Engentado


METANOIA SEASON I

"Ayolah berikan setengah harga padaku. Kau tidak akan rugi banyak."

"Kau tidak pernah berdagang, Nak. Kau ingin membunuhku dan juga keluargaku. Ingin makan apa kami jika tidak punya untung."

"Aku hanyalah orang miskin, Nek. Makan saja sulit bagiku. Hanya padamulah aku meminta belas kasihan," mata warna tembaganya memelas. Raut wajahnya terlihat dia benar-benar kelaparan.

"Sekali ini saja, setelahnya tidak akan lagi!"

Pria itu tersenyum dan menerima sepotong roti gandum yang masih hangat. Dia memberikan uangnya meskipun uang itu tidak cukup seharga satu roti. Dia kembali berjalan dan memakan roti itu dengan sangat lahap. Dia tertawa dalam hati, betapa manusia itu mudah sekali ditipu. Hanya perlu memasang wajah memelas dan kasihan pun diberikan. Ya, baginya rasa sosial itu sudah lenyap. Dia benci dengan orang-orang yang berada di sekitarnya. Tapi pengecualian untuk satu orang yang sangat dipercayainya, tapi sepertinya sebentar lagi akan menjadi dua jika dia benar-benar ingin memercayai temannya itu.

"Harry!" pria yang dipanggil itu menoleh. "Aku mencarimu ke mana-mana, sialan!"

Yang dipanggil tidak acuh sambil tetap memakan sisa rotinya. Dia berlengak seperti panggilan itu hanyalah raungan kucing. Sementara orang yang memanggilnya harus susah payah mendekat ke arahnya di tengah kerumunan orang. Setelah berhasil menarik bahu pria itu dia mendesah kesal dan mengambil sisa roti dari tangan pria satunya.

"Kau siap untuk mati," ucapnya sambil mencari belati miliknya. "Di mana aku meletakkan belatiku?" dia terlihat bingung karena tidak menemukan belati di saku miliknya.

"Aku berani bertaruh kau mendapatkan roti ini dengan cara menipu. Jadi kau tidak pantas membunuhku hanya karena roti," ujarnya sambil memasukkan sisa terakhir roti. "Belatimu pasti tinggal. Kau selalu ceroboh. Demi Tuhan, aku yakin kau memang bodoh!"

"Diam kau keparat! Aku akan menjebloskanmu ke penjara kerajaan suatu hari nanti karena menghinaku."

"Kau ingin menjebloskanku? Memangnya kau siapa?" ejeknya.

"Menurutmu aku siapa?"

"Kau hanyalah penipu licik dan bodoh."

"Baiklah, rajamu adalah penipu licik dan bodoh. Kau pantas masuk penjara."

Temannya itu kemudian tertawa terpingkal-pingkal. "Demi para peri Atmos yang katanya hanyala mitos, kau sangat lucu!" dia masih tertawa sampai tidak menyadari ada batu di depannya. Akibatnya dia tersandung dan jatuh terjerembab.

"Mitos peri Atmos melayangkan kutukan padamu karena berani menghinaku, Kawan," ucapnya sarkastik. Dia melanjutkan perjalanan tanpa membantu temannya.

"Leluconmu dari dulu tidak pernah berubah. Kau masih bermimpi menjadi raja. Kawan, tidurlah dan lanjutkan mimpimu. Akan aku bangunkan nanti setelah kau puas menjadi raja di mimpimu," ujarnya masih mengejek.

"Mimpi adalah harapan yang tidak pernah tidur, Adam Glandwin."

Harry Gabrielle Hawthorne melompati tumpukan kayu di pinggir jalan. Pasar rakyat selalu seperti ini. Ramai dan sumpek. Tidak ada karpet berbulu tebal yang membentang bagai permadani, tidak ada cawan emas berisi anggur merah, tidak ada pakaian indah menyilaukan mata. Biasa. Pemandangan yang sudah melekat di matanya semenjak lama. Luntur sudah semua kemewahan yang dulu selalu menghiasi harinya. Dia sekarang hanyalah pria yang baru beranjak dewasa. Kemarin sore umurnya masih belasan, sekarang dia sudah berkepala dua. Artinya sudah belasan tahun semenjak dia dinyatakan hilang dari Mazahs. Sang pangeran yang hilang. Itu dirinya.

"Ya ampun, kau benar-benar serius!"

Harry tidak menjawab. Dia berbelok di tikungan lalu masuk ke sebuah pintu kayu. Di sana di dipan kayu beralas kasur kapuk yang sudah hampir keras, terbaring pria tua yang tubuhnya hampir ceking. Mata tuanya yang sudah berwarna biru pudar menatap kedatangan Harry dan Adam. Keriput di wajahnya memperlihatkan senyum tulus untuk kedua pria yang kini memilih duduk di depannya.

"Harry, itu kau?"

"Ya, ini aku, Ayah."

Mateo Austin mengerjap lemah. Sudah semenjak lama dirinya mengidap penyakit aneh. Tabib di sana mengatakan dia kekurangan sel darah putih. Ilmu pengobatan di Mazahs tidak semaju di Aidemarg. Negeri mereka sekarang sudah banyak tertinggal semenjak dua perang besar yang hampir meratakan Mazahs. Banyak nyawa hilang di sana. Termasuk dirinya yang harus kehilangan sang ibu yang entah ke mana. Mazahs sudah dianggap lemah oleh kerajaan-kerajaan lain. Bahkan negeri Nedlog berperang dingin dengan Mazahs semenjak putri Joanna membatalkan pernikahan dengan pangeran Nedlog dan memilih menikah dengan panglima perang pujaan hatinya, Julio Harding. Meskipun itu sudah lama berlalu, tetap saja mereka merasa dipermainkan.

"Harry, sebentar lagi aku akan pergi. Apakah kau tidak berniat kembali ke tempat asalmu?" tanyanya.

"Ayah, jangan berbicara hal yang tidak berguna. Kau akan segera sembuh."

"Tempat asalmu? Memangnya di mana itu?"

"Ini sudah belasan tahun, Harry. Kau tidak bisa terus bersembunyi."

"Kau bersembunyi dari siapa?"

"Ayah, kita sudah membahas ini berkali-kali. Aku belum siap," dia berbicara dengan nada frustrasi.

"Baiklah, hanya aku di sini yang tidak tahu kalian tengah membicarakan apa," Adam Glandwin menyerah untuk tahu apa yang tengah dibicarakan dua orang di dekatnya sekarang.

"Yang Mulia Orman Hawthorne sudah sangat tua. Aku yakin beliau masih tetap percaya cucunya masih hidup."

"Kau punyak kakek? Nama kakekmu terdengar sangat familiar. Aku seperti sering mendengarnya," lagi dan lagi Adam Glandwin menyela obrolan keduanya. "Apakah kakekmu itu tukang pijat tulang patah yang rumahnya di ujung desa?" tanyanya sembari mengingat-ingat.

"Bukan Adam, dia mantan raja Mazahs, Yang Mulia Orman Hawthorne," jawab Mateo Austin sambil menatap Harry yang tampak berang. "Dia perlu tahu yang sebenarnya. Kalian sudah berteman semenjak lama. Ingin sampai kapan Anda seperti ini, Yang Mulia." Harry jengkel jika ayahnya itu sudah berbicara seperti kalimat terakhirnya itu. Menyebutnya sebagai Yang Mulia.

"Oh ya, aku baru ingat. Dia mantan raja Mazahs. Jadi dia kakekmu?" tanyanya dengan nada terlalu biasa. Harry bahkan cukup kaget temannya itu tidak menertawakan fakta ini atau setidaknya dia akan kaget setengah mati. "Kupikir kau hanya punya ayah," lanjutnya.

"Lupakan dia, otaknya lamban," Harry berbicara pada Mateo yang sudah lama mengenal Adam. "Ayah, aku serius. Aku belum siap."

"Nak, semakin cepat semakin baik. Ratu Joanna tidak bisa selamanya menjadi ratu. Panglima Julio Harding bukanlah garis keturunan bangsawan, kakekmu sudah sangat tua. Lalu putri Tatiana Harding, dia masih terlalu muda dan dia seorang Cambphilim, nama belakangnya pun sudah berbeda. Semua orang di Mazahs sudah tahu fakta itu. Garis keturunan Hawthorne hanya ada padamu."

"Oh demi Tuhan, Harry! Kau pangeran?"

Adam Glandwin membuka mulut dan matanya lebar-lebar. Dia baru saja selesai menyambungkan semua yang ia dengar. Otaknya memang lamban. Dia sudah seperti itu semenjak Harry mengenalnya dulu. Harry memutar bola matanya jengkel. Untung tidak ada orang lain di sana yang bisa mendengar obrolan mereka. Jika itu terjadi, maka dengan senang hati Harry akan membunuhnya.

"Diam, aku akan menjelaskannya nanti. Duduk tenang dan biarkan aku mendengar ocehan pria tua di depanku ini," kesalnya. Dia kembali menatap Mateo yang terkulai lemah di kasur. Tubuh kurus kering dengan kulit yang keriput. Sudah sekuat tenaga Harry mencoba mengobati ayah angkatnya itu. Pria yang menyelamatkannya waktu itu. Seorang pelayan di kerajaan Mazahs. Tapi penyakitnya tidak bisa diobati lagi. Para tabib sudah menyerah dan angkat tangan. Penyakit itu sangat baru bagi mereka dan banyak yang berpendapat itu adalah kutukan atau sejenis sihir.

"Kau tahu tujuanku menyelamatkanmu waktu itu, aku hanya ingin kau selamat dan kerajaan masih punya harapan di saat keberadaan mantan raja dan sang putri lenyap tanpa kabar karena perang. Harry, kau sudah kuanggap seperti anakku sendiri. Aku membesarkanmu tulus. Sudah saatnya kau kembali ke tempat asalmu. Aku juga akan pergi dari dunia ini tidak lama lagi, sebelum itu terjadi. Aku ingin melihat dirimu memakai mahkota raja. Karena memang seperti itulah takdirmu seharusnya."

"Mereka tidak akan menerimaku."

"Itu tidak mungkin."

"Mereka sudah menganggapku mati dan mereka tidak akan memercayai begitu saja."

"Tidak, mereka akan percaya."

"Jangan membuat harapan terlalu tinggi, Ayah. Dunia ini tidak semuda perkataan."

"Demi Tuhan, Dewa, dan Malaikat. Mereka akan percaya. Satu hal yang tidak dimiliki orang biasa seperti kami yang ada di dirimu. Matamu, warna khas itu hanya milik bangsawan. Warna matamu mirip sekali dengan ratu Joanna, kuning terang tembaga. Warna amber itu. Itu warna mata langka dan di Mazahs hanya keturunan raja yang memiliki warna mata seperti itu. Percayalah padaku, aku sudah mengabdi di istana puluhan tahun. Aku tahu hal itu."

Harry Hawthorne benci harus berdebat dengan ayah angkatnya. Dia tahu saat ini akan tiba. Membuka jati dirinya yang sudah dia kubur dalam-dalam selama belasan tahun. Awalnya Mateo merahasiakan ini karena dia tahu nyawa Harry terancam. Dia tahu kebobrokan sistem di istana semenjak para bangsawan mengkhianati raja Orman Hawthorne dan ingin membunuh anaknya, Felix Hawthorne yang saat itu menjadi raja. Dia juga tahu Carol Rudolp adalah ular betina yang telah membunuh suaminya sendiri. Dan dia hanya tidak ingin anak yang tidak berdosa itu ikut menanggung dosa karena sekte ajaran sesat yang dianut para bangsawan. Setidaknya dia sudah berbuat hal yang benar saat itu.

"Istirahatlah, Ayah. Kita bicara lain waktu," dia beranjak dari tempat duduknya dan kembali keluar. Adam mengikutinya.

"Harry, kau benar-benar pangeran?" tanyanya menuntut.

"Aku sedang tidak ingin membahasnya, Adam," ujarnya masih dengan raut wajah kesal. "Tolong rahasiakan ini semua. Hanya kau dan Mateo yang tahu siapa aku. Kumohon tutup mulutmu kali ini."

Adam mengangguk cepat. Harry adalah temannya. Meskipun pria itu melaknat dunia karena kekejamannya dan menganggap semua orang bermuka dua, dia tetaplah pria yang baik hati. Dia sudah mengenal Harry semenjak beberapa tahun yang lalu. Saat Harry mencuri jagung dari kebun ayahnya. Anak kecil beranjak remaja yang tampan dengan warna mata indah. Bagi Adam, Harry adalah temannya yang membanggakan. Semua anak perempuan di desa tertarik padanya dan Adam senang karena dengan seperti itu dia juga ikut terkenal.

❅❅❅

"Julio."

Julio Harding menoleh saat namanya dipanggil.

Dia masih tampan seperti dulu. Hanya beberapa kerutan penuaan yang menghiasi wajahnya. Rambut hitam kecoklatannya masih terjaga. Mata tajamnya masih membius penuh misteri. "Ayah, ada apa?" tanyanya sambil menghampiri Orman Hatwhorne yang berjalan dengan pelan sambil menggunakan tongkat. Dia sudah sangat tua.

"Kudengar kau akan berangkat ke Aidemarg lusa nanti. Apakah itu benar?"

"Benar, Ayah. Sudah cukup lama aku tidak mengunjungi Sir Arthur," jawabnya.

Semenjak dia menjadi menantu Orman, Julio tidak berbicara formal lagi kepadanya. Orman Hawthorne sendiri yang memintanya. Dia ingin Julio menganggapnya ayah sungguhan, bukan seorang yang dipandangnya dengan derajat yang lebih tinggi. Semua sudah banyak berubah, rupa istana mereka pun sudah tidak sama seperti pertama kali. Perang sudah mengacaukan semuanya. Hutan Dunkelheit sudah tidak menggoda. Dia hanyalah hutan biasa yang sejarahnya cukup panjang.

"Sir Arthur, sudah lama aku tidak berjumpa dengannya. Masih ingat di kenanganku saat pertama kali kami bertemu. Jika bukan karena dia, Joanna tidak akan selamat."

"Kakek! Ayah!"

Sebuah suara nyaring membuat kedua orang itu menoleh. Gadis cantik yang memakai gaun warna kuning lembut dengan aksen bunga rajutan memeluk keduanya dari belakang. Gadis itu masih sangat muda. Baru beranjak dewasa namun kecantikannya bisa membius mata. Kecantikannya berasal dari sang ibu yang seorang ratu dan ayah yang pada dasarnya adalah seorang malaikat. Perpaduan itu melahirkan sesuatu yang luar biasa. Mereka memberinya nama Tatiana, artinya ratu peri. Seperti kecantikan Eiras saat pertama kali Julio melihatnya di hutan Yardvine di gunung Atmos.

"Oh cucuku," ucap Orman sambil memeluk Tatiana. "Dari mana saja kau?"

"Dari menemani Ibu memetik bunga mawar," jawabnya. "Ayah, Ibu memintamu datang ke kamar. Sepertinya dia ingin bermesraan denganmu."

Orman Hawthorne tertawa kecil melihat tingkah cucunya itu. Dan Julio tidak terlalu heran dengan perkataan anaknya itu. Itu wajar mengingat ibunya dulu adalah penggoda yang andal. Dengan senyum kecil Julio undur diri dari hadapan mertuanya. Dia juga mengusap kepala anak gadisnya yang tersenyum mengoda ayahnya.

"Ayo kita berjalan keliling istana, Kakek perlu olahraga agar tetap bugar," ucapnya sambil memegang tongkat. Tangan kanan miliknya sudah lama hilang. Dia tidak ingin mengingat itu, masa kelam saat perang terjadi dan siapa yang telah menghilangkan tangannya.

"Kek, bolehkah aku keluar istana?" pintanya dengan manja.

"Untuk apa?"

"Kata bibi pelayan, di pasar rakyat di dekat balai desa ada orang yang berdagang makanan dari negeri seberang. Rasanya sangat enak. Aku ingin mencoba."

"Makanan apa?"

"Dari gandum, dipilin panjang-panjang hingga tipis, direbus, dimakan dengan kuah kaldu. Aku ingin mencobanya!"

"Akan kusuruh orang membelikannya untukmu. Kau tidak perlu keluar istana."

"Kek, kenapa? Aku ingin sekali keluar. Aku akan pergi dengan Ayah. Masih tidak mengizinkanku?"

Orman Hawthorne menghentikan langkah kakinya dengan pelan. Sifat cucunya ini tidak berbeda jauh dengan ibunya, selalu menginginkan apa yang dia inginkan. Sebenarnya dia tidak perlu khawatir jika memang cucunya itu pergi dengan ayahnya. Sungguh dia tidak akan khawatir, jadi dia tidak punya alasan untuk melarangnya.

"Baiklah. Dengan Ayahmu, tidak dengan yang lain."

"Kakekku memang terbaik!"

Dia memeluk Orman dengan sangat erat.

"Tapi dengan satu syarat," ucapnya. Tatiana mendengarkan dengan baik-baik. "Tolong menyamarlah, jangan mencolok perhatian. Kita tidak tahu apakah mereka memang sudah benar-benar musnah atau masih ada," lanjutnya dengan suara lemah.

"Siapa yang masih ada, Kek?"

"Bukan siapa-siapa," jawabnya setelah sadar dengan ucapannya sendiri. "Kapan rencananya kau dan Ayahmu akan pergi. Lusa dia akan ke negeri Aidemarg."

"Hari ini, setelah dia selesai bermesraan dengan Ibu."

Orman tertawa sekali lagi. Dia sadar betul cucunya itu sudah beranjak dewasa. Seandainya anak Felix tidak hilang atau mungkin masih hidup, dia juga pasti telah dewasa. Selama ini mereka terus mencarinya karena tidak ditemukan mayat Harry saat usai perang, mereka memercayai jika dia hilang. Entah itu dibawa oleh ibunya, atau bangsawan lain atau bisa jadi dia ikut mengungsi bersama para pelayan usai mereka kalah perang melawan Asmodeus. Diam-diam dalam hati dia mengharapkan Harry masih hidup. Karena dengan itulah era Hawthorne akan terus berlanjut.   

TBC...

NB : Disarankan untuk membaca Dunkelheit terlebih dahulu sebelum membaca cerita ini bila yang belum membaca Dunkelheit. Karena kedua cerita ini sangat berhubungan erat. THANKS!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top