#4. Angkasawana

Nyaris tak ada senyum dari seorang remaja laki-laki bermata agaknya cekung dengan bulu mata lentik itu saat orang-orang memandangnya. Dalam benak, inikah yang disebut disambut di kelas sebagai murid baru? Ckk, apa-apaan ini?

Beberapa menit lalu, saat kakinya menjajal masuk sebuah kelas bernama IPA Satu. Sungguh SMA bukan SMK? Napasnya berembus kesal. Mata hitam temaram itu menatap berpasang-pasangan padangan di dalam bilik-bilik bulu mata mereka. Dadanya tak berhenti memompa udara, mengalirkan darah bolak-balik ke seluruh tubuh.

Kanto yang lebih dulu tiba di depan kelas melambaikan tangannya, memberi isyarat agar langkah kaki bisa dipercepat guna perkenalan singkat cepat pula dilakukan sebelum bel pertama dimulai.

"Ayo, masuk!" ujar Kanto sambil tersenyum manis. Kaki remaja di ambang pintu itu pun tergesa-gesa memasuki kelas, berdiri canggung di sebelah Kanto. "Bu Nilam, wali kelas kalian tidak bisa hadir karena masih cuti melahirkan, pak Gunawan belum datang karena ada sedikit kemacetan, jadi untuk mempersingkat proses perkenalan, agar teman kalian bisa mulai ikut kelas jam pertama, bapak harap kalian semua mau menyambutnya dengan baik," ungkap Kanto dengan turur bahasa sopannya, lengkap senyum manis.

"Ayo, perkenalkan dirimu," ucap Kanto sambil mendaratkan tangannya di punggung remaja laki-laki itu.

Ludah diteguk, matanya menatap malas. Jiwanya kabur dari raga sesaat saat bel berbunyi.

"Hai. Namaku Angkasawana Wrhaspati Rugandi. Aku pindahan dari SMK Seni di Jogjakarta. Aku tidak pernah berpikir akan masuk SMA dan IPA, dua hal yang tidak pernah aku bayangkan, meski aku suka teori Newton dan atom juga tata surya."

"Hai, Angkasawana," sapa semua anak di kelas dengan nada suara malas. Nama yang panjang.

"Baiklah, Asa, kamu boleh memilih akan duduk dengan Edgar, Adiyatma atau Jivano, kebetulan memang hanya kelas IPA Satu yang muridnya lebih sedikit. Pertama karena, Syufara dan Martha pindah ke kelas IPS Dua, Davinna pindah sekolah akhir semester lalu."

Angkasawana Wrhaspati Rugandi, remaja laki-laki berusia enam belas tahun itu melangkahkan kakinya ke arah meja ketiga jajar ke dua sebelah kiri pintu, tempat di mana Adiyatma duduk santai dengan senyum miringnya.

"Di sini saja, Pak."

Asa-sapa saja demikian, mata remaja itu mengarah pada Kanto yang mengacungkan kedua ibu jarinya sambil tertawa kecil.

"Bapak sudah menebaknya, Asa pasti akan duduk di situ ketimbang di pojok bersama Edgar, atau di dekat jendela bersama Jivano. Oke, baiklah, selamat berkenalan lebih lanjut dengan teman-temanmu, semoga betah dan bapak harap kalian mampu menyambut dan menemani Asa beradaptasi dengan sekolah barunya."

Asa hanya bisa melengkungkan senyum palsu. Awalnya duduk di belakang adalah hal menyenangkan, tetapi itu bukan pilihan yang tepat. Duduk dekat jendela, ah, pemandangan di luar kelas selalu lebih mengasyikan daripada melihat papan tulis.

Kerjap kelopak mata Asa menyadarkan beberapa ingatan kecilnya. Asing, rasanya terlalu asing, meski ia berbiasa dengan seluruh pelajaran IPA di SMP, tetapi ia benar-benar tidak mengerti kenapa harus IPA di SMA? Kenapa juga gugatannya pada sang mama tidak membuahkan hasil?

Seorang siswa laki-laki dengan perawakan tambun yang duduk di pojokan kelas tertawa. "Eh, Asa? Kamu suka basket tidak?" tanyanya membuat Asa menoleh sembari mengangkat alisnya.

"Suka."

"Istirahat nanti kita main, ya?" ajaknya sambil tertawa renyah. "Kamu bisa panggil aku Banjar," imbuhnya.

Asa hanya mengangguk kecil.

Tiba seorang siswa berseragam amburadul duduk di meja Asa, menatap tajam sambil mengajaknya bersalaman. "Lysandra, boleh panggil Andra, aku ketua kelas di sini!" katanya sedikit mendesak Asa.

Ketua kelas? Seperti preman.

"Hai," sapa Asa singkat sambil mengangkat telapak tangannya.

"Hei, Asa. Namamu benar-benar Angkasawana?"

Asa mengangguk.

"Memang cocok dengan wajahmu, bawaannya teduh!" katanya dengan pandangan mata meledek. Dari bet nama di sisi kanan dadanya, siswa bernama Jacquimo itu terlihat dingin, tetapi bentuk wajahnya cenderung kalem.

"Meta, pasti suka Asa, anak ini punya majalah Narasi Prosodi!" kata Jac.

Yang disebut namanya menoleh dengan tatapan mata tajam. Gadis itu menatap kembali ke arah murid baru yang duduk bungkuk sambil menatap dingin disertai sedikit lirikan pongah.

"Apa arti dari nama panjangmu, Asa?" Rahmi yang duduk di dekat Jac berjalan ke arah meja Asa.

Ia menatap dingin, tetapi bibirnya tetap melengkungkan senyum manis. "Angkasawana, ya seperti kalian tau sudah jelas itu angkasa, wana itu berarti hutan dalam bahasa Sanskerta. Wrhaspati nama lain dari Jupiter. Rugandi nama ayahku."

"Cita-citamu astronot, kah?" celetuk seorang siswi di dekat jendela. Wajahnya menatap lekat sambil menahan tawa. Atisha namanya.

"Tidak sama sekali."

"Jangan-jangan ayahmu lagi yang astronot?"

Asa menggelengkan kepalanya. "Bukan hanya orang bisa saja," jawabnya ringkas.

"Wah, kamu terlihat pintar dan pandai?" Andra dan Jac saling melemparkan tatapan mata.

"Tidak juga." Tatap matanya seperti mati. Ia benci kenapa orang-orang membahas dirinya. "Kuharap kita bisa berteman dengan baik. Aku senang dengan pertanyaan kalian tentang namaku, tapi kalian bisa menyapaku Asa. Kurasa itu lebih pas."

Ayas yang sejak awal diam pun akhirnya melangkahkan kaki ke meja Asa. Tangan remaja laki-laki dengan mata agaknya bulat plus sedikit lesung pipi di dekat dagu itu terulur ke arah Asa. "Hai, aku Kahayas Bizuardi. Sapa saja Ayas, kita main basket bersama nanti siang, ya?" ucap Ayas lembut.

"Senang berkenalan denganmu." Asa masih tersenyum.

"Kamu punya majalah Narasi Prosodi? Suka musik dan seni tari juga?" Ayas duduk di sebelah Asa dengan menarik bangku milik Andra yang berada tepat di dekat meja Asa.

"Tidak, Mama memberinya karena aku suka lukisan. Kebetulan, Narasi Prosodi sedang membuka pameran tema bumi dan manusia." Asa memberikan majalahnya pada Asa.

"SMK Seni? Jurusan?" tanya Meta sambil menolehkan kepala, ia tampak menyangga dagunya menggunakan tangan kiri.

"Seni rupa, gambar."

Bibir Meta membentuk lingkaran kecil.

"Kamu bisa melukis, dong, Asa?" Ayas memperlihatkan raut wajah kepo.

"Tidak, meski aku banyak menghabiskan waktu di Malioboro, untuk belajar melukis sketsa, tapi aku tidak mahir."

"Eh, di Malioboro banyak seniman, ya? Banyak vilois berbakat juga, ya?" Ayas menatap saksama wajah Asa yang malas.

"Iya," jawab Asa ringkas.

"Pagi anak-anak!" sapa Gunawan yang baru saja berjalan sampai ke pintu.

"Nanti kita ngobrol lagi, ya?!" Ayas menyentuh kepala belakang Asa dengan lembut. Senyumnya paling tidak terlihat manis alami.

Asa mengembuskan napasnya sebal.

*****

Asa mendapat sebuah bola basket saat Banjar melempar bola cokelat itu ke udara dari tengah lapangan ke tepian. Belum aku melangkahi garis sudah main lempar. Sialan! Asa hanya menatap dingin pada setiap orang yang melihatnya. Asa menghela napasnya pendek saja. Tangannya men-dribble bola itu sebanyak tiga kali.

Sebuah tembakan dari sisi lapangan yang Asa lakukan nyaris masuk ring, anak-anak yang ada terkejut. Bola itu mendarat di papan ring kemudian menggelinding lagi ke arah kaki Asa yang sudah berjalan santai menuju tengah lapangan. Asa memungut bola cokelat itu, kembali ia dribble dan ia tembak ke arah ring, hasilnya masuk dengan sempurna.

"Wah, kemampuan basketmu sepertinya terasah," puji Andra.

"Aku dulu sering main basket, wajar. Tapi, tepian lapang ke ring terlalu jauh," jawab Asa menatap congkak dengan senyum sinis.

"Hebat! Ayo main!" pekik Ayas lalu mengajak Asa berlari mengejarnya. Permainan pun dimulai.

Di kejauhan Meta tampak sedang menikmati kudapan ringannya. Ia baru saja dihadihi mejalah Narasi Prosodi oleh Asa. Entah Asa menyadari atau tidak, tetapi ada nama ekstrakurikuler tari sekolah juga nama Meta di Narasi Prosodi saat melakoni pentas beberapa waktu lalu, meski tidak juara.

"Asa tampan juga, ya?" bisik Rahmi yang disetujui Melly juga Atisha.

"Iya, lumayan. Tapi lebih tampan dan menarik Nagahru, anak IPS Dua," jawab Meta keki.

"Eh, kapan wajahmu terbit di tabloid itu? Tidak sabar mau lihat wajah cantikmu dan senyum manis Ayas." Melly menarik-narik tangan Meta.

"Bagian Ayas terbit minggu ini. Bagianku terbit minggu depan." Meta menutup majalan Natasi Prosodi di tangannya agak kesal.

"Aku sebal kenapa harus Ayas dulu. Salah pak Seandhi, kenapa juga harus mengajak Ayas! Padahal pemilik tabloid langsung mengajakku untuk jadi narasumber. Pak Seandhi benar-benar penghancur mood," protes Meta sambil meremas jemari tangannya.

"Secara Ayas, kan, ikon siswa berprestasi wajar si bapak kutu itu suka. Didikannya," kata Melly sewot.

"Ayas tanpamu, tak akan jadi Ayas."

"Bukan, lebih tepatnya ekskul musik tanpa ekskul tari tak jadi apa-apa!" Meta berjingkat dari duduknya.

Ini signal agak-agak gimana gitu, minta ditabok hih.


Bab 4 sudah bisa dibaca dan dikomentari, ya. Terima kasih telah meluangkan waktu, sampai jumpa di bab 5.

Publikasi 06 November 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top