#9. Music Video

Aku ingin tertawa, sayangnya bahagiaku kalah oleh rasa lelah. Aku ingin menangis, sayangnya sedihku kalah oleh perasaan mengalah, untuk yang bahkan tak tampak peduli pada apa yang kurasa.

-Simfoni akhir Desember

“Apa yang kamu pikirkan untuk mengisi sebuah klip musik artis solo terkenal di ibu kota?”

Mampus!

Pandangan mata Pandu begitu dalam. Tidak sedingin seperti hari lalu, senyumnya pun tampak membabi buta, memburu waras Meta.

Sial! Aku takut untuk bilang tidak! Sial!

Meta menatap wajah Pandu yang benar-benar berharap anak perempuannya itu menjadi penari untuk Randitya—seorang penyanyi wanita solo dan terkenal dengan lagu-lagu bucinable dan bapernable-nya. Sosok yang juga dikenal sebagai pianis juga mahir dalam memainkan harpa. Solois yang sudah mencetak namanya di sebuah billboard musik Amerika punya.

Wanita bermata jeli yang dihiasi lensa berwarna kelabu itu menatap Meta yang termangu dengan tangan memegangi gelas tanpa air. Randitya berucap, “Kata Om Pandu, Meta andal dalam balerina dan lyrical dance, kebetulan lagu kakak yang akan diliris ini nuansanya sendu. Kalau kalau hanya dibuat MV audio-lirik saja kurang bagus. Jadi, kakak berharap Meta mau. Nanti konsepnya kakak kasih Meta agar bisa dipahami.” Randitya menyuapkan sepotong daging sapi ke mulutnya.

“Meta, Kak Randitya datang jauh-jauh dari Los Angeles demi bertemu kamu, lho. Coba bayangkan dari sekian banyak penari muda, Meta yang dipilih langsung oleh Kak Randitya.” Pandu terlihat tersenyum, tetapi matanya mengatakan bahwa Meta harus menerimanya tanpa banyak berpikir.

Meta pun mengangguk pelan. “Iya, Kak. Meta mau!“ jawab dengan senyum semangat. Pikirnya, kapan lagi membuat Pandu terlihat yakin padanya.

Meta lekas menghabiskan makanannya, gadis itu tak keberatan saat Randitya memintanya ikut mengobrol di ruang tamu membahas ini dan itu. Meta menghela napasnya dalam diam. Meskipun baru melakoni kejuaran Narasi Prosodi kemarin bersama Ayas dan lelah masih terasa, tetapi Bengawan Sasmita masih menunggu, dan lomba lainnya pun tak pernah Meta abaikan, selalu dikejarnya walaupun begitu kelelahan. Sekarang, dihampiri langsung oleh megabintang, malah membuat Meta tertekan.

“Meta bisa dengarkan dulu demo lagunya, lusa kita bisa langsung practice. Kita akan mulai dari pemilihan wardrobe dan lainnya. Nanti Meta dapat coach juga. Supaya makin oke tampilnya!” seru Randitya dengan senyum ramahnya.

Perbincangan pun sampai pukul dua malam. Sayangnya, Meta harus tidur lebih dulu, sekitar pukul sebelas malam.

Pagi membangunkan Meta saat Nirmana sudah berdiri dengan tangan memegangmi handuk berwarna fucia kesayangan Meta. Nirmana membelai lembut kepala Meta, tatkala gadis itu mengucek lembut kelopak matanya.

“Selamat pagi, anak mama. Bagaimana tidurnya? Nyenyak? Hari ini mama lihat jadwalmu ada jadwal latihan tari di sekolah,” sapa Nirmana tidak kompromi pada Meta yang terlihat masih mengantuk berat. Bahkan matanya sulit terbuka, malah mulut terus mengap-mengap menguap.

“Ada, Ma. Latihan seperti biasa. Tapi, aku tidak akan latihan.” Meta turun dari kasurnya, padahal masih ingin berbaring. Gadis itu mendesah sambil mengepalkan jari tangannya.

“Kenapa?” Nirmana terkejut.

“Ada kelas tambahan mata pelajaran biologi. Ada kelas laboratorium soalnya membahas peran mikroba dalam kehidupan.” Meta hanya mampu mengangkat sebelah sudut bibirnya.

“Tapi, sempatkan latihan walau sebentar,” selak Nirmana dengan tatapan bossy miliknya yang tajam tetapi lembut.

“Iya,” jawab Meta ketus.

*****

Kelas begitu ramai anak membicarakan Asa dan kemampuannya memggambar. Anak-anak pamer hasil karya mereka yang masih bisa dibilang buruk. Asa yang baru datang diserbu para ciwi di kelas. Melihat itu Meta mendadak risi, ia teringat pandangan mata Asa sore lalu di ruang tari. Sontak dalam ketidaksadarannya, Meta mendaratkan tangannya di dada.

Apa dia diam-diam melirik dada aku? Apa jangan-jangan dia … stop! Persetan dengan matanya! Indah dan bening, penuh bekas luka yang dalam.

“Kamu sakit dada, Meta?” lontar Ayas sambil menatap wajah Meta yang kosong. Gadis itu menelan ludahnya, melepaskan kedua tangannya dari dada sembari tersenyum kecil.

“Hanya sesak sedikit. Mungkin karena tadi aku pergi dengan jendela mobil yang terbuka jadi hawamya dingin,” sahut Meta dengan kerling mata manja.

“Kupikir sakit. Jaga kesehatanmu, ya? Masih banyak yang harus kita lalui, bersama.” Ayas membelai pusat kepala Meta dengan lembut.

Meta membuang napasmya dengan kencang. Ia merasakan semua edar darahnya berhamburan saat Ayas memperlakukannya demikian. Padahal ini bukan kali pertamanya. Ayas tertawa geli.

“Kenapa membuat hole selebar itu, Meta?” goda Ayas sambil mencolek pipi Meta.

Napasnya dibuang lagi seperti beberapa saat lalu.

“Aku ingin jalan-jalan ke toko buku. Tapi, hari ini ada kelas tambahan ada latihan juga. Kamu sama Asa ada janji latihan di ruang musik?”

Ayas mengangguk.

Bibir Meta pun membulat sempurna.

Duduknya Asa membuat Meta memejamkan mata dengan sebal. Sesuatu mendesaknya untuk terus memuji segudang pesona Asa yang disembunyikannya dalam sorot mata pudar semu cekung itu, senyum tipisnya yang manis juga gaya berjalannya yang slengean. Meta menutup kepalanya dengan buku. Belum beberapa detik rasanya ia bersembunyi, seseorang menyentuh lembut tangannya.

“Apa?” tanya Meta tidak menggerakan tubuhnya. Bergumam gadis itu di balik buku.

“Untukmu!” Sebuah buku mendarat di atas buku yang menutup kepala Meta. Gadis itu pun sontak bangun saat kepalanya jelas-jelas terasa digeplak pakai sebuah benda lumayan tebal. Jatuh dua buku itu dari kepala Meta.

Sepasang mata yang baru saja dipujinya itu memandang lekat. Meta mendesis sebal.

“Aku sengaja membungkus katalognya untukmu malah kamu jatuhkan dan tidak cepat dipungut. Tau begitu, aku berikan saja pada Layung, dia pasti lebih menghargainya!” cibir Asa dengan senyum pongah.

“Mau kamu apa?” tanya Meta ketus sambil memungut dua buku yang terjatuh tak jauh dari kaki kursinya.

“Aku hanya menghadiahimu sebuah katalog. Tidak lebih,” jawab Asa santai.

“Untuk apa?” Meta menggulurkan tanda tanya besar dari ubun-ubun kepalanya.

“Mungkin kamu butuh new leotard, soft shoes, tutu or something. Aku tak sengaja menjumpai katalog itu saat berkunjung ke kantor mama. Kurasa cocok untukmu!”

Meta menghembuskan napasnya dengan terpaksa ia memasang wajah tertarik yang manis nan ramah. Meta membolak-balik katalog pemberian Asa itu. Jujur saja hatinya memang senang, tetapi ia takut Asa bukan tipe cowok kalem seperti Ayas.

“Aku melihatmu bersedih, beberapa saat setelah kamu menari, tawa dan senyum  bahagiamu datang kembali. Karena aku kagum padamu, kurasa tidak ada alasan yang kuat aku membiarkanmu bersedih,” ungkap Asa sambil tersenyum manis.

“Kenapa?”

“Aku suka padamu. Sejak pertama kulangkahkan kakiku ke kelas ini.” Asa meninggalkan tempatnya duduk. Berjalan keluar kelas sambil memasukan tangan ke saku celana di saat bel pelajaran pertama terdengar.

Meta hanya membatu, ia baru saja mendengar sebuah pengakuan paling tolol dari seorang laki-laki. Meta tertawa pincang, sambil mengerjakan matanya berharap ia tak perlu lagi bertemu sosok Asa yang duduk tak jauh dari mejanya.

Meta kembali menutup kepalanya dengan buku, sementara katalog yang Asa berikan ia dekap dengan erat. Di lorong, Asa asyik bersiul, meski semua orang berlomba-lomba memasuki kelas masing-masing. Asa justru berjalan santai ke arah gedung tua, ruang di mana ia mampu merebahkan diri sambil mencium aroma serbuk arang dari gesekan pensil dan HVS, wangi penghapus yang sudah menghitam, juga harumnya bekas cat warna yang mengering sempurna.

Jam bekerja keras, terus berputar-putar tanpa merasa pusing. Tubuh Asa meringkuk di atas meja. Remaja laki-laki itu tak pernah absen menyumpal kedua telinganya dengan denting piano, atau melodi nyeri yang dihasilkan surai bow.

Pagi ini, ia pergi dengan supir sedangkan Tanti pergi dini hari saat tetangga apartemen yang meminta untuk ditemani lahiran. Asa merasa sepi,  figur ayahnya seperti lenyap dari ingatan Asa. Ledakan pesawat dua belas tahun silam membuatnya gila. Ia tidak mampu mengingat momen apa saja yang pernah dialaminya dengan sang ayah.

“Asa?”

Remaja laki-laki itu bergerak dari posisinya.

“Ah, Meta! Selalu saja menganggu!” pekik Asa saat Meta berdiri dengan tatapan berang.

“Masuk kelas. Ibu guru tidak akan memulai pelajaran tanpamu!” tutur Meta dengan intonasi marah.

“Aku tidak akan ke kelas!”

“Kalau kamu tidak mau menjadi orang berprestasi. Setidaknya lihat yang lain, ada segelintir orang yang berharap bisa menjadi juara kelas, membanggakan orang tersayangnya!” bntak Meta melemparkan sepotong penghapus putih yang entah dari mana ia dapatkan. “Jangan egois! Itulah kenapa aku tidak suka murid baru!” tandas Meta dengan lirikan mata sebal.

“Kamu ingin punya prestasi sebanyak apa?” todong Asa. “Buih di lautan tidak ada artinya.”

Bab 9. Semangat, ya, semangat!!
Wah, kira-kira bakalan gimana nih mereka? Jujur aja aku gasabar mau selesaikan naskah ini, agar aku bisa menyelesaikan Rambu, biar dua-duanya selesai bersamaan♡

Publikasi 10 November 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top