit berjuang melawan ketakutan sendiri dan melihat perjuangan Clarissa.
Kelegaan akhirnya menyelimuti ruangan saat terdengar tangisan bayi.
Badra! Oknum yang sering kami bicarakan sebelum tidur. Oknum yang menyita seluruh perhatian karena kehadirannya sangat ditunggu. Akhirnya hadir!
"Ini, Pak!" Seru suster memberikan anakku untuk ku gendong.
Shit. Gimana cara gendongnya? Kalo jatoh gimana?
Pelan-pelan aku menerima uluran tangan suster itu. Suster itu cekatan dan langsung memposisikan Badra agar nyaman ditanganku.
Badra menangis. Suara tangisannya nyaring dan kuat tapi terdengar merdu. Terdengar menyenangkan dan menenangkan.
"Hello my baby boy!" Bisikku pelan.
Aku tersenyum pada anakku ini, mengelus pipi mungilnya dengan jari telunjukku dan seketika tangisannya sedikit berhenti. Bibir dan pipinya mengembang. Ia membalas senyumku. Gila! Demi dewa manapun. Ini moment paling spesial di hidup gue!
Aku berjalan pelan. Menuju Clarissa. Ia terlihat letih namun kebahagaiaan di wajahnya kentara sekali. Aku mendekatkan anak kami padanya. Badra masih menangis namun tidak sekuat tadi.
Clarissa tersenyum begitu kuperlihatkan wajahnya. Dengan lembut aku meletakan Badra di dadanya. Clarissa membuka kancing bajunya dan hebatnya Badra langsung tahu. Ia menyusu dengan sangat lahap. Aku tersenyum melihatnya, God! Thanks for all this happiness.
"Ganteng yang!" Seruku. Clarissa hanya tersenyum, menatap Badra dengan tatapan memuja.
Kebahagiaan kami terintrupsi oleh beberapa suster. Mereka mengatakan harus membersihkan Clarissa maupun Badra. Satu suster membawa Badra menghilang dari pandangan kami. Dua orang suster membersihkan Clarissa di bawah sana. Aku tak terlalu mengerti.
Yang kupahami sekarang adalah aku bahagia! Benar-benar bahagia hingga rasanya aku berada di lapisan langit tertinggi.
Aku punya anak. Itu keinginanku dari dulu. Dari aku pertama kali menikah. Namun Tuhan benar-benar mengabulkan doaku disaat yang tepat bersama orang yang tepat.
Jika bukan Clarissa mungkin rasanya tak seperti ini. Jika bukan dengan Clarissa pasti tak sebahagia ini.
Thanks God. You are so good!
*****
TBC
Thanks for reading.
Dont forget to leave a comment and vote xoxo :)
Ps: kalo dipikir-pikir gila juga ya? Gue tiap update chapter, satu chapter bisa sampe 1300+ word. Satu cerita bisa lebih dari 20 chapter, itung aja itu ada berapa word. Lha skripsi gue aja cuma 7000 word bisa bikin gue lulus S1 hahaha!
Pss: suseh yaa kalo emang udah hobi mah 😂
Psss: kangen kuliahhhh 😭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top