Sibylline


Dingin air pagi itu terasa menusuk-nusuk permukaan kulit Harry Hawthorne. Seperti ada bilah-bilah kaca kecil yang menari di permukaan kulitnya. Tapi itu sangat menyegarkan dan membuat matanya melek sempurna. Masih sedikit sembap khas bangun tidur, tetapi warna matanya tetap indah untuk dipandang. Warna matanya akan berubah-ubah sesuai penerangan cahaya. Seperti pagi ini, warnanya terang dengan kuning tembaga kehijauan di cinicinnya. Terlihat ada beberapa bercak kecoklatan di sekitar pupil. Sejenak ia berkaca di permukaan sungai. Rambutnya sudah cukup panjang, melewati pangkal telinganya. Dia akan meminta Adam memotongkan rambutnya nanti. Setelah mencuci wajahnya, Harry mencari kayu untuk menangkap ikan. Dia lapar. Ikan bakar terdengar sangat lezat untuk santapannya pagi itu.

Tetapi langkah Harry Hawthorne harus terhenti sejenak karena pada saat itu ia melihat pergerakan aneh dari semak-semak di seberang sungai. Sungai tempatnya berdiri sekarang hanyalah sungai kecil yang merupakan anak dari sungai Moria. Tidak terlalu jauh dari rumahnya sekarang. Harry menunduk untuk menyembunyikan diri. Entah datang dari mana sikap waspadanya itu. Dia merasa gerakan itu bisa membahayakannya. Bisa saja itu harimau, atau buaya, atau apa pun yang dapat membahayakan keselamatannya. Dalam diam dia mengintip dari semak-semak belukar yang tumbuh di sekitaran sungai. Bunyi berderit muncul dari seberang tempat gerakan aneh tadi. Harry Hawthorne semakin menajamkan pendengaran dan penglihatannya. Setelah beberapa lama muncul hewan kecil dengan warna kecoklatan. Kancil. Dia hampir saja jantungan karena merasa gerakan yang dilihatnya tadi aneh. Jika dipikir-pikir di sungai ini memang tidak ada hutan tempat binatang buas. Hanya ada kancil dan rusa yang sering mencari makan di semak-semak. Kancil itu minum air dari sungai dengan pelan. Harry merasa dia seperti orang bodoh dan memutuskan untuk segera pergi dari sana mencari kayu lalu membakar ikan. Sudut matanya masih dapat melihat kancil kecil itu minum. Namun tiba-tiba kancil itu raib begitu saja. Harry yakin dia tidak salah melihat dari sudut matanya saat kancil itu raib. Ada sesosok tangan pucat menjulur dan menarik sang kancil ke dalam semak-semak. Harry terdiam di tempat. Kejadian itu mengagetkannya. Dia merasakan kakinya seperti dipaku di tanah dan bulu kuduknya meremang.

Tuhan selamatkan aku.

Dia berdoa dalam hati. Dengan langkah yang sangat berat ia berhasil menyeret kakinya menjauh. Berlari pontang-panting dan hampir saja menubruk pohon tumbang. Napasnya tersengal, dia dapat merasakan paru-parunya mengecil dengan tekanan yang menyiksa. Jantungnya sudah tidak menentu, berdentam-dentum seperti ledakan gunung. Ini kali pertamanya melihat kejadian aneh setelah belasan tahun berlalu. Ketakutannya mulai terbit saat sosok Ayrus yang dulu pernah dilihatnya membayangi pelupuk matanya. Tertawa nyaring dengan getaran yang mengerikan. Dia harus memberi tahu Adam Glandwin tentang ini. Dia tidak bisa menyimpan cerita ini seorang diri. Seseorang selain dia harus tahu jika Mazahs masih dalam status terancam meskipun semua yang berbau sihir seperti hilang ditelan bumi selama beberapa tahun terakhir.

Dia dapat merasakan lehernya tercekik karena napas yang tidak teratur. Harry sudah bisa melihat beberapa rumah dan dia tahu di ujung sana merupakan rumah Adam Glandwin. Harry sudah merasa lebih aman saat ia menemukan perumahan warga. Tanpa basa basi, Harry langsung mengitari rumah dan mengetuk jendela kaca tempat kamar Adam.

"Harry? Ada apa?" tanyanya heran.

"Adam, kau percaya padaku?" tanyanya masih dengan napas yang terhambat. Adam mengangguk. "Kau akan percaya dengan semua yang akan aku katakan padamu?" tanyanya lagi.

"Hei tenanglah, tarik napasmu perlahan. Baru ceritakan."

Harry menurut. Dia mengatur napasnya meskipun tenggorokannya terasa sangat menyiksa. Pedih dan kering. "Minum," ucapnya meminta. Adam dengan gesit mengambilkan minuman di dapur.

Harry dengan kecepatan penuh menghabiskan minuman itu dalam beberapa teguk. Dia kemudian merasa lemas dan terduduk di tanah. Adam segera memanjat jendela dan keluar. Membantu Harry untuk duduk. "Ada apa?"

"Aku melihat sesuatu yang aneh di sungai," ujarnya masih dengan susah payah. "Tangan pucat yang mengambil kancil. Lalu hilang. Oh Tuhan, mengerikan!"

"Harry pelan-pelan. Ceritakan dengan jelas."

Harry yang sudah bisa menarik napas dengan benar mulai menceritakan apa yang dilihatnya. Dia tahu Adam tidak akan menertawakan ceritanya itu. Pria tambun itu akan mendengarkan dengan sungguh-sungguh.

"Jadi apa itu menurutmu, Adam?"

"Jelas itu sesuatu yang mencurigakan dan mungkin bahaya," jawabnya sambil berpikir. "Apakah menurutmu itu sekte pemuja setan atau penyihir yang tersisa. Mereka selama ini bersembunyi di suatu tempat. Bisa saja."

"Bisa jadi."

Harry terdiam memikirkan kemungkinan itu. Jika memang benar mereka, artinya Mazahs tidak aman sepenuhnya meskipun setelah perang mereka merasa menang. Masih teringat jelas perang di depan matanya waktu itu. Tidak akan bisa dia lupakan begitu saja keruntuhan istana tempatnya tinggal. Keserakahan manusia dan keegoismean yang tinggi merajalela waktu itu.

"Harry, kemungkinan jika itu memang mereka. Kau bisa saja tidak aman sekarang. Maksudku identitasmu, kau anggota inti kerajaan. Mereka akan mencarimu jika tahu siapa kau. Lagi pula, kau tidak bisa bertarung. Ini bukan keuntungan untukmu."

"Kau benar. Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?"

"Kita harus menyelidiki kebenaran milik siapa tangan itu. Jika situasi darurat, kita harus melapor ke istana. Setidaknya itu jalan yang mampu kita pikirkan sekarang."

Harry menggigit bibirnya ragu. Dia takut peristiwa seperti dulu akan terulang lagi.

"Semuanya akan baik-baik saja, Harry. Kita akan menyelidiki semampu kita."

Kata-kata Adam Glandwin cukup membantu Harry merasa tenang sejenak. Namun bayangan tangan itu menjulur dan mengambil kancil kecil itu tidak bisa dihilangkan Harry Hawthorne serta-merta dari liang pikirannya. Bukan nasib kancil itu yang dia pikirkan, tetapi tangan itu. Warnanya pucat, sepucat kain tenunan putih milik bibi Janet. Jari-jarinya panjang dan kukunya berwarna kehitaman. Mirip seperti garpu berkarat. Dia harus bisa menghapus ingatan itu sebelum mimpi buruk menghiasi malam-malamnya.

❅❅❅

Seperti yang direncanakan, Julio Harding akan berangkat menuju Aidemarg besok siang. Saat ini Joanna Hawthorne tengah menyiapkan pakaian yang akan dibawa suaminya. Tidak terlalu banyak yang akan dibawa hanya beberapa potong pakaian dan buah tangan dari kerajaan. Julio saat ini tengah duduk di kursi sambil membaca buku. Teh dan beberapa kue diletakkan di meja kecil di depannya.

"Kuharap kau cepat kembali dari Aidemarg."

"Aku tidak akan lama."

"Kecemasan akan selalu ada setiap kau tidak terlihat oleh sudut mataku. Kau tahu itu, Julio," Joanna melipat beberapa pakaian dan memasukkannya ke dalam tas kain.

"Kau tidak berniat memintaku untuk mengajakmu ke sana?"

"Tidak, Tatiana akan sendirian dan aku tidak bisa membiarkannya."

"Kau lebih senang aku sendirian dibanding anak kita. Baru kali ini aku merasa cemburu," komentarnya. Joanna tertawa geli dan mendekati Julio. Diangkatnya wajah pria itu lalu ditatapnya mata tajam yang masih saja selalu membiusnya.

"Aku selalu menemanimu selama ini. Jangan lupakan itu, Tuan Petarung."

"Apakah itu bisa membuatku terkesan, Yang Mulia?" Julio menutup buku yang dibacanya. Menarunya sembarang.

"Sangat terkesan. Kau tidak bisa mengelak," Joanna duduk di pangkuan Julio. Dia masih senang menggoda pria yang kini sudah menjadi suaminya itu.

"Kau tidak mengunci pintu kamar kita. Tatiana akan datang sebelum kau puas menggodaku, Yang Mulia," ada kilatan geli bercampur serius dalam ekspresi Julio. Sudah beberapa kali anak mereka mengacaukan situasi seperti ini.

"Dia tidak akan datang. Dia sedang menemani kakeknya melihat kuda," jawab Joanna tidak ingin dibantah.

"Dia akan datang. Aku sudah mendengar suara kakinya," sebelum Joanna sempat turun dari pangkuan Julio, pintu sudah menjeplak terbuka.

"Ibu," matanya langsung melebar. "Aku tidak tahu Ayah juga ada di sini!"

"Aku benar."

Julio tersenyum penuh kemenangan. Joanna segera turun dan menghampiri putrinya.

"Ada apa, Sayang?"

"Ini gawat," wajahnya penuh rasa cemas. "Luoes sakit. Ayah, kau harus melihatnya!"

Luoes kuda hitam jenis Akhal Teke milik Julio yang sudah menemaninya bertahun-tahun. Julio segera berdiri dan mendekati putrinya. "Ayo kita melihatnya."

Ketiganya keluar dari kamar dan melihat keadaan kuda milik Julio. Kudanya itu sudah memiliki ikatan batin dengan Julio. Selama ini tidak tampak tanda-tanda kuda itu tidak sehat. Julio melihat kudanya yang terbaring lemah. Dia meringkik pelan saat kehadiran Julio ditangkap oleh matanya. Julio memegang kepalanya dengan sayang. Surai hitam kuda itu terasa sedikit kasar. Hangat tubuhnya tidak normal. Julio sudah mengenal hangat tubuh kudanya itu. Sepertinya dia mengalami demam. Ini tidak pernah terjadi pada Luoes sebelumnya.

"Sepertinya aku harus menunda keberangkatan ke Aidemarg. Aku tidak bisa pergi tanpa Luoes," ujarnya mendesah panjang.

"Luoes akan baik-baik saja kan, Ayah?"

"Dia akan baik-baik saja, Sayang. Dia hanya perlu beristirahat," Joanna menarik putrinya mendekat dan mengusap punggungnya.

Julio tahu ini tampak normal bagi sebagian orang, tapi tidak baginya. Luoes tidak pernah sakit satu kali pun selama kuda itu bersamanya, tapi kali ini dia melihat kuda itu seperti terkuras energinya. Seperti energi itu diisap habis-habisan dari tubuhnya.

Julio bangkit dan menjauh dari kandang kuda. Dia berbicara pada pengurus kuda untuk memerhatikan kudanya dan memberitahu jika terjadi hal buruk. Pengurus kuda kerajaan adalah pria seumurannya, dia sudah bekerja lima tahun di sini, menggantikan ayahnya yang meninggal karena sakit. Saat ini Julio teringat Franso, pengurus lama kuda kerajaan dulu sebelum perang terjadi. Pria tua yang sering berbagi rokok daun dengannya dan memberikan nasihat itu entah hilang ke mana sesaat setelah perang berakhir. Mungkin saja dia sudah mati atau ke mana Julio tidak tahu.

"Tapi aneh, Luoes kemarin masih bisa berlari sangat kencang. Ayah, tidakkah kau merasa ini aneh?"

Tatiana Harding jelas tahu ada keanehan. Dia mewarisi separuh darahnya. Orang-orang menyebut Tatiana sebagai Cambphilim, semua sudah tersebar, siapa Julio Harding sebenarnya. Bekas malaikat yang dibuang ke bumi dan menjadi raja iblis di Neraka. Mereka menjuluki Tatiana sebagai Cambphilim-diambil dari kata 'Cambions' berarti setengah Iblis dan 'Nephilim' berarti setengah Malaikat-kata itu pertama kali dipakai oleh seorang pendeta gereja yang membaptis Tatiana Harding. Keistimewaan yang dimiliki ayahnya sebagian besar menurun kepada putri cantiknya.

"Ya, ini aneh. Kita akan menyelidikinya nanti."

❅❅❅

"Kita sudah berada di sini hampir setengah hari. Tapi tidak ada tanda-tanda itu akan mucul lagi," Adam mengipasi wajahnya yang kepanasan. Sinar matahari cukup terik membakar kulit. Wajahnya memerah. Bintik-bintik freckles semakin terlihat nyata di sana.

"Aku juga tidak tahu," bisik Harry dengan suara kecil. Mereka masih mengintip dari semak-semak.

"Kancil cukup besar untuk dia makan sendirian. Kurasa dia sudah kenyang dan tidak akan kembali mencari makan lagi. Mungkin kita hanya sia-sia menunggu di sini, Harry," ucapnya masih berusaha untuk mengipasi wajahnya. "Atau mungkin dia sudah berpindah ke tempat lain. Kemungkinan selalu ada, Kawan."

"Lalu di mana itu?"

"Aku tidak tahu."

"Aku yakin sekali yang aku lihat bukan halusinasi. Dia nyata, seperti tanganmu, tapi berwarna putih pucat. Kuku-kukunya panjang. Hitam seperti berkarat dan...." Harry menghentikan ucapannya ketika ia ingat sesuatu. "Ada pola hitam di sekitar tungkai tangannya," dia agak susah mengingat, tapi dia jelas tahu ada pola aneh di sana.

"Sudah aku katakan bahwa aku percaya padamu. Negeri kita tidak lepas dari sihir di masa lalu. Jadi aku percaya itu, Kawan. Munculnya makhluk-makhluk seperti itu tidak lepas dari sejarah negeri kita. Sudahlah, sebaiknya kita tenang. Jika seperti ini aku yakin dia tidak akan datang."

Harry dan Adam kembali mengintai. Gatalnya semak belukar membuat mereka tidak nyaman. Harry Hawthorne harus menenangkan Adam Glandwin yang hampir menjerit karena melihat belalang hinggap di bajunya. Adam tidak takut dengan serangga, dia mempunyai periode waktu yang kadang-kadang membuatnya bisa sangat ketakutan dengan sesuatu. Contohnya saat dia merasa tegang. Bahkan semut pun bisa membuatnya menjerit.

Air sungai sangat jernih. Ganggang hijau lumut terlihat di kedalaman. Ikan-ikan hilir mudik di sungai kecil itu. Membentuk gelombang air yang menenangkan. Sesekali bunyi air terdengar saat ikan-ikan itu saling kejar. Perlahan dari arah semak di seberang sungai terjadi pergerakan. Harry dan Adam menegang. Semak itu berbunyi gesekan dedaunan, lalu gesekan tanah dengan permukaan yang kasar. Kali ini ular yang cukup besar muncul dari sana. Adam sudah berdoa panjang lebar dan Harry menajamkan penglihatannya. Ular itu jenis ular darat dengan tubuh sebesar paha atas Harry. Warnanya hitam bercorak kecoklatan. Matanya sewarna mata Harry. Tajam dan menusuk. Dia menjulurkan lidah dan tubuhnya meliuk keluar perlahan dari semak lalu masuk ke dalam sungai. Tetapi baru setengah tubuh itu masuk ke dalam sungai, tangan yang Harry lihat tadi kembali muncul. Kali ini dua tangan dan menarik ular besar itu kembali masuk ke dalam semak belukar. Baik Harry maupun Adam, keduanya langsung terlonjat mundur. Tetapi mereka tidak bisa berdiri untuk berlari. Saat itu dua pasang mata berwarna kehijauan dengan hiasan ungu samar terlihat dari sana. Wajahnya tidak jelas tetapi mata itu jelas menatap mereka.

Harry langsung menarik Adam untuk berdiri. Mereka harus lari dari sana dan melaporkan hal ini secepatnya ke istana. Jelas itu bukanlah mata dan tangan milik manusia. Sangat berbeda. Dia tahu bahaya kembali mengancam Mazahs. Adam Glandwin berlari dengan susah payah. Berat tubuhnya membuat ia kesulitan. Tetapi mau tidak mau dia harus terus bergerak menyusul Harry yang sudah cukup jauh darinya. Dia merasakan sesak napas karena tersengal. Sekarang dia tahu apa yang dirasakan Harry pagi tadi setelah ia melihat tangan itu dan berlarian ke rumahnya. Demi nama Tuhan, Harry berkata jujur padanya soal tangan itu. Dia melihat jelas ular besar itu ditarik dengan mudah dari dalam sungai. Tangan pucat dengan kuku-kuku hitam dan juga mata hijau yang mengerikan.

"Harry! Belok kanan!"

Harry dengan gerakan cepat berbelok. Dia kemudian memelankan langkah kakinya, menunggu Adam menyusulnya.

"Kau harus mengurangi lemak tubuhmu setelah ini. Aku tidak bisa menunggumu di dalam situasi terdesak seperti ini terus menerus!"

"Ingatkan aku untuk makan ubi rebus dan jagung rebus setiap hari agar tubuh brengsek ini musnah!" cecarnya sambil terus berlari. Napasnya semakin sesak. Mereka sudah menjauhi semak belukar di sekitar sungai. Kuldesak ada di depan mata mereka, gang buntu dengan batu stako yang sudah sedikit runtuh. Harry Hawthrone merasakan kakinya lemas. Hari ini sudah dua kali dia berlari seperti orang gila. Tidak lama Adam Glandwin datang dan menabraknya.

"Sialan!" rintihnya sambil berusaha berdiri. "Harusnya aku yang menindihmu, Gendut!"

"Maaf Harry, aku kehabisan napas!"

"Kaupikir hanya kau saja!"

Keduanya kemudian duduk dan bersandar di dinding sambil mengatur napas. Harry menyadari mereka ada di jalan buntu.

"Kau menyuruhku belok kanan. Kita sekarang di dekat persimpangan Nestue. Ini jalan buntu!"

"Maaf, aku salah. Harusnya belok kiri. Aku panik, Harry! Tangan itu, mata itu! Mengerikan!"

"Memang, sudah kukatakan padamu, sekarang kau sudah melihatnya secara langsung. Mata itu mengerikan. Seperti mata bukan dari bangsa manusia. Kau lihat caranya menarik ular besar itu? Sangat mudah padahal ular itu sebesar kakiku!" dia memegang pergelangan pahanya. Melingkarkan kedua jari-jari tangannya di sana. Besar, ular itu memang besar seperti perkiraannya. "Ini sesuatu yang lebih gelap dibandingkan sihir. Kurasa dia bukan penyihir biasa. Entahlah, tapi pendapatku seperti itu."

"Kita harus bergegas melaporkan ini ke istana. Tidak ada gunanya kita berdua menyimpan ini. Akan ada banyak bahaya yang akan datang. Mencegah lebih baik!"

Adam Glandwin boleh lamban berpikir, tapi dia sebenarnya cerdas. "Kau benar, tapi kau yang harus melapor. Aku akan menunggu di luar."

"Harry, kau tidak bisa seperti itu! Kau yang pertama melihatnya. Demi nama Tuhan, ini demi kebaikan umat manusia. Demi kita, negeri kita!"

"Tapi aku tidak ingin masuk istana! Kau jelas tahu itu. Mereka bisa saja mengenaliku!"

"Pikirkan itu belakangan, sekarang ayo kita ke istana."

"Tapi kepada siapa kita akan melapor? Kaupikir masuk istana semudah itu?"

"Kita akan menemui pamanmu, Julio Harding, aku yakin dia bisa mengerti situasi. Dia orang yang peka dan ksatria."

Dengan sangat terpaksa Harry Hawthrone menurut. Memang tidak ada pilihan lain. Mereka berdua jelas tidak bisa menangani makhluk semacam itu. Harry tidak bisa bertarung, dia bahkan tidak pernah memegang pedang. Dia hanya selalu berlari setiap kali ada kekacauan. Dia memang tidak pernah dibesarkan untuk bertarung.

Setelah beberapa lama berjalan, mereka tiba di gerbang istana. Gerbang istana sudah berbeda jauh dari terakhir kali dilihatnya. Dia merasakan gejolak dalam dirinya. Seperti berputar-putar dan siap untuk keluar. Ini adalah kali pertamanya kembali dekat dengan istana setelah belasan tahun. Rasanya aneh. Rasanya dia belum siap, tetapi situasi gawat sedang mengintai mereka.

"Kami ingin bertemu dengan Yang Mulia Julio Harding. Ada sesuatu yang harus kami beritahu padanya," Adam mengambil alih. "Aku Adam Glandwin dan temanku..." Harry menoleh ke arah Adam, berharap temannya itu tidak menyebutkan nama lengkapnya.

"Harry Austin!" ujarnya langsung sambil mengangkat kepala dengan gugup.   

TBC...

Please leave comment and vote!! Don't be a silent reader!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top