The one kill
Tanggerang selalu panas, setidaknya dimana projeku di adakan, tempatnya panas sekali. Yang bikin pusing adalah embel embel selain panas, cirikhas perkotaan yang membuatku semakin ingin berteriak frustasi : debu debu halus, kepulan asap, serta jalanan yang macat padat merayap.
Tanah ratusan hektar di depanku sudah mulai terlihat kerangka bangunan kokoh yang fondasinya sudah menancap puluhan meter menusuk bumi. Lantai bangunan dua dan tiga ke bawah sudah terlihat lebih berbentuk seperti gedung, 7 lantai ke atas hanya tiang tiang fondasi utama yang tidak lain masih berbentuk kerangka bangunan. Di sekeliling gedung bangunan setengah berbentuk itu juga masih terlapisi paralon besi besi untuk menopang awal pembangunan, kadang jadi akses para kontraktor buruh mengerjakan tugasnya seperti melepah semen atau melakukan kegiatan lainya, dari dulu aku melihat para kontraktor ini seperti laba laba sebab mereka lihai sekali bergelantungan diantara besi besi di atas ketinggian.
"Bagaimana bu? Mau melihat ke atasnya langsung?"
Aku dan Petra sama sama menoleh pada pak rio yang berjabat sebagai management kontruksi, pak rio ini yang mengetuai lapangan projek tanggerang ini, beliau yang mengatur penuh seluruh para peran peran yang bekerja di tanah projeku. Aku mengenalnya sudah lama, dia salah satu deretan menegement kontraktor yang aku percayai, sebelumnya di proyek sumbar bapak rio juga yang mengetuai lapanganya, jadi setelah projek sumbar selesai projek tanggerang akan di jalankan dengan ketua manager kontraktor oleh pak rio.
hari ini aku berkunjung secara mendadak, aku memang tidak pernah mengabari jika akan mengunjungi projek karena takut berbeda antara hari aku berkunjung dan hari hari pada biasanya. Selain itu aku tidak terlalu sering mengunjungi projek, alasan utamanya adalah pasti harus bertemu debu dan segala macam, jadi aku lebih suka memantau dari ruang kerjaku, atau membereskan masalah masalah lainya.
Menanggapi pertanyaan pak rio barusan, aku menggeleng.
aku takut ketinggian, dulu mempunyai track buruk dengan ketinggian sejak kecil. Rumah kaca tanaman milik bunda berlantai dua, lantai atas nya berlantai kayu. Entah sial atau apa, kayu yang aku injak sepertinya lapuk, atau memang sudah rapuh. Aku yang sedang berdiri mendadak terperosok jatuh ke lantai bawahanya, mengerikan karena aku langsung tercebur pada kolam ikan di tengah rumah tanaman itu yang dalamnya sekitar 5 meter. hampir mati jika bunda tidak histeris membuat ayah yang masih berjalan menuju rumah tanaman menjadi berlari bak pahlawan yang sedang menyelamatkan si kesayangan.
Petra si asiatenku tersenyum kecil sambil memperbaiki helem proyek yang kami pakai, mengikuti prosedur keamanan. "Bu diana akan lihat dari sini saja pak."
Pak Rio mengangguk mengerti, "mungkin pak petra? ingin ke atass?"
Petra meliriku sekilas sebelum akhirnya aku menganguk, memperbolehkanya untuk pergi dari sisiku dan melihat langsung. "Boleh pak saya akan lihat" kata Petra
Selanjutnya Petra di temani oleh asisten manager kontraktor untuk menaiki lift seadanya menuju lantai atas yang masih dalam kerangka. Membayangkanya saja tubuhku sudah gemetar.
Pak rio mengajaku menuju sebuah cargo yang di sulap menjadi kantor administration projek ini, selain itu ada gudang semipermanent yang di bangun untuk menyimpan bahan material dan lain lain yang perlu di teduhkan dari sinar matahari atau bahkan air hujan sendiri. Lokasi dua tempat ini sedikit melipir dari bangunan utama.
Selama perjalanan kesana kami berpapasan dengan banyak buruh buruh yang sedang di tengah kegiatan kerjanya. Mereka menunduk sopan ke pak Rio dan aku, beberapa ada yang membawa gerobak tanah, batu batuan, semen, atau menggotong besi besi panjang. Mereka semua berkeringat tapi tampak semangat, sepertinya karena esok adalah jadwal gajian.
Kami bertemu dengan Bu laili sebagai ketua administrasi di projek ini, beliau di dalam cargo yang sudah menempel ac di dalamnya, cargo benar benar di ubah menjadi tempat nyaman dengan furniture tidak jelek jelek amat.
"Bu Laili, kenalin ini Bu Diana, management project ini sekaligus calon director perusahaan selanjutnya" ujar pak rio mengantikanku untuk memperkenalkan diri.
Respon bu laili mendadak terkejut, ia bangkit dari duduknya di depan laptop dan berdiri dengan tegap. Matanya membelak bahkan mulutnya menganga. "Bu—ohh Bu diana apa kabar?"
"Baik" // "permisiii"
ucapanku timpang tindih dengan seseorang yang membuka pintu kargo yang menonggolkan wajahnya. Tidak asing, garis wajah yang tegas dengan senyum yang kaku.
Jeannette.
"Diana. Gak lupa kan?"
______
Kepulan asap memenuhi sekitaran aku dan jeannette tepat ketika kami sama sama menghembuskan nafas kami, di jari kami sudah terselip dua batang rokok bungkus bewarna hitam dengan kualitas cengkeh terbaik, di desain se elit mungkin untuk membedakan rokok kami dan rokok orang orang bawah.
Kami berdua duduk diantara sofa sofa yang di lapisi kain, di dalam castil megah berukiran indah dengan pahatan yang mirip dengan istana istana pada negara eropa zaman dulu, saat pranciss masih bersifag kerajaan. bedanya castil yang sedang kami tempati hanya menyala saat malam ini, siang hari seperti ini alat alat di dalam dan segala perabotan di tutup kain putih, lampu crystall yang menggantung dengan harga 5 ginjal manusia akan menimbulkan ledakan dashyat jika pengakaitnya lepas, lampu yang menjadi tokoh utama saat malam juga mendadak tertidur saat siang hari. Pencahayaan hanya tertinggal cahaya matahari yang menerobos masuk melewati sela sela ventilasi dan organamen ukiran indah di temboknya. Di atas aku dan jeannette juga terpampang kubah kaca dengan pantulan matahari yang membuat cahayanya bewarna akibat pantulan kaca yang terkandung dalam kaca kubah.
Dalam sorot matahari di sekitar kami aku jelas bisa melihat debu debu itu berterbangan lemah. Hal ini mengingat kan ku pada manusia di luar sana, mereka begitu kecil dan ringan, bergerak mereka tidak berpengaruh untuku, mereka hanya mengapung di udara dengan tujuan tidak jelas.
Jeannette mengetuk rokoknya pada asbak di meja hadapan kami, membuang abu abu rokoknya jatuh di tempat yang sudah di persiapkan.
"Gimana misi di sumbar?"
aku berdeham sedikit, menjauhkan rokokku sebentar. "Di padang aman, tapi bagian pariaman gagal, ada pihak brimob disana yang jaga"
Mata tajam milik jeannette seakan mengiris tubuhju perlahan akan tatapanya. Bibir kecilnya tersenyum simpul melihat aku sedikit gugup, "gagal? Seorang diana?" Ia merendahkan
tertawa aku dengan sumbang. "Kadang kan bisa gagal juga"
"Gagal apa di gagalin?"
bibirku kini yang tersenyum lebar ketika jeannette memanah tepat di titik yang sempurna. mata kami bertaut saling melempar senyum penuh makna diantara kami. Jeannette sudah tahu soal kebohonganku.
Misi di sumbar untuk mengagalkan transaksi informasi soal narkoba yang aku pegang memang gagal, waktu saat itu aku kebingungan di hadapkan dua pilihan untuk bertemu gubernur prosinsi sumbar apa harus mengikuti misi dan mengagalkan renacana bisnisku. Pada akhir nya dress hijau emerald itu aku pakai ke peresmian gedung baru untuk berbincang dengan gubernur disana, mendapatkan 2 proyek sekaligus yang aku bisa selesaikan dalam 1 tahun. 789 miliar seketika langsung masuk dalam kantongku,
Sebenarnya agak janggal karena kepulanganku dari sumbar tahun lalu tidak mendapat curigaa dari hasil laporanku, mereka semua menganguk mengerti, jeannette satu satunya orang yang tidak bertanya tentang misiku. Dan entah mengapa malahan ia yang bertanyaa setelah 2 tahun berlalu.
"Kita gak tau kelemahan sekecil apapun bisa menjadi besar luar biasa di suatu saat nanti, kalau ada waktu untuk di musnahkan, musnahkan. Jangan buang buang waktu."
kepulan asap kembali keluar dari mulutku, terbang ke atas dan menghilang menyatu dengan langit udara. "Iya, ngerti." jawabku berusaha menurut.
"Tapi kan sebagai gantinya misi di malaysia berhasil total, perencaan SWAT ngelepasin sandra saksi di pengadilan bisa di amankan. Felli udah mati dann berhasil banget dong seharusnya?" mulut ku kembali berceloteh tentang biaya penyesalanku
"Itu kewajiban lo Ann buat berhasil. Kalau misal gak sanggup mending keluar aja langsung dari asosiasi sekarang juga, biar bisa fokus sama bisnis lo yang gede itu kan?"
aku mendengus kesal atas perkataan jeannette yang sangat sangat begitu realistic dan sesuai apa adanya. Mengherankan sekali ada pria yang benar benar mencintainya dengan sifat seperti ini, boro boro bertahan beberapa hari, terjebak introgasi 5 menit dengan jeannette saja rasanya aku ingin mengatakan seluruh pengakuan dosaku supaya bisa cepat cepat selesai berbincang serius denganya.
"Wah jeannette, kayaknya diantara temen temen kita cuman gue doang nih yang di pojokin kaya gini?"tanyaku sarkas, kembali menghirup sebatang rokok lagi dalam dalam, menikmati saat kepulan asap itu masuk ke dalam tenggorokanku dan menghirup dalam paru paru tubuhku.
Tatapan jeannette masih tidak kalah tajam dari waktu yang lalu, namun kini pundaknya menurun dan tubuhnya mendadak lebih santai.
"Lo yang gue percaya selain diri gue sendiri."
Jeannette diam diam menaruh segudang harapan besar kepadaku, dan ini sangat sangat membuatku tersadar atas seluruh rangkaian perlakuan tegasnya terhadap diriku. Penekanan atas segala sesuatu yang membuatku harus mendekati angka sempurna jika menyangkut seluruh tindakan pada kubu kami, jeannette yang bergerak sebagai ketua II dari kubu kami akan lebih jeli untuk melihat tindakanku. Aku tidak mau jika harus di jadikan ketua selajutnya oleh jeannette, untuk apa? Jeannette saja sudah cocok dan dia tidak harus pergi kemana mana. Aku tahu jeannette selalu menyiapkan rencana alternative dari seluruh peluang rencana yang ada, tapi mengapa ia memilihku? Diantara kami semua aku yang lebih jarang berkontribusi banyak, mengapa tidak rachel? Rachel pribadi yang cukup prefesional, atau cezka juga bisa, ia pandai memanipulasi lawan serta besarnya kekuasaan hukum yang cezka gengam seharusnya bisa menjadi kandidat terbaik juga.
"harus gue banget?"
"Gak ada yang bisa ngalahin kekuatan faktor genetica, Diana."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top