Slubberdegullion


Harry Hawthrone menunduk dalam-dalam saat Orman Hawthrone tiba di ruang pertemuan besar. Joanna Hawthrone berdiri di sampingnya. Ini kali pertama dia melihat keluarga sedarahnya berkumpul setelah sekian lama. Harry meneguk ludah dengan susah payah. Seperti ada sebongkah batu yang mengganjal di tenggorokannya. Harry berusaha untuk terlihat sesantai mungkin. Joanna Hawthrone memandangnya dengan senyum. Ada kilatan penasaran tergurat di wajahnya. Dia memang tidak bisa mengalihkan pikiran yang sudah mengusiknya semenjak tadi siang saat melihat Harry untuk pertama kali. Joanna melihat kemiripan di mata dan bibir Harry dengan mendiang kakaknya. Terlebih Joanna baru menyadari jika nama Harry sama seperti nama keponakannya.

Setelah memberikan hormat pada Orman dan Joanna, Adam serta Harry dipersilakan duduk lalu menceritakan kejadian yang mereka lihat. Orman Hawthorne mendengarkan sambil bersandar pada kursinya. Joanna duduk di sampingnya sambil sesekali melirik Harry. Melihat Harry selalu mengingatkan Joanna pada Felix.

"Kau yakin ini ulah penyihir, Julio?"

"Kemungkinan besar, Yang Mulia. Aroma amis yang pekat, sama seperti Ayrus, tetapi ini lebih kuat. Tapi saya tidak bisa memperkirakan seberapa kuat dia untuk saat ini, melihat dari gerak-geriknya, dia mengambil energi kehidupan dari hewan-hewan yang ia temui," jawab Julio tanpa keraguan. "Kuda saya sepertinya merupakan korban dari penyihir ini, tapi dia tidak mati," tambah Julio.

"Apakah ada laporan lain yang kau terima selain ini?"

"Tidak ada Yang Mulia. Ini kali pertama."

"Jika kudamu menjadi korban, berarti dia sudah memasuki istana. Bagaimana dengan kuda lainnya?"

"Kemungkinan dia sudah masuk istana, kami akan menyelidikinya secepat mungkin. Saat ini hanya kuda milikku," jawabnya sambil mengingat Luoes yang terbaring lemah. "Saya akan menunda keberangkatan ke Aidemarg untuk sementara waktu."

"Lalu apa yang kaubutuhkan untuk mencarinya?"

"Saya membutuhkan mereka berdua. Mereka mungkin bisa membantu banyak." Orman menatap Adam Glandwin dan Harry Hawthrone bergantian. Matanya memang sudah cukup rabun, tetapi dia jelas tidak salah mengenali guratan wajah Harry.

"Felix."

Joanna menoleh pada ayahnya. Pria itu bangkit perlahan untuk mendekati Harry yang sudah membeku di sana. Joanna dan Julio berusaha menahan Orman yang terus menatap Harry. Dia sudah tiba di depan Harry yang saat itu hanya bisa menahan napas. Jika boleh memilih dia akan mati saja dibanding menghadapi situasi seperti ini. Perlahan langkah Harry bergerak mundur. Dia tahu ini tidak benar, tetapi saat itu ada yang menahannya. Entah apa itu, tetapi Harry yakin dorongan gaib itu menguasainya untuk tetap diam di tempat.

Harry merasa dunianya menggelap.

"Aku kenal wajahmu," ucapnya dengan raut wajah pilu.

"Ma.... maaf Yang Mulia.... saya... saya bukan siapa-siapa."

Nada suaranya nyaris membentak namun tertahan karena gugup. Tangannya menggenggam erat di samping pahanya. Adam Glandwin ingin bertindak menyelamatkan Harry, namun dia tidak bisa memikirkan satu kata pun yang bisa digunakannya sebagai pertolongan.

"Ayah, dia bukan kakak. Dia orang lain," Joanna menarik lembut ayahnya. Mata Orman Hawthrone masih terpaku pada Harry yang gugup.

"Kau benar, dia bukan Felix," ucapnya setelah sadar namun matanya tidak lepas memerhatikan Harry. Dia kemudian menjauhi Harry yang tampak masih membeku. Joanna memutuskan untuk membawa ayahnya beristirahat. Julio memerhatikan Harry yang tampak aneh. Dia tahu ada yang tidak beres dan itu akan menjadi pekerjaan tambahan untuknya.

"Kalian berdua bisa beristirahat di sini. Besok pagi-pagi kita akan mulai menyusun rencana," Julio menyuruh salah satu pelayan untuk menyiapkan kamar. Adam Glandwin tampak senang, namun berbeda dengan Harry yang sepertinya tidak suka dengan tawaran Julio.

"Terima kasih, Panglima," Adam memberi hormat namun dibalas Julio dengan senyum kecil. Nyaris segaris.

Julio Harding memutuskan untuk meninggalkan mereka berdua yang akan diantarkan pelayan menuju kamar mereka. Harry Hawthrone melihat karpet istana yang tampak seperti tanah kusam baginya. Jantungnya berdenyut-denyut tidak keruan, urat nadinya seakan ingin keluar dari kulitnya. Dia tidak tahu sedahsyat ini efek yang didapatnya setelah bertemu dengan kakeknya. Dulu dia sangat dekat dengan sang kakek. Kakeknya itu sering bermain dengannya dan menggendong dirinya keliling istana. Hatinya seperti ditekan dengan belati tumpul, tidak berdarah tetapi sakit. Apakah keputusannya benar untuk terus bersembunyi seperti ini? Ataukah dia salah? Tapi mengingat lukisan wajah ibunya yang dihilangkan dari pigura besar itu, membuat Harry semakin meyakinkan diri jika itu tidak perlu. Ibunya wanita jahat, dia tidak ingin keluarganya mengingat luka itu saat dia tahu Harry masih hidup.

❅❅❅

Harry duduk bersandar di kusen jendela. Matanya menatap mega luas yang malam itu tidak dihiasi parade bulan bintang. Hanya ada beriring awan mendung yang hilir mudik lewat. Puncak pegunungan Nootbew bergelombang-gelombang seperti siluet lukisan hitam-putih. Dapptaw dengan puncak tertingginya, lalu diiringi Atmos, kemudian Cortana, di sebelahnya Rosales, dan puncak-puncak kecil lainnya. Pemandangan yang dulu sering ia lihat dari dalam istana, masih tetap sama, tidak berubah. Gunung-gunung itu abadi di sana.

Dia tidak bisa tidur. Pikirannya ke sana kemari memikirkan banyak hal. Dia hanya diam sesaat setelah mereka diantar ke kamar dan makan makanan yang juga diantarkan para pelayan ke kamar mereka. Adam Glandwin tidak mendesaknya untuk berbicara karena dia memahami kondisi Harry Hawthrone. Harry berterima kasih untuk pengertian temannya itu. Setelah selesai makan, Adam memutuskan untuk tidur. Meninggalkan Harry yang bergelanyut dengan pikiran tidak menentunya. Dia bisa melihat mata kakeknya penuh kerinduan akan mendiang ayahnya. Pastilah sangat sulit baginya kehilangan seorang putra kebanggan yang baru saja menjadi raja, terlebih itu dibunuh oleh istrinya sendiri. Jujur, dia tidak merasa kehilangan yang menyakitkan seperti keluarganya, dia masih kecil saat itu. Masih tidak mengerti apa pun.

Harry mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Dia menoleh sejenak ke arah pintu kayu besar itu. Adam sudah tertidur pulas di ranjangnya. Dengan langkah menyeret Harry berjalan untuk membukakan pintu.

"Panglima Julio, ada apa?" tanyanya heran.

Julio Harding menatap Harry sesaat. Dia kemudian menyuruh Harry untuk keluar. "Kita perlu bicara sebentar," ucapnya.

Julio mengajak Harry untuk keluar, ke dekat taman istana yang malam itu dihiasi lentera taman yang indah. Wangi bunga sedap malam semerbak di sana. Bercampur dengan wewangian mawar, tulip, lavender, zinnia, gypsophila, carmelia, azalea, anyelir, dan lain-lain. Siang hari taman ini sangat indah dengan semua warna yang bagaikan mengapung di tanah hijau. Di depan mereka tidak terlalu jauh, mengalir air dari sungai Moria dan hutan Dunkelheit. Julio menghentikan langkahnya di sana dan berbalik menghadap Harry.

"Di sini tidak akan ada yang mendengar. Kau akan mengatakan rahasiamu padaku," ujarnya tanpa basa-basi. Harry mengernyit heran.

"Rahasia apa?"

"Kau berpikir bisa membohongi semua orang, Nak. Tapi tidak denganku. Aku tahu ada sesuatu yang besar kau sembunyikan. Aku dengan senang hati menunggu kau bercerita," ucapnya memilih duduk di bangku taman. "Aku akan menyimpan rahasiamu itu, sekelam apa pun."

Haruskah Harry menggungkapkan bagaimana perasaannya sekarang mengenai Julio Harding? Dia tidak habis pikir bagaimana seorang panglima kerajaan mengetuk pintunya di tengah malam, lalu mengajaknya ke taman—dia hampir berpikir dia akan dilamar—kemudian dengan entengnya dia berbicara tahu apa yang disembunyikan oleh Harry. Apakah dia terlalu bodoh dalam mengatur ekspresinya sehingga dia mudah ketahuan tengah menyimpan rahasia besar. Entah di sini Harry atau Julio yang terlalu bodoh atau terlalu pintar. Haruskah dia memercayai Julio meskipun secara teknis itu adalah pamannya?

"Saya tidak punya rahasia sebesar perkiraan Anda," elaknya. "Saya memikirkan ayah saya yang sakit," dia menambahkan.

"Ayahmu?" tanyanya dengan menyelidik. Harry mengangguk.

"Ya, Ayahku," jawabnya dengan suara terdengar meyakinkan. "Ayah kandungku."

"Aku ingin memberitahumu satu hal sebelum kau berbicara soal kebenaran yang nanti akan kauungkapkan," ujarnya sambil melipat tangan di depan dada. "Aku bisa mengetahui kebohongan, aku bisa mengenali aroma tubuhmu. Terasa familiar," ungkapnya.

Harry terdiam.

"Kita pernah bertemu sebelumnya, saat di kedai makan. Kau tampak aneh saat itu dan aku mengenali aroma tubuhmu," Harry membulatkan matanya. Ternyata Julio mengingat dirinya saat itu. "Tapi jauh sebelum pertemuan kita waktu itu, kita sudah pernah bertemu belasan tahun lalu. Kau masih kecil, dan Ayahmu belum tiada. Aku mengenali aroma tubuh Ayahmu, mirip seperti dirimu."

Keringat dingin membanjiri pelipis Harry. Meskipun angin bertiup cukup kencang, itu tidak bisa menghapus kegugupan Harry. Sekarang dia memercayai ucapan orang-orang mengenai Julio Harding, seorang yang dulu bernama Lucifer. Malaikat di Surga yang menjadi Iblis di Neraka. Terlalu dini baginya untuk berbohong kepada orang seperti Julio. Dia skakmat, percuma melanjutkan drama yang dia pikir akan sukses ini.

"Saya mohon, Anda merahasiakan hal ini dari siapa pun," pintanya dengan suara lemah. Habis sudah tenaga Harry terkuras karena emosinya tadi bergejolak naik. Sekarang dia hanya bisa pasrah.

"Sudah kuduga kau memang tahu tentang jati dirimu. Lalu apa alasanmu menyembunyikan ini dari mereka?"

Dengan terbata-bata Harry mengungkapkan apa ketakutannya. Ibu. Itu alasannya.

"Dia yang membunuh Ayahku. Aku merasa tidak siap untuk kembali ke sini dan aku tidak pantas, aku anak pembunuh."

"Aku juga pembunuh, jauh sebelum aku bertemu Bibimu," ungkapnya. "Tapi kau harus tahu, mereka masih menyayangimu. Ikatan darah lebih kuat, Nak."

"Kau tidak mengerti! Aku, aku merasa aneh dengan semua ini. Ini aneh. Aneh dan aku tidak siap," kata-katanya kacau.

"Semua butuh proses. Aku paham, akan kurahasiakan ini. Termasuk dari Bibimu," dia berbicara tanpa Harry minta lagi.

"Kenapa kau seperti ini?" tanya Harry dengan suara serak.

"Setiap orang punya rahasia besar dalam hidupnya. Aku juga punya rahasia besar pada keluarga kerajaan ini yang tidak mampu aku ungkapkan sampai sekarang. Tapi kau tenang saja, itu bukan rahasia jahat, hanya rahasia untuk membuat orang yang kucintai tidak sedih dengan fakta menyakitkan. Kau bisa percaya pada Pamanmu ini."

Isi perut Harry terasa diaduk-aduk. Dia mendengar Julio mengucapkan kata paman, dia tidak berpikir hal ini akan terjadi secepat ini. Tapi memang itulah kenyataannya, Julio memang pamannya. "Sebenarnya aku tidak pernah menduga akan ketahuan secepat ini. Kupikir itu akan memakan waktu bertahun-tahun lagi," akunya.

"Sekarang ataupun nanti, hasilnya tetap sama, kau akan ketahuan. Kau tidak bisa menyimpan ini selamanya, mengingat kau sebenarnya adalah seorang pangeran. Kau jelas sadar itu, era Hawthrone garis akhir ada di tanganmu."

Apa yang dikatakan Julio memang benar. Jika kerajaan ini tanpa kepala apa artinya kerajaan. Dialah garis keturunan yang akan memimpin negeri ini, menggantikan mahkota ayahnya yang dulu baru bersemi. Tapi mengubah keputusan Harry tidak bisa sekejap mata. Banyak yang dia pertimbangkan, pikirannya pun belum mantap ditambah lagi Mazahs tengah menghadapi musuh baru yang bersembunyi di antara bayang-bayang. Dia harus fokus untuk menyelamatkan negerinya, barulah memikirkan hal lain yang perlu ia selesaikan.

"Nah, sekarang kau kembalilah ke kamarmu. Tidur dengan nyenyak. Besok kita akan menyusun rencana," Julio bangkit berdiri dari duduknya. "Ksatria tidak pernah melanggar janjinya. Akan kusimpan rahasiamu," setelah itu dia meninggalkan Harry yang masih berdiri di taman. Setelah cukup lama dia berjalan kembali ke kamarnya.

❅❅❅

Sudah sedari matahari terbit ketiga orang itu mengintai di antara semak belukar di dekat sungai. Mereka sengaja menunggu dari pagi buta untuk memperoleh peluang munculnya tangan itu lagi. Julio tidak membahas hal semalam. Dia bersikap seperti biasa pada Harry dan Harry berterima kasih untuk itu. Mereka memutuskan untuk tidak membawa kuda karena bisa saja di saat mereka mengintai di dekat sungai, makhluk itu menyerang kuda mereka tanpa diketahui.

"Ingat, ketika dia muncul kita hanya perlu diam. Kita harus mengintai pergerakannya," Julio mengingatkan sekali lagi tentang rencana mereka.

"Panglima, bisa kau menceritakan tentang para penyihir yang dulu menyerang negeri kita?" Adam tiba-tiba ingin tahu tentang kehebatan Julio Harding yang didengarnya dari cerita orang-orang. Rasanya bisa bertanya langsung adalah sesuatu yang mengesankan.

"Mereka licik. Sekte pemuja setan juga seperti itu. Mereka bekerja sama dengan salah satu pangeran neraka," ucap Julio sambil terus mengintai. Adam Glandwin tampak terkagum-kagum, berbeda dengan Harry yang justru diam.

"Kudengar mereka mempunyai banyak prajurit saat berperang?" dia terdengar semakin antusias.

"Sangat banyak," jawab Julio dengan senyum kecil. Dia suka rasa penasaran anak tambun itu, tapi situasinya sekarang tidak tepat. Mereka tengah mengintai.

"Adam diamlah, kita tengah mengintai," pinta Harry dengan jengkel.

Adam menurut lalu menutup mulutnya kemudian kembali ikut mengintai. Tiba-tiba saat mereka mengintai dari arah yang sama dengan mereka Julio mendengar langkah kaki. Julio menyuruh mereka untuk diam dan tidak melakukan gerakan. Tiba-tiba muncul seseorang sambil bersiul. Seorang wanita berambut kecoklatan. Dia memakai gaun panjang berwarna abu-abu gelap. Harry Hawthrone dan Adam Glandwin saling pandang sementara Julio Harding masih fokus pada wanita itu. Kemungkinan besar wanita itu penyihir tidaklah tidak mungkin.

"Sebelum terlalu terang dan ada orang yang lewat, aku ingin mandi sampai puas," ujarnya sambil memainkan air dengan jari-jari kakinya. Dan tanpa melihat kiri serta kanan, wanita itu melepas gaunnya. Menyisakan helaian kain tipis yang menerawang. Harry langsung menutup wajahnya, Adam membulatkan mata, dan Julio tidak teralihkan. Ingatkan dirinya adalah orang yang paling kuat godaan. Tidak ada yang bisa menggodanya selain Joanna Hawthrone.

"Demi Tuhan, apa yang wanita itu lakukan?" pekik Adam Glandwin tertahan.

"Shht, dia tidak tahu kita di sini. Jangan mengacaukan situasi. Biarkan semua berjalan sesuai rencana."

Harry tidak habis pikir bagaimana Julio tidak terganggu dengan wanita itu yang kini mandi hanya dengan sehelai kain tipis. Dia tidak terbiasa melihat hal yang seperti ini. Lalu Adam, dia tampaknya menyukai keberuntungan kecil ini.

Ketiganya masih mengintai dan wanita mandi itu bisa dikatakan adalah umpan mereka. Harry menyebutnya seperti itu karena kekejaman Julio Harding yang dinilainya terlalu ekstrim. Meskipun Julio sudah meyakinkan mereka berdua bahwa dia akan menyelamatkannya jika situasi buruk menyerang wanita itu, tapi tetap saja Harry sulit membayangkan wanita itu akan baik-baik saja. Mengingat tangan pucat itu menarik kancil serta ular terngiang di otaknya seperti mimpi buruk.

Saat bersamaan apa yang mereka tunggu akhirnya menampakkan diri. Perlahan dari semak belukar itu muncul kuku-kuku tajam berwarna hitam seperti garpu berkarat. Kemudian tangan pucat itu muncul dari sana, hampir menggapai wanita yang sedang lengah itu. Julio sudah menyiapkan pedangnya. Dia siap menariknya dari sarung. Sikapnya waspada, hal yang harus Harry kagumi darinya sekarang. Sangat khas seorang petarung dan panglima kerajaan.

Dan dalam sekejap wanita itu ditarik ke dalam semak belukar. Suara jeritannya melengking mengoyak gendang telinga Harry. Julio sudah mencabut pedangnya dan keluar dari persembunyian. Dia akan mengejar makhluk itu lalu menyelamatkan wanita yang menjadi korban. Namun langkah Julio terhenti saat dia melihat gerakan yang tidak biasa saat ia sampai di seberang sungai, tempat wanita itu tadi ditarik. Sangat lembut namun juga tangkas. Wanita itu pandai bertarung. Pisau kecil sudah ada di tangannya dan dia dengan cepat melukai tangan itu. Karena merasa sudah ketahuan, makhluk itu pergi dengan sangat cepat. Julio tidak bisa mengejarnya. Dia seperti langsung menghilang di balik semak belukar.

"Sialan, makhluk apa itu?" tanyanya sambil mulai berdiri. Saat ia berdiri barulah ia sadar jika ada tiga pasang mata yang melihatnya. Lalu dia kemudian sadar dengan tubuhnya. "Kubunuh kalian!" makinya. Harry membeku, mereka menghadapi apa yang lebih mengerikan dari sekadar sihir. Kemarahan seorang wanita!

TBC...

Leave something on the box below, oke kekekeke XD

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top