Cimmerian


"Tiga hari perjalanan," jawab Julio saat Harry bertanya berapa lama mereka akan sampai ke lembah Mazgûl.

Kiera Cartwright tengah memilih senjata yang akan ia gunakan. Julio menyuruhnya membawa senjata yang flexibel. Tidak terlalu berat, tapi bagus. Setelah melihatnya bertarung, Julio tahu kemampuan gadis itu menggunakan pedang cukup baik. Gerakannya lincah tapi tepat sasaran. Selain menggunakan pedang, dia ahli bermain pisau. Dia melempar pisau lipat tepat sasaran selama tiga kali berturut-turut. Itu membuat Adam kagum setengah mati sementara Harry harus mengakui gadis itu sangat jauh lebih baik darinya. Adam Glandwin tidak terlalu pandai bergerak cepat menggunakan pedang. Tubuh tambunnya membuat ia sulit untuk lincah, tetapi Julio tidak mempermasalahkan itu, dia memberi Adam arahan menggunakan senjata lain. Dia tipe yang harus diam dan tidak menggunakan kecepatan fisik, tetapi intuisi dan refleks. Julio melatihnya untuk menjadi pemanah. Meskipun sangat singkat hal yang diajarkan Julio, tetapi Adam sudah terlihat cukup mahir. Dia tahu pada dasarnya Adam cerdas meskipun kadang-kadang lamban berpikir.

Lalu Harry Hawthrone tidak pandai dalam hal apa pun. Dia payah, gerakannya selalu kaku. Posisi kakinya saat kuda-kuda tidak pernah tepat. Ayunan pedangnya tidak mantap. Julio mengerti posisi kesulitan Harry yang tidak pernah sekali pun berlatih. Tapi dia tidak ingin memanjakan Harry, dia tidak akan pernah bisa jika Julio tidak keras kepadanya. Dia yakin Harry akan bisa meskipun itu akan memakan waktu cukup lama. Harry adalah orang yang tekun. Itu yang dilihat Julio padanya.

Setelah selesai memilih senjata yang akan mereka bawa, keempatnya menuju kandang kuda. Luoes sudah cukup pulih dan mampu berlari kencang. Kudanya itu memang tangguh, Julio Harding tidak pernah meragukannya. Dia bahkan masih bisa selamat meskipun sudah hampir kehilangan seluruh energinya.

"Ini kudamu," Julio memberikan kuda berwarna coklat itu pada Harry. "Aku yakin dia akan senang ditunggangi olehmu."

Harry menerimanya. Itu adalah kuda milik ayahnya dulu. Dia masih ingat corak putih yang berada di dekat kepalanya dan juga kuda itu sepertinya mengenal Harry. Dia langsung mendekatkan kepalanya ke arah Harry. "Apa kabar?" bisiknya pada kuda itu. Kuda coklat jenis Arabian itu mengosok-gosokkan kepalanya ke kepala Harry.

"Kita akan berangkat setelah semuanya selesai. Berkumpulah tengah hari nanti di depan istana. Sekarang kalian boleh beristirahat."

Julio Harding baru akan melangkah pergi namun Harry memanggilnya. Dia menitipkan kudanya pada Adam. Julio menatap Harry yang berdiri di depannya. Dia mengajak Julio untuk sedikit menjauh dari Kiera dan Adam.

"Ayahku," ucapnya pelan. "Maksud saya Mateo Austin. Anda sudah membawanya ke dalam istana untuk diobati?" Harry terlihat ragu-ragu saat bertanya pada Julio.

"Sudah, dia ada di ruang perawatan. Kau bisa melihatnya sebelum kita pergi. Kondisinya masih baik-baik saja," jawab Julio sambil menghela napas pelan. "Jangan khawatir, orang-orang yang bekerja di istana saat ini kebanyakan orang baru. Mereka tidak akan mengenali Mateo yang dulu pernah bekerja di sini."

"Ya itu bagus," Harry berbicara amat pelan. Alas kakinya memain-mainkan rumput yang tumbuh rapi di halaman istana. "Terima kasih atas bantuan Anda. Saya tidak tahu jika Anda tidak membantunya seperti ini. Dia orang yang sangat baik dan telah membesarkan saya."

Julio menepuk bahu Harry dengan pelan.

"Kau tidak perlu berterima kasih. Semua wajar. Tidak ada yang salah."

Harry mengangguk. Masih ada yang ingin disampaikannya lagi namun dia takut untuk mengemukakannya.

"Saya tidak tahu mengapa Anda percaya kepada saya. Saya tidak bisa melakukan apa pun untuk membantu Anda, tetapi Anda tetap mengajak saya. Mungkin saya hanya akan menyusahkan Anda di sana nanti," dengan takut-takut Harry mengatakan itu.

"Kau keponakanku, menyusahkanku memang tugasmu dan sebagai paman aku wajib membantumu. Itu saja," dia sekali lagi menepuk pundak Harry kemudian dia tersenyum kecil lalu pergi dari hadapan Harry.

Sekarang Harry tahu mengapa bibinya bisa jatuh cinta pada orang seperti Julio Harding. Dia bahkan rela menolak pinangan pangeran negeri seberang dan menikah dengan orang biasa seperti Julio. Kata-kata itu membekas dalam ingatan Harry. Paman. Benar, dia punya paman yang hebat dan bisa mengajarkannya banyak hal. Untuk pertama kalinya Harry menyukai orang asing yang baru masuk dalam kehidupannya-meskipun sebenarnya Julio adalah bagian keluarganya, tetapi mereka baru mengenal beberapa saat. Harry kembali menemui Adam dan Kiera yang saat ini tengah mengagumi kecantikan kuda milik ayahnya.

❅❅❅

"Aku sudah membuat mereka panik dengan menampakkan diri. Tidak terlalu sulit untuk kembali mengebrak. Ketakutan mereka selama ini hanyalah seperti tidur, sekarang ketakutan itu sudah bangun kembali."

"Tapi apakah ini akan berhasil?"

"Kenapa tidak?"

Wajahnya dihiasi kerutan penuaan yang kentara. Rambutnya panjang, nyaris menyentuh pinggang dengan warna putih keperakan. Lebat dan terlihat kasar. Jengot serta kumis memenuhi area wajahnya. Membuat perawakannya semakin tua. Tapi tidak ada tanda-tanda pada dirinya dia lemah. Tongkat yang dibawanya hanyalah sebagai penghias. Dia suka dianggap laki-laki tua tidak berdaya. Biarkan orang mengenalnya seperti itu sebelum dia membuka tabir diri yang sesungguhnya.

"Mazahs semakin melemah. Orman Hawthrone akan segera mati. Joanna Hawthrone, dia tidak ada apa-apanya lagi. Yang perlu kita singkirkan hanyalah Julio Harding dan anaknya, Tatiana. Kedua orang itu memiliki rasio tinggi yang sulit untuk dikalahkan. Era Hawthrone akan segera berakhir. Aku akan mengambil alih apa yang leluhurku inginkan semenjak dulu."

"Tapi hidup dengan cara mengisap energi hewan itu apakah cara yang ampuh?" tanyanya dengan nada mengejek.

"Lihat aku sekarang, apakah cukup buruk untuk penyihir tua yang masih bertahan hidup?"

"Kulihat kau seperti penyihir tua yang sekarat," jawabnya sambil menghidupkan cerutu.

"Senang dengan pujianmu, Tuan," balasnya sarkastik

Pria satunya bertubuh tinggi jangkung dengan sifat aristokrat yang jelas nyata. Pahatan wajahnya tajam. Tulang pipi menonjol dengan mata arogan. Alisnya seperti bilah parang. Kesan tegas dan keras ada pada dirinya. Matanya tampak menyala terang, sewarna langit malam. Kumis tipis yang tertata rapi menghiasi atas bibirnya. Cukup tampan di usianya yang sudah menginjak kepala empat puluh tahun akhir. Dari gaya bicaranya orang-orang sudah dapat menebak dia dari kalangan keluarga bangsawan. Dialo Rocio Mendoza. Itulah dia dikenal selama ini.

"Kembali kasih," jawabnya dengan sama nada.

Cerutu miliknya kembali diisap. Aroma tembakau yang dibakar itu menghasilkan ketidaknyamanan bagi siapa pun yang berada di dekatnya, tetapi itu tidak berlaku bagi sang penyihir tua. Tidak membiarkan waktu terbuang sia-sia, Dialo berdiri dari duduknya. Sang penyihir mengikuti pergerakan angkuh Dialo.

"Kau muncul kembali setelah sekian lama bersembunyi dan mengajakku bersekutu. Aku masih ingin tahu alasanmu kembali," penyihir tua itu masih mengikuti setiap pergerakan Dialo.

"Kadang sesuatu hal di dunia ini harus tetap menjadi rahasia, itu hukum alam," jawabnya dengan senyum dingin.

"Kuharap tidak akan ada pengkhianatan di sini," penyihir tua itu diam-diam menyelidik Dialo Mendoza secara perlahan. Dia tahu, pria inilah dulu yang membuat Carol Rudolp menjadi pengkhianat kerajaan. Jadi tidak heran mengapa ia harus berwaspada.

"Julio Harding, dia masih kuda hitam yang menakutkan. Akan memakan banyak hal untuk bisa menghadapinya," dia mengisap cerutunya sekali lagi lalu menghembuskan asapnya. "Tapi istriku suka dengannya."

"Kalau seperti itu kau perlu kekuatan ekstra untuk menghancurkannya. Saingan cinta lebih kuat."

Dia berbalik ke arah penyihir tua yang masih duduk di bangkunya.

"Kau tidak mengerti kata suka yang kumaksud," selanya. "Tidak akan kuberitahu padamu soal ini. Dia akan marah padaku."

"Cinta memang menyulitkan," gerutunya dengan suara pelan.

"Kadang-kadang juga menguntungkan," sambung Dialo Mendoza yang rupanya mendengar. "Aku harus pergi sekarang. Kau lakukan apa yang ingin kau lakukan. Kau tahu di mana harus menemuiku jika terjadi hal penting," setelah berkata seperti itu dia keluar dari rumah milik penyihir. Kereta kudanya sudah tiba di depan. Derap langkah kuda membawa Dialo Mendoza pergi dari sana.

❅❅❅

Hutan Yardvine tidak banyak berubah, masih penuh dengan pepohonan khas hutan rimba. Puncak gunung Atmos terlihat tertutup awan tebal dari kejauhan. Pertanda akan hujan deras. Tetapi itu hanyalah tanda bahwa Dewa Zeus akan bertandang ke Monastère. Sang dewa sedang ingin bersinggah di sana dan para peri Atmos tengah menunggu kedatangan sang penguasa para dewa. Eldur menatap kejauhan dengan mata sayunya. Tidak ada perubahan yang berarti pada wajahnya. Para peri mempunyai umur yang sangat panjang. Belasan tahun tidak lebih seperti beberapa saat bagi usia mereka.

Eldur, seperti penguasa raja peri terdahulu, selalu tahu apa yang tengah terjadi di muka bumi. Dia tahu sekarang ada sesuatu yang tidak beres dan tengah bergerak di dalam bayangan. Tidak hanya mengancam negeri Mazahs, tetapi seisi semesta. Hampir tidak bisa terdeteksi oleh kekuatan para peri. Ini meresahkan, terutama untuknya yang bertugas menjaga keseimbangan umat manusia. Dengan kerendahan hati hari ini dia ingin berdiskusi dengan sang penguasa para dewa.

"Awannya sudah semakin tebal, tetapi Dewa Zeus belum juga datang," Eiras menatap keluar jendela—melakukan hal yang sama seperti ayahnya. "Apakah beliau ada masalah?"

"Tidak, Nak. Petirnya belum terlihat, dia masih di tempat lain. Mungkin ada sedikit hambatan," jawab Eldur sambil menatap putrinya.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Ayah?"

"Sesuatu yang buruk, Anakku. Sesuatu yang lebih gelap dari sebelumnya," Eldur tidak bisa mengatakan hal tersebut lebih rinci, karena dia sendiri masih menerka-nerka apa yang sesungguhnya tengah berlangsung.

"Ulah penyihir lagi?"

"Sepertinya iya, tetapi bisa jadi ini lebih berbahaya. Sesuatu yang sangat gelap dan balas dendam," ucapnya sambil menerawang ke kejauhan.

"Apakah peri akan membantu manusia lagi seperti dulu?"

"Itulah yang tengah kita pertanyakan sekarang. Kita tidak bisa bergerak bebas. Peri punya aturan. Peraturan itu semakin diperketat semenjak paman Eyros berkhianat. Semua pergerakan kita harus atas perintah Dewa Zeus."

"Ini tidak adil. Kenapa menolong harus memerlukan izin. Bukankah menolong itu berdasarkan hati nurani, Ayah. Apakah ini kutukan untuk Mazahs dari para Dewa?" Eldur tahu putrinya itu sangat peduli dengan kehidupan manusia. Tapi aturan tetaplah aturan yang tidak bisa dibantah. Dibantah sama artinya dengan siap menerima hukuman.

"Kadang orang seperti kita tidak bisa mengubah aturan, Nak. Itulah buruknya sistem derajat. Yang tinggi berkuasa, yang rendah sengsara. Tetapi apa pun itu, Ayah yakin yang dilakukan Dewa Zeus adalah demi kebaikan bersama. Jangan ragukan itu, Nak."

Eiras tidak bisa menerima itu begitu saja. Dia tahu benar bagaimana sulitnya para manusia bertahan hidup dari kejahatan. Sudah cukup banyak yang diambilnya dari Mazahs waktu perang pertama dan kedua, tidak ada lagi yang boleh merenggut apa yang dimiliki Mazahs saat ini. Tidak itu para penyihir atau juga para penguasa lain.

"Petirnya sudah datang, beliau sudah dekat. Ayo kita sambut."

❅❅❅

"Sepertinya akan turun hujan deras," kata Adam Glandwin saat mereka baru keluar dari gerbang istana. Dia melihat langit mendung dan petir yang berkilat-kilat menyambar gunung Atmos.

"Tidak, hujan tidak akan turun," jawab Julio sambil melajukan kudanya dengan pelan.

"Jelas-jelas ini akan hujan, Panglima. Lihatlah petir-petir itu," ucap Kiera Cartwright setuju dengan Adam, sebentar lagi memang akan turun hujan.

Julio Harding melihat ke kejauhan. Dia kenal petir milik siapa itu. Zeus sepertinya tengah turun ke bumi. Terakhir kali ia bertemu dengan Zeus adalah di Olympus, setelahnya dia tidak pernah bertemu lagi. Musuh lamanya itu sudah tidak mengganggunya dan Julio senang dengan kenyataan itu. Dia teringat istana Monastère yang merupakan tempat persinggahan para dewa. Sudah lama juga ia tidak bertemu Eldur dan ke hutan Yardvine. Para peri Atmos kembali menyembunyikan dirinya seperti dulu.

"Itu Zeus, dia sedang bertandang ke Monastère."

"Zeus? Maksud Anda, Dewa Zeus?" tanya Harry Hawthrone antusias.

"Ya, dia benar-benar ada. Aku bertemu dengannya beberapa kali," jawab Julio tanpa rasa pamer. "Dia Dewa yang menyebalkan dan cukup angkuh."

"Anda kenal dekat dengannya?" tanya Kiera penasaran.

"Dia yang menidurkanku dan kembali datang menghukumku."

"Kedengarannya dia hebat," Adam terlihat kagum.

"Ya dia memang hebat, tapi keras kepala," entah ada apa dengan Julio Harding jika menyangkut Zeus pasti membuatnya nyeri kepala. Tapi mau tidak mau dia juga harus memuji sang penguasa para dewa itu atas kebaikannya tidak menghukum Julio. Setidaknya timbal balik.

Mereka memutuskan untuk tidak memperpanjang obrolan karena Julio Harding sepertinya setengah kesal. Keempat kuda itu melewati jalanan terjal bebatuan. Jalan belakang istana yang mereka lalui masih penuh dengan pohon-pohon besar yang menjulang. Hampir tidak banyak berubah dari saat pertama Julio datang ke Mazahs.

"Panglima, ada yang aneh," Harry menghentikan kudanya kemudian diikuti oleh yang lain. "Ada yang mengikuti kita."

Julio Harding segera mencabut Tiberius dari sarungnya. Pedang itu berkilauan indah. Dia kemudian memandang sekeliling dan menemukan gerakan aneh di ujung sana. Dengan keras ia melemparkan pedangnya ke arah gerakan aneh itu. Semua mata memerhatikan arah pedang milik Julio dan bunyi tubrukan besi terdengar. Pedang itu berkelontang di tanah.

"Ayah benar-benar ingin membunuhku!"

Harry, Adam, serta Kiera kaget setengah mati. Dari semak-semak itu keluarlah Tatiana Harding dengan kuda putihnya. Jubah panjang hitam miliknya sudah tersingkap, memperlihatkan wajah cantiknya secara jelas.

"Itu karena kau menyelundup," jawabnya dengan tenang. Bahkan sangat tenang untuk ukuran orang yang hampir membuat anak semata wayangnya mati.

"Aku mendengar rencana kalian dan kalian tidak bisa pergi tanpa aku yang mati penasaran," ucapnya sambil memandang semua orang. "Ayah, sekarang aku boleh ikut?" tanyanya sambil memohon. Ia menyerahkan Tiberius kembali kepada Julio.

Baru kali ini Harry Hawthrone melihat wajah sepupunya secara jelas. Dia cantik. Bahkan sangat cantik. Bahkan Kiera yang saat pertama Harry melihatnya cantik, sekarang tampak biasa saja jika dibandingkan Tatiana. Warna matanya biru hijau. Indah, seperti lautan dengan ganggang hijau di bawahnya. Tubuhnya semampai untuk usia remaja. Rambutnya kecoklatan dengan garis-garis perak yang nyata. Matanya tidak berwarna amber seperti milik Harry dan Joanna. Jika saja dia bertemu Tatiana jauh sebelum dia tahu siapa dirinya, Harry yakin dia akan jatuh cinta pada Tatiana.

"Ini berbahaya, pulanglah. Ibumu akan resah jika kau tidak ada."

"Ayah, aku bisa bertarung. Buktinya aku bisa menangkis Tiberius," ujarnya memohon. "Aku bisa menjaga diriku!"

"Kau bisa menghindarinya karena aku memang sengaja membuatnya meleset," jawab Julio sekenanya. Meleset? Semua orang tahu, bahkan Harry yang tidak pandai memegang senjata pun tahu itu bukan meleset dia memang berniat mengenai anaknya. "Karena aku tahu itu kau. Sekarang pulanglah. Ini bukan main-main Tatiana, ini berbahaya."

"Tapi Ayah harus berjanji untuk pulang dengan selamat! Dan membawa mereka juga selamat!"

"Ayah berjanji," ucapnya dengan tegas. "Sekarang kembalilah, jika terjadi hal yang buruk, kau bisa melindungi istana. Wakil panglima akan membantumu."

Setelah diyakinkan oleh ayahnya. Tatiana Harding kembali ke istana. Julio tahu putrinya itu nekat. Dia tidak heran mengingat sifat istrinya menurun kepada anaknya. Mereka melanjutkan perjalanan yang tertunda. Petir milik Zeus sudah hilang dan langit kembali cerah. Awan-awan putih kembali berarak di langit. Burung-burung kembali beterbangan mengepakkan sayapnya.

"Panglima Julio, boleh saya bertanya satu hal," Harry menyejajarkan kuda dengan Julio yang awalnya berjalan di depan mereka. Julio mengangguk tanpa ragu. "Bibiku, maksud saya Yang Mulia Joanna, apakah beliau benar-benar telah pulih. Pernyataan Anda tempo hari yang mengatakan dia sakit dan diobati tabib di negeri Aidemarg cukup mengganggu saya. Apakah dia baik-baik saja?" tanya Harry penasaran. Dia memikirkan hal itu diam-diam.

"Dia baik-baik saja. Bibimu sudah sembuh total. Kau tidak perlu cemas," Julio terdengar tidak yakin dengan kata-katanya sendiri. Sejujurnya dia masih amat takut dengan kenyataan umur Joanna yang berkurang dua puluh tahun. Entah kapan Tuhan akan mengambil orang yang ia sayangi itu dari sisinya. Dia masih punya ketakutan itu.

"Maaf jika saya menyampaikan ini, semalam saya bermimpi beliau meninggal. Makanya saya amat cemas," aku Harry yang sejujurnya. Buku-buku tangan Julio Harding memutih saat menggenggam tali pelana. Apakah ini pertanda umur Joanna sudah mendekati ajalnya pikir Julio. Dia tidak menjawab ucapan Harry Hawthrone yang sekarang dipenuhi rasa bersalah. Harusnya dia tidak berkata seperti itu. Sialan pikirnya.   

TBC...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top